Selama ini, bangunan yang bisa ia sebut sebagai rumah hanyalah saksi bisu yang kini sudah terjual, dengan uang hasil penjualan telah Jo terima sepertiganya, sisanya ia berikan pada Daisy dan Hazell sebagai biaya kebutuhan persidangan selama ini. Meski Daisy dan Hazell menolak, tapi Jo memaksa dengan sangat keras kepala.
Kini, Jo telah memiliki tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah tanpa membuatnya harus berpikir berkali-kali untuk pulang, karena di rumah ini ia tak perlu merasa takut. Di rumah ini, ia merasa sangat nyaman dan aman. Bahkan, kalau bisa, ia ingin ada di rumah seharian penuh dan berkumpul bersama kakak-kakaknya, Hazell dan Oliver.
Sejak masalah itu, Hazell membawa Jo tinggal di apartemen miliknya. Setahun kemudian, Oliver ikut merantau ke Jakarta untuk bersekolah di SMA swasta elite dengan beasiswa yang ia terima. Rendyka memang awalnya tak mau mengakui Jo sebagai anaknya, tapi ia akhirnya menuruti kemauan June. Ia membelikan sebuah rumah dua tingkat untuk tempat tinggal ketiga anaknya. Ya, kini Rendyka mulai mengakui Jo sebagai anaknya, meski ia belum mau menatap Jo dan bersikap hangat pada Jo. Jo awalnya tak mempermasalahkan itu, tapi belakangan ia merindukan sosok ayah. Sementara, ia mendapatkan sosok ibu dari June.
Sejak masalah itu, keluarga yang paling hancur adalah keluarga Jully. Jully meninggalkan Fredy dan April. Kini, hubungan Oliver dan April pun merenggang. Meski Fredy masih menepati janji untuk bertanggung jawab terhadap Jo atas perbuatan Jully, tapi ia juga berusaha menjaga jarak dengan Jo dan keluarga Rendyka. Tentu saja Jo yang tahu hal itu pun merasa bersalah, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak. Lebih tepatnya, Hazell dan Oliver yang menyuruhnya untuk tidak berbuat apa-apa.
Kini, sudah tiga tahun berlalu semenjak itu. Jo juga diterima di sekolah yang sama dengan Oliver, juga dengan beasiswa penuh.
Seperti biasa, Jo selalu bangun jam 4 pagi, meski sudah tidak ada Adianto yang menuntutnya untuk membersihkan rumah dan memasak. Padahal, di rumah ini sudah ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan, yaitu Bu Dini yang bertugas bagian kebersihan dan di dapur dan Mbak Ika yang bertugas mencuci dan menyeterika pakaian. Jo selalu bangun jam 4 pagi dan tidak bisa tidur lagi. Pada akhirnya, ia akan selalu membangunkan kakak-kakaknya untuk Sholat Subuh berjamaah. Meski ia sedang berhalangan, ia tetap akan membangunkan kakak-kakaknya.
Usai mandi, Jo langsung bersiap dengan seragamnya. Lalu, ia pergi ke kamar Hazell di kiri kamarnya. "Kak Zell, bangun. Ayo, subuhan." Ia mengetuk pintu tiga kali, sudah cukup untuk membangunkan Hazell. Lalu, ia beralih ke kamar di sisi lain kamarnya. Ia tak perlu mengetuk pintu. Ia harus langsung masuk dan mengguncang tubuh Oliver. "Kak Olv, ayo, bangun. Subuhan bareng."
Oliver memutar badannya yang semula berbaring miring memunggungi Jo menjadi terlentang. "Emang lo nggak ngantuk apa, Dek? Lo bangunnya pagi banget." Suaranya masih terdengar parau, khas orang baru bangun tidur.
"Nggak, Jo nggak bisa tidur," jawab Jo.
Mata Oliver terbuka lebar, seakan ia tidak habis tidur. Ia melirik menatap wajah Jo yang didapatinya agak pucat. Dengan cepat, ia pun bangkit untuk duduk. Kedua tangannya langsung meraih pipi Jo yang agak tembem. "Kok, pucet, Dek? Ada yang sakit? Kalau sakit, nggak usah masuk sekolah."
Jo terkekeh-kekeh. "Kayak nggak tahu cewek aja, Kak. Kakak, 'kan, punya pacar," ujar Jo, seraya menurunkan kedua tangan hangat kakaknya.
"Oh," tanggap Oliver singkat. "Tapi, bener nggak papa, 'kan?"
"Iya, Kak. Wajar, dong, kalau cewek sakit perut pas menstruasi." Jo merapikan rambut Oliver yang acak-acakan. "Kakak mandi dan keramas, gih. Rambutnya lepek."
Jo cepat berbalik dan keluar dari kamar Oliver. Ia bergegas turun dari lantai dua rumah menuju ruang makan di lantai satu. Ia melihat Bu Dini ada di ruang makan, sedang membersihkan meja itu, lalu merapikan peralatan makan di atasnya.
"Pagi, Bu," sapa Jo dengan senyum merekah. "Ada yang bisa Jo bantu?"
"Eh, Si Neng, teh, udah dikasih tahu, masih juga nanya," sahutnya dengan logat Sunda yang kental. "Neng duduk aja, ntar Ibu bawain teh susu." Ia berbalik, lalu pergi dari ruang makan, meninggalkan Jo sendirian di sana.
Jo hanya diam. Sebenarnya, ia tidak suka ditolak, sedikit sakit hati. Tapi, ia tidak bisa apa-apa. Meski selama tiga tahun ini ia mencoba menyesuaikan diri untuk gaya hidup yang berbeda, ia masih sulit menghilangkan kebiasaan untuk membantu dan melakukan sesuatu. Jo anak yang aktif, senang kegiatan fisik, ramah, dan periang, meski ia bukan tipe yang banyak bicara. Jika ia dilarang melakukan sesuatu, seakan itu hal terburuk baginya.
Tubuh Jo tidak melawan seperti sebelumnya, dan mungkin ini untuk pertama kalinya. Biasanya, ia akan tetap pergi ke dapur dan melakukan sesuatu. Kali ini, keinginan dan tubuhnya tidak sependapat. Kepala yang terus-menerus berdenyut membuatnya lebih diam dari biasanya. Perutnya sakit dan mual, menyuruhnya untuk tidak banyak bergerak. Ia pun memilih duduk manis di kursi meja makan. Kali ini, ia akan menunggu orang-orang melayaninya.
Bu Dini datang dengan secangkir teh earl drey yang ditambahkan dengan susu, minuman kesukaannya. "Makasih, Bu." Lalu, Bu Dini kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya.
Tak lama, Hazell turun lebih dulu. Ia telah rapi dengan pakaian kasual, seperti biasa. Ia bukan polisi yang harus selalu memakai seragam. Ia lebih seperti detektif yang pekerjaannya adalah menyelidiki dengan berbagai cara. Ia bukan polisi yang memulai dari bawah. Begitu lulus SMA, ia lanjut kuliah di jurusan Hukum dan Psikologi. Ya, bahkan ia meraih cumlaude untuk kedua jurusan itu. Setelahnya, barulah ia menjadi polisi. Bahkan, tahun lalu ia baru menyelesaikan S2 untuk jurusan Forensik. Sudah tampan, pintar, dan bertanggung jawab.
"Dek, kata Olv kamu sakit?"
Jo mengangkat kepala dan menatap netra dingin Hazell yang hangat. "Ih, nggak. Udah dibilangin, Jo tuh lagi haid hari pertama. Cuma sakit perut aja."
"Minum vitamin penambah darah, biar nggak lemes," ujar Hazell.
Jo mengangguk. Tanpa disuruh pun ia akan melakukannya.
Saat ia diselamatkan oleh Hazell tiga tahun lalu, ia menjalani pemeriksaan menyeluruh, sekaligus visum untuk keperluan penyelidikan dan persidangan. Banyak hal tentang kesehatan dirinya yang tidak ia ketahui, seperti adanya kista di rahimnya, penyumbatan pembuluh darah di kepala akibat benturan keras, maag kronis karena terlalu sering menahan lapar, dan anemia akibat kurang gizi. Sejak itu, ia tak pernah lupa meminum vitamin untuk menjaga kesehatan tubuhnya.
Oliver datang dengan heboh. Ia melompat dari anak tangga ketiga, lalu berlari kenruang makan. "Ayo, sarapan!" Ia selalu paling semangat kalau sudah menyangkut makan. Hebatnya, tubuhnya tetap terjaga atletis seperti Hazell. Memang ia rutin berolah raga dan melatih otot tubuh.
Bu Dini menyiapkan sarapan yang sederhana setiap paginya, seperti roti panggang, sereal, telur mata sapi, dan sosis. Tidak ada karbohidrat berlebih. Hal ini mengikuti gaya hidup Hazell dan Oliver. Jo pun tak masalah, karena selama ini ia bahkan tidak pernah sarapan dan makan siang.
"Dek, nanti pulang sama gue, ya? Lo nggak ada kegiatan apa-apa, 'kan?" tanya Oliver.
Jo menggeleng. Mulutnya sibuk mengunyah roti panggang dengan tumpahan madu.
Berbeda dengan Hazell yang tidak begitu banyak bicara. Oliver selalu benci suasana yang sepi dan hening. Bahkan, ia pernah menyebabkan keributan saat ujian, hening dan menegangkan. Ia sampai disuruh pindah mengikuti ujian di Ruang Konseling sendirian.
"Nanti malem, Ibu mau dateng dan nginep di sini sekitar dua malam. Ayah pergi ke Surabaya untuk urusan bisnis," jelas Hazell tanpa basa-basi. "Jo, kalau besok kamu nggak capek dan nggak ada kegiatan, temenin Ibu jalan-jalan, ya? Olv pasti nggak m-"
"Mau, mau," kata Oliver dengan wajah kusut. "Kalau cuma berdua sama Ibu, gue nggak mau. Tapi, kalau ada Jo, gue, sih, ayo aja." Ia menaikkan alis sambil menyengir lebar.
Hazell mengangguk. "Berarti, lo yang nyetir, ya."
"Siap!" seru Oliver semangat.
"Ibu mau jalan-jalan kemana emangnya, Kak?" tanya Jo, bermaksud untuk mengalihkan denyutan otaknya yang menyakitkan. "Apa Ibu mau belanja lagi? Atau jalan-jalan ke tempat wisata?"
Hazell mengangkat bahu. "Semoga aja ke tempat wisata. Kakak tahu kalian berdua nggak suka ke mall, apalagi ke pasar," sahut Hazell bijak.
"Kalaupun harus belanja, asalkan ada Jo, gue jabanin, dah. Gue nggak bakal ngebiarin Jo berdua aja sama Ibu. Bisa-bisa Jo pingsan kayak waktu itu, gara-gara mabok parfum di mall dan diajak Ibu keliling mall seharian," ujar Oliver. Ada rasa kesal di sana, karena ia khawatir.
Jo terkekeh-kekeh. "Itu, 'kan, dulu. Sekarang Jo udah biasa," tanggap Jo.
Hazell menepuk punggung Oliver agak keras, tepat saat Oliver hampir meminum jus apelnya. "Gila, lo, A! Kalau tumpah gimana?" Oliver meninggikan nadanya.
"Santai, kayak lo nggak punya baju lain aja," tanggap Hazell dengan tetap tenang. "Gue duluan. Lo sama Jo, ya. Jagain. Jangan ngebut." Ia beralih menatap Jo yang masih mengunyah. "Dek, kalau nggak enak badan, ke UKS aja. Atau, bilang Olv buat anterin kamu pulang. Pake jaket juga."
"Yes, Sir." Jo mengangkat tangan kanannya dan hormat pada Hazell.
Hazell mengusap puncak kepala Jo, lalu sekali lagi memukul punggung Oliver. "Duluan. Kalian hati-hati." Ia beranjak dari meja makan, lalu pergi dengan membawa tas ransel miliknya, jaket merah maroon favoritnya, dan tak lupa membawa kunci mobil miliknya.
Oliver menggerakkan tangan kirinya untuk melihat jam pada jam tangannya. "5 menit lagi, deh."
Jo hanya mengangguk. Ia menurut saja.
🌼🌼🌼
Jo dan Oliver tiba di parkiran tepat pukul 06.30, masih ada waktu 30 menit sebelum bel berbunyi. Seperti biasa, Oliver akan mengantar Jo sampai depan kelas, lalu meninggalkannya setelah Jo duduk di bangkunya. Walaupun kelas mereka sama-sama di lantai tiga, tapi kelas mereka benar-benar berjauhan. Kelas Jo ada di ujung gedung sayap kanan, dan kelas Oliver ada di sisi berlawanan. Meski Jo selalu menolak, pada akhirnya ia menyerah dan membiarkan kakaknya melalukan apa yang dia mau.Kelas masih sepi, seperti biasa. Jo membuka buku sakunya dan mengulang pelajaran yang telah ia rangkum sejak awal masuk sekolah dua bulan lalu. Seperti inilah cara ia belajar. Ia tidak begitu memaksakan diri dalam hal belajar. Meski orang-orang beranggapan ia sangat santai, sejujurnya ia belajar setiap ada waktu senggang dengan membaca buku sakunya ini."Morning, Babe." Seseorang memeluknya dari samping. "How are you today? How's your Ha
Mendengar kabar dari Oliver, tanpa pikir panjang pun Hazell langsung tancap gas meninggalkan kantor kepolisian dan segala pekerjaannya. Meski ia tahu telah menyalahgunakan sirine kecil di mobilnya, tapi ia tetap memasang sirine demi mendapatkan jalan tanpa hambatan. Bagaikan sedang melalukan pengejaran pada tersangka. Ia berhasil memecah kemacetan, membuat waktu tempuh menjadi lebih singkat. Biasanya, ia akan membutuhkan waktu 30-45 menit, kali ini ia memangkas itu menjadi 20 menit saja.Begitu tiba di parkiran mobil, ia langsung berlari menembus lobi. Ia langsung menemukan lokasi UKS yang berada di lantai satu, di ujung lorong kiri. Ia berlari cepat dengan menghasilkan gaung di dalam lorong yang telah sepi. Tangannya dengan cepat meraih pintu UKS. Pintu itu pun langsung ia dorong agar terbuka. Netra dinginnya yang terbuka lebar itu langsung mendapatkan sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya."Ah, Kak Zell,"
Pagi ini, langit terlihat sangat pucat, sepucat dirinya yang terlihat pada pantulan cermin besar di kamar mandi lantai dua yang biasa dipakai bersama dengan kedua kakak laki-lakinya. Matahari memang terlihat, tapi sinarnya tertutup oleh kelabunya langit karena awan mendung yang tersebar merata. Sama seperti dirinya yang merasa hidup, tapi di saat yang sama juga merasa seperti tidak hidup. Rasanya, tak ingin keluar dari kamar mandi karena malu memperlihatkan wajahnya yang mengerikan dan mengenaskan ini.Beberapa belas menit lalu, Jo terbangun. Saat itu sudah jam 6 pagi, bahkan ia tak pernah bangun sesiang itu meski saat sakit. Tapi, meski hari ini ia bangun jam 6, ia tetap merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia merasa seakan tidurnya benar-benar kurang. Padahal, dulu, saat masih tinggal dengan Adianto, meski tubuhnya sakit hasil siksaan papanya, meski ia demam karena infekai dan radang di sekujur tubuhnya akibat siksaan papanya, ia tetap akan
Seperti biasa, Oliver mengantar Jo sampai adiknya benar-benar duduk manis di bangkunya. Tidak. Kali ini, Oliver harus memastikan Jo memberi isyarat padanya untuk meninggalkannya. Sebuah tatapan hangat dan senyum manis yang selalu membuat Oliver tenang, cukup sebagai isyarat dari adiknya. Jadilah ia pergi meninggalkan kelas adiknya.Kelas sangat sepi, tapi Oliver tidak perlu cemas. Kelas itu mungkin tertutup, tapi memiliki banyak jendela yang membuat ia yakin bahwa adiknya tak akan takut berada di kelas sendirian. Bahkan, ia yakini, adiknya itu lebih nyaman berada di sekolah dibanding rumah. Bagaimanapun juga, dulu, sekolah adalah tempat Jo untuk jauh dari mimpi buruk kehidupannya, sekalipun ia tak punya teman.Berbeda dengan apa yang Jo rasakan hari itu. Jika Oliver merasa tenang adiknya telah duduk manis di kelasnya, Jo sebaliknya. Ia ingin cepat-cepat berpisah dengan kakaknya yang protektif itu. Usai memastikan pendengarannya tidak salah,
Tidak mungkin Oliver yang protektif itu tidak mencurigai seorang Rajendra Sadhana yang nyatanya adalah murid baru di sekolah dan sudah berhasil membuat adiknya seakan-akan terpikat. Meski jauh di dalam akal sehatnya ia yakini bahwa adiknya adalah orang baik yang tidak bisa mengatakan 'tidak'. Bahkan, saking polosnya adiknya itu, ia sampai takut bahwa adiknya akan mudah ditipu. Dan kini, ia, Ezra, dan Eva pun mengikuti kemana Jo dan Jendra pergi.Saat bel istirahat pertama berbunyi, Jendra langsung menarik Jo untuk mengantarnya berkeliling sesuai perjanjian dua jam sebelumnya. Jo mengajaknya berkeliling Gedung Akademik, yaitu tempat segala aktivitas akademik berlangsung. Jo juga mengenalkan Jendra pada beberap guru yang melintas, begitu ramah. Jo bahkan ramah pada pekarya di sekolah itu, membuat dirinya cukup terkenal di kalangan guru, staf, dan karyawan. Dan tak terasa bahwa istirahat pertama pun habis hanya untuk berkeliling Gedung Akademik dan kantin di belaka
Cuaca di akhir pekan sangat cerah, membuat orang-orang tetap semangat untuk produktif. Terutama Jo. Seorang Jolanka yang paling tidak bisa diam saat ada waktu senggang. Baginya, waktu senggang adalah waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dari sekedar rebahan dan bermalas-malasan.Kebetulan, Hazell sedang libur dari pekerjaannya. Sementara Oliver harus ke sekolah, dan akan terus berlangsung seperti itu setiap dua minggu sekali di hari Sabtu selama satu semester ini untuk kelas tambahan persiapan Ujian Nasional.Usai sarapan, Jo mengajak Hazell untuk menemaninya bermain basket di lapangan basket klaster mereka. Lapangan itu jarang dipakai, karena penghuni klaster ini rata-rata adalah orang dewasa dan suami-istri yang baru menikah, anak-anak pun lebih banyak pergi ke taman bermain. Sementara, para orang dewasa lebih senang bersantai di rumah.Hazell dan Oliv
Hazell menutup pintu mobilnya dengan kuat, lebih seperti membantingnya. Jika tidak mengukur tenaga dan mengontrol emosinya, mungkin kaca mobilnya bisa pecah. Tapi, ia bukan orang bodoh yang tidak bisa mengontrol amarahnya. Baginya, lebih sulit mengontrol perasaan cemas dan rasa bersalah ketimbang amarah.Usai menghubungi Rendyka, ia pergi meninggalkan rumah sakit. Ia tak mau terlalu lama berpisah dengan adiknya yang kini masih setia dalam pejam lelahnya. Namun, ia harus segera menyelesaikan permasalahan ini. Ia tak mau dihantui rasa bersalah karena belum berhasil memberikan kebahagiaan pada adik tirinya. Namun, besar perasaan bersalahnya saat ini tertutupi oleh kekecewaan pada sang ayah.Seperti takdir. Hari itu, Rendyka melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta, menghadiri sebuah pertemuan pebisnis di Hotel Shangri-La, Jakarta. Langsung saja Hazell memaksa sang ayah untuk bertemu dengannya. Sebagai anak sulung yang membanggakan, Rendyka tentu
Hazell dan Oliver duduk bersebelahan. Sudah lebih dari 30 menit mereka dalam keheningan, setia pada pikiran masing-masing. Hazell menunduk menatap lantai, sementara Oliver mendangak menatap langit-langit. Hanya satu yang sama pada mereka, perasaan kacau, tatapan kosong penuh kesedihan, dan perasaan yang tak tentu.Menghela napas adalah satu-satunya cara mereka untuk menghapus keheningan yang tercipta. Namun tetap tak ada yang mau membuka mulut untuk berbicara. Mereka masih mencoba mencerna penjelasan Aisyah beberapa saat sebelumnya. Bahkan, saat Aisyah menyuruh mereka untuk memindahkan Jo ke rumah sakit yang lebih baik pun mereka hanya menurut."Glioma Brainstem. Tumor ganas di batang otak yang tidak bisa disembuhkan, bahkan dengan operasi. Meski kemo dan radiasi dilakukan, umur Jo mungkin tak akan bertahan lebih dari 6 bulan lagi."Hazell menghela napas kasar dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Ucapannya pada