_PROLOGUE_
Ingar bingar suara musik dari dj yang asik memainkan alatnya terdengar memekakan gendang telingaku, yang sudah menjadi langganan setiap akhir pekan menghabiskan malam di sebuah bar di kota besar Manhattan. Tepatnya di kawasan Midtown.
Sedikit informasi tentang tempat ini....
Sebagai distrik bisnis pusat terbesar di New York, Midtown Manhattan menjadi distrik komersial tunggal tersibuk di Amerika Serikat, dan termasuk di antara kawasan real estate terpadat dan beragam di dunia. Sebagian besar pencakar langit besar New York, termasuk menara hotel dan apartemen tertinggi, terletak di Midtown.
Well... beralih ke kisah hidupku yang cukup tragis.
Kejadian pahit beberapa bulan lalu membuatku begitu tersiksa walau aku terlihat baik-baik saja di depan semua orang... namun tak ada yang tahu, bagaimana keadaan hatiku. Sungguh miris.
Terluka, tergores, tersayat dan semua hal menyakitkan begitu kuat kurasakan selama berbulan-bulan.
Baiklah kalian bisa mengatakan aku berlebihan, aku tak peduli.
Karena hanya satu wanita yang kutunggu... wanita yang menancapkan pedang itu ke dalam hatiku. Lalu meninggalkanku tanpa sempat mencabutnya kembali.
Dan wanita itu adalah Clara Davonna Dawn. Wanita yang begitu tega meninggalkanku terlalu lama. Dan menghilang tanpa jejak hingga detik ini.
Membuat seorang Dave Mose Williams merana dalam menjalani hidup yang terlihat begitu indah jika aku mau menikmatinya.
Namun... Tidak! janjinya untuk kembali harus ditepati. Dan aku memilih menunggu, membiarkan diriku terus menerus menjadi sasaran wanita yang begitu penasaran dengan kehidupan pribadiku.
Seperti yang tengah dilakukan sepasang mata yang menyoroti keberadaanku. Seorang wanita yang kuketahui berprofesi sebagai model, hendak mendekatkan diri denganku.
Hah... entah sampai kapan juga aku menjadi incaran buas para model itu... rasanya melelahkan harus berakting di depan mereka, demi mengetahui kepribadian model yang hendak masuk ke dalam management yang telah kudirikan dengan susah payah.
Lihat saja, pakaian yang super minim dan ketat itu. Ditambah dengan langkah gemulai, Wanita itu mulai berjalan mendekatiku. Aku harus menjaga sikapku untuk tetap tenang, walau sudah menghabiskan tiga gelas sloki vodka.
Well... Artinya aku harus berpura-pura, lagi!
"Hay handsome," sapa wanita berpakaian ketat dengan warna merah menyala sambil mengambil duduk di sampingku.
Ya ampun... wangi parfumnya begitu menyengat. Dan itu mengganggu bagiku!
Aku menoleh, memberikan tatapan dengan sorot mata dingin yang memancar begitu kuat terlihat jelas dari mataku... aku yakin itu.
Dia akan semakin tertantang dengan tatapan ini. Belum lagi, rahang tegas yang sengaja kututupi dengan bulu-bulu lebat disekitar dagu, demi membedakan aku yang sekarang begitu kacau tanpa Clara.
Namun hal tersebut malah membuat wajah wanita di sampingku sedikit menegang, karena tatapanku.
"Hei," jawabku singkat.
Dengan seulas senyum dari bibirku yang seksi ini. Dan tak lupa untuk kubuat sedikit menyeringai demi membuatnya bingung dengan tingkahku yang over percaya diri.
"Alone?" tanya wanita itu lagi.
Sambil sedikit membungkukkan tubuhnya di depanku.
Dengan sengaja aku kembali menatap minumanku, karena tak ingin dikatakan bahwa aku tergoda. Wanita itu seakan sengaja melakukannya untuk menggodaku dengan penampilan seksinya melalui dada yang menyembul keluar karena minimnya pakaian yang digunakannya. Dasar bitch!
"Ya. Kau mau menemaniku?" tanyaku. Sambil menenggak minuman keempatku.
"Tentu," jawab wanita berkulit putih pucat yang terlihat mengkilap diterangi cahaya berwarna orange dari lampu menggantung di atasnya.
Tangan halusnya mulai mengusap tanganku yang bergambar sarang laba-laba. Aku baru membuatnya beberapa bulan yang lalu.
Ya ampun, apa aku sudah menyebutnya 'bitch' barusan?
Itu artinya aku tak bohong, karena kenyataannya wanita ini terus menggodaku melalui tatapan sensual yang seolah menantangku untuk takluk padanya malam ini.
But, it's not that easy, Bitch! You want to play with me? Let's play!
"Tapi, aku tak bisa terlalu banyak minum. Dan sekarang malah aku mulai mabuk saat melihatmu. Bisa kau bawa aku pergi dari sini?" tanyaku tetap memasang wajah tampanku yang lagi-lagi aku selipkan sebuah seringaian mencurigakan.
Namun bagi seorang wanita yang memiliki sebuah tujuan, dia akan dengan senang hati membawaku bermalam bersamanya di sebuah hotel terdekat dari club ini.
"Of course, handsome," jawab wanita yang memiliki bibir merah tebal dan sedang menyungging naik ke atas seolah senang saat mendapatkan lampu hijau dariku -incaran banyak model sepertinya-.
"Well, sebelumnya aku harus memanggilmu apa?" tanyaku berbasa-basi lagi untuk menghabiskan sisa gelas kelima dari sang bartender yang sudah hafal dengan pesananku.
Tanpa sungkan wanita dengan lengkuk tubuh sempurna itu mengulurkan tangannya.
"Penelope Vexia," jawab wanita itu dengan suara yang dibuat-buat agar terdengar seksi.
Aku mengangguk-anggukkan kepala, Sambil mengambil gelas terakhirku... lalu hendak meminumnya untuk kesekian kali. Dan aku belum merasa mabuk sama sekali... sialnya aku tetap harus menyingkirkan wanita pengganggu ini.
"Baiklah... aku-"
"Dave Mose Williams," sela Penelope.
Menebak namaku. Namun maaf, aku sama sekali tak terkejut. Aku malah menyeringai dan menenggak minuman terakhirku.
"Ya, sepertinya aku cukup terkenal dikalangan model cantik sepertimu," ujarku sambil terkekeh, memulai akting yang kubilang tadi.
"Tentu. Dan predikat-mu sebagai the lady killer bahkan sudah seperti rahasia umum bagi semua kalangan model sepertiku. Dan malam ini, aku ingin mencoba peruntunganku," ujar Penelope begitu yakin.
Ia tersenyum menatapku yang juga tersenyum begitu tampan. Namun sedetik kemudian aku mulai memejamkan mata dan menjatuhkan kepalaku ke atas pangkuan Penelope.
Seolah aku dengan sengaja memberikan kesempatan bagi wanita itu untuk menguasai diriku malam ini.
"Hah... Semudah ini? Well ini malam keberuntunganku rupanya!" gumamnya bersorak girang.
Namun nyatanya hatiku yang lebih bersorak!
Gotha you, Bitch! seruku dalam hati, sambil menyeringai walau mataku terpejam.
**
—01—Dave berjalan sedikit sempoyongan di koridor hotel. Terlihat dari cara berjalannya yang tak beraturan dengan menabrakkan tubuhnya ke dinding kamar hotel.Lalu sesekali ia terkekeh saat jalannya tak bisa kembali benar. Namun dia tetap berjalan menjauh dari kamar yang sempat dimasukinya bersama seorang wanita yang hendak memanfaatkan keadaannya yang setengah mabuk.Bukan karena minuman yang ditenggak Dave saat di Club. Namun sebuah pil yang sempat dimasukan Penelope ke dalam mulut Dave.Beruntungnya Dave menahan pil itu di bawah lidah. Dan hanya sedikit yang terlarut dari pil yang kemungkinan bisa membuat orang tertidur dalam sekejap.Sebelumnya sesuatu hampir terjadi pada Dave untuk kesekian kalinya.Jari lentik seorang wanita yang tak lain seorang Penelope hendak memanfaatkan keadaan Dave untuk menjadi tenar.Setelah perpisahannya d
—02—Empat tahun kemudian.Sebuah mobil sport putih berhenti di sebuah gedung pencakar langit dengan papan reklame bertuliskan Mose Entertain.Sepasang kaki bersepatu pantofel mengkilap, turun dari mobil keluaran terbaru dari ferrari tersebut.Kaki itu melangkah memasuki gedung mengkilap yang terlihat begitu tinggi menjulang ke langit dengan sangat angkuh.Beberapa karyawan di gedung tersebut menyapanya dengan ramah. Dan pria itu menanggapinya dengan senyuman yang membuat ketampanannya semakin bertambah.Dipadukan dengan setelan jas melekat sempurna di tubuhnya yang diyakini begitu indah dan sangat disayangkan untuk tak dipandang.Pria yang berjalan dengan tegap itu menyunggingkan senyuman di balik rahang tegas yang ditutupi bulu halus terawat dan tertata rapi mempertegas rahang, seolah menambahkan kesan seksi dari raut wajah yang begitu sempurna
—03—Clara menghentikan mobilnya di depan halaman sekolah anak-anak yang masih dalam tahapan pre-school.Marshella Anggie Wesley, anak yang berada di samping Clara tersenyum menatap ke arah layar jendela mobilnya.Bocah berusia tiga tahun itu turun dari mobil, sambil berseru kepada Clara."C'mon, Mom!" ajak bocah perempuan itu berseru.Clara tersenyum membuka seatbelt dan mematikan mesin mobilnya, ia turun menyusul Anggie -panggilan anak tersebut- yang berjingkrang senang saat hari ini adalah first timenya ia masuk sekolah."Wait, An ... jangan tinggalkan, Mom." Clara menyahut dan terburu-buru mengejar Anggie.Bocah perempuan yang begitu aktif dan sangat antusias untuk masuk ke lingkungan barunya itu, berlari dan berhenti menatap kagum bangunan indah yang ada di hadapannya.Dengan mulut yang menganga ... bocah itu terlih
—04—Dave menggebrak-gebrak Stein yang masih tertidur di sofa ruang tamu apartemen asisten sekaligus detectif yang merangkap menjadi sahabat Dave. Lebih tepatnya... Teman curhat Dave selama beberapa tahun terakhir.Well ... Bagaimana bisa Stein -sipemilik apartemen- malah tidur di sofa ruang tamunya?Kembali lagi pada kenyataan, bahwa Dave adalah bosnya!Setelah perdebatannya dengan Stein semalam ... Dave —pengungsi tak tahu diri itu. Meminta tidur di kamar Stein, dengan alasan ia lelah karena perjalanan panjangnya dari Manhattan menuju Sydney yang memakan waktu empat jam lebih lama dari penerbangan yang biasanya hanya mencapai duapuluh tiga jam paling lama.Erangan dari mulut Stein terdengar menggerutu kesal. Bosnya yang satu itu memang tak bisa memberikan Stein sedikit jeda untuk bernapas sejenak dan menikmati tidurnya dengan tenang."Stein bangun! Jika kau tak ingin
-05-Dave tersadar setelah beberapa detik bergeming menatap kepergian Clara. Lantas dia bergegas mengikuti Clara yang sudah diketahuinya menuju sekolah di mana bocah perempuan itu diantarkan Clara.Dave memasuki mobil milik Stein dan langsung menekan pedal gasnya untuk bisa menyusul kepergian Clara.Ia melewati beberapa mobil yang telah menutupi jalannya, untuk menyusul mobil Clara yang berada dua mobil di depan darinya. Di sisi jalan terlihat tanda kehidupan dari orang yang berlalu lalang untuk memulai harinya.Hingga beberapa menit kemudian, Mobil yang dikendarai Clara terlihat berhenti di pelataran halaman parkir sekolah Anggie.Bocah kecil itu keluar dan melambaikan tangannya kepada Clara. Setelah ia mencium pipi ibunya dan Clara membalasnya sambil mengusap kepala Anggie dengan sayang.Sementara Dave terdiam menatap pemandangan indah tersebut. Hatinya tereny
—06—Dave menghentikan mobilnya tepat di belakang mobil Clara. Ia keluar dari mobil sambil memakai kacamata hitam karena terik matahari tepat berada di atas kepalanya.Otaknya terasa mendidih seperti hatinya saat ini. Ketika mendengar pengakuan omong kosong dari Clara yang berkeras bahwa wanita itu merasa telah bahagia tanpanya.Terlihat Clara yang masuk ke rumah, membawa Anggie yang terus berceloteh menceritakan kegiatannya di sekolah. Sesekali bocah itu menyebut nama Dave yang begitu angkuh tak ingin bermain dengan teman lainnya.Dave mengikuti dan memilih membiarkan Clara melakukan kegiatannya seperti biasa. Mengurus Anggie, dengan menyuruh bocah itu untuk mengganti pakaian. Sementara Clara hendak memasak makan siang mereka."Aku ingin bermain dengan teman perempuan ... tapi Dave dengan angkuhnya berkata, bahwa kami berisik. Dan dia ....""Okay, An. Simpan ce
—07—Clara masuk kembali ke rumah, setelah selesai menjawab panggilan yang membuatnya naik darah.Terlihat dari wajahnya yang memerah dan hilangnya senyuman di wajah yang masih terlihat cantik.Clara bergabung bersama Dave dan Anggie yang kompak memerhatikan wanita itu. Clara duduk dan langsung mengambil makanan ke atas piring kosong. Lalu melahapnya dengan segera seperti orang kelaparan.Padahal sebelumnya ia berkata kepada Anggie bawah dia masih kenyang. Dave dan Anggie melongo melihat Clara begitu lahap menyuapkan nasi berkali-kali ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya dalam jumlah banyak hingga kedua pipinya menggelembung menjadi chuby."Apa masakanku seenak itu?" tanya Dave.Seketika Clara baru teringat bahwa makanan yang ia lahap sedemikian rakusnya adalah masakan Dave. Ia hanya sedang kesal dan meluapkannya begitu saja tanpa tahu dirinya sudah menjadi pusat perhatian kedua
-08-"Matheus Arthur Wesley! Berhenti bicara dan jangan campuri urusanku!" hardik Clara.________Lagi-lagi menghentikan ucapan Matheus. Bersamaan dengan itu Clara berbalik, menatapnya dengan sorot mata tajam, begitu juga Dave yang berada tepat di belakang Clara berjarak beberapa langkah sambil mengerutkan keningnya dalam."What happened, Cla? Kenapa kau menghentikan ucapannya?!" tanya Dave.Membuat Clara menoleh dan menatapnya sinis. Tatapan yang diterima dan dibalas oleh Dave tak kalah sinis.Dave melangkah mendekati Clara, tanpa berniat menghilangkan sorot tajam dari manik abunya."Apa yang hendak kau sangkal, Cla? Kenyataan bahwa kalian adalah adik kakak? dan tak dapat terelakkan bahwa darah yang ada di dalam tubuh kalian yakni dari gen yang sama, sebagai keturunan Wesley?!" sergah Dave.Semakin m