Share

Part 03

—03—

Clara menghentikan mobilnya di depan halaman sekolah anak-anak yang masih dalam tahapan pre-school.

Marshella Anggie Wesley, anak yang berada di samping Clara tersenyum menatap ke arah layar jendela mobilnya.

Bocah berusia tiga tahun itu turun dari mobil, sambil berseru kepada Clara.

"C'mon, Mom!" ajak bocah perempuan itu berseru.

Clara tersenyum membuka seatbelt dan mematikan mesin mobilnya, ia turun menyusul Anggie -panggilan anak tersebut- yang berjingkrang senang saat hari ini adalah first timenya ia masuk sekolah.

"Wait, An ... jangan tinggalkan, Mom." Clara menyahut dan terburu-buru mengejar Anggie.

Bocah perempuan yang begitu aktif dan sangat antusias untuk masuk ke lingkungan barunya itu, berlari dan berhenti menatap kagum bangunan indah yang ada di hadapannya.

Dengan mulut yang menganga ... bocah itu terlihat sekali sangat takjub dengan apa yang dia lihat saat ini. Irish sebiru lautan itu berbinar cerah seakan memantulkan apa yang tengah ia lihat saat ini.

Di hadapannya terdapat sebuah sekolah dengan bangunan sederhana berwarna-warni seperti pelangi di dinding luar sekolah itu, seakan menambahkan semangat Anggie dan murid baru yang hendak belajar serta bermain bersama teman sebaya mereka.

Tak seperti Anggie ... disekeliling sana, ada juga beberapa anak seusia Anggie yang menangis dan takut untuk masuk ke gedung sekolah tersebut. Ada juga yang tak ingin lepas dari gendongan ayah dan ibunya.

Beberapa ada yang mandiri seperti Anggie yang berlari lebih dulu ke dalam gedung sekolah.

"Anggie jangan lari, nanti kau terjatuh ... lagi!" belum habis ucapan Clara. Bocah itu kembali terjatuh.

Namun tak ada tangis di wajah Anggie, bocah itu hanya meringis dan menunduk malu dengan orang di sekitarnya. Terutama dengan bocah laki-laki di hadapannya, yang menjadi penyebabnya menghentikan laju larinya—karena tak ingin menabrak bocah tersebut.

Clara menghampiri kedua bocah yang hampir saja saling beradu. Ia membantu Anggie untuk bangun dan membersihkan lututnya.

"Sudah berapa kali Mom katakan ... jangan sembarangan berlari, An. hampir saja kau menabrak bocah laki-laki ini," peringat Clara. Wajahnya tampak khawatir memerhatikan lutut Anggie dengan teliti.

"I'm sorry, Mom ...," cicit Anggie. Kini ekspresi wajah bocah itu seakan menyesal karena tak mendengarkan nasihat ibunya.

Lalu Anggie, terdiam menatap bocah laki-laki yang sedang memegang sebuah kamera mainan yang tergantung di lehernya.

Clara tersenyum dan menanyakan bocah laki-laki yang tak ada orang tua di samping bocah itu.

"Siapa namamu? Dimana orang tuamu? Apa kau tersesat?" tanya Clara bertubi-tubi, sambil mengernyit.

"Aku Dave, orang tuaku baru saja pulang. Itu mobilnya," ungkap bocah laki-laki bernama Dave.

Sambil menunjuk sebuah mobil sedan yang melaju meninggalkan anaknya.

Seketika Clara tersentak dengan nama yang dikatakan bocah tersebut. Raut wajahnya berubah tegang dan senyumnya menghilang saat mendengar nama pria yang pernah dicintainya terdengar keluar dari bibir bocah itu.

"Mom," panggil Anggie menggerakkan tangan Clara.

Karena bocah laki-laki bernama Dave itu hendak pamit untuk melanjutkan langkahnya ke dalam sekolah.

Clara yang tersadar dengan lamuman bodohnya ... menunduk dan mengusap bahu Dave.

"Hah... seharusnya mereka menemanimu sampai masuk ke kelas. Baiklah, kau bisa masuk denganku dan putriku. Aku Clara dan ini Anggie," ujar Clara, kembali menampilkan seulas senyuman manis.

Seakan dejavu ... ia sedikit teringat dengan kejadian dirinya saat baru tiba di Manhattan—Tepatnya di apartemennya. Waktu itu ia juga menabrak Dave yang dengan angkuhnya tak membantunya bangun.

"Aku tak mau berteman dengannya, Mom. Dia membuatku terjatuh tapi dia tak mau membantuku bangun," keluh Anggie. Kembali membawa Clara dari lamunannya.

"Anggie... jangan berkata seperti itu, Mom tak mengajarkanmu begitu terhadap teman di sekitarmu," tutur Clara. Berjongkok menghadap Anggie.

"Aku juga tak ingin berteman denganmu gadis ceroboh. Aku bahkan tak menyentuhmu ... kau yang terjatuh sendiri," ujar Dave mencibir.

"Ya sudah ... siapa juga yang mau berteman denganmu!" tukas Anggie membalas, "Mom tak perlu mengantarku ... aku bisa sendiri," timpal Anggie.

Kembali melangkah menjauhi Dave dan meninggalkan Clara yang ternganga tak percaya.

Bagaimana bisa bocah berusia tiga tahun setengah bisa saling menukas. Semua itu semakin mengingatkannya akan kejadian dirinya di masa lalu ... Dimana Dave begitu angkuh—karena tak sedikitpun membantunya, bahkan mengucapkan maaf pun tidak sama sekali.

"Hm ... Dave, maafkan Anggie. Dia hanya sedikit kesal... jangan marah padanya, aku akan membujuknya untuk berteman denganmu," kata Clara kembali membungkuk, setelah sempat berdiri hendak mengejar Anggie.

Clara mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala bocah laki-laki tersebut. Bagaimana bisa anaknya baru masuk sekolah bukannya mendapatkan teman, namun malah mendapati musuh.

Dave tersenyum. "Terima kasih, Cla ... tak apa. Aku tahu gadis itu memang menyebalkan. Aku masuk dulu," ujar Dave tersenyum manis.

Setidaknya Dave tetaplah bocah laki-laki yang memiliki sifat angkuh terhadap sebayanya. Mungkin karena kurangnya perhatian kedua orang tuanya, mempengaruhi sikap anak tersebut hingga terlihat begitu angkuh, demi mencari perhatian di sekitarnya.

Namun tetap saja... kedua anak berusia tiga tahun setengah, mampu bertingkah menyebalkan layaknya orang dewasa?

Sungguh membuat Clara harus menepuk keningnya karena tak percaya dengan semua ucapan kedua bocah yang menurutnya terlalu cepat dewasa untuk berkata begitu sinis dan bijak.

"Hah ...  ya ampun, apa anak zaman sekarang begitu cepat dewasa?" Clara bertanya pada dirinya sendiri.

Sambil mengedikkan bahunya ... ia berjalan ke luar dari pelataran sekolah. Berniat mencari kedai kopi untuknya menjernihkan kepala.

________

Clara mendaratkan bokongnya di kursi yang menghadap ke jalan... ia cukup kelelahan karena berjalan menuju kedai kopi yang berjarak kurang lebih 200 meter.

Setelah memesan kopi dan croissant, ia memperhatikan sekitarnya ... suasana kota The Rocks sungguh pilihan terbaik untuknya menetap di sana—setelah sebelumnya ia sempat berpindah-pindah tempat.

Namun pilihannya berakhir di The Rocks yang memiliki lingkungan di sepanjang jalan bersejarah di bawah bayangan Jembatan Sydney Harbour.

Clara begitu menyukai semua orang di sekitarnya yang berbaur dengan baik....

Banyak warga lokal dan turis berbaur di The Rocks Market yang terbuka untuk membeli makanan jalanan dan busana buatan tangan.

Tak hanya itu ... di sepanjang kawasan pejalan kaki tepi pantai yang sibuk, para pengamen tampil memberikan kesan hiburan tersendiri bagi Clara jika ia sedang jenuh dan mencari udara segar.

Sesungguhnya nama The Rocks itu sendiri karena aslinya tempat itu adalah bukit batu yang kemudian menjadi pemukiman.

Namun bukan hanya sekadar pemukiman biasa ..., The Rocks punya sejarah amat penting untuk Australia. Terletak di Teluk Sydney, The Rocks adalah pemukiman pertama dari koloni Inggris tahun 1788. Seakan menjadi sejarah pertama Australia hingga membuat pemerintah begitu menjaga tempat tersebut sebagai salah satu kota tua di negaranya.

Clara seakan kembali ke rumah saat ia berkeliling pemukiman The Rocks yang cukup banyak menyimpan kenangannya bersama orang yang cukup penting dalam hidupnya yang kini, orang tersebut telah tiada dan membuatnya harus menetap di sana.

Demi membalas semua kebaikan sahabat sekaligus sosok seorang kakak yang begitu banyak berkorban untuknya.

Clara tersentak saat menatap langit tiba-tiba seorang pelayan mengantarkan kopi pesanannya. Ia tersenyum dan mulai mengendus bau kopi yang terlihat masih hangat untuk diseruput.

Pikirannya kembali mengingat nama bocah laki-laki yang baru saja ia temui.

"Huh ... sungguh seperti sebuah kebetulan. Atau mungkin memang namanya cukup pasaran," gumam Clara terkekeh.

Lalu mulai menikmati sarapannya yang cukup membuatnya kenyang hingga siang hari. Sambil menunggu Anggie selesai kelas pertamanya.

Clara yang terlalu larut menikmati kopinya ... tak menyadari bahwa saat ini, ia sudah menjadi perhatian seseorang yang berpakaian serba hitam dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.

Seorang pria yang duduk dua meja di belakangnya tak henti memerhatikan gerak-geriknya dari ia keluar rumah, sambil menghubungi seseorang yang dipanggilnya Bos.

***

Dave turun dari pesawatnya sambil merapatkan mantel. Ia memakai kacamata hitam dan mulai melangkah menuju parkiran mobil yang sudah menunggunya sejak satu jam yang lalu.

Perjalanan yang cukup melelahkan baginya... namun ia tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bermalas-malasan.

Dave memasuki mobil sedan berwarna hitam dan langsung menanyakan apa yang didapat oleh Stein —pria yang duduk di balik kemudi—.

"Katakan bahwa kau salah, Stein! Kau tahu aku tak menyukai kesalahan sedikitpun. Aku tak akan mentolerirnya!" tukas Dave.

Saat ia mendaratkan bokongnya di kursi penumpang, sambil melepas kacamatanya.

Dirinya sungguh kesal ketika ia harus mengalami transit dan membuatnya harus menunggu satu hari lebih lama untuk tiba di Sydney.

Hingga sebelum ia kembali terbang, Stein kembali melaporkan bahwa Clara sungguh sudah memiliki seorang anak.

Stein meyakini semuanya karena ia mendengar sendiri bocah perempuan yang bersama Clara memanggilnya dengan sebutan mom.

"Aku tak tuli, Dave. Sungguh ... bocah yang bersama Clara memanggilnya begitu. Aku bahkan merekamnya dan kau juga sudah melihat video yang kukirimkan bukan?" tanya Stein.

Melajukan mobilnya dan membawa Dave ke apartemennya. Karena Dave meminta semuanya dirahasiakan, jadi ia tak ingin ada namanya ataupun nama Stein yang menyewa sebuah hotel ataupun penginapan lain di Sydney.

Dave meremas benda pipih yang ada didalam genggamannya. Ketika ia mengingat kembali bagaimana interaksi Clara dengan seorang bocah perempuan yang memanggilnya dengan sebutan mom.

Sebuah berita yang membuatnya cukup pesimis. Namun tidak sampai membuatnya berhenti ... karena ia akan mencari tahu sendiri dengan cara terang-terangan.

"Untuk saat ini, aku percaya dengan semua pengintaianmu Stein. Tapi jika ternyata semua itu ada alasan lain dibalik panggilan itu... Aku tak akan memaafkanmu," ujar Dave.

Ia memijat sisi pelipisnya, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya yang kian terasa kuat.

"Baiklah ... terserah. Kau bosnya," kata Stein.

Menanggapinya dengan sedikit gurauan. Karena ia tahu, bos kecilnya itu terlihat tak bisa menerima kenyataan yang baru diketahuinya.

"Well ... kau ingin langsung ke apartemenku?" tanya Stein.

"Hem, kau sudah menyiapkan semua yang kubutuhkan?" tanya Dave bergumam.

"Sudah... hanya seadanya. Kau yang memintaku untuk tak terlalu berlebihan bukan?" tanya Stein memastikan, sambil melirik ke kaca spion.

"Ya. Yang terpenting aku bisa mendatanginya besok pagi dengan segera... aku tak memerlukan kemewahan apapun untuk mendatangi wanita kurang ajar itu!" tukas Dave.

Kekesalannya begitu memuncak karena dirinya bukan hanya merindukan sosok seorang Clara. Melainkan ia merasa tertipu dengan perpisahannya yang terlalu lama.

"Kenyataannya... yang kau sebut wanita kurang ajar itu, mampu membuatmu menjadi bodoh. Heh! Kakak dan ayahmu menjadi bodoh karena memperebutkan satu wanita, Dan sekarang kau juga, apa kalian—"

"Stein... Apa kau dibayar untuk mengomentari semua itu? Kau ingin menutup mulutmu sendiri, atau aku yang membantumu?!" sarkas Dave menyela.

Menatap dari kaca spion dengan santainya berkata seolah ia sangat ingin memakan Stein saat itu juga karena begitu berani mengomentari kehidupan ketiga bosnya.

Stein hanya melakukan gerakan mengunci mulutnya dan membuang kunci itu keluar jendela.

"Bagus jika kau bisa menutup mulutmu sendiri!" tukas Dave.

Dasar Stein sialan! Berani-beraninya dia mengejekku! Lihat saja nanti ... saat aku mendapatkan Clara kembali, aku akan membuatmu menyesal telah mengejekku barusan! tukas Dave dalam hati.

Seperti bocah kecil yang tak menyukai adanya ejekan menyebalkan dari siapapun.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status