Share

Empat: Masa Kini

Selama ini, bangunan yang bisa ia sebut sebagai rumah hanyalah saksi bisu yang kini sudah terjual, dengan uang hasil penjualan telah Jo terima sepertiganya, sisanya ia berikan pada Daisy dan Hazell sebagai biaya kebutuhan persidangan selama ini. Meski Daisy dan Hazell menolak, tapi Jo memaksa dengan sangat keras kepala.


Kini, Jo telah memiliki tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah tanpa membuatnya harus berpikir berkali-kali untuk pulang, karena di rumah ini ia tak perlu merasa takut. Di rumah ini, ia merasa sangat nyaman dan aman. Bahkan, kalau bisa, ia ingin ada di rumah seharian penuh dan berkumpul bersama kakak-kakaknya, Hazell dan Oliver. 


Sejak masalah itu, Hazell membawa Jo tinggal di apartemen miliknya. Setahun kemudian, Oliver ikut merantau ke Jakarta untuk bersekolah di SMA swasta elite dengan beasiswa yang ia terima. Rendyka memang awalnya tak mau mengakui Jo sebagai anaknya, tapi ia akhirnya menuruti kemauan June. Ia membelikan sebuah rumah dua tingkat untuk tempat tinggal ketiga anaknya. Ya, kini Rendyka mulai mengakui Jo sebagai anaknya, meski ia belum mau menatap Jo dan bersikap hangat pada Jo. Jo awalnya tak mempermasalahkan itu, tapi belakangan ia merindukan sosok ayah. Sementara, ia mendapatkan sosok ibu dari June. 


Sejak masalah itu, keluarga yang paling hancur adalah keluarga Jully. Jully meninggalkan Fredy dan April. Kini, hubungan Oliver dan April pun merenggang. Meski Fredy masih menepati janji untuk bertanggung jawab terhadap Jo atas perbuatan Jully, tapi ia juga berusaha menjaga jarak dengan Jo dan keluarga Rendyka. Tentu saja Jo yang tahu hal itu pun merasa bersalah, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak. Lebih tepatnya, Hazell dan Oliver yang menyuruhnya untuk tidak berbuat apa-apa.


Kini, sudah tiga tahun berlalu semenjak itu. Jo juga diterima di sekolah yang sama dengan Oliver, juga dengan beasiswa penuh. 


Seperti biasa, Jo selalu bangun jam 4 pagi, meski sudah tidak ada Adianto yang menuntutnya untuk membersihkan rumah dan memasak. Padahal, di rumah ini sudah ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan, yaitu Bu Dini yang bertugas bagian kebersihan dan di dapur dan Mbak Ika yang bertugas mencuci dan menyeterika pakaian. Jo selalu bangun jam 4 pagi dan tidak bisa tidur lagi. Pada akhirnya, ia akan selalu membangunkan kakak-kakaknya untuk Sholat Subuh berjamaah. Meski ia sedang berhalangan, ia tetap akan membangunkan kakak-kakaknya.


Usai mandi, Jo langsung bersiap dengan seragamnya. Lalu, ia pergi ke kamar Hazell di kiri kamarnya. "Kak Zell, bangun. Ayo, subuhan." Ia mengetuk pintu tiga kali, sudah cukup untuk membangunkan Hazell. Lalu, ia beralih ke kamar di sisi lain kamarnya. Ia tak perlu mengetuk pintu. Ia harus langsung masuk dan mengguncang tubuh Oliver. "Kak Olv, ayo, bangun. Subuhan bareng."


Oliver memutar badannya yang semula berbaring miring memunggungi Jo menjadi terlentang. "Emang lo nggak ngantuk apa, Dek? Lo bangunnya pagi banget." Suaranya masih terdengar parau, khas orang baru bangun tidur.


"Nggak, Jo nggak bisa tidur," jawab Jo.


Mata Oliver terbuka lebar, seakan ia tidak habis tidur. Ia melirik menatap wajah Jo yang didapatinya agak pucat. Dengan cepat, ia pun bangkit untuk duduk. Kedua tangannya langsung meraih pipi Jo yang agak tembem. "Kok, pucet, Dek? Ada yang sakit? Kalau sakit, nggak usah masuk sekolah."


Jo terkekeh-kekeh. "Kayak nggak tahu cewek aja, Kak. Kakak, 'kan, punya pacar," ujar Jo, seraya menurunkan kedua tangan hangat kakaknya.


"Oh," tanggap Oliver singkat. "Tapi, bener nggak papa, 'kan?"


"Iya, Kak. Wajar, dong, kalau cewek sakit perut pas menstruasi." Jo merapikan rambut Oliver yang acak-acakan. "Kakak mandi dan keramas, gih. Rambutnya lepek."


Jo cepat berbalik dan keluar dari kamar Oliver. Ia bergegas turun dari lantai dua rumah menuju ruang makan di lantai satu. Ia melihat Bu Dini ada di ruang makan, sedang membersihkan meja itu, lalu merapikan peralatan makan di atasnya. 


"Pagi, Bu," sapa Jo dengan senyum merekah. "Ada yang bisa Jo bantu?" 


"Eh, Si Neng, teh, udah dikasih tahu, masih juga nanya," sahutnya dengan logat Sunda yang kental. "Neng duduk aja, ntar Ibu bawain teh susu." Ia berbalik, lalu pergi dari ruang makan, meninggalkan Jo sendirian di sana.


Jo hanya diam. Sebenarnya, ia tidak suka ditolak, sedikit sakit hati. Tapi, ia tidak bisa apa-apa. Meski selama tiga tahun ini ia mencoba menyesuaikan diri untuk gaya hidup yang berbeda, ia masih sulit menghilangkan kebiasaan untuk membantu dan melakukan sesuatu. Jo anak yang aktif, senang kegiatan fisik, ramah, dan periang, meski ia bukan tipe yang banyak bicara. Jika ia dilarang melakukan sesuatu, seakan itu hal terburuk baginya.


Tubuh Jo tidak melawan seperti sebelumnya, dan mungkin ini untuk pertama kalinya. Biasanya, ia akan tetap pergi ke dapur dan melakukan sesuatu. Kali ini, keinginan dan tubuhnya tidak sependapat. Kepala yang terus-menerus berdenyut membuatnya lebih diam dari biasanya. Perutnya sakit dan mual, menyuruhnya untuk tidak banyak bergerak. Ia pun memilih duduk manis di kursi meja makan. Kali ini, ia akan menunggu orang-orang melayaninya.


Bu Dini datang dengan secangkir teh earl drey yang ditambahkan dengan susu, minuman kesukaannya. "Makasih, Bu." Lalu, Bu Dini kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya.


Tak lama, Hazell turun lebih dulu. Ia telah rapi dengan pakaian kasual, seperti biasa. Ia bukan polisi yang harus selalu memakai seragam. Ia lebih seperti detektif yang pekerjaannya adalah menyelidiki dengan berbagai cara. Ia bukan polisi yang memulai dari bawah. Begitu lulus SMA, ia lanjut kuliah di jurusan Hukum dan Psikologi. Ya, bahkan ia meraih cumlaude untuk kedua jurusan itu. Setelahnya, barulah ia menjadi polisi. Bahkan, tahun lalu ia baru menyelesaikan S2 untuk jurusan Forensik. Sudah tampan, pintar, dan bertanggung jawab.


"Dek, kata Olv kamu sakit?"


Jo mengangkat kepala dan menatap netra dingin Hazell yang hangat. "Ih, nggak. Udah dibilangin, Jo tuh lagi haid hari pertama. Cuma sakit perut aja."


"Minum vitamin penambah darah, biar nggak lemes," ujar Hazell.


Jo mengangguk. Tanpa disuruh pun ia akan melakukannya. 


Saat ia diselamatkan oleh Hazell tiga tahun lalu, ia menjalani pemeriksaan menyeluruh, sekaligus visum untuk keperluan penyelidikan dan persidangan. Banyak hal tentang kesehatan dirinya yang tidak ia ketahui, seperti adanya kista di rahimnya, penyumbatan pembuluh darah di kepala akibat benturan keras, maag kronis karena terlalu sering menahan lapar, dan anemia akibat kurang gizi. Sejak itu, ia tak pernah lupa meminum vitamin untuk menjaga kesehatan tubuhnya.


Oliver datang dengan heboh. Ia melompat dari anak tangga ketiga, lalu berlari kenruang makan. "Ayo, sarapan!" Ia selalu paling semangat kalau sudah menyangkut makan. Hebatnya, tubuhnya tetap terjaga atletis seperti Hazell. Memang ia rutin berolah raga dan melatih otot tubuh.


Bu Dini menyiapkan sarapan yang sederhana setiap paginya, seperti roti panggang, sereal, telur mata sapi, dan sosis. Tidak ada karbohidrat berlebih. Hal ini mengikuti gaya hidup Hazell dan Oliver. Jo pun tak masalah, karena selama ini ia bahkan tidak pernah sarapan dan makan siang.


"Dek, nanti pulang sama gue, ya? Lo nggak ada kegiatan apa-apa, 'kan?" tanya Oliver. 


Jo menggeleng. Mulutnya sibuk mengunyah roti panggang dengan tumpahan madu.


Berbeda dengan Hazell yang tidak begitu banyak bicara. Oliver selalu benci suasana yang sepi dan hening. Bahkan, ia pernah menyebabkan keributan saat ujian, hening dan menegangkan. Ia sampai disuruh pindah mengikuti ujian di Ruang Konseling sendirian.


"Nanti malem, Ibu mau dateng dan nginep di sini sekitar dua malam. Ayah pergi ke Surabaya untuk urusan bisnis," jelas Hazell tanpa basa-basi. "Jo, kalau besok kamu nggak capek dan nggak ada kegiatan, temenin Ibu jalan-jalan, ya? Olv pasti nggak m-"


"Mau, mau," kata Oliver dengan wajah kusut. "Kalau cuma berdua sama Ibu, gue nggak mau. Tapi, kalau ada Jo, gue, sih, ayo aja." Ia menaikkan alis sambil menyengir lebar.


Hazell mengangguk. "Berarti, lo yang nyetir, ya."


"Siap!" seru Oliver semangat.


"Ibu mau jalan-jalan kemana emangnya, Kak?" tanya Jo, bermaksud untuk mengalihkan denyutan otaknya yang menyakitkan. "Apa Ibu mau belanja lagi? Atau jalan-jalan ke tempat wisata?"


Hazell mengangkat bahu. "Semoga aja ke tempat wisata. Kakak tahu kalian berdua nggak suka ke mall, apalagi ke pasar," sahut Hazell bijak.


"Kalaupun harus belanja, asalkan ada Jo, gue jabanin, dah. Gue nggak bakal ngebiarin Jo berdua aja sama Ibu. Bisa-bisa Jo pingsan kayak waktu itu, gara-gara mabok parfum di mall dan diajak Ibu keliling mall seharian," ujar Oliver. Ada rasa kesal di sana, karena ia khawatir.


Jo terkekeh-kekeh. "Itu, 'kan, dulu. Sekarang Jo udah biasa," tanggap Jo.


Hazell menepuk punggung Oliver agak keras, tepat saat Oliver hampir meminum jus apelnya. "Gila, lo, A! Kalau tumpah gimana?" Oliver meninggikan nadanya.


"Santai, kayak lo nggak punya baju lain aja," tanggap Hazell dengan tetap tenang. "Gue duluan. Lo sama Jo, ya. Jagain. Jangan ngebut." Ia beralih menatap Jo yang masih mengunyah. "Dek, kalau nggak enak badan, ke UKS aja. Atau, bilang Olv buat anterin kamu pulang. Pake jaket juga."


"Yes, Sir." Jo mengangkat tangan kanannya dan hormat pada Hazell.


Hazell mengusap puncak kepala Jo, lalu sekali lagi memukul punggung Oliver. "Duluan. Kalian hati-hati." Ia beranjak dari meja makan, lalu pergi dengan membawa tas ransel miliknya, jaket merah maroon favoritnya, dan tak lupa membawa kunci mobil miliknya.


Oliver menggerakkan tangan kirinya untuk melihat jam pada jam tangannya. "5 menit lagi, deh."


Jo hanya mengangguk. Ia menurut saja.


🌼🌼🌼

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status