Share

Dua Puluh Tahun yang Tertinggal

                Putih.

                Di setiap mata terbuka yang tampak hanyalah warna putih, dinding-dinding bangunan megah berwarna putih. Jenuh? Iya, namun keluar dari sana akan membahayakan lebih banyak orang lagi. Dan Aaron Theodore Johansson tidak mau melakukannya. Lagi. Tidak lagi.

                Lalu, dua puluh tahun ini dia habiskan di kastil megah dengan nuansa warna putih itu. Setidaknya dengan cara ini akan ada banyak orang terlindungi, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, dia paham bahwa dunia tetap harus berputar meskipun seorang pewaris kaya sepertinya mati membusuk dengan kondisi mengenaskan.

                Namun, semenjak para perawat khusus itu datang, hidupnya menjadi berbeda. Dia tidak lagi sendirian setiap hari. Bagi Raanana itu adalah hal baik, namun pasiennya ini merasa rencananya akan gagal. Dia menjadi kesulitan untuk bertemu dengan Athena, Alex, Jade, dan juga Kale.

                Dari balik kaca jendela ini, setiap hari bayangan keempat bocah kecil itu selalu tampak nyata. Berlari-lari riang sebelum sebuah mesin pembunuh menemukan mereka juga Gael dan seorang pewaris kaya. Pria gila itu memegang pisau di tangannya dan mulai mengambil nyawa satu per satu teman si pewaris kaya. Hanya Gael kecil yang berhasil pergi sebelum semua orang mati.

                Dan setelah semua terjadi, kini sudah dua puluh tahun lamanya. Seorang Aaron Theodore Johansson tetap belum bisa menebus kesalahannya hingga yang menyelimutinya setiap hari hanya penyesalan.

                “Mereka semua pergi dan aku juga akan segera menyusul mereka!”

                Bisikan itu datang setiap saat bagaimanapun juga ditahannya. Dan hari ini, bisikan itu terdengar lebih lantang dari biasanya. Pecahan kaca di mana-mana, juga vas yang berserakan di lantai yang bersanding dengan semua benda hancur yang mampu mencabut nyawa. Rasa-rasanya penantian dua puluh tahun itu akan segera sirna. Wanita bernama Aurora itu telah dia peringatkan, namun tidak pergi juga. Jadi, bukan salahnya jika sampai terjadi apa-apa. Benar begitu, bukan?

                “Jangan!” teriak sebuah suara dan pecahan tajam yang ada di tangan pasien itu terlepas juga.

                Terdengar suara rintihan yang membuat kegilaan itu berhenti sesaat. Ada darah di tangan Aurora yang terkena pecahan benda bening itu. Namun, perawat itu pantas menerimanya. Perawat lain telah mengakui kesulitan ini, salah siapa wanita satu ini begitu berani?

                Dengan bisikan-bisikan lainnya, sebuah benda tajam lain ditemukan. Tidak terhentikan lagi, semua akan berakhir kali ini!

                “Jangan!” terdengar larangan, tidak terlalu keras dan hampir mirip sebuah alunan suara putus asa. “Aku mohon jangan lakukan itu!”

                Itu suara Aurora yang berlinangan air mata, putus asa dengan luka di tubuhnya.

                “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang,” kata perawat itu.

                Pasiennya masih memegang erat maut di tangannya.

                “Jika kamu mati sekarang, para perawat dan dokter di sini akan kehilangan pekerjaannya bahkan akan mendapat konsekuensi yang lebih berat lagi.”

                Kalimat itu terdengar seperti permohonan.

                “Pikirkan orang tuamu yang seumur hidup mempertahankanmu.”

                Ini benar-benar kalimat putus asa. Aurora bahkan tidak yakin bahwa pria yang berdiri di depannya itu mendengarkannya. Mungkin saja, pasiennya itu akan mati sebelum dia menyelesaikan kalimat tidak berartinya atau justru pecahan tajam itu akan menghabisi Aurora terlebih dulu. Si Theo itu gila dan Aurora mungkin juga. Bicara pada pria ini dan membujuknya? Jika bukan gila lalu apalagi?

                “Orang yang mendonorkan ginjalnya untukmu juga akan hidup dengan kesia-siaan.”

                Dalam bayangan perawat dan pasien itu tergambar wajah yang sama, pria tua dengan senyum maklumnya. Pria yang sanggup melakukan apa saja demi hidup orang lain, terutama anak-anaknya.

                Aurora mulai terisak, “Dan teman-temanmu, mereka telah mengulur waktu demi kehidupanmu. Apa kamu setega itu mengkhianati pengorbanan mereka? Apa sampai detik ini, kamu belum sadar betapa berharganya hidupmu ini, Aaron?”

                Ada memori yang berputar-putar. Tawa-tawa riang anak-anak kecil juga kerindangan pohon-pohon. Suasana yang hangat yang paling pasien itu rindukan. Apa benar yang perawat ini katakan tanya si pasien itu dalam hatinya.

                Aurora tidak peduli. Dia telah kehabisan kata-katanya yang gila. Darah yang mengalir dari lengannya membuatnya terbaring di lantai. Dia tidak berharap banyak pada pria yang masih berdiri tegak di depannya. Dia tadi hanya menyuarakan isi hati di tengah keputusasaan diri.

                Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Kaki-kaki panjang itu melangkah. Bersama dengannya jatuh juga sesuatu dari tangannya. Benda tajam yang sedari tadi mengancam nyawa. Aurora hanya bisa menahan napasnya. Dia pikir, inilah detik-detik di mana dia menyaksikan pasiennya itu mengakhiri hidup.

                ***

                “Theo?” panggil sebuah suara. Itu suara yang familiar, Raanana.

                Theo menengok ke wajah itu, “Dia baik-baik saja?” tanyanya.

                Raanana menelan ludahnya. Dia mungkin telah berkali-kali melihat kesadaran pasiennya, namun kali ini terasa sedikit berbeda. Theo bertanya dengan cara yang belum pernah Raanana lihat sebelumnya.

                “Perawat itu, apa dia baik-baik saja?”

                Raanana terkesiap, “Ya,” jawabnya dengan nada bahagia. “Dia baik.”

                Theo kembali memalingkan wajahnya menuju ke arah jendela. Namun, dari sudut matanya dia melirik semua benda di kamarnya. Seperti biasa, semua telah rapi seolah tidak terjadi apa-apa.

                “Apa dia akan pergi seperti yang lain, Raa?”

                “Soal itu aku belum tahu, tapi kamu bisa menanyakannya sendiri.”

                Theo menarik napas diam-diam dan mengeluarkannya dengan cara yang sama. Dia pernah ada di saat-saat seperti ini sebelumnya meskipun dia telah lupa kapan tepatnya itu. Saat di mana dunia terlihat sama seperti orang lain melihatnya.

                “Theo … .”

                “Aaron.”

                “Apa?” tanya Raanana dengan terkejut.

                “Mulai hari ini aku ingin dipanggil dengan Aaron.”

                “Tentu. Boleh saja,” jawab Raanana dengan ringannya.

                “Jika wanita itu ingin pergi, biarkan saja. Tapi, aku harap dia menetap.”

                Raanana tertunduk lemah dengan hati lega. Sepuluh tahun berlalu dengan semua usahanya. Bukan hanya orang-orang yang meragukan dirinya, kadang dia sendiri juga mulai kehilangan kepercayaan diri. Sejauh ini dia mencari seseorang yang cukup berani dan siapa sangka orang itu datang dari pertemuannya yang tidak disengaja dengan kawan lama.

                “Kamu mungkin akan terkena komplikasi, Can.”

                “Hanya kumpulan beberapa penyakit, aku masih bisa menahannya,” jawab pria sebaya Raanana itu.

                “Kamu masih seperti yang dulu. Keras kepala.”

                “Tidak ada yang mengalahkan keras kepalamu. Buktinya aku telah menikah.”

                Raanana tertawa kecil dengan kalimat ejekan itu.

                “Lain kali, kamu harus bertemu ketiga putriku. Mereka cantik-cantik juga pintar, terutama Aurora. Dia adalah aku versi wanita.”

                Candra Akarsana, pria yang bertekad sekuat karang. Jika sudah berkeinginan, Tuhan pun dia lawan jika mampu. Raanana awalnya ragu, namun tidak dia sangka bahwa tekad kuat itu menurun juga pada Aurora.

                “Apa sekarang kamu bisa bernapas lega, Raa?” tanya Theo atau sekarang harus dipanggil dengan Aaron.

                Raanana terbangun dari lamunannya, “Melihat dari ejekanmu itu, aku pikir dua puluh tahun yang berat ini sudah mulai kamu tinggalkan.”

                “Aku harap begitu,” sahut Aaron.

                ****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status