Share

Lima: Sekolah

Jo dan Oliver tiba di parkiran tepat pukul 06.30, masih ada waktu 30 menit sebelum bel berbunyi. Seperti biasa, Oliver akan mengantar Jo sampai depan kelas, lalu meninggalkannya setelah Jo duduk di bangkunya. Walaupun kelas mereka sama-sama di lantai tiga, tapi kelas mereka benar-benar berjauhan. Kelas Jo ada di ujung gedung sayap kanan, dan kelas Oliver ada di sisi berlawanan. Meski Jo selalu menolak, pada akhirnya ia menyerah dan membiarkan kakaknya melalukan apa yang dia mau.


Kelas masih sepi, seperti biasa. Jo membuka buku sakunya dan mengulang pelajaran yang telah ia rangkum sejak awal masuk sekolah dua bulan lalu. Seperti inilah cara ia belajar. Ia tidak begitu memaksakan diri dalam hal belajar. Meski orang-orang beranggapan ia sangat santai, sejujurnya ia belajar setiap ada waktu senggang dengan membaca buku sakunya ini.


"Morning, Babe." Seseorang memeluknya dari samping. "How are you today? How's your Handsome Brother?" 


Jo terkekeh-kekeh sambil menatap Eva, sahabatnya sejak masuk sekolah, sekaligus pacar Oliver sejak seminggu lalu. "Tadi, Kak Olv nunggu lama di depan kelas, tapi karna kamu nggak dateng-dateng, jadi dia ke kelasnya. Katanya dia piket pagi."


Eva melempar tasnya ke atas meja di barisan sebelah yang sejajar dengan Jo. "Aku ke kelasnya dulu, deh. Apel pagi." Ia menyengir lebar, lalu berlenggang pergi dengan gesit. Ia bahkan berlari dengan sangat riang dan semangat.


Jo terkekeh-kekeh pelan, lalu kembali membaca catatan sakunya.


Awalnya, Eva yang memang gatal mata dengan lelaki tampan itu hanya sering menggoda Oliver setiap kali ia menemui Jo di kelas saat istirahat pertama dan kedua, entah hanya untuk melihat Jo atau mengajaknya ke kantin dan makan bekal bersama di sana. Awalnya Oliver juga agak risih, bahkan sempat beberapa hari enggan ke kelas Jo karena tidak suka dengan keagresifan Eva padanya. Yah, tapi momen-momen seperti itu hanya berlangsung selama sebulan. Dua minggu lalu, Eva terkejut dan terpesona oleh tubuh Oliver yang tidak sengaja dilihatnya ketika berkunjung ke rumah Jo untuk kerja kelompok. Sejak itulah, keduanya sama-sama jatuh cinta. Jo tidak begitu paham, tapi ia mengamati kehidupan Eva-Oliver selama ini.


Pening di kepala Jo tiba-tiba saja makin menjadi, sampa mata Jo sempat menggelap dan tubuhnya seakan menjadi ringan. Cepat-cepat ia menutup buku sakunya dan menarik punggungnya untuk bersandar pada sandaran kursinya. Ia memijit pelipisnya usai menyeka keringat yang sempat merembes di sana. Perutnya pun semakin terasa aneh, sakit dan mual. Sakitnya bukan hanya dari bagian bawah perut akibat menstruasi, tapi juga dari uluh hati. Padahal ia sudah makan dan sudah minum vitamin, tapi ternyata tak banyak berpengaruh. Tak pernah seperti ini sebelumnya.


Sejak pening menyerang dengan menjadi-jadi, ia memejamkan mata. Bahkan, telinganya seakan tidak bisa mendengar apa-apa kecuali dengungan aneh yang membuat kepalanya semakin sakit. Ia bahkan tidak sadar bahwa seseorang telah berdiri di sebelah kirinya. Jo sampai terlonjak kecil ketika matanya ditutupi oleh tangan yang begitu hangat dan nyaman. Refleks ia menarik tangan itu menjauh agar ia dapat melihat pelakunya. Itu Ezra.


"Lo nggak papa, Jo? Kayak lagi nahan sakit," ujar Ezra. Meski ia terkenal dingin dan cuek, tapi ia selalu peduli pada Jo. Bagaimana tidak? Jo adalah temannya sejak SMP. Bukan karena mereka pernah satu sekolah, tapi karena Ezra adalah anak Daisy.


Jo kembali bersandar dan menaruh kembali tangan Ezra yang hangat itu di atas matanya. "Sakit kepala, mual, sakit perut," sebutnya. "Mungkin karena haid hari pertama. Padahal, udah minum vitamin darah dan penghilang rasa sakit," ungkapnya.


"Mau gue anter ke UKS? Atau gue panggilin Bang Olv?"


Jo menggeleng. "Bentar lagi juga baikan. Sebentar aja kayak gini."


Ezra tidak menanggapi. Ia bahkan tidak bergerak sedikitpun. Ia membiarkan Jo menikmati tangan itu yang menutupi matanya yang terpejam.


"Maaf, aku ngerepotin kamu lagi, Zra."


Ezra masih diam. Meski ia benci Jo yang selalu minta maaf dan berpikir dirinya menyusahkan, ia tidak pernah mau lagi menceramahi Jo karena hal ini. Sejujurnya, Ezra senang dirinya bisa berguna dan membantu Jo. Ia tahu betul bagaimana kehidupan Jo. Dulu, Jo menceritakan semuanya padanya. Sejak itu, ia akui ia telah sangat menyayangi dan mempedulikan Jo. Bahkan, belakangan ini ia sadar bahwa dirinya menyukai Jo lebih dari sahabat.


🦋


Sekolah berakhir pukul 3 sore. Banyak murid yang langsung meninggalkan sekolah, seakan mumet dengan pelajaran dan sistem sekolah full day yang menuntut mereka untuk fokus selama 8 jam penuh.


Oliver mendatangi kelas Jo, seperti biasa, seakan kelasnya selalu selesai lebih dulu dari kelas lainnya. Bahkan, ia masuk ke dalam kelas. Bukan hanya untuk menemui adiknya, tapi juga sahabat adiknya yang tak lain adalah pacarnya, Eva. Dan, selagi menunggu Jo selesai merapikan barang-barangnya, Oliver akan banyak menghabiskan waktu untuk bermesraan dengan Eva di hadapan Jo dan Ezra.


"Bang, lo bucin banget, sih," tukas Ezra yang masih membantu Jo mengangkat kursi ke atas meja.


"Berisik, deh. Bilang aja lo iri, dasar jomblo!" tukas Oliver ketus.


Jo terkekeh-kekeh. "Kak Olv pulang sama Eva aja, gih. Jo sama Ezra." Jo menarik tubuhnya ke sebelah Ezra, lalu menggandeng tangan Ezra yang selalu hangat dan menenangkan. Sejak dulu, Ezra-lah yang banyak menemaninya, bahkan selalu membantunya menenangkan diri selama mengikuti persidangan.


"Nggak bisa, gue bakal dibunuh A Zell kalau sampe lo nggak pulang bareng gue," ujar Oliver, terdengar panik. "Lagian, Eva juga selalu antar-jemput supir. Gue bisa digorok papanya kalau nganterin dia pulang naik motor tanpa helm," tambahnya.


Eva merangkul manja lengan Oliver yang kekar. "Besok ngapelin gue, dong, Kak. Besok malem, soalnya Papa-Mama pergi kondangan, gue sendirian. Ntar bawain gue martabak sekalian."


Oliver membelai kepala Eva dengan manis. "Sure."


Ezra bergidik. "Gila, geli gue," gumamnya. "Yuk, Jo, kita jalan duluan aja ke parkiran. Geli gue lama-lama di sini ngeliatin bucin."


Jo terkekeh-kekeh, tak mau berkomentar. 


"Yee! Bilang aja lo iri, Jombs," tukas Oliver.


Ezra mengabaikan itu. Ia tetap berjalan dengan menggandeng tangan kiri Jo yang seharian ini terasa dingin dan lembab. Tidak mungkin dirinya tidak sadar dan tidak cemas. Ia sangat cemas seharian ini.


Baru keluar kelas, tiba-tiba saja Jo merasa seperti hampir kehilangan kesadarannya. Kejadian terjadi begitu cepat tanpa pemberitahuan. Mata Jo menggelap dan tubuhnya menjadi ringan. Ia hampir saja jatuh ke atas lantai dingin yang keras kalau saja ia tak segera meraih sesuatu untuk berpegangan. Dan untungnya, ada Ezra di sana yang koloh bak benteng yang dengan sigap menahan tubuhnya.


"Jo!" Otomatis Ezra beraseru. Perlahan-lahan ia merendahkan tubuhnya yang tak begitu siap untuk menahan tubuh Jo yang terkulai lemas.


Tes


"Jo, lo mimisan." Tangan Ezra dengan cepat bergerak ke wajah Jo yang super pucat. Ia langsung menekan hidung Jo untuk menghentikan perdarahan. "Nafas lewat mulut. Jangan panik, jangan tidur. Stay with me, okey?


Derap langkah lari berhenti tepat di belakang mereka. Oliver berjongkok dan membantu Ezra menahan tubuh Jo yang seakan tak bertulang. "Dek, lo kenapa? Bisa denger suara gue?"


"Pu-sing." Bahkan, suara yang ia keluarkan lebih pelan dari sebuah bisikan.


"Bawa ke UKS aja," usul Eva.


"Zra, bantu gue angkat Jo ke punggung gue, ya."


Ezra tak perlu mengiyakan. Ia langsung sigap melakukan sedemikian cara untuk menaruh tubuh Jo di atas punggung Oliver. Ia turut menahan tubuh Jo agar tidak lepas ketika Oliver berdiri. Ia pun berjalan di belakang Oliver, menjaga dan memastikan Jo tidak melepaskan pelukannya pada leher Oliver, sementara darah masih terus keluar dari kedua lubang hidungnya.


Eva berlari di balakang kedua lelaki itu dengan membawakan tas ransel milik Jo yang cukup berat untuk tubuh Jo yang kurus dan tidak begitu tinggi itu. Bukan hanya Oliver dan Ezra yang cemas. Ia juga tahu bagaimana masa lalu Jo. Melihat Jo seperti ini, tentu saja ia ikut mencemaskan sahabatnya.


UKS berada di lantai satu. Mereka langsung membaringkan Jo di kasur yang pertama kali mereka lihat. Untungnya, dokter sekolah belum pulang. Setidaknya, ada yang bisa membantu Jo. Jujur saja, Oliver, Ezra, dan Eva sangat panik dan tidak tahu harus berbuat apa untuk Jo.


Dokter Airin, dokter sekolah, memiringkan tubuh Jo ke satu sisi, meski ia tahu mimisan yang Jo alami berasal dari kedua lubang hidungnya. Meski seprai putih brankar kotor oleh darah Jo, Airin bertindak cepat. Ia menyuruh Ezra menekan hidung Jo dan memastikan Jo bernapas dari mulut, sementara Oliver diminta untuk melepaskan ikat pinggang, pengait kerudung, melongarkan rok, bahkan melepaskan kait bra yang dikenakan Jo. Sementara Eva hanya bisa berdiri di kejauhan dengan wajah pucat karena cemas.


Tak perlu menunggu 15 menit. Airin meraih sebuah ampul dari lemari obat dan sebuah syringe. Ia memindahkan obat di dalam ampul itu ke dalam syringe, lalu dengan sigap menyuntikkan Vitamin K1 ke dalam pembuluh darah di tangan Jo dengan bantuan tekanan Oliver di lengan Jo. Ia hanya perlu menunggu darah berhenti selagi ia memasangkan infus dengan cairan kristaloid isotonik berupa ringer lactate untuk Jo yang telah hilang kesadaran.


"Jadi, Jo kenapa?" tanya Airin usai memberi tindakan pada Jo di tengah suasana yang menegangkan. 


"Tiba-tiba pingsan dan mimisan," jawab Ezra. "Dari pagi udah ngeluh pusing, mual, dan sakit perut -"


"Kok, lo nggak bilang gue, Zra?" Oliver terdengar marah.


Ezra tahu ia salah, tapi ia tetap tidak suka dibentak. Ia mencoba menahan emosi. "Jo maksa gue."


Oliver tidak melanjutkan amarahnya. Ia tahu betul sifat Jo yang satu ini, tidak suka menyusahkan orang. Sejujurnya, ia iri karena Jo mau berkeluh pada Ezra dibanding dirinya yang notabene adalah kakak kandungnya.


"Jo juga lagi menstruasi," timpal Eva yang diam sedari tadi.


Airin memgangguk. "Yah, emang, sih. Konjungtiva matanya pucat, sangat. Kulitnya putih kayak transparan. Tekanan darahnya 80/60, kerendahan. Dia anemia dan tekanan darah rendah," sebutnya. "Makan?"


"Dia masih makan siang tadi. Dia juga udah minum vitamin darah dan parasetamol," jawab Oliver. Lalu, ia berdecak. "Gue telpon A Zell dulu, minta jemput." Ia melebarkan langkahnya dan keluar dari UKS.


Airin menghela napas kasar, seraya membalikkan badan. "Kalian tunggu sini bentar, saya ambilin air dan baskom dulu buat bersihin darah di wajahnya Jo." Lalu, ia pergi keluar UKS.


"Jo, lo kenapa, sih?" gumam Eva dengan suara bergetar. Ia terduduk lemas di hadapan wajah pucat Jo. Ia menyeka keringat yang merembes mengenaskan di sana. "Kapan lo nggak menderita, sih? Nggak kuat gue lihat lo menderita. Alam nggak adil banget buat lo."


Ezra mengusap kepala Eva. Ia tahu Eva pacar Oliver, tapi Eva juga sahabatnya. "Jangan sampe Jo lihat muka lo kayak gini, Va. Dia bakal minta maaf."


"Padahal, dia nggak salah apa-apa," tanggap Eva.


Pintu UKS terbuka. Oliver kembali dengan langkah tegas. "Bentar lagi A Zell dateng. Kalian berdua kalau mau pulang, duluan aja. Nggak enak gue kalau kalian pulang kesorean."


Eva menggeleng. "Masih mau di sini, nunggu Jo sadar."


Oliver membelai kepala Eva. "Lo tahu Jo nggak suka wajah lo yang murung gitu." Eva mengangguk sambil menyeka air mata yang mengalir lembut di pipinya. "Udah, pulang aja. Ntar gue kabarin. Lo juga, Zra."


Ezra mengangguk. "Titip Jo, Bang." 


Ia menarik tubuh Eva untuk berdiri, lalu membantunya berjalan keluar dari UKS dengan langkah gontai.


"Dek, lo kenapa tiba-tiba gini? Apa yang lo sembunyiin dari gue, Dek?"


🌼🌼🌼

🌼🌼🌼

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status