“Habis melacur yach semalam?”
Pedas. Namun, Aurora sangat enggan menanggapinya. Dia berusaha menembus tubuh-tubuh pelayan yang menghalangi langkahnya.
“Senikmat itu sampai nggak bisa berkata-kata?”
Kali ini tangan Agatha menahan lengannya.
“Lepas!”
“Tambah berani sekarang karena udah jadi wanitanya Tuan Muda!” kata Agatha lagi disertai tawa sinis.
 
“Udahlah, kamu istirahat aja!” kata Thea. Aurora tersenyum, “Aku di sini digaji untuk bekerja bukan untuk berbaring seharian di ruang perawatan.” “Tapi, kan kamu masih sakit,” lanjut Thea. Dia tahu bahwa beberapa pasang mata melihatnya dengan cara yang sama dengan bagaimana mereka memandang Aurora, namun dia kini tidak lagi peduli. “Klo kamu terus berada di dekatku, mereka pikir kamu membelaku,” ujar Aurora. “Nggak masalah, memang itu maksudku,” kata Thea mantap. &nbs
“Apa aku terlihat sakit?” tanya Aaron. Mulut Aurora semakin menganga. Ada saat di mana dia memiliki pasien yang sedikit nyeleneh saat masih bekerja di rumah sakit dulu. Namun, dia merasa tidak ada yang seunik pasiennya satu ini. Ya, dia memang terhitung sebagai salah satu perawat yang banyak digoda paisennya, terutama jika pasien itu seorang pria dan masih muda. Jadi, apa kali ini dia juga sedang digoda? Plug! Aurora merasakan sesuatu yang asin-asin gurih memasuki mulutnya. “Enak?” tanya Aaron lagi.
Masih jendela yang sama. Juga pemandangan yang serupa. Hanya saja, akhir-akhir ini Aaron lebih sering mendatangi langsung taman indah yang selama dua puluh tahun dia pandangi dari balik jendela. Perlahan, Aaron menghela napas. Seminggu dengan kestabilan sudah dilaluinya dengan baik. Tetap saja masih ada suara-suara yang mengganggunya, namun begitu dia memalingkan fokusnya pada Aurora dan apa yang telah terjadi selama wanita itu hadir dalam hidupnya maka suara-suara itu perlahan mulai terdengar menjauh. Hanya sayup-sayup. Semua orang di kasti ini mengetahui keadaan Aaron sebagai seorang ‘psycho’ dengan ‘self-injuiry’ , namun hanya dia sendiri yang paling memahami sejauh mana kea
Meskipun tersamar, namun praktik aristokrasi tetaplah ada. Di abad ini mungkin tidak banyak orang yang berpikir bahwa hanya para bangsawan alias keturunan ningratlah yang mampu memerintah sebuah negara. Namun, pada kenyataannya para kaum yang dianggap elit itu masih tetap ada di tingkatan yang sama, paling atas. Masih tidak jauh dari orang-orang aristokratis, bergaya ‘classy’ juga merupakan bagian dari sebuah eksistensi yang menjelaskan keadaan seorang lahir dari golongan kaya atau bukan. Banyak orang berlomba-lomba untuk tampil berkelas dengan ‘budget’ terbatas. Semua itu mereka lakukan agar terlihat lebih bernilai dari lainnya. Bahkan tidak jarang ada orang yang sengaja berbuat curang demi tampil di depan sebagai bagian dari kaum kaya. 
“Dia sudah membaik?” Raanana menganggukkan kepala pada pria yang duduk di kursi berseberangan meja dengannya itu. “Perawat itu melakukan pekerjaannya dengan baik,” katanya. Tuan Johansson atau Nick, ayah Aaron diam untuk sesaat. Matanya mengamati ruangan yang ada di balik jendela Raanana. Sejujurnya, pikirannya tertuju bukan pada ruangan itu apalagi putranya, melainkan wanita yang dipanggil Raanana dengan sebutan perawat itu. Nick tidak bermaksud untuk berburuk sangka. Hanya saja, semua orang di kastil mulai sering membicarakan tentang perawat khusus tuan muda yang berparas cantik.
Dua hari ini cuaca sedikit mendung. Akibatnya hawa dingin menyergap semua orang, tidak terkecuali pasien Aurora. Oleh karenanya sebelum keluar ke taman, Aurora selalu menyiapkan pakaian hangat untuk pria itu. Ya, meskipun itu sekedar ‘sweater’ . Ini adalah minggu pertama di bulan kedua Aurora bekerja. Aaron berharap bahwa kondisinya semakin membaik sehingga mempermudah pekerjaan wanita itu. Jadi, dia sama sekali tidak membantah apa kata Aurora. Dan jika boleh jujur, dia justru menyukai perhatian perawat itu, terutama saat Aurora memakaikan ‘sweater’ untuknya. Kenapa dia harus menatapku dengan tatapan seperti itu tanya Aurora dalam hati setiap kali matanya bersinggungan dengan m
“Ceritakan soal diri kamu!” Aurora tersenyum kecil. Bibir itu melengkung dengan indah batin Aaron seraya memangku dagu dengan tangan yang dia sandarkan ke badan kursi yang dia dan Aurora duduki. Kursi itu terletak di luar jendela kamarnya, membelakangi taman air mancur yang memisahkan ruangannya dengan Raanana. Sampai saat ini Aaron masih selalu menepis rasa yang selalu menggetarkan hatinya, namun hati yang terus bergetar tidak bisa dia sembunyikan dari dirinya sendiri. Aku dan dia hanya berteman?
“Saatnya sarapan!” ajak Aurora. Aaron sudah selesai mandi. Seperti biasa, dalam sebulan terakhir ini, Aurora sudah menyiapkan jadwalnya. Namun, entah mengapa dia masih ingin duduk di ranjangnya. Seperti yang semua orang sadari, akhir-akhir ini Aaron semakin terlihat normal dan memperhatikan penampilannya. Entah itu memang perkembangannya atau bagian dari sandiwara untuk kesembuhannya, yang jelas Aurora merasa pasiennya itu terlihat amat manis pagi ini. “Ada apa?” tanya Aurora kemudian seraya mendekat.&n