Share

Tidak Mau Berhutang

                Pagi kembali datang, Candra bisa merasakannya lewat samar-samar sinar matahari yang menembus tirai jendela kamarnya. Dengan sedikit kesulitan, Candra menarik napasnya dan mengarahkan tangan ke meja kecil di samping ranjang, dia hendak mengambil segelas air yang ada di atasnya.

                Pyar!

                Terdengar suara gelas terjatuh dan pecah berserakan.

                “Papa?” seseorang yang tadinya masih terlelap akhirnya bangun sebab terkejut. Itu istri Candra, Agni.

                “Maaf,” ucap Candra. “Aku hanya tidak ingin membangunkanmu,” jelasnya.

                Agni tersenyum maklum dan segera mengambil serpihan gelas di lantai. “Aku akan kembali. Tunggu sebentar,” ucap Agni dan segera menghilang ke balik pintu.

                Candra menghela napasnya lagi, namun justru batuk yang terdengar serta rasa ngilu yang amat di perut bawahnya. Dari tahun-tahun yang penuh kejayaan miliknya, mungkin saat inilah dia harus mengakui bahwa dirinya telah gulung tikar sepenuhnya. Setahun belakangan, usahanya bangkrut sebab trik licik sahabat sendiri. Lalu, dia mulai kehilangan kepercayaan diri dan terpaksa menggilir satu per satu asetnya demi kebutuhan yang harus dipenuhi. Hingga semua telah habis. Istri juga anak-anaknya telah memintanya untuk berhenti, namun bisakah dirinya berhenti di saat kesuksesan sejati yang selalu menjadi mimpi tinggal beberapa langkah lagi?

                “Aku tidak terlahir dari orang yang sukses, namun mungkin saja orang sukses terlahir dariku!”

                Itulah satu kalimat yang sejak dulu selalu Candra pegang teguh. Dia bersedia menghadapi panas terik dan hujan badai demi cita-citanya itu. Dan tidak ada yang bisa menghentikannya, kecuali Tuhan.

                Namun, saat Tuhan juga telah mengirimkan sinyal padanya untuk berhenti, Candra tetap nekat saja. Hanya beberapa langkah lagi kata hatinya dan begitulah akhirnya, satu ginjalnya dia jual juga demi cita-cita yang kadang sudah serupa keegoisan itu.

                “Papa?” panggil sebuah suara, namun itu bukan suara istrinya.

                Candra menengok dan seketika itu juga air matanya menitik.

                ***

                Sebuah limousine berhenti, dua orang berpakaian serba hitam lengkap dengan kacamata yang juga hitam turun darinya diikuti seorang pria dengan setelan kemeja yang amat pas di tubuhnya. Pria itu juga memakai kacamata warna hitam, hanya saja terlihat lebih mahal dibanding lainnya.

“Ini Ken. Saya sudah sampai di depan rumahnya, Dok!” ucap pria yang usianya masih muda itu, mungkin baru genap tiga puluhan, pada seseorang di seberang sana melalui alat komunikasi kecil yang sekilas tampak tidak begitu terlihat meskipun terpasang sempurna di telinganya. “Baik, laksanakan!” ucapnya lagi setelah beberapa saat.

“Kita masuk sekarang?” tanya seorang pria lain.

Pria muda itu, Ken, mengangguk.

Setelah anggukan itu, langkah yang begitu rapi terdengar. Tentu saja itu karena Ken dan dua rekannya bukanlah pria biasa. Mereka dididik dan dilatih bertahun-tahun lamanya di bidang ini, keamanan dan semua hal tentang regulasi. Sebut saja mereka pasukan khusus yang dilatih khusus dan kini pun disewa secara khusus oleh keluarga paling kaya di kota untuk menjadi pengawal yang serba bisa.

Tok! Tok!

Ken mengetuk pintu.

Tidak lama berselang, seseorang membuka pintu itu. Seorang wanita, “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

Ken sedikit mengernyitkan dahinya, sepertinya ini bukan wanita yang terakhir kali dijumpainya. Wanita ini sedikit lebih muda juga lebih cantik.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu lagi.

Sebuah senggolan di bahunya menyadarkan Ken, “Iya!” jawabnya. “Saya Kendrick. Saya ingin bertemu dengan Nona Riana.”

Wanita itu kini gantian mengernyitkan keningnya, dia mengamati Ken dari atas ke bawah.

Lalu, seseorang lainnya muncul dari belakang si wanita. “Siapa?”

“Ada yang mencari Kakak,” ucap si wanita.

Orang yang baru datang tadi melongo, “Tuan Kendrick!” katanya. “Silahkan masuk!”

Ken menghela napas diam-diam dan segera masuk bersama dua rekannya meskipun tatapan aneh dari si wanita pertama masih sedikit membuatnya tidak nyaman.

“Rora, ini Tuan Kendrick. Tuan Kendrick, ini adik saya Aurora,” ujar Riana memperkenalkan keduanya.

Tidak ada jabat tangan, melainkan hanya saling angguk saja.

“Tuan Kendrick ini adalah utusan dari keluarga pasien yang kita bicarakan semalam, Rora,” tutur Riana lagi.

Aurora tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia masih memandangi tiga orang pria yang hadir di ruang tamunya itu dengan pandangan aneh. Namun, Ken tidak punya banyak waktu untuk menelisik lebih dalam arti pandangan wanita yang sempat membuatnya terpana itu. Dia datang untuk menjalankan tugasnya, secepat dan serapi mungkin.

“Kami mendengar bahwa kesehatan ayah Anda memburuk, Nona. Jadi, kami datang ke sini untuk menindaklanjuti kerjasama kita.”

“Kerjasama?” tanya Aurora.

Ken dan Riana saling berpandangan sesaat sebelum kakak Aurora itu berkata, “Setelah pendonoran, keluarga pasien yang mendapat donor mamantau kondisi Papa, Rora.”

“Memantau?”

“Kami berusaha untuk sebertanggungjawab mungkin dengan pendonor dan keluarganya. Jadi, kami akan membantu kerugian apapun yang terjadi akibat pendonoran tersebut,” tambah Ken.

“Jadi, semua orang sudah tau klo pendonoran ini mungkin akan mencelakai pihak pendonor?” tanya Aurora lagi.

Namun, tidak ada jawaban.

Aurora tersenyum pahit.

“Ini keinginan Papa, Rora,” lirih Riana. “Jadi, bisakah kita nggak berdebat soal ini?”

Ken sudah cukup mengetahui bahwa mungkin ada pihak keluarga pendonor yang tidak menyetujui pendonoran ginjal sebulan lalu, namun dia tidak menyangka bahwa dia sendiri yang akan menghadapinya.

“Apa yang kalian ingin lakukan sekarang?” tanya Aurora dengan nada kesal.

Ken dan Riana kembali bertatapan.

“Tanggungjawab macam apa yang sedang kita bahas ini?” tanya Aurora dengan nada lebih tinggi.

“Kami datang untuk memberikan tindak lanjut atas kondisi kesehatan ayah Anda yang semakin memburuk,” jawab Ken.

“Jadi, kalian akan memberikan sejumlah uang?”

Ken menatap Aurora, wanita itu tampak manatapnya dengan berkaca-kaca. Lalu, “Iya,” jawab Ken.

“Rora, ini demi …,” kata Riana.

“Nggak!” potong Aurora cepat pada kalimat kakaknya. “Papa memberikan ginjalnya untuk tujuan pertama. Dan nggak ada tujuan selanjutnya. Aku nggak mau mengotori pengorbanan Papa dengan uang lainnya.”

Semua orang menundukkan kepalanya.

“Jangan datang lagi ke rumah ini dengan tujuan yang sama!” pinta Aurora.

Meskipun tidak menyebut nama, namun Ken tahu bahwa larangan barusan ditujukan padanya.

“Rora, tolong jangan membuat ini jadi lebih sulit,” ucap Riana.

“Aku cuma nggak mau Papa berhutang, Kak!” sahut Aurora.

“Tapi, kita butuh uang itu,” kata Riana sudah tidak tahu lagi harus berkata apa.

Aurora menggigit bibirnya, menahan apapun yang bisa ditahannya. Lalu katanya, “Tuan Kendrick, seperti yang Anda tahu bahwa keluarga saya butuh uang yang Tuan janjikan. Tapi, saya tidak mau mendapatkan uang itu sebagai uang belas kasihan.”

“Maksud Nona Aurora?” tanya Ken.

“Biarkan saya menebus uang itu sebagai imbalan untuk sebuah pekerjaan,” jelas Aurora.

Ken terperanjat, dia menangkap bulat-bulat raut wajah Aurora dan menemukan keseriusan yang tidak dia sangka-sangka.

“Saya seorang sarjana S1 yang telah menyelesaikan profesi ners-nya. Saya bersedia bekerja dengan semua ilmu dan keterampilan saya untuk menebus semua uang-uang itu.”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status