Pelajaran pertama Jumat pagi itu adalah olahraga. Alena mengikat rambutnya tinggi ke atas, supaya tidak berantakan selama berolahraga. Ia dan Karin bersama-sama berjalan keluar dari ruang ganti putri menuju ke lapangan.
Lapangan yang luas itu sudah penuh dengan teman-teman sekelas mereka, ada yang berdiri mengelompok di pinggir, ada yang sudah mulai memainkan bola basket, ada juga yang hanya duduk-duduk.
“Aduh...,” Alena mengaduh, karena Karin tiba-tiba menyikut tulang rusuk sebelah kirinya. “Ada apa sih, Rin?” Alena menegur dengan nada kesal.
“Tuh, si Pangeran Putih lagi lihatin kamu...,” bisik Karin sambil tersenyum, ia mengedikkan kepalanya ke arah kanan Alena.
Alena menoleh ke kanan, ke arah bangku-bangku semen yang berundak seperti anak tangga di pinggir lapangan. Alva duduk sendirian di bangku kedua dari bawah. Matanya seperti biasa menatap tajam...persis ke arah Alena! Wajahnya tetap dingin, tidak tersenyum.
Alena secara refleks menolehkan wajahnya kembali karena malu. Tapi sejurus kemudian, ia balas memandang Alva dan tersenyum tipis. Ya, tidak mungkin ia tidak mengacuhkan cowok itu. Bukankah Alva sudah bersikap baik kepadanya kemarin?
Alva tidak membalas senyumnya, tapi Alena merasa sorot matanya melembut. Atau setidaknya seperti itu harapan Alena.
“Apa maksudnya Pangeran Putih?” tanya Alena setengah berbisik juga kepada Karin. Ia sekarang mengalihkan pandangannya ke tengah lapangan, karena Sir Deni, guru olahraga mereka, sudah berdiri di tengah lapangan dan memberi isyarat supaya para siswa berkumpul.
“Alva itu artinya putih... Cocok kan sama orangnya?” kata Karin, ia tersenyum jenaka.
Alena hanya menghela nafas. Temannya yang satu ini memang punya bakat untuk usil.
Alena sengaja berjalan maju agak ke tengah, berbaur dengan teman-teman yang lain. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Entahlah, apakah Alva ada di belakangnya atau tidak, ia hanya masih merasa gugup kalau berada di dekat cowok itu.
Sir Deni membagi kelompok untuk bermain voli, putra dan putri dipisah. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk mengumpulkan angka. Kelompok yang lebih dulu meraih angka sepuluh dianggap menang, dan akan maju ke babak selanjutnya.
Para siswa mulai gaduh setelah pembagian kelompok. Ada empat kelompok putra dan empat kelompok putri yang akan saling bertanding. Alena dan Karin tidak sekelompok karena absensi mereka berjauhan. Mereka bergabung dengan kelompok masing-masing. Alena tidak terlalu jago bermain voli, tapi setidaknya ia bisa memukul dan menangkis.
Permainan pun dimulai. Lapangan berubah menjadi hiruk-pikuk karena sorakan dan teriakan para siswa. Alena menikmati permainan, ia berlari ke sana kemari. Tim Alena dan Karin harus saling berhadapan. Karin lumayan jago bermain voli. Ia menjadi kapten timnya.
Dari seberang lapangan, Karin masih sempat mengolok Alena dengan menjulurkan lidahnya. Alena tertawa melihat tingkah Karin. Tim Alena akhirnya kalah tipis terhadap tim Karin, 8-10. Tim Karin yang akan maju ke babak berikutnya, melawan tim putri yang satu lagi.
Alena mencari tempat duduk di bangku yang kosong, sambil mengelap keringat dengan handuk kecil yang dibawanya.
“Sini, Len...,” ternyata Farah yang memanggilnya. Mereka tadi satu tim.
Alena mengambil tempat duduk di samping Farah. Nafasnya masih sedikit terengah.
“Kamu dukung siapa?” tanya Farah, sambil matanya tertuju ke lapangan.
Alena melihat tim Karin sedang bersiap-siap untuk pertandingan akhir.
“Karin dong...,” jawab Alena sambil tertawa.
“Bukan... Maksud aku, tim cowok...,” kata Farah sambil menunjuk ke arah lapangan lain, tempat tim putra sedang bertanding. Mereka juga sedang menjalani pertandingan akhir.
Alena mengarahkan pandangannya ke lapangan sebelah. Dari tadi ia tidak tahu hasil pertandingan tim putra, tentu saja karena ia sibuk dengan pertandingannya sendiri.
Ternyata Alva masuk di salah satu tim yang memperebutkan hasil akhir. Sosoknya yang tinggi tampak lumayan menonjol di lapangan. Ia bermain dengan sangat lincah.“Hebat lho, anak baru itu...,” kata Farah memuji.
Alena tahu yang dimaksud Farah adalah Alva. Kebetulan tim Alva berhadapan dengan tim Norman, ketua kelas mereka, sekaligus cowok yang paling atletis di kelas mereka, karena Norman juga tergabung dalam tim inti bola voli putra di sekolah mereka.
Alena bisa melihat Alva sangat menikmati permainan. Ia meloncat, memukul bola, tapi hampir tidak berteriak atau berseru seperti yang lainnya. Sejenak, kesan dingin yang dimilikinya seperti hilang di atas lapangan.Kedua tim sama-sama tangguh, dari tadi saling kejar-mengejar angka. Norman terus berteriak memberi instruksi pada anggota timnya. Tentu saja dia tidak mau kalah, karena mempertaruhkan nama baiknya di tim bola voli putra. Angkanya sudah 9-9, tinggal satu angka penentuan.
Tiba-tiba ada yang memberi umpan bola tinggi ke depan net. Alva meloncat tinggi, dan...smash! Bola menukik tajam, menghujam area permainan lawan dengan cepat, tanpa ada yang sanggup menangkisnya lagi. Norman tertunduk lesu. Timnya kalah.
“Yeeesss...!!!” Farah berteriak kegirangan.
Beberapa teman cewek yang lain juga tampak bersorak-sorak. Sepertinya, lebih banyak yang tertarik menonton pertandingan tim putra daripada tim putri.
Alena hanya memperhatikan sambil tersenyum. Ia baru sadar, kalau dari tadi, ia juga tidak menonton permainan tim Karin.
Karin dan teman-teman masih bertanding. Akhirnya permainan dimenangkan tim Karin. Tim putri yang menang sedang berkumpul di tengah lapangan, sambil tertawa dan mengobrol.Alena cepat-cepat turun menemui Karin. "Cie... Kaptenku menang...,” ledek Alena.
Karin tertawa. “Pangeran Putih juga menang tuh...” Karin menunjuk ke arah Alva, yang tampaknya masih mengobrol dengan teman cowok yang lain.
Alena tidak menanggapi gurauan Karin, walaupun dalam hati, ia ingin mengucapkan selamat juga kepada Alva.
Sir Deni menutup pelajaran olahraga hari itu dengan informasi, bahwa Jumat depan adalah jadwal olahraga bebas, artinya mereka boleh membawa alat olahraga sendiri dan bermain bebas. Setelah itu, mereka dibubarkan untuk beristirahat.
“Ke kantin nggak?” tanya Karin. Ia masih bermandi keringat, mukanya merah.
“Ayo... Aku mau beli minum yang dingin, haus banget,” Alena mengajak.
Kantin penuh dengan teman-teman sekelas mereka. Banyak yang tampaknya masih membahas pertandingan voli tadi dengan seru. Alena dan Karin duduk di bangku panjang, berbaur dengan teman cewek yang lain.
“Habis ini, masuk lab kimia lagi, aduh....,” Karin tiba-tiba mengeluh.
“Kenapa emangnya?” Alena memandang Karin yang tampak gelisah.
“Kamu nggak tahu? Kemarin, Lala yang kelas Sebelas C cerita. Nanti kita dibagi kelompok berdua-dua, terus disuruh praktek langsung. Kamu kan tahu, aku kimianya gimana...” Wajah Karin tampak lucu kalau memberengut. “Semoga aku satu kelompok sama kamu ya, Len...”
“Tergantung pembagian kelompok berdasarkan apa. Absen kita jauh sih...,” kata Alena, sambil menyedot minumannya.
Tuntutan pelajaran di SMA Scientia memang sangat tinggi, para siswa dituntut untuk selalu siap menghadapi ujian tulis atau praktek kapan pun. Hal inilah yang menjadi salah satu keunggulan sekolah tersebut, dan ini juga yang membuat orang tua Alena memilih menyekolahkannya di sekolah ini. Papa yang menghendaki Alena tinggal di asrama sekolah juga, walaupun sebenarnya, siswa yang bersekolah di SMA Scientia tidak diharuskan tinggal di asrama.
“Supaya kamu belajar mandiri, disiplin, dan lebih tahan banting. Papa tahu kamu pasti bisa, karena kamu udah terbiasa mandiri.” Alena teringat perkataan Papa, waktu mendaftarkan dirinya ke asrama.
Terlahir sebagai anak bungsu tidak membuat Alena jadi manja, karena Papa selalu mendidik dia dan Kak Evan, kakak laki-lakinya, dengan disiplin. Ini mungkin pengaruh dari Opa yang dulu adalah seorang tentara. Mendadak, Alena jadi rindu keluarganya. Besok adalah akhir pekan. Alena tidak sabar menunggu dijemput Papa.
Setelah setengah jam waktu istirahat berlalu, para siswa memulai lagi pelajaran, kali ini mereka masuk ke laboratorium Kimia. Karin memang benar, mereka akan dibagi kelompok berdua-dua.
Miss Francis, guru Kimia mereka yang blasteran Perancis, sudah berdiri di depan ruang laboratorium, dengan daftar nama di tangannya. Wajahnya yang selalu serius membuatnya ditakuti sebagian besar siswa, dan dijuluki guru 'killer'. Semuanya hening menunggu pembagian kelompok.
“Kelompok satu. Alena, Alva, di depan sini,” suara Miss Francis mengagetkan Alena. Dia satu kelompok dengan Alva?
Alva berjalan dengan cepat ke tempat duduk yang ditunjukkan Miss Francis. Alena bisa merasakan cubitan Karin di tangannya, sebelum dia berjalan ke depan juga. Ia harus duduk berhadap-hadapan dengan Alva.
“Mimpi apa sih aku hari ini?” Alena mengeluh dalam hati, walaupun dia sebenarnya tahu, Alva tidaklah sedingin penampilannya.
Alena duduk di depan Alva. Tapi, ia tidak berani menatap mata Alva secara langsung. Ia malah menyibukkan diri dengan menyiapkan tabung reaksi dan peralatan yang dibutuhkan. Miss Francis terus membagi kelompok sampai selesai. Setelah itu, sang guru memberi instruksi apa yang harus dikerjakan.
Sekilas, Alena melihat Alva membalik-balik halaman buku, membaca sesuatu. "Alva baru masuk hari kedua, pastilah dia belum tahu apa yang harus dilakukan,” pikir Alena.
Alena membuka buku catatannya, dan perlahan menyodorkannya ke depan Alva." Ini...,” kata Alena dengan suara pelan.
Alva mencermati catatan Alena. Ia mengangguk-angguk, lalu mengangkat wajahnya. Alena mencoba bersikap tenang, walaupun jantungnya berdebar-debar. Tatapan mata Alva memang punya daya magis.
Setelah Miss Francis selesai memberi instruksi, semua siswa mulai sibuk. Alena dan Alva bekerja sama dalam diam. Alva menyiapkan alat dan bahan, sedangkan Alena yang mencampur larutan zat kimia. Alena juga diam-diam heran, bagaimana mereka berdua seperti saling mengetahui apa yang dibutuhkan.
Setelah sekian menit berlalu, titrasi mereka berhasil, cairan yang dihasilkan berwarna merah muda seperti yang diharuskan. Alena tersenyum puas melihat hasil pekerjaan mereka. Tetapi, Alva tetap saja tidak tersenyum, ia hanya memandang Alena.
“Udah selesai...,” kata Alena setengah berbisik. Alva masih tidak bergeming.
Akhirnya, Alena mengangkat tangannya sebagai tanda kelompok mereka sudah selesai. Ada beberapa kelompok lain yang juga sudah selesai. Miss Francis berkeliling memeriksa. Kelompok yang sudah selesai diperbolehkan kembali ke ruang kelas terlebih dulu, walaupun jam praktek Kimia masih menyisakan sekitar 20 menit.
Alena dan Alva berjalan berdampingan menuju kelas.
“Nanti kamu ada ekskul?” tiba-tiba Alva membuka pembicaraan.
“Mmm... Nggak ada...,” jawab Alena. Ia mendekap bukunya semakin erat ke dada.
“Kamu...mau temanin aku latihan biola?”
Pertanyaan itu benar-benar membuat Alena tertegun, langkahnya terhenti. Alva juga menghentikan langkahnya.
“Eh... Kamu masih latihan biola?” Respon yang bodoh menurut Alena.
Alena melanjutkan berjalan untuk menutupi kegugupannya. “Boleh... Jam berapa?” sambungnya lagi.
“Habis pelajaran terakhir.”
Alva agak menundukkan kepalanya memandangi lantai. Sekilas, Alena seperti menangkap kesan gugup juga pada dirinya. Tapi... Masa iya? Kenapa Alva gugup?
“Oke... Tapi, nanti aku pulang bentar ke asrama buat mandi ya... Tadi olahraga benar-benar bikin keringatan, nggak enak rasanya...,” Alena beralasan.
“Oke. Aku juga mau mandi kalau gitu.”
Alena tertawa mendengar jawaban Alva. Entah kenapa dia tertawa, tapi jawaban Alva terdengar begitu polos.
“Kamu juga jago main voli ternyata...” Alena teringat pertandingan tadi pagi. “Baru kali ini Norman kalah.”
Alva menggelengkan kepalanya. “Bukan aku yang kalahkan dia. Voli itu permainan tim, bukan satu orang." Jawaban yang sangat bijak menurut Alena.
“Iya... Kamu benar. Tapi, permainan kamu emang bagus kok...”
Mereka terus berjalan menuju ruang kelas.
Alena seperti mendapatkan energi ekstra sepanjang sisa jam pelajaran. Ada sesuatu yang ditunggu-tunggunya, dan hanya dia dan Alva yang tahu. Alva tetap tidak banyak bicara di dalam kelas, tapi dia sudah mulai bicara dengan Lucky yang duduk di depannya, atau lebih tepatnya Lucky yang mengajaknya bicara. Sepertinya setelah pertandingan voli tadi, Alva mulai dapat berbaur dengan teman-teman yang lain.Tapi ada satu hal yang tetap membuat Alena penasaran. Dia belum pernah melihat Alva tersenyum, apalagi tertawa. Wajahnya tetap saja dingin dengan sorot mata tajam. Hanya tatapan matanya yang kadang berubah menjadi lebih lembut, atau setidaknya begitu menurut Alena.“Setidaknya ada kemajuan. Dia udah mulai ngobrol sama yang lain,” Alena berkata dalam hati.*Bel tanda pulang berbunyi. Mendadak, Alena merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang, seperti menantikan sesuatu yang sang
Pagi itu, Alena terbangun sekitar jam setengah enam. Ia mandi dengan santai dan berganti pakaian. Ia mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa pulang. Sambil menyisir rambut panjangnya, Alena membuka chat di ponselnya. Jam enam. Ada chat dari Alva lagi!Sebuah foto, kali ini foto matahari yang baru terbit di kejauhan. Alena tersenyum. Cara yang unik untuk mengucapkan selamat pagi.Mendadak, Alena tersentak. Dia menyambar ranselnya dan buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari juga. Dia tahu, dari mana Alva mengambil foto itu.Alena sampai di atas rooftop dengan sedikit terengah-engah. Ia masih mengatur nafasnya. Di ujung, ia melihat Alva memegang kamera DSLR, sedang membidik sesuatu di kejauhan."Kamu juga hobi motret?" Alena sengaja mengagetkan Alva.Usahanya berhasil, Alva tampaknya tidak menduga Alena sudah berada di situ. Alva menoleh. Rau
Senin pagi, Alena dan Karin berjalan berdua ke ruang kelas XI A. Karin masih asyik bercerita tentang liburannya ke Air Terjun Sri Gethuk. Mereka sampai di bangku Alena. Alva sudah duduk di bangkunya. Seperti biasa, ia kelihatan asyik mencoret-coret di kertas.Karin langsung duduk di bangku di depan Alena, dan meneruskan ceritanya. "Padahal jaraknya nggak jauh. Masa kamu belum pernah sih, ke Sri Gethuk?" tanya Karin dengan nada tidak percaya."Ya kalau dari rumah kamu dekat, kalau aku kan agak jauh. Lagian, kamu bukannya ngajak-ngajak... Udah tahu kalau aku paling suka air terjun," Alena menjawab."Siapa suruh kamu nggak mau ikut pulang ke rumahku?" ledek Karin.Alena tertawa. Tiba-tiba, Sania, pemilik bangku di depan Alena, sudah ada di samping Karin. Ia pun bergabung dalam obrolan. Sekilas, Alena menoleh ke arah Alva, cowok itu tetap asyik dengan kesibukannya sendiri.Bel tanda pelajaran perta
Pagi itu, hujan lebat sudah turun dari subuh. Alena dan Karin masing-masing membawa payung ke sekolah. Tapi angin kencang dan hujan yang sangat deras membuat pakaian mereka tetap basah. Sampai di sekolah, Alena dan Karin mampir dulu ke toilet wanita untuk mengeringkan diri. Di dalam toilet sudah ada beberapa teman yang lain.Alena menunggu di depan salah satu pintu toilet. Pintu terbuka, dan... Farah keluar dari toilet. Sepertinya mereka sama-sama kaget berpapasan seperti itu."Hai...Farah..." Alena cepat-cepat menguasai diri. Ia mencoba tersenyum.Farah hanya tersenyum tipis, dan berlalu tanpa bicara. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin.Beberapa menit kemudian, Alena dan Karin masuk ke kelas. Entah mengapa, pandangan Alena langsung tertuju lagi ke Farah. Ia merasa, Farah juga sedang memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Alena buru-buru berjalan ke bangkunya. Alva mengangkat wajahnya dan menatap Ale
Alena selalu suka hari Rabu. Mungkin karena hari ini ada pelajaran seni musik dan ekstrakurikuler teater. Setelah beristirahat tadi malam, dia sudah tidak merasa pusing, dan badannya juga tidak hangat lagi.Sampai di kelas, Alva tidak kelihatan. Mungkin dia agak telat, pikir Alena.Sekitar satu menit sebelum bel masuk berbunyi, Alva melangkah masuk kelas, dan menyusul tepat di belakangnya... Farah. Alena merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia berpura-pura tidak melihat, dan mengajak Sania yang duduk di depannya mengobrol. Ia juga tidak menoleh waktu Alva duduk di sampingnya.Pelajaran terasa berjalan sangat lambat, bahkan pelajaran seni musik pun tidak bisa menghiburnya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Sebaiknya tidak usah menduga macam-macam, ia berusaha menghibur dirinya sendiri.Jam pelajaran terakhir sudah usai. Alena mengemasi tasnya. Ia masih belum berbicara dengan Alva sepanjang hari ini
Jumat pagi adalah saatnya olahraga bagi kelas Alena. Hari ini jadwal olahraga bebas. Alena dan Karin sudah membawa raket badminton mereka masing-masing. Mata Alena dari tadi mencari-cari Alva.Itu dia! Ternyata Alva sedang duduk di bangku taman, dekat lapangan voli. Sepertinya dia sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Alena berjalan mendekatinya. Karin sudah asyik bermain badminton dengan teman-teman yang lain. Alva sudah menoleh lebih dulu sebelum Alena menyapa."Ayo, ikut main badminton...," ajak Alena. Ia duduk di samping Alva di bangku."Aku nggak punya raket..." Suara Alva terdengar pelan."Kenapa? Kamu kayaknya kurang semangat hari ini..."Alva memandangnya. "Karena ini hari Jumat. Besok kamu pulang ke rumah. Aku sendirian lagi."Alena tidak menyangka Alva akan berkata seperti itu. Sepertinya ini saat yang tepat."Kamu nggak perlu sendirian... Kamu mau ng
Om Andre tinggal sendiri di sebuah rumah, yang menurut Alena sangat unik. Om Andre seorang arsitek, jadi dia sendiri yang mendesain rumahnya. Rumahnya berbentuk seperti joglo, rumah adat Jawa, dengan bahan sebagian besar dari kayu. Halaman depannya luas dan terdapat pendopo, di sinilah ia biasanya menerima tamu. Rumahnya sendiri memanjang ke belakang, dan terdapat banyak kamar.Om Andre menyambut mereka dengan ceria. Om Andre adalah adik Papa yang bungsu. Alena selalu tidak mengerti kenapa Om Andre belum menikah, padahal ia sudah mapan, dan menurut Alena, Om Andre juga sangat baik dan menarik.Om Andre mengajak mereka duduk-duduk di taman belakang rumah, di situ ada kolam ikan yang cukup besar. Alena dan Alva asyik memberi makan ikan."Opa dan Oma kamu baik banget ya... Masakan Oma juga enak, aku tadi sampai makan banyak banget, semuanya enak sih...," komentar Alena sambil tertawa.Alva kelihatan ceria, matany
Semua siswa kelas XI SMA Scientia semakin bertambah sibuk di minggu-minggu menjelang pentas seni. Ada yang sibuk berlatih untuk tampil saat pentas seni nanti, ada yang ribut memikirkan kostum, ada pula yang masih bingung mencari pasangan seperti Karin. Lucky, yang diincar Karin untuk jadi pasangan, sepertinya tidak menyadari, walaupun Karin sudah berkali-kali memberi isyarat.Alena sibuk dengan latihan gamelan, yang akan tampil di hari pertama pentas seni. Begitu juga Alva, yang terus berlatih dengan permainan biolanya. Beberapa kali, Alva berlatih dengan Sir Johan, guru seni musik mereka, setelah jam pulang sekolah.Sementara itu, ujian akhir semester pertama juga sudah dekat. Mereka akan menjalani ujian satu minggu sebelum pentas seni. Dan itu berarti lebih banyak latihan soal, ulangan harian mendadak, belajar, dan belajar bagi semua siswa.Alena merasa jadwal sekolah semakin padat. Dia lebih jarang bisa menghabiskan sore b