Share

Enam: Sakit

Mendengar kabar dari Oliver, tanpa pikir panjang pun Hazell langsung tancap gas meninggalkan kantor kepolisian dan segala pekerjaannya. Meski ia tahu telah menyalahgunakan sirine kecil di mobilnya, tapi ia tetap memasang sirine demi mendapatkan jalan tanpa hambatan. Bagaikan sedang melalukan pengejaran pada tersangka. Ia berhasil memecah kemacetan, membuat waktu tempuh menjadi lebih singkat. Biasanya, ia akan membutuhkan waktu 30-45 menit, kali ini ia memangkas itu menjadi 20 menit saja.


Begitu tiba di parkiran mobil, ia langsung berlari menembus lobi. Ia langsung menemukan lokasi UKS yang berada di lantai satu, di ujung lorong kiri. Ia berlari cepat dengan menghasilkan gaung di dalam lorong yang telah sepi. Tangannya dengan cepat meraih pintu UKS. Pintu itu pun langsung ia dorong agar terbuka. Netra dinginnya yang terbuka lebar itu langsung mendapatkan sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya.


"Ah, Kak Zell," ucap Jo yang sudah duduk di tepi brankar. Masih ada jarum infus di tangan kanannya. Wajahnya masih pucat, bahkan seakan kulitnya transparan. Kantung matanya hitam, bibirnya putih dan terlihat kering pecah-pecah. Hal yang lebih mengerikan, ada nasal kanula terpasang di hidungnya. Membuat kondisinya terlihat benar-benar mengenaskan.


"Ayo, ke rumah sakit!"


Hazell memperlebar langkahnya, mendekati Jo dan Oliver di sana hanya dengan tiga langkah besar. Tangannya yang berkeringat dingin oleh kecemasan itu langsung menyentuh wajah Jo yang pucat. Ia mencoba mengukur suhu tubuh Jo, menatap netra sayu Jo yang seakan memaksakan diri untuk terus terbuka lebar. 


"Apa yang kamu rasakan?" tanya Hazell tegas, seakan ia menuntut jawaban jujur dari adiknya yang sering kali tak mau mengatakan hal yang sebenarnya tentang apa yang dirasakannya. "Jangan ada kata 'dikit' atau 'agak'. Kamu tahu Kakak nggak suka jawaban nggak terukur kayak gitu."


Jo mengulas senyum dan terkekeh-kekeh. "Pusing, mual, dan sakit perut," jawab Jo dengan ringan. "Jangan berlebihan, Kak. Maaf, bikin Kakak khawatir. Jo udah nggak apa-apa."


Hazell menatap Jo dengan dingin. Ia tahu bahwa ungkapan "udah nggak apa-apa" yang diungkapkan Jo adalah kebohongan.


Merasakan kehadiran seseorang di belakangnya, Hazell membalikkan badan dan menghadap perempuan berambut sepanjang bahu yang sedang berdiri dengan melipat kedua tangan di depan perutnya. Matanya membalas tatapan Hazell yang dingin dan mengintimidasi itu dengan tatapannya yang sinis. Tak peduli lelaki di hadapannya adalah polisi dan memiliki tubuh tinggi tegap, ia bahkan berani menatap Hazell dengan sinis.


"Jelaskan," tuntut Hazell.


"Nggak sopan. Masuk gitu aja, bikin gaduh, dan sekarang mengintimidasi orang. Memangnya saya pelaku kejahatan?" ujar Airin dengan sinis. 


Hazell tidak menanggapi. Tapi, ia menurunkan intensitas emosinya. Kekhawatiran berlebihan pada Jo membuatnya seperti kesurupan. Sebenarnya, bukan hanya untuk Jo. Ia akan benar-benar gila jika itu sudah berhubungan dengan keluarganya.


Airin menghela napas keras. Ia tak mau beradu kekeraskepalaan dengan Hazell. "Jo anemia berat dan tekanan darahnya terlalu rendah. Kalau dibilang kurang gizi, sebenernya nggak. Tapi, menstruasi hari pertama dan kelelahan yang bikin dia kayak gini. Tadi, saya udah tanya langsung ke anaknya. Dia belajar semalaman, sampai hampir jam 1 malam," jelasnya.


Hazell memutar kembali tubuhnya, lalu menatap Jo dengan dingin. Jo tidak merasakan adanya kemarahan dan kebencian dalam netra dingin itu, melainkan kekhawatiran. Jo pun hanya bereaksi dengan kekehan. Akhirnya, Hazell hanya menghela napas dengan sangat berat dan kasar.


"Ayo, ke rumah sa -"


"Nggak," timpal Jo dengan agak berseru. "Kakak tahu Jo nggak suka rumah sakit, 'kan?"


Hazell tersadar. Ia ingat betul bagaimana Jo tiga tahun lalu saat dirawat di rumah sakit pasca ia diselamatkan olehnya dari Adianto.


Jo pingsan ketika Hazell menyelamatkannya usai menangis histeris. Ketika di rumah sakit, alih-alih ia merasa aman dan nyaman, Jo terus menerus mengalami mimpi buruk, mengigau, demam tinggi, hingga kejang. Jo mengalami itu karena ia merasa terkurung di kamar VIP rumah sakit yang dijaga oleh polisi. Menurut psikiater, Jo mengalami fobia dalam ruangan sepi akibat perlakuan Adianto. Butuh waktu lebih dari seminggu agar Jo bisa tenang dan bisa berada di ruangan sepi. Bahkan, saat ini Jo masih melakukan terapi untuk bisa tidur sendiri di kamar dengan ditemani oleh seekor kucing setiap malam.


Hazell kembali menghela napas. "Maaf." Hazell mendekati Jo dan memeluknya. "Kita pulang. Nanti, Kakak panggilin Ais buat periksa kamu di rumah."


Jo mengangguk, lalu ia mencoba untuk turun dari brankar dengan kekuatannya sendiri. Lutut seakan terlepas dari tempatnya. Jo jatuh begitu saja dengan lemas, membuat jarum infusnya hampir terlepas. Untungnya, Jo sudah melepas nasal kanula. 


"Astagah!" Hazell dengan cepat meraih tubuh Jo untuk mengangkatnya dari atas lantai, lalu mendudukkannya kembali di tepi brankar. 


"Dek, jangan langsung berdiri gitu, dong. Kalau anemia, nggak boleh langsung berdiri," ujar Oliver, sedikit berteriak seperti marah, tapi sebenarnya ia hanya panik. "Kak, gendong Adek. Biar infusnya aku yang bawain."


Hazell mengangguk. "Naik." Ia memunggungi Jo dengan sedikit merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Jo.


Jo mendekati punggung Hazell yang bidang. Ia merayap naik ke sana dengan perlahan-lahan, lalu melingkarkan kedua tangannya pada leher jenjang Hazell. 


Hazell menyelipkan kedua tangannya di belakang lutut, lalu mengangkat tubuh Jo yang amat sangat ringan. Ia terkejut. Ia masih ingat betul saat ia mengangkat tubuh Jo tiga tahun lalu. Apa berat badan Jo tidak pernah naik? Atau, dia memang sekurus ini selama ini? Batinnya.


"Makasih, ya, Dok. Maafin Kak Zell, dia memang rada gila," ujar Oliver, seraya berjalan menyusul Hazell dan Jo.


"Iya, iya. Saya paham." Meski mengatakan hal itu, tapi sebenarnya Airin menahan emosi. Ia paling tidak suka jika tidak dihormati.


Mereka tiba di rumah setengah jam kemudian. Jo berbaring di kursi tengah dengan kantung infus menggantung di atas jendela. Sepanjang perjalanan, tidak ada seorang pun yang berbicara. Baik Hazell maupun Oliver, mereka seakan sadar bahwa saat ini Jo sedang menahan perasaan tidak nyaman. Sesekali Oliver menengok ke belakang untuk melihat Jo. Ia sadar, Jo memejamkan mata dengan sesekali meremat perutnya dan mengerutkan kening, kadang bibirnya terlihat bergetar dan merapat. Jo jelas sedang merasa kesakitan, tapi ia menahannya tanpa suara.


Setibanya di rumah, Hazell menggendong Jo hingga kamar. Kantung infus digantungkan pada lampu tidur yang menempel di dinding di atas kepala kasur. Hazell meninggikan kedua kaki Jo dengan menaruh tumpukan bantal di sana. Tak lupa, ia juga melepaskan hijab yang Jo pakai, melepaskan kait bra, membuka semua kancing kemeja, dan membuka rok abu sehingga Jo hanya memakai legging berbahan kaus, lalu menutupinya dengan selimut.


"Miing!"


"Mimi," panggil Jo pada kucing peliharaannya, Mimi. Kucing domestik belang tiga yang telah disteril hingga badannya bulat dan sehat. 


Mimi melompat naik ke atas kasur, lalu berjalan dengan langkah ringan ke arah wajah Jo. Jo tidak membuka mata sejak tadi, karena ia tidak mau kepalanya semakin sakit akibat pencahayaan dan penglihatan yang terasa aneh. Tapi, Jo tahu bahwa Mimi mengendus wajahnya dan menjilat ujung hidung Jo. Jo pun terkekeh-kekeh.


Sekitar 15 menit semenjak mereka sampai di rumah, Aisyah pun tiba. Aisyah adalah dokter yang selama ini menangani Jo sejak tiga tahun lalu. Aisyah adalah dokter yang dulunya ada di bagian anak, kini pindah haluan menjadi dokter bedah umum. Setiap kali Jo sakit, Aisyah akan dipanggil untuk memeriksakan kondisi Jo. Untungnya, Jo jarang sekali sakit parah, paling maagnya yang kambuh. Setiap kali maagnya kambuh, kondisi Jo akan benar-benar terlihat mengenaskan.


Aisyah pun memeriksa Jo dengan sedikit peralatan, hanya ada termometer, spigmomanometer atau alat pengukur tekanan darah, dan pemeriksaan hemoglobin. Selama ia memeriksa, Hazell dan Oliver hanya berdiri di tengah ruangan dengan sabar menunggu Aisyah selesai memeriksa.


"Oke," gumam Aisyah. "Memang tekanan darahnya rendah, hemoglobin rendah, pucat anemia, dan maagnya juga kambuh. Walaupun dia makan teratur, stres juga bisa bikin maag kambuh. Dan, ditambah menstruasi hari pertama dan kelelahan karena tidur larut sekali, maka kondisinya benar-benar langsung drop kayak gini. Tentang mimisannya, kemungkinan besar trombositnya juga turun. Jadi, aku mau ambil sampel darahnya, biar aku bawa ke lab."


Hazell menghela napas berat. "Yaudah, ambil aja darahnya."


"Aku takut dia kena demam berdarah, sih," gumam Aisyah yang mulai mempersiapkan semua keperluan pengambilan darah, seperti jarum dan tabung darah dengan dua warna tutup yang berbeda, ungu dan kuning. "Kalau hasilnya udah keluar, ntar aku kabarin. Sementara, aku resepin antibiotik, obat maag, dan obat mual. Kalau ada tambahan obat, ntar aku kirimin."


"Oke. Makasih, Syah," ujar Hazell lembut.


Jo terkekeh-kekeh.


"Ngapain kamu ketawa? Nggak sadar apa kalau semua kayak gini gara-gara khawatirin kamu?" tukas Aisyah, tentu ia tidak serius.


Jo masih terkekeh-kekeh. Tawanya terdengar lirih. "Kak Zell kalau ketemu cewek jutek banget, cuma sama Kak Ais aja jadi lembut."


Oliver mengangguk setuju. 


Hazell menepuk punggung Oliver agak keras, sampai membuat Oliver sedikit terdorong. Tapi, Oliver hanya tertawa. 


"Oke, udah," gumam Aisyah yang telah selesai mengoleksi darah Jo. "Hasilnya mungkin agak sedikit berbeda, karena tadi udah dikasih Vitamin K1. Tapi, nggak masalah."


"Kak Ais," panggil Jo dengan suara lirih dan agak terbata. "Mu-Muntah." Jo menarik tubuhnya untuk bangkit, tapi ia terlalu lemas hingga sulit sekali untuk bergerak.


"Baskom, plastik, apapun!" seru Aisyah.


Oliver telah siaga dengan kantung plastik, ia tahu Jo mungkin akan muntah karena ia kerap mengeluh ingin muntah sejak di perjalanan. Ia menyerahkan kantung muntah itu pada  Aisyah, sementara Hazell bergerak ke arah kepala kasur untuk membantu Jo duduk agar bisa muntah.


"Hoek! Hoek!" Jo mengeluarkan semua isi lambungnya, makan siangnya yang belum semuanya dicerna. "Uhuk! Uhuk!" Jo mengakhiri muntahnya. Ia tahu lambungnya sudah kosong, meski ia masih merasa mual.


Aisyah cepat-cepat mengambil sebuah ampul transparan, memotek tutupnya agar ampul itu terbuka, lalu menyedot cairan di dalamnya dengan syring steril dan memasukkannya ke dalam pembuluh darah Jo melalui salah satu katup jarum infus yang terpasang di punggung tangan Jo. Ia juga memasukkan antibiotik injeksi, karena ia tahu bahwa Jo akan terus menolak obat-obatan yang diminumnya.


Sambil merapikan barang-barangnya, Aisyah berkata, "Makan yang lembut-lembut dulu, ya. Bubur bayi aja untuk malem ini, biar gampang. Besok pagi aku ke sini lagi."


"Maaf, ya, Kak. Jo ngerepotin Kakak terus," ucap Jo dengan suara yang sangat lirih, hampir seperti bisikan. 


Aisyah mengusap surai hitam Jo yang lepek karena keringat. "Ini udah jadi pekerjaanku, kok. Tapi, kalaupun bukan pekerjaan, aku juga bakal ke sini besok pagi. Aku udah nganggep kamu adekku sendiri," ucapnya dengan sangat lembut. "Istirahat, ya. Tapi, makan dulu sedikit, biar lambungmu nggak luka."


Jo hanya bisa mengangguk. Ia sudah tidak sanggup berbuat lebih. Kepalanya terlalu sakit dan pening, perutnya sakit, dan mual masih terus menghantuinya.


"Biar aku anter," ujar Hazell, seraya mengikuti Aisyah keluar dari kamar Jo.


Oliver pun mendekati kasur dan duduk di tepian. Ia menggenggam tangan kanan Jo yang berkeringat dingin, menggenggamnya dengan lembut namun erat, berharap kehangatannya bisa tersalurkan untuk Jo. "Sehat, ya, Dek. Gue nggak mau besok nemenin Ibu sendirian," ujarnya, meski ia yakin Jane tidak akan pergi kemana-mana jika tahu Jo sedang sakit.


Tanggapan Jo hanya cengiran. Ia sudah tidak sanggup mengeluarkan suara. Namun, ia masih mencoba mempertahankan kesadarannya.


🌼🌼🌼

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Enab
ceritanya sangat bagus dan membuat penasaran. cuma hrs bayar itu yg bikin males bacanya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status