Share

Tiga: Kebenaran

Hasil DNA mengungkapkan kebenaran terkuat. Kini, bukti berupa surat tulisan tangan Mawar dan hasil pemeriksaan DNA sudah lebih dari cukup untuk menuntut pertanggungjawaban Rendyka dan Jully untuk nasib hidup Jo setelah ini. 


Hari ini, Hazell membawa Jo pergi dari panti sosial, lengkap dengan barang-barang milik Jo. Hazell membawa Jo ke rumah orang tuanya yang berada di Bandung. Di sana, Hazell juga telah menyiapkan panggung pertunjukan besar, karena ia turut mengundang Jully. Tak lupa, Daisy selaku pengacara Jo juga akan datang dengan sejumlah berkas yang akan membantu proses tuntutan. Kali ini, mereka tidak akan membawa nama kepolisian. Mereka akan mencoba melalui cara yang kekeluargaan.


"Kamu tidur aja, Dek. Perjalanannya cukup jauh," kata Hazell dengan lembut, seraya mengusap kepala Jo yang duduk tepat di kirinya.


Jo mengangguk sebagai tanggapan.


"Kamu takut?"


Seharusnya, tanpa dipertanyakan, Hazell sudah tahu jawabannya. Tidak mungkin Jo tidak takut. Bagi Jo, lebih baik menghadapi Adianto yang sudah ia kenal sifat dan kebiasaannya. Tapi, kini Jo harus menemui orang-orang yang belum pernah ditemuinya, apalagi orang-orang itu sudah pasti tidak menginginkannya. Sejak awal, kehadirannya memang tidak diharapkan. Jo sadar betul hal itu. Sayangnya, ia tak mungkin mundur. Ia sudah terlanjur memilih jalan ini.


"Nggak usah takut. Kita punya banyak rencana. Kalau rencana pertama gagal, kita lanjut ke yang kedua, dan seterusnya. Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Lagipula, apapun yang terjadi, aku akan ada di pihakmu, begitu juga dengan Tante Daisy. Kamu nggak sendirian, kok."


Jo mengangguk sebagai tanggapan. Ia terlalu cemas sampai tidak sanggup bicara apapun sejak berangkat tadi.


Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari satu setengah jam, akhirnya mereka tiba di kediaman Chakraditya, sebuah rumah megah dan besar dengan gaya bangunan Belanda bernuansa putih. Ada kesan mistis di bangunan itu ketika Jo melihat dari arah depan. Entah ia yang terlalu takut menghadapi masalah ini, atau memang rumah itu punya sejarah kelam pada masa penjajahan Belanda dulu.


Setelah Hazell memarkirkan mobilnya, ia turun dan menjemput Jo dari sisi mobil lainnya. Ia tahu betul bagaimana Jo takut saat ini. Ia pun menggandeng tangan mungil adiknya dengan erat, lalu menarik tubuh kurus yang terlihat begitu berat melangkah itu untuk berjalan masuk ke dalam rumah itu.


"Assalamu'alaikum," ucap Hazell, seraya masuk ke dalam rumah melalui pintu depan yang tidak terkunci. 


"Oh, akhirnya nyampe juga," ungkap seorang laki-laki dari arah ruang tengah. "A Hazell!" serunya, seraya berlari menghampiri kakak laki-lakinya yang dipanggil dengan sapaan kakak dalam Bahasa Sunda.


"Eh?" Anak yang dua tahun lebih tua dari Jo itu menjauhi Hazell saat sadar dengan kehadiran seorang anak perempuan yang menundukkan kepala. "Kakak udah punya anak? Jadi, selama ini Kakak ngerantau juga karena udah punya keluarga?" tuduhnya.


"Heh, ngawur!" tukas Hazell, seraya mengacak-acak rambut adik laki-lakinya itu. "Mana Ayah dan Ibu? Apa tante Jully udah dateng?"


"Udah, mereka ada di ruang makan, bentar lagi makan siang," jawab laki-laki itu. "Jadi, ini siapa, A?"


Jo menggerakkan netranya untuk melirik ke arah laki-laki di hadapannya. Wajahnya sangat mirip dengan Hazell, seperti cetakan ulang. Bedanya, lelaki itu memiliki mata yang lebih lembut dan lebih hangat. Entah kenapa, Jo merasa sangat nyaman dan tenang untuk sesaat.


"Ini Jolanka, anak korban kasus yang aku tanganin belum lama ini," jawab Hazell. "Jo, kenalin. Dia Oliver, sekarang umurnya 14 tahun."


Jo sempat ragu, tapi jika Hazell sudah memperkenalkannya, itu artinya ia dapat mempercayai lelaki di depannya. Jo pun mengangkat tangan kanannya, bermaksud untuk mengajak lelaki itu berjabatan tangan. "Jo-Jolan -" Tangannya ditepis lembut ketika ia belum menyelesaikan ucapannya.


Lelaki bernama Oliver itu mendekat dan mendekap tubuh Jo yang lebih kecil darinya. Jo membeku bingung dan terkejut dengan reaksi yang diberikan lelaki yang bahkan tidak dikenalnya. "Lo udah berjuang, Jo. Lo anak yang kuat. Gue yakin, ibu lo bangga sama lo." Oliver memang sikapnya lebih hangat dan lembut dibanding Hazell, dan tidak gengsi untuk menunjukkan perhatiannya. "Lo bisa panggil gue 'kakak'. Lo nggak sendirian, kok."


Jo menjawab pelukannya. "Makasih, Kak." 


Jujur, Jo tidak menyangka bahwa ia bisa disambut seperti ini oleh lelaki yang juga merupakan kakaknya. Namun, Jo tetap merasa khawatir. Andai Oliver tahu kebenarannya, apakah ia akan tetap bersikap sehangat ini, atau malah membencinya. Karena, saat ini adalah detik-detik sebelum keluarga Chakraditya hancur.


Oliver menggandeng tangan kanan Jo, mengambil alih Jo dari Hazell. Ia mengajak Jo masuk ke dalam ruang makan. Dengan sangat semangat, ia memperkenalkan Jo pada orang-orang yang telah berkumpul di ruang makan atas undangan Hazell beberapa hari lalu. Bukan hanya kedua orang tua Hazell, tapi juga keluarga Jully, lengkap dengan anak perempuan tunggalnya, April.


Meski keluarga itu menerima Jo dengan ramah dan hangat, tapi Jo tetap saja tidak bisa tenang. Meski ia makan siang bersama di ruangan itu, ia seakan tidak bisa menikmati rasa masakan yang cukup mewah itu. Bahkan, ia tak merasa nyaman duduk di bangkunya, seakan ada ratusan paku yang memintanya untuk berdiri dan pergi dari sana. Ia gelisah. Ia takut. Ia cemas. Dan, tentunya, ia merasa amat sangat bersalah sekarang.


Terdengar bel berbunyi, membuat Hazell sempat memejamkan mata. Bukan hanya Jo, tapi ia pun juga cemas dan gugup sekarang. Ialah yang meminta Jo untuk berjuang sekali lagi, meski ia tahu bahwa pilihan ini akan merusak hubungan keluarganya. Tapi, ia adalah lelaki yang selalu menjunjung tinggi keadilan. Setidaknya, itu yang diajarkan Rendyka padanya sejak kecil. Hal itulah yang membuat Hazell menjadi polisi seperti sekarang.


Seorang pelayan mengantarkan Daisy masuk ke ruang keluarga. Saat itu, semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga yang luas. Banyak topik pembicaraan yang disinggung di sana, termasuk tentang kasus yang menimpa Jo. Jo pun menjawab sebisanya, ia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Ia takut.


"Siang, semuanya," sapa Daisy dari ambang pintu, usai pelayan meninggalkannya. "Saya Daisy, ahli hukum Jo. Saya datang untuk membicarakan sesuatu yang penting atas kemauan Hazell. Di sini, saya tidak akan menyebutkan Hazell sebagai polisi, melainkan sebagai anggota keluarga Chakraditya," jelasnya dengan cepat. Meski ia terlihat tenang, sesungguhnya ia juga sedang mengendalikan diri dari ketegangan.


"Jadi, semua ini ada hubungannya dengan alasanmu membawa Jo ke rumah ini dan mengumpulkan semua orang?" tanya Rendyka dengan menahan amarah. 


Hazell berdiri, lalu menjauh dari orang-orang untuk berdiri di hadapan semua orang. Daisy berdiri di sebelahnya, menahan diri untuk tidak bicara. "Kasus Jo juga tanggung jawab keluarga kita, Chakraditya."


"Dari mana asalnya itu? Kenal juga nggak," seru Rendyka. Ia jelas tidak suka.


"Yah, diem dulu, dong. Biar Hazell jelasin," ujar June, istri Rendyka. "Hazell, coba jelasin pelan-pelan. Gimana keluarga kita berhubungan dengan kasusnya Jo?" Meski ia bersikap tenang, namun jelas netranya mencurahkan kecemasan.


Hazell menatap Rendyka dan Jully secara bergantian. Ia mendapati kecemasan dalam pancaran mata mereka berdua. Dengan berat, Hazell menghela napas. Tentu saja itu karena ia sangat kecewa.


"Belum lama ini, ketika polisi merapikan TKP, mereka menemukan surat peninggalan Mawar. Surat yang ditujukan untuk Jo. Di dalam surat itu, disebutkan dua nama, Rendyka Chakraditya dan Jully Erlita Salsabila -"


"Mustahil!" seru Jully emosi.


Hazell menarik satu ujung bibirnya. "Kalau emang nggak salah, kenapa harus nyalak gitu?" Ia bicara dingin dan tidak sopan pada tantenya. Ia sudah kehilangan respect pada wanita itu.


"Mbak, tenang dulu. Kita dengerin sampai selesai." Kali ini, June menenangkan Jully, meski sebenarnya ia semakin takut untuk mengetahui kebenaran.


"Lanjutkan, Zell," tuntut Fredy, suami Jully. Ia juga seorang polisi, namun bekerja di Bandung. "Pasti ada alasan kenapa Almarhumah Mawar menyebutkan dua nama itu, 'kan?"


Hazell mengangguk. "Adianto dulu punya usaha tingkat menengah dan bangkrut. Penyebabnya adalah Ayah. Kenapa? Karena Adianto dan Mawar mengetahui kebenaran orang tua kandung Jo dan menuntut pertanggungjawaban."


"Jadi, kamu nuduh Ayah punya anak selain kamu dan Oliver?" tanya Rendyka dengan nada tinggi. Ia terlihat murka.


"Aku nggak nuduh. Aku punya bukti," jawab Hazell, tetap dengan kepala dingin, meski hatinya memberontak untuk mengamuk. "Adianto dan Mawar menemukan Jo di depan rumah mereka. Ya, Jo dibuang dengan tidak bertanggung jawab. Lalu, mereka mengetahui bahwa orang tua kandung Jo adalah Rendyka dan Jully."


"Nggak mungkin, lah! Mana buktinya kamu ngomong kayak gitu? Kamu mau ngerusak keluarga kita, hah?" seru Jully. 


Daisy mengeluarkan sebuah kertas dari dalam map yang dijinjingnya sejak tadi. "Ini adalah hasil pemeriksaan DNA terhadap Jo, Pak Rendyka, dan Bu Jully. Jo terbukti anak dari Pak Rendyka dan Bu Jully. Bahkan, kami sudah mengkonfirmasikannya juga ke lebih dari tiga laboratorium." Daisy meninggalkan sisi Hazell, lalu menyerahkan kertas itu pada Fredy yang mengulurkan tangan kosong ke arahnya.


"Bohong! Ini pasti asal tuduh!" sangkal Jully. "Kamu!" Telunjuknya menuding wajah Jo yang sedari tadi diam dan menundukkan kepala, kedua tangannya bertaut cemas. "Kamu mau ngehancurin keluarga saya, hah? Kamu nggak puas udah nyebabin ibumu mati dan ayahmu dipenjara? Iya? Mau apa lagi, sih, kamu?" serunya murka.


Jo semakin menundukkan kepala. Ia tidak berani menjawab.


"Jangan gitu, Tante!" seru Oliver. Secepatnya ia berdiri menutupi tubuh Jo dengan tubuhnya. "Kalau udah ada hasil DNA, itu artinya bener. Dan kalau surat dari Bu Mawar bener, itu artinya, yang ngerusak keluarga kita adalah Tante dan Ayah. Kenapa juga nyalahin anak yang lahir tanpa tahu apa-apa?"


"Kok, lo, bentak ibu gue, Olv?" seru April, ia terdengar marah. "Kalaupun ibu gue salah, jangan bentak dia, dong. Dia juga keluarga lo." Ya, mereka seumuran, hanya beda beberapa bulan saja. Hubungan mereka bahkan seperti saudara kembar.


"Kalau gitu, ibu lo juga jangan ngebentak adek gue, dong!" balas Oliver. "Kalau DNA itu bener, berarti Jo adek gue dan A Hazell, juga adek lo, Pril. Dia anak ibu lo."


April diam. Ia tahu ucapan Oliver benar. Tapi, dalam hati ia tetap tidak bisa terima perlakuan Oliver pada ibunya, sebesar rasa kecewanya pada ibunya.


"Oke, bisa diam semua?" Tegas Hazell dengan suara lantang dan bulat. Sekejap, semua orang terdiam. "Aku ngomong kayak gini di depan kalian semua, cuma mau minta agar Ayah dan Tante bertanggungjawab sedikit untuk Jo. Pertama. Kalau aja kalian nggak ngebuang Jo, hidup Jo nggak akan sengsara kayak sekarang. Kedua. Kalau kalian nggak ngerusak perusahaan Adianto, keburukan kalian ini nggak akan ketahuan sampai kapanpun. Ketiga. Kalau aja kalian nggak merahasiakan masalah ini, keluarga kita pasti masih baik-baik aja sekarang. Apa ada ucapanku yang salah?"


Hazell menatap Rendyka, tapi bahkan ayahnya yang selalu mengajarinya tentang tanggung jawab dan keadilan pun tidak berani menatap anaknya. Lalu, saat Hazell beralih menatap Jully, ia bisa melihat kebencian dalam tatapan wanita itu.


"Aku nggak mau pembelaan kalian. Kalian udah dewasa, tahu mana salah dan benar. Aku cuma mau kalian bertanggung jawab," jelas Hazell dengan lebih tenang. "Nggak banyak, kok, tuntutan yang aku minta untuk Jo. Aku mewakilinya, karena saat ini akulah walinya Jo."


Daisy bergerak. Ia menyerahkan sebundel kertas pada Fredy dan June. Ia tahu, ia tak mungkin memberikan tuntutan itu pada Jully dan Rendyka. Mereka bahkan tidak berani menatap pasangan mereka karena rasa malu.


"Oke, aku nggak masalah," ungkap Fredy. "Jujur aja, aku kecewa sama istriku yang main belakang. Tapi, nasi udah jadi bubur, aku nggak bisa komentar apa-apa lagi. Mungkin, ini juga sebagian salahku yang dulu sibuk kerja dan melupakan kewajibanku sebagai suami." 


Fredy berdiri, lalu ia berjalan menghampiri Oliver yang masih menghalangi Jo. Oliver tahu bahwa oom-nya adalah polisi yang bijak. Ia tahu Jo akan baik-baik saja.


Fredy berlutut di depan Jo. Ia menggenggam tangan Jo yang dingin. "Nak, maafin istrinya Oom, ya?"


Jo memberanikan diri mengangkat kepala mendengar lelaki itu bicara begitu lembut. "Jo minta maaf karena udah ngerusak keluarga Oom." Netranya bergelimang kerlip air mata yang hanya terbendung di sana, tak ada setetespun yang tumpah.


Fredy menggeleng, lalu memeluk tubuh Jo yang ia sadari tadi gemetaran sepanjang waktu. "Ini kesalahan orang dewasa. Kamu nggak tahu apa-apa. Kami yang seharusnya meminta maaf," ungkapnya. Ia melepas pelukannya. "Oom akan biayain hidup kamu sebagai permintaan maaf dan pertanggung jawaban. Oom juga akan menjadi walimu jika diperlukan."


Jo menatap lelaki itu dengan bibir bergetar. Ia mencoba menahan tangis. Ia tidak tahu harus mengungkapkan apa. Ia bingung.


"Jo," panggil seorang perempuan yang suaranya berhasil menarik memori Jo tentang Mawar. "Kamu bisa panggil saya 'ibu'. Walaupun kamu nggak lahir dari rahim Ibu, Ibu akan tetap menganggapmu anak kandung Ibu sendiri. Ibu juga akan bertanggung jawab untuk hidupmu, sebagai permintaan maaf karena suami Ibu udah bertingkah bodoh dan kekanakkan." Ia menarik tubuh Jo dalam dekapannya. "Maaf, ya, Jo."


Jo sudah tidak tahan menahan air matanya lebih lama. Ketakutannya yang sedari semalam membuatnya tidak bisa tidur hingga menyebabkan sakit kepala, ketakutannya yang sedari tadi membuatnya ingin muntah, kini perlahan-lahan menghilang oleh kebaikan Fredy dan June.


Dan akhirnya, air mata Jo yang sangat jarang ia perlihatkan itu pun tumpah ruah. Ia bahkan menangis dengan suara yang keras hingga terisak-isak. Selain saat ibunya meninggal dan papanya ditangkap, ini adalah kali pertamanya ia menangis histeris setelah dua bulan lamanya.


"Ma-af."


Tubuh Jo luruh, seperti istana pasir yang terhempas ombak. Kegelapan merenggut kesadarannya. Menyebabkan kepanikan di keluarga itu, terutama Hazell.


🌼🌼🌼

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status