Share

Bab 7. Senior yang Membuat Kesal

Walau suasana saat itu hening tidak ada percakapan antara Farhan dan Valencia. Pemuda itu memberikan tugas pada Valencia untuk menyalin sebuah catatan.

“Asem sekalinya disuruh mencatat tugas sekolahnya. Enak benar ya dia, tugas sekolahnya aku yang mengerjakan,” batin Valencia semakin kesal. 

“Kalau sudah selesai, lanjut yang ini ya,” perintahnya lagi. 

“Apa? Enggak salah ini kak, ini tugas sekolah kakak. Kakak enggak takut kalau saja nanti ... ketahuan sama Guru.” Valencia terperanjat mendapat tambahan catatan, tugas sekolah milik Farhan. 

Ini orang sebenarnya malas atau memang sangat malas sekali, bisanya tiga mata pelajaran aku disuruh mengerjakan semuanya.  Aku kerjakan saja setidaknya aku tidak berpanas ria , hanya tanganku yang bakalan lelah, batin Valencia. 

Farhan hanya menatap melihat Valencia sibuk menulis. “Lumayan cepat kamu menulis, bisa buat cerita tidak? Tugas kamu untuk besok buat cerpen, temanya persahabatan. Nanti aku bawakan bukunya,” perintah Farhan.

“Ta—pi saya bukan pengarang kak, takutnya nanti hasilnya tidak sesuai,” bantah Valencia, berharap pemuda di hadapannya ini sadar dan tidak memintanya mengerjakan tugas lagi. 

“Tidak masalah, yang penting tugasnya kamu kerjakan. Kalau bisa yang bikin terharu,” pintanya lagi menatap wajah Valencia sambil tersenyum, alisnya naik turun seakan memaksa Valencia berkata iya.

“Siap, saya kerjakan. Setidaknya saat ini saya lelah belum minum atau sarapan,” ujar wanita itu sedikit kesal. Sengaja dia berkata seperti itu, menguji kepekaan seniornya yang seenaknya saja. 

Farhan berdiri meninggalkan dia entah ke mana, melihat kata-katanya tidak di gubris wajah Valencia langsung mencibir.

“Dasar senior enggak ada belas kasihan, main pergi saja. Enggak sadar  menulis itu capek. Peka sedikit saja minimal air mineral,” gerutu Gadis berkulit putih itu, dia tetap melanjutkan menulis walau mulutnya menggerutu. 

Sedangkan orang yang di jadikan bahannya menggerutu saat ini sudah berada tepat, di belakangnya dengan roti dan teh  kemasan berada di tangannya.

“Sudah puas mengomelnya, kalau sudah ini enggak jadi buat kamu. Aku makan sendiri saja, kebetulan aku belum sarapan juga,” celetuk Farhan.

“Astagfirullah, aku pikir suara setan di belakangku. Eh ... eh ... jangan kak!” Valencia berusaha mengambil minuman dan roti, yang saat ini berada di genggaman Farhan.

Karena, berdiri secara mendadak Farhan terkejut akhirnya terjatuh dan Valencia mendarat tepat di atas tubuhnya. 

Sigap Valencia menahan berat badannya, agar tidak menimpa Farhan. Jarak antara wajahnya dan Farhan sekitar sepuluh centimeter.

Detak jantung mereka seakan tidak beraturan, perasaan serba salah mulai menyelimuti Valencia. Gadis itu bergegas memindahkan tubuhnya, yang berada tepat di atas Farhan. 

Jika tangannya tidak sigap, mungkin saat ini antara wajahnya dan Farhan akan menyatu satu sama lain.

“Ma—af,” ucapan yang sama keluar dari mulut mereka. 

“Ehem ....” Hana sudah berdiri tidak jauh dari mereka. “Baru di tinggal sebentar, sudah mulai menggoda seniornya,” celetuk Hana ketus. 

“Ma—af kak Hana, ini tidak seperti yang kakak lihat,” kilah Valencia, berusaha menjelaskan. 

“Biasa murid baru, selalu alasan seperti itu,” tuduh Hana, wajahnya mencibir tidak suka. 

“Hana, apa yang dia katakan benar. Dia tidak sengaja, aku tadi yang mengagetinya,” sahut Farhan yang membuat Hana menjadi salah tingkah.

 “Kalau begitu saya permisi ketua,” ucap Hana dengan wajah malu. 

“Terimakasih ya kak,” seru Valencia. Gadis itu melanjutkan tugas yang diberikan Farhan, tanpa dia sadari Farhan menatapnya dalam, seakan mengagumi wajahnya.

Saat Valencia meneguk teh kemasan, tiba-tiba Farhan menyentuh tepat di atas bibirnya. Merasa janggal dengan hal itu Valencia segera menepis tangan itu.

“Ada kotoran tadi, jangan galak-galak. Aku tidak akan macam-macam,” jelas Farhan. 

Valencia tidak menjawab dia melanjutkan mengunyah roti, setelah usai Valencia mengerjakan kembali tugas dari Farhan. Hingga lonceng berbunyi, semua siswa yang menjalani pengenalan lingkungan sekolah, kumpul kembali di lapangan. 

“Akhirnya ketemu kamu lagi Jor,” ucap Valencia lega. 

“Seperti dapat cobaan berat Val?” tanya Jordi dengan panggilan spesialnya. 

“Huum ... iya begitulah, tadi aku memang enggak dapat tugas yang aneh-aneh. Tapi tanganku pegal, disuruh menyalin tugas ketua OSIS sialan itu,” ungkap Valencia geram.

Sedangkan Jodi hanya tertawa cekikikan mendengar curahan hati  sahabatnya itu. "Biar hatinya senang , entar kita mampir di bakso Lumayon,” ajak Jodi sambil mengusap kepala Valencia. 

“Memang kamu paling terbaik Jordi, paham betul sama  moodbooster aku.” Senyum manis teruntai di wajah Valencia. Sesuatu yang selalu Jodi senang untuk di pandangi.

Suara senior itu mulai fokus di dengarkan Valencia dan Jordi, dalam pikiran siswa lain mereka sepasang kekasih dari masa SMP.

“Besok untuk kelas 10 menggunakan topi dari daun nangka seperti ini ya, kelas 10.1 menggunakan topi dari koran bekas, kelas 10.2 menggunakan topi dari ijuk ....” suara itu lantang dari Hana, dia adalah wakil ketua OSIS. 

Seusai pemberitahuan dari Hana yang di tutup oleh Farhan, mereka di bubarkan untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Hai Jordi, terimakasih ya tadi sudah membantuku,” sapa seorang Siswa baru yang nama pengenal dari kertas di dadanya bertuliskan Bulan. 

 “Ehem ....” Deheman mengejek di keluarkan Valencia sambil tertawa meninggalkan Jordi.

Melihat Valencia meninggalkannya, Jordi buru-buru membalas ucapan Bulan. “Iya, sama-sama. Maaf aku harus ke sana takut dia mengambek,” balas Jordi sambil lalu meninggalkan Bulan, dari kejauhan Bulan menatap langkah mereka.

“Sebenarnya mereka pacaran atau tidak ya, tapi kenapa Jordi tampak takut gadis itu marah,” gumamnya yang kemudian seseorang menjawab sambil lalu.

 

“Mereka hanya berteman,” jawab Farhan melintas lalu disebelah Bulan. Gadis itu semakin bingung, ada kakak senior yang menjawab di belakangnya. 

“Sama gantengnya sih, tapi aku suka sama Jordi,” gumamnya lagi. Tidak lama ada suara yang melintas lagi di telinganya.

“Baguslah, kejar Jordi saja. Jangan yang tadi,” celetuk Hana sambil lalu juga. Bulan semakin bingung. 

***

Pintu rumah dengan tinggi sekitar tiga meter dan lebar tiga setengah meter di buka oleh, seorang wanita paruh baya. “Wah, cucu nenek sudah pulang. Bagaimana sekolahnya yang baru?” tanya Winarsih. 

“Menyebalkan Nek, untung ada Jordi dia traktir Valencia makan di bakso Lumayon,” jawabnya sambil takzim dan memeluk neneknya. 

“Jordi, masuk dulu tadi nenek buat kapurung. Walau tidak seenak masakan asli orang sini,” ajak Winarsih.

Karena, Jordi sejak kecil sudah terbiasa bermain di sana, sehingga rumah Valencia seperti rumah kedua buatnya. Tanpa rasa sungkan dia masuk dan takzim dengan Winarsih dan Darno. 

“Bunda Selvi ke mana , Nek?” tanya Jordi yang matanya mulai mencari keberadaan Selvi. 

“Tadi dia harus ke perkebunan  coklat, mungkin besok atau lusa baru kembali,” jelas Darno. Mereka menikmati kapurung ala orang Jawa itu.

Semenjak menetap di kota Palopo, Winarsih banyak belajar masakan daerah kota itu. Dia juga membaur dengan  warganya.  Di kota itu  kehidupannya sangat tenang, mereka saling menghormati. Meskipun mereka berbeda suku dan adat istiadat tetapi kekompakan sangat terasa. 

“Wah enak sekali masakan Nenek, hampir sama dengan masakkan mamak aku,” puji Jordi, yang lahap menikmati kapurung.

'Kapurung sangat enak di makan pedas dengan sambal, rasanya segar karena gurih kecut dan pedas, dengan kuah dan aneka sayur. Sehingga kapurung merupakan makanan penuh gizi lengkap dengan kandungan protein nabati dan hewani.'

Ketika Jordi akan pulang dalam perjalanan dia melihat sebuah kendaraan menyerempet Ibu-ibu, orang itu kabur entah ke mana.

Pemuda itu menepikan kendaraannya lalu bergegas membatu Ibu yang terserempet motor.  “Ibu, bisa berdiri?” tanya Jordi dengan wanita paruh baya itu. 


Bersambung ...

Jangan lupa follow Instagram @Indraqilsyamil 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status