Share

Perubahan

                Pelan.

                Namun, ketika matanya terpejam Aaron merasakan indera pendengarannya semakin tajam. Dengan cepat dia membuka matanya. Dia mencoba menerka, siapa gerangan yang masuk itu. Dan betapa leganya dia ketika menyadari bahwa itu adalah perawatnya.

                Sejujurnya, Aaron ingin melihat keadaan wanita itu secara langsung. Namun, mungkin saja Aurora masih ketakutan. Oleh sebab itu, Aaron hanya menunggu hingga waktu minum obat tiba.

                Tadinya, Aurora juga ingin melihat keadaan pasiennya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangannya. Namun, ekor matanya menangkap suasana yang sedikit berbeda. Sepertinya pria itu sedang terlelap. Untuk itulah dia terus saja dan segera melihat jadwalnya. Dengan berat ditariknya napas.

                Kemarin malam di waktu yang sama Aurora juga masuk dalam ruangannya ini. Dan beberapa saat kemudian terdengar … .

                Pip. Pip. Pip.

                Ya, bunyi seperti itu.

                Aurora menghempaskan napasnya dengan lebih berat dari saat dia menariknya. Si Theo itu, Aaron atau siapalah dia kemarin malam melemparinya dengan benda-benda yang melukainya. Dengan malas, Aurora melihat balutan perban di lengannya juga beberapa plester di telapak tangan serta kakinya. Raanana mengatakan bahwa kondisi pasiennya sudah stabil kembali, namun apakah itu bisa menjadi garansi bahwa peristiwa kemarin malam itu tidak akan terjadi lagi?

                Sejujurnya dia khawatir. Bukan apa-apa, Aurora hanya masih belum yakin harus berbuat apalagi jika pasien satu itu mengamuk lagi. Namun, seperti malam sebelumnya dia tidak memiliki cukup waktu untuk memikirkan hal-hal tidak penting itu. Berkali-kali orang-orang memintanya untuk mundur jika mau, namun sudah kepalang tanggung. Jalani saja. Orang berani bukan berarti orang yang tidak memiliki rasa takut, bukan?

                Namun, Aurora tidak akan mengira akan mendapat respon yang demikian dari pasiennya.

                Dia melangkah masuk area di mana pasiennya berada. Pria itu sedang berbaring miring lengkap dengan selimutnya. Ranjang mewah dengan selimut bahan terbaik. Ah, siapa yang menyangka bahwa di baliknya adalah pria dengan gangguan jiwa?

                “Ini waktunya minum obat,” ucap Aurora. Dia berdiri tepat di belakang punggung pasiennya.

                Tanpa kalimat itupun, Aaron sudah tahu bahwa ini jadwalnya minum obat. Dia terlalu pintar untuk tidak bisa mengingat jadwal yang dilakoninya selama dua puluh tahun. Namun, malam ini adalah jadwal yang sedikit berbeda. Ini pertama kalinya dia menunggu jadwal itu sepanjang hidupnya. Jadi, dengan cepat dia bangun dan duduk di pinggiran ranjang.

                Aurora menelan ludah. Dia bersiap untuk apa saja bahkan jika pria di depannya itu menghantamkan nampan ke arahnya. Sayangnya, tebakan Aurora meleset.

                Dengan kedua tangannya sendiri, Aaron mengambil gelas berisi air juga butiran-butiran obat yang ada di mangkuk lalu meminumnya. Setelah kemarin malam pria itu menekan sendiri alarm tanda bahaya yang seharusnya ditekan oleh Aurora, malam ini dia meminum sendiri obatnya. Aurora tertegun, apa dia bermimpi atau sedang dalam halusinasi sebab telah pingsan lagi?

                “Sudah,” ucap Aaron.

                “Apa?” tanya Aurora dengan tatapan yang sedikit pun tidak berpaling dari pria yang duduk di depannya.

                “Aku sudah minum obatnya,” jelas Aaron seraya mencari mata perawat itu.

                Grompyang!

                Pyar!

                Terdengar bunyi nampan jatuh ke lantai dan gelas pecah, namun kali ini bukan Aaron pelakunya, melainkan Aurora sendiri. Aurora pun terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Cepat-cepat dia berusaha membereskan kekacauan yang dibuatnya.

                “Apa masih sakit?”

                Belum habis rasa terkejutnya, Aurora sudah dikejutkan lagi dengan pertanyaan yang meluncur tiba-tiba dari mulut si pasien. Apa aku sudah gila tanya Aurora pada diri sendiri. Dia tanpa sadar terus memandangi pasiennya. Dia berusaha mengingat apa saja yang Raanana ucapkan. Namun, terakhir kali mereka bertemu, dokter itu tidak mengatakan apa-apa selain menanyakan keadaannya. Ken pun juga demikian. Apa mungkin memang begini sikap pasiennya ketika selesai mengamuk lalu beberapa hari kemudian dia akan mengulang semuanya kembali?

                Sejak Aurora memanggilnya Aaron dan bukan Theo seperti orang tuanya dan kebanyakan orang lain memanggilnya, tuan muda kaya yang juga sedang menatap mata bulat Aurora itu merasakan getaran aneh dalam dadanya. Tidak ada yang memanggil nama itu sejak peristiwa dua puluh tahun lalu. Dan saksi hidup yang masih sering mengunjunginya pun tidak memanggilnya dengan Aaron lagi, melainkan Theo juga. Dia tahu Gael melakukan itu demi kesehatan mentalnya, namun sejauh ini sebenarnya dia lebih suka dipanggil Aaron daripada Theo. Entahlah, meski sakit jika dia mendengar orang lain memanggilnya demikian, namun rasanya itu lebih nyaman.

                “Apa masih sakit?” ulang Aaron.

                “Oh, itu …,” sahut Aurora dengan salah tingkah. Dia tidak seharusnya memandang pasiennya dengan cara seperti yang baru saja dia lakukan. “Sedikit,” sambungnya seraya memasukkan pecahan gelas dan segala yang berceceran di sana. Dan saking salah tingkahnya, jari Aurora pun terluka.

                Tanpa harus dijelaskan, Aaron tahu bahwa perawatnya itu sedang gerogi menghadapi perubahan sikapnya. Memang belum lama Aaron mendapatkan kesadarannya dan dia juga tidak bisa menjanjikan apapun. Raanana memang mendiagnosa bahwa kondisinya mulai stabil semenjak malam kemarin. Mendadak, namun itulah yang terjadi. Dan dulupun hal ini pernah terjadi, namun kenyataannya sampai detik ini Raanana masih setia menemaninya sebagai psikiater pribadi. Jadi, anggap saja keadaan ini belum pasti. Maka Aaron membiarkan Aurora pergi begitu saja. Setidaknya perawat itu masih melayaninya. Dan untuk seterusnya, kita lihat saja nanti kata Aaron dalam hati.

                ***

                “Apa maumu?” tanya Raanana.

                “Hanya berkunjung.”

                Raanana menatap pemuda yang mungkin seusia anak ragilnya jika dia menikah.

                “Baik … baik …,” ucap pemuda itu lagi. “Aku minta maaf sudah mengganggu anak emasmu!”

                Raanana menarik napas dalam lalu menyodorkan sebuah lembaran kertas.

                “Apa hasilnya?”

                “Baca sendiri!”

                Pemuda berambut pirang itu mengeluarkan senyum andalannya. Dia menerima kertas dari Raanana dan seketika terkejut.

                “Stabil?” pelototnya pada dokter itu.

                Raanana mengangguk.

                “Jadi, acara perjodohanmu berhasil, yach? Apa sebentar lagi di kastil megah ini akan ada suara tangisan bayi?”

                “Jaga mulutmu, Gael!” geram Raanana.

                “Okay, fine!” pemuda itu kembali menatap kertas di tangannya. “Jadi, si Aurora ini memilih bertahan setelah sepupuku hampir membunuhnya?” tanyanya kemudian.

                “Ya, dia wanita yang baik dan pemberani,” sahut Raanana.

                “Dan cantik!”

                Raanana menggelengkan kepalanya, “Apa hanya itu fokusmu?”

                “Apalagi?” tanya Gael dengan terkekeh.

                “Dia ingin dipanggil dengan Aaron lagi,” kata Raanana.

                “Oh, ya? Kenapa?” tanya Gael setengah terkejut.

                “Aku kurang paham. Hanya Aurora yang mengetahui kejadian malam kemarin,” jawab Raanana. “Aurora hanya mengatakan bahwa sepupumu sendiri yang menekan alarmnya,” pungkasnya melirih.

                Gael bungkam. Dia mengatupkan kedua belah bibirnya yang selalu membuat banyak fans wanitanya berteriak histeris hanya dengan memandangi sudut-sudutnya. Dia tidak menatap Raanana, namun dengan secermat mungkin mengamati laporan harian keadaan sepupunya. Ya, semua terlihat lebih baik. Namun, apa yang dilakukan Aurora itu hingga sepupunya yang selama dua puluh tahun ini membatu tiba-tiba melunak?

                “Why?”

                “Nothing!” jawab Gael seraya meletakkan kertas di tangannya ke meja. “Cuma kayaknya kamu harus sedikit waspada, Raa.”

                “Soal?”

                “Kemungkinan cinta segitiga.”

                ****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status