Share

Part 08

Setelah mendapat perintah dari suaminya. Natasha bergegas merapikan barang-barang yang akan dibawa ke rumah Pauline.

            Dia memasukan baju-baju yang terlihat lebih sopan untuk dipakai, dia juga merapikan peralatan mandi dan make up sehari-hari yang biasa dia gunakan.

            "Kau tak perlu membawa semuanya sayang. Pauline akan menyediakannya. Dia akan memanjakanmu seperti seorang anak gadis," ujar Jonathan. Dia memasuki kamarnya, melihat Natasha yang sibuk menyiapkan banyak barang.

            "Oh... Sayangnya kegadisanku sudah kau ambil waktu itu," ujar Natasha. Jonathan mendekat. Memeluk Natasha dari belakang dan menghirup tengkuknya dalam.

            "Dan aku sudah bertanggung jawab untuk itu sayang," ujar Jonathan masih dengan posisi yang sama.

            "Aku akan merindukanmu," ujar Natasha.

            "Aku juga, berbaliklah." pinta Jonathan.

            Natasha berbalik dan langsung berhambur memeluk Jonathan, menindih dan memerosotkan tubuh mungilnya pada Jonathan.

            "Ya ampun... Aku tak tau kau begitu manja," ujar Jonathan. Memeluk dan menciumi rambut Natasha.

            "Kita baru bertemu, dan kau harus pergi lagi," rengek Natasha.

            "Jika kau lupa, kau yang memintaku sayang," ujar Jonathan.

            "Ya... Tapi kupikir, aku akan ikut." Natasha mendongak memasang wajah kucing kecil dengan mata besar yang memohon diberikan makanan.

            Jonathan menggeleng. "Tidak Nath. Aku tak akan luluh hanya karena wajahmu yang menggemasnya," ujar Jonathan.

            Natasha belum juga menyerah. "Kumohon...," rengeknya.

            "Jangan memaksaku Nath." Jonathan memperingati.

            "Oh ayolah sayang...," rajuk Natasha. Wanita itu bergerak sesukanya. Menggelengkan kepalanya di dada Jonathan.

            "Sudahlah. Kita akan terlambat Nath," ujar Jonathan.

            "Kalau begitu ayo kita bergegas," seru Natasha beranjak dari tubuh Jonathan.

            Pria dingin itu mengerutkan keningnya. "Apa yang kau maksud bergegas?" tanya Jonathan.

            "Kau bilang kau akan terlambat bukan? Maka dari itu, lebih baik aku ikut denganmu," jawab Natasha.

            Jonathan tersenyum, dia mengerti maksud dari rengekan Natasha.

            Sementara Natasha masih bingung dengan maksud perkataan Jonathan sejak awal.

            "Apa yang kau tertawakan?" tanya Natasha serius. Hilang sudah wajah seekor kucing yang menggemaskan, hingga membuat Jonathan ingin memakannya.

            Tanpa menjawab pertanyaan istrinya. Jonathan langsung saja meraup bibir Natasha. Memegang tengkuk wanita itu dan memperdalam ciumannya.

            Membawa Natasha terlarut hingga mereka memejamkan matanya. Menikmati ciuman yang terasa semakin menuntut. Membuat keduanya terjebak ke dalam pusaran gairah yang harus diletuskan.

            Jonathan melepas ciumannya. Kesempatan itu digunakan Natasha untuk mengambil napas. Bibirnya sudah merah membengkak.

            Jonathan mengusapnya perlahan. "Bibirmu, membengkak. Apa akan kembali sebelum kau bertemu Pauline?" tanya Jonathan.

            Natasha terkekeh mendengar pertanyaan lucu Jonathan. Dia menggeleng lalu mengedikkan bahunya.

            "Kau takut ibumu akan memarahimu?" tanya Natasha.

            "Tidak. Hanya saja, telingaku akan sakit jika dia terus mengomel. Bisa kita lanjutkan?" tanya lagi Jonathan. Natasha menjawab dengan kembali mencium suaminya. Hingga dia tak sabar dan mulai membuka pakaian Natasha. Lalu mencumbu istrinya.

            Natasha melenguh namun sedetik kemudian memekik sakit.

            "Nathan! Sakit! Jangan mengigit! Kau seperti seekor anjing kecil," tukas Natasha, "jangan membuat tanda jika kau tak ingin ibumu mengoceh," peringat Natasha. Karena Jonathan tak peduli dirinya dikatakan seperti seekor anjing kecil. Yang dia inginkan adalah mencumbu istrinya.

            "Persetan dengan semua itu Nath! Kau istriku. Dan aku ingin melakukannya," ujar Jonathan. Dia semakin dalam mencumbu sampai keduanya hendak bercinta. Namun Jonathan terhenti saat Natasha menahannya untuk membuka celana dalamnya.

            "Kenapa?" tanya Jonathan.

            "Sepertinya aku kedatangan masa periodeku, Nathan," ungkap Natasha merasakan sesuatu yang tak beres pada bagian dari dirinya.

            "Seriously?" tanya Jonathan. Natasha mengangguk sambil meringis.

            "Holy shit! Are you kidding me?!" tanya lagi Jonathan. Posisinya masih di atas Natasha, dengan keadaan naked dan siap menembus lembah milik Natasha.

            Istrinya kembali mengangguk walau ragu. Sementara Jonathan memejamkan matanya dan menunduk.

            "Well... Bagaimana dengan gladius-ku?!" tanya Jonathan. dia mendengus kesal. Dia bahkan sudah duduk di samping Natasha.

            "A-aku akan mengulumnya, kau mau?" tanya Natasha.

            Terdengar helaan napas Jonathan. "Tidak perlu Nath. Rapikan dirimu, aku akan mandi saja. Setelah itu kita berangkat," ujar Jonathan beranjak dari ranjang.

            "Nathan...," panggil Natasha. Jonathan hanya bergumam sebagai jawaban.

            "Apa kau marah?" tanya Natasha ragu.

            Jonathan kembali kepada Natasha, mengelus kepala istrinya dengan sayang.

            "Tidak. Aku hanya...." Jonathan tak dapat melanjutkan perkataannya dia tak ingin menyinggung perasaan istrinya.

            Jonathan tersenyum, "sudahlah... Intinya aku tak marah," ujar Jonathan. Dia beranjak dari hadapan Natasha, hendak menuju kamar mandi.

            "Aku tak akan bisa hamil dalam waktu dekat ini Nathan," ungkap Natasha.

            Jonathan terhenti. Dia berbalik secara perlahan, mereka saling menatap seolah berbicara melalui tatapan itu.

            Jonathan kembali menghampiri Natasha.

            "Jika kehamilanku yang kau inginkan. Itulah jawabanku Nathan. Terakhir saat pernikahan palsumu dengan Leanor. Aku masih meminum pil agar tak bisa hamil," ungkap Natasha. Matanya berlapis air bening yang siap meluncur. Dirinya sangat ingin mengatakan semua kenyataan itu sejak awal Jonathan melamarnya.

            Namun entah kenapa, dia merasa berat mengatakan semua itu. Dan sekarang, setelah melihat kekecewaan yang terpancar dari wajah suaminya. Dia tak tahan lagi untuk mengatakannya.

            Jonathan dengan segala perubahannya. Dia tak membalas ucapan Natasha, dia memilih memeluk Natasha. Membuat wanita itu menangis.

            "Aku tak masalah Nath. Jangan jadikan beban," ujar Jonathan. Mencoba menenangkan istrinya.

            "Bukan kau yang aku khawatirkan, tapi ibumu. Dia sangat mengharapkan aku cepat hamil. Namun inilah kenyataannya Nathan, aku harap kalian bisa bersabar. Aku akan ke dokter dan memeriksakan keadaanku," ungkap Natasha.

            "Tenanglah... Aku akan bicara pada Pauline. Dia akan mengerti, aku rasa dia akan mengantarmu ke dokter kandungan nanti," ujar Jonathan. Natasha tersenyum, suaminya mengerti dirinya dan mau menerima seutuhnya segala kekurangan Natasha.

            Jonathan menghapus air mata yang masih tersisa di ujung mata Natasha. Lalu menciumi wajah Natasha dengan gemas.

            "Ayo... Aku akan memandikanmu. Setelah itu kita berangkat ke rumah Pauline," ujar Jonathan. Istrinya mengangguk.

            Mereka bergegas setelah mandi dan membereskan barang bawaannya.

***

            Sebuah rumah yang sepi dari penghuninya, menjadi sasaran tembak dari seorang sniper yang siap membidikkan peluru dari senjata api laras panjang.

            Sudah setengah jam lamanya Richard memantau keadaan rumah yang terlihat tak ada tanda-tanda kehadiran seseorang.

            Hingga lima menit kemudian. Sebuah suara dari alat pendengar yang dia tempelkan di telinganya. Memanggil namanya.

            "Richard, kau sudah diposisimu?" tanya Jonathan entah dari posisi mana. Karena Richard sudah menunggunya sejak tadi di sebuah atap gedung yang menghadap ke rumah seorang mafia incarannya.

            "Aku sudah menunggumu sejak setengah jam yang lalu. Jangan katakan kau bercinta dulu dengan Natasha!" tukas Richard. Jonathan terkekeh.

            "Hampir! Tapi terhenti karena periode sialan itu!" ungkap Jonathan.

            "Oh... Sial! Itu artinya aku sungguh harus membantu ibumu mengurus kebun bunganya?!"

            "Ya... Jangan menjadi pencudang, dengan mengingkari perjanjian kita."

            "Dasar brengsek! Lain kali aku akan mendapatkan penthouse-mu!" tukas Richard.

            "Sudahlah... Aku siap bergerak. Lindungi aku," ujar Jonathan.

            "Baiklah. Astaga... Aku sangat merindukan pekerjaanku ini," ujar Richard.

            Jonathan tak lagi membalas ucapan sahabatnya. Karena dia sudah berada di depan gerbang sebuah rumah yang dijaga ketat oleh beberapa orang berbadan besar.

            Richard mengintip dari balik teropong. Terlihat sahabatnya sedang melakukan negosiasi untuk memasuki rumah tersebut.

            Tak berapa lama Jonathan berhasil masuk. Dia mengikuti dua orang pengawal yang tadi berjaga di depan gerbang.

            "Hei... Bagaimana bisa kau masuk begitu saja?! Ini sungguh membosankan Nathan! Jangan terlalu pandai bernegosiasi. Apa tak ada perkelahian kecil agar aku bisa meluncurkan satu atau dua peluruku?!" gerutu Richard dari balik earphone bening yang terpasang di telinga Jonathan.

            "Berhenti menggerutukan hal konyol bodoh!" bisik Jonathan.

            "Baiklah... Setidaknya jangan membuat penantianku selama empatpuluh lima menit ini sia-sia, karena tak terjadi apapun di dalam sana," ujar Richard.

            Jonathan kembali mengabaikan ocehan Richard. Dia lebih memilih fokus untuk menyergap adik dari mafia Rusia yang masih berada di rumah itu.

            Sesampainya di dalam rumah yang begitu megah. Jonathan dengan kostum penyamarannya, diminta untuk duduk menunggu di sebuah ruangan.

            Dia terlihat tenang, karena memang Richard sudah mencari informasi tentang kerjasama bisnis yang dilakukan adik dari musuh utamanya.

            Dan Jonathan sudah memalsukan semua data klien bisnis sasarannya itu. Dan menyembunyikan orang yang asli di sebuah tempat, yang hanya diketahui olehnya dan Richard.

            Selagi menunggu, Jonathan tak tinggal diam. Dia memperhatikan cctv yang terpasang disetiap sudut rumah itu. Mempelajari sela yang ada di rumah musuhnya, agar dia bisa dengan mudah mengenali musuhnya.

            Jonathan mulai beranjak dari duduknya. Berpura-pura melihat beberapa lukisan dan figura yang tertata rapi di sana. Yang sebenarnya dia lakukan adalah, meletakan beberapa microphone kecil di sela-sela figura dan lukisan yang ada di ruangan tersebut. Lalu dia juga memperhatikan kamera cctv yang menyorotinya begitu ketat.

            Jonathan sengaja tersenyum menampilkan deret gigi palsunya yang terlihat lebih besar dari milik aslinya. Membuat seseorang dari balik cctv tersebut mengira dirinya bodoh.

            Gelak tawa suara Richard terdengar jelas dari earphone beningnya.

            "Astaga... Nathan! Kau harus melihat wajah bodohmu barusan," ujar Richard.

            "Aku akan membunuhmu jika kau berani menceritakannya pada Natasha!" tukas Jonathan.

            Tak berapa lama, sasarannya muncul.

            "Halo... Maaf membuatmu menunggu,   kakakku sedang pergi. Jadi aku harus mengurus beberapa pekerjaannya," ujar seorang pria berwajah khas seorang Rusia. Dua orang pengawalnya tetap mengikuti pria itu. Hingga pria Rusia itu menyuruhnya pergi. Barulah keduanya meninggalkan ruangan tersebut.

            Jonathan kembali tersenyum dan gigi palsu yang terlihat keluar dari tempat seharusnya itu, kembali muncul. Richard yang berada jauh darinya harus menahan tawa agar tak mengganggu konsentrasi Jonathan.

            "Tidak apa. Tak masalah bagiku asalkan kerja sama kita bisa berjalan lancar," ujar Jonathan dengan suara yang sudah disamarkan.

            "Baiklah... Silahkan duduk."

            Lalu mereka mulai berbincang membahas beberapa kerja sama penyeludupan barang-barang imitasi dan ilegal.

            Hingga jabat tangan sebuah kerja sama tercipta, setelah melakukan tanda tangan sebuah perjanjian bisnis yang mungkin akan dicurangi jika Jonathan tak menyamar sebagai klien bisnisnya tersebut.

            "Senang berbisnis dengan anda, Sir Axello," ujar Pria Rusia itu.

            "Sama-sama. Semoga semuanya lancar, Sir Alberto," ujar Jonathan tersenyum menyeringai. Dia dengan sengaja menjatuhkan pulpennya.

            "Oh maaf. Aku akan ambilkan untukmu," ujar Alberto.

            "Tidak. Jangan, biar aku saja Sir." kata Jonathan.

            Dan saat Jonathan menunduk. Sebuah peluru meluncur mulus dari kejauhan beberapa meter dan bunyi kaca yang pecah disambut dengan jerit kesakitan Alberto.

            "Argh!" suara meringis terdengar begitu menyenangkan bagi Jonathan.

            Bunyi alarm keamanan terdengar. Namun tak satupun pengawal yang masuk ke dalam ruangan. Karena Richard bekerja begitu cepat. Membidik seluruh pengawal saat Jonathan dan Alberto melakukan negosiasi bisnis.

            Jonathan membuka semua penyamarannya. Dan menyeringai melihat musuhnya terkapar sekarat sambil menatapnya tajam.

            "Kau?!" pekik Alberto terkejut. Tangan kanannya memegangu dada yang terkena tembakan.

            "Ya! Sudah kukatakan bukan, sebuah peringatan yang membuat kakakmu angkat kaki dari London. Aku kembali... Dan akan membalaskan semua perbuatanmu dan kakakmu kepada Natasha, kalian semua akan mati ditanganku," ancam Jonathan. Dia duduk dengan santai sambil meminum sebuah minuman beralkohol.

            Pintu ruangan terbuka, menampilkan sisa pengawal yang siap menembak Jonathan. Namun belum sampai terlaksana, Jonathan dengan cepatnya menembakkan pelurunya ke masing-masing dada para pengawal tersebut. Semua pengawal tumbang.

            "Kau bajingan! Kakakku tak akan tinggal diam saat mengetahui semua ini!" ujar Alberto. Suaranya tertahan, tangan kanannya telah dipenuhi darah segar. Suaranya tercekat karena pernapasannya kian menipis.

            "Memang itu tujuanku! Apa pesan terakhirmu? Sebelum aku menanamkan peluru ke kepalamu?" tanya Jonathan berdiri mengarahkan senjata apinya ke kepala Alberto.

            "Dasar keparat—" ucapan Alberto terhenti ketika Jonathan dengan mudahnya menembakkan satu pelurunya ke arah kepala Alberto.

            Jonathan melihat ke arah cctv, tersenyum menyeringai merasa puas dengan apa yang dia lakukan.

            "Ini baru awal... Selanjutnya aku akan mendatangimu Baranov!" ujar Jonathan. Lalu dia menembakkan peluru terakhirnya ke arah cctv. Dia keluar dari rumah bermandikan darah mayat para keparat mafia itu.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status