Share

Putri Yang Dilarikan

"Ada telepon dari Bibi Gea, kau diminta menemuinya di rumah."

Kata-kata Nyla menyambut telinga Rayna saat ia tiba di kontrakan, gadis itu melepas sepatu lalu masuk, menaiki tangga dan hilang di balik pintu kamar.

Nyla mengernyit, "Rayn kau hujan-hujanan? Cepat mandi dan ganti baju lalu turun ke bawah, biar kubuatkan bubur dan teh hangat."

Tak ada sahutan. Gadis berambut sebahu itu segera naik ke atas untuk melihat kondisi sahabatnya.

"Rayn?"

Nyla mengguncangkan bahu sahabatnya yang telungkup di karpet dengan seragam basah.

"Rayn, cepat mandi!"

Rayna beranjak, menyambar handuk dan bersungut-sungut ke kamar mandi.

Nyla sudah seperti ibu kedua baginya. Cerewet.

***

"Ini bubur daging dan teh hangat, agar kau tidak kedinginan lagi."

Nyla meletakan semangkuk bubur daging dan segelas teh hangat di meja kecil atas karpet.

"Terima kasih."

"Rambutmu bagus, Rayn. Kenapa kau cat warna hitam?"

"Ibu yang menyuruh," sahut Rayna sambil menyendok bubur buatan sahabatnya.

"Kau mau pulang? Jangan lama-lama ya, aku bosan sendirian di sini."

Tak ada sahutan. Rayna masih memikirkan perkataan Vioren di tepi hutan tadi, apa benar dirinyalah keturunan suku Edelyn?

Lalu siapa Vioren? Varo Valerius?

"Rayn!"

"Ah, iya?"

"Kau sakit? Jangan pulang dulu kalau begitu, biar aku telepon bibi Gea ya?"

"Ti-tidak, aku baik-baik saja, Nyla."

Segera ia beranjak, mengganti pakaian.

"Bubur buatanmu enak, terima kasih ya."

***

“Ah, syukurlah kau sudah datang, Sayang. Ibu pikir kau akan lama."

Rayna mencium sekilas pipi wanita paruh baya itu, "Maaf, Ibu. Agak sedikit terlambat."

"Tak apa, eum ... Ibu sudah masak, kau mau makan?"

"Aku su ...

Kata-kata gadis itu terhenti tatkala melihat seorang pemuda keluar dari dapur ibunya, membawa gelas yang masih mengeluarkan uap.

Pandangan keduanya bertemu.

"Va-varo Valerius?" gumam Rayna tercekat.

"Salam hormat, Tuan Putri." Pemuda bernama Varo itu tersenyum lalu mendekat.

"Ba-bagaimana kau ...

"Pangeran Valerius sudah sejak semalam berada di sini, Sayang."

Rayna menatap sang ibu yang menyahuti perkataannya, lalu kembali memandang pemuda bak Dewa Yunani yang kini berdiri di hadapan.

"Kau ... Pangeran Azzario?"

Varo tersenyum, "Iya, aku Varo Valerius. Apa Vioren sudah bercerita?"

"Iya, juga tentang tiga suku utama di Azzario." Rayna melirik ibunya, "Tolong jelaskan sesuatu padaku!"

"Gea Deolive adalah keturunan suku Olix bermata hijau dan berambut kebiruan, kebanyakan keturunan suku Olix memiliki kemampuan meramal masa depan. Karena mereka memang keturunan peramal kerajaan, Edward Scilshon."

 Suara itu datang dari arah pintu masuk. Rayna, Varo dan Gea menoleh, di sana Vioren berdiri bersama Mr. Ricko.

"Vi-vioren? Mr. Ricko? Kalian kenapa bisa ada di sini?"

"Gea yang menyuruh kami datang ke sini, juga kami ingin menemui Pangeran Valerius."

Mr. Ricko yang menjawab, pemuda itu mendekat ke arah Rayna.

"Salam hormat, Tuan Putri Rayna. Keturunan terakhir suku Edelyn."

Gadis berambut keperakan yang diberi hormat hanya mematung, tangannya sesekali terangkat, bingung. Ditatapnya wanita separuh baya yang selama ini dikenal sebagai ibu.

"Ibu?"

"Apa yang dijelaskan Vioren benar, Sayang. Mulai sekarang sebaiknya Tuan Putri tinggal di sini."

"Jangan panggil aku 'Tuan Putri', Bu."

"Sudah saatnya kau tahu, siapa dirimu sebenarnya, Rayn." Vioren mendekat, ditepuk pelan punggung sahabatnya.

"Kau pasti haus, silakan minum dulu." Varo mengangsurkan gelas teh yang tadi digenggam.

Ragu gadis bermata jernih itu menerima, "Terima kasih," haturnya pelan lalu menyesap teh buatan Varo.

***

Bulir-bulir keringat menitik di pelipis, tubuh yang terbaring itu bergetar, sementara kelopak mata masih terpejam rapat, kepala sesekali menggeleng kiri-kanan.

Selanjutnya kelopak mata itu membuka, tatapan kosong mengarah ke plafon berwarna coklat terang.

"Sadarlah, Rayn!"

 Varo mengguncang bahu gadis itu, membuat mata jernih itu mengerjap lalu menoleh ke arahnya.

"Siapa aku sebenarnya, Varo?"

"Kau bermimpi?"

Anggukan kecil membuat semua yang ada di ruangan menunggu, namun tak juga mendengar apa-apa dari bibir tipis merah muda itu.

"Tuan Putri mimpi apa?" tanya Mr. Ricko tak sabar.

"Dylon!" Varo menegur.

"Maafkan saya, Pangeran."

Dahi Rayna mengernyit, "Dylon? Siapa Dylon?"

"Saya Dylon, Tuan Putri. Di Bumi memang sengaja memakai nama Ricko, saya yang mengendalikan mimpi Tuan Putri selama ini."

Mr. Ricko yang bernama asli Dylon, menjawab kebingungan Rayna.

"Saya keturunan suku Rosan dan Welv, kemampuan kami mengendalikan alam bawah sadar seseorang. Sayang ... kebanyakan suku Welv memilih berpihak pada musuh." Pria bermata ungu terang itu menjelaskan.

"Ibu, aku menunggu penjelasan darimu."

Gea cepat mendongak, "Penjelasan yang seperti apa, Tuan Putri?"

"Siapa aku sebenarnya?"

"Kau ...

***

Kala itu aku masih remaja, saat ibuku dengan susah payah menggendong bayi mungil nan jelita. Mata jernih bayi itu membuatku tahu siapa dia, keturunan terakhir suku Edelyn.

Saat itu bukan bayi yang menjadi perhatian, tapi luka panah di punggung ibu.

"Gea ... jangan pedulikan aku, bawalah Tuan Putri Almarine meninggalkan tempat ini!"

"Tapi, Ibu ...

"Jangan banyak tanya! Selamatkan Tuan Putri, cepat! Raja Alexio sudah tewas di tangan Gordhova."

"Bagaimana dengan Ibu? Ayah? Deon?"

"Mereka semua sudah tewas, aku juga akan menyusul. Panah ini memiliki racun jahat, selamatkan dirimu dan juga Tuan Putri! Di hutan Dizhen ada portal menuju Bumi, hiduplah kalian di sana. Cepat!”

Gemetar kuraih bayi mungil itu, mendekapnya penuh sayang. Bersamaan itu pula, ibuku rebah ke tanah. Segera aku berjongkok hendak membantunya.

"Pergilah, percuma menolongku, cepat pergi!"

Dengan ragu aku berlari, sesekali menoleh ke belakang, ke arah ibu yang tengah menggelepar selanjutnya diam tak berkutik.

Kuhentikan langkah, menatap antara ibu yang sudah tewas dan bayi perempuan dalam dekapan.

Terperanjat tatkala mendengar suara reranting diinjak dari arah kiri, sembari menggigil kudekap erat bayi jelita tanpa dosa, membawa pergi sejauh-jauhnya.

Aku benci perang!

Kini aku sebatang kara, tiada ayah, ibu dan juga Deon—kakakku.

Matahari sudah tumbang ke barat ketika aku sampai di tengah hutan, pepohonan tinggi menjulang berdiri gagah, semak dan akar tetumbuhan yang menjalar membuatku harus berhati-hati.

Rasa haus menyergap tenggorokan, kembali kulirik bayi dalam dekap, dia terlelap.

Wajah putih kemerahan dengan balutan kain sutera di tubuh menambah aura kecantikannya.

Malang sekali nasibmu, Tuan Putri.

Tanpa sadar, air mata mengalir di pipi. Terbayang lagi bagaimana ibu menggelepar sebelum panah yang menancap di punggung, merenggut kehidupannya.

Bibit dendam tumbuh begitu saja di dalam hati, tunggu aku, Gordhova!

"Hey, di sini kau rupanya, cepat serahkan anak itu!"

Kejut bukan kepalang aku ketika mendengar suara itu, cepat menoleh ke belakang. Api dendam dan amarah menyala di kedua bola mata, ingin rasanya melumat perempuan licik berpakaian hitam di hadapan.

"Gordhova."

"Iya, aku, kau cantik juga. Lumayan untuk menambah kecantikanku, bila kuhisap auramu."

Suara yang keluar dari mulut culasnya berupa desisan tajam, seperti ular kobra yang siap menerkam mangsa.

"Keji! Serakah kau, Perempuan Gila!"

Senyum mengembang di wajahnya, dingin dan sarat akan aura kejahatan.

"Aku ingin bermain-main dulu denganmu, Anak Manis."

Langkahku mundur seiring dia yang maju perlahan, "Mau apa kau?"

"Sudah kubilang, bukan?"

"Aku tidak akan menyerahkan Tuan Putri! Langkahi dulu mayatku!"

 Seketika tawanya menggelegar, "Jangan berkelakar, Anak Kecil! Alexio saja mudah aku tumbangkan juga ayah dan ibumu, apalagi kau!"

"Aku tidak takut!"

"Ehm ... bagaimana kalau kau serahkan saja anak itu, lalu kau ikut denganku. Setelah itu kau hidup tenteram di istana."

Pikiranku yang masih labil dan mudah terpengaruh, mulai tergiur. Kutatap wajah di hadapan lalu melirik bayi dalam dekapan.

"Ayolah, Anak Manis. Kau akan kujadikan adikku. Hidup bahagia, segala tersedia dan tinggal di istana utama. Bagaimana?"

Hatiku goyah, aku melangkah mendekat ke arah wanita cantik berhati iblis itu, senyumnya melebar.

'Jangan, Gea! Jangan sia-siakan pengorban Ayah, Ibu dan Deon!'

Terbayang wajah ibu saat meregang nyawa, emosiku kembali menggelegak. Tapi tawa yang berkumandang dari pita suara.

"Mimpi kau, Gordhova! Aku tak akan takluk di bawah kuasa wanita iblis sepertimu!"

Keterkejutan tampak jelas di wajah wanita itu,  muka dan matanya memerah.

Sinar tipis kemerahan juga tampak melingkupi tubuhnya yang terbalut jubah hitam panjang.

"Kalau begitu, matilah kau!" geramnya berat.

Aku mundur, berbalik dan mencoba berlari. Sungguh bukan hilangnya nyawa yang kutakuti saat itu, tapi keselamatan putri kecil yang saat ini menjadi tanggung jawab.

"Mau lari ke mana, kau?!"

Selarik sinar merah menyambar betis, aku tersungkur. Pedih dan panas rasanya. Saat melihat, ternyata celana panjangku koyak, betis melepuh seperti habis terkena api.

Sementara wanita itu semakin mendekat.

Tuhan ... tolong, selamatkan bayi ini jika nanti aku harus mati, dia harus melanjutkan kehidupan dan merebut kembali takhta kerajaan yang menjadi haknya.

"Matilah, kau!"

Sinar merah itu mengarah ke dada, mengincar nyawaku dan juga tuan putri. Terpejam mata ini menanti kematian.

Selanjutnya terdengar suara letupan, tapi tak merasakan apa-apa.

Pelan kubuka mata, Gordhova tengah menggeram marah tujuh langkah di hadapanku.

"Ayo bangun, Gea."

 Menoleh ke samping, seberkas harapan muncul saat melihat lelaki berpakaian coklat yang membantuku berdiri.

"Paman Tiezer."

"Pergilah dari sini, selamatkan Tuan Putri!"

Kembali kulirik bayi mungil yang kini sudah membuka mata, mungkin tidurnya terusik saat aku terjatuh. Menelan ludah pahit, kasihan sekali gadis kecil ini.

"Pergilah, Gea! Cepat!"

Mengangguk sekilas, lalu sambil terpincang-pincang menyeret langkah menjauh.

Saat menoleh ke belakang, kulihat paman Tiezer tengah baku hantam dengan iblis betina itu.

Tuhan ... selamatkan paman Tiezer.

Lari yang sering menoleh ke belakang membuat aku tak sadar ketika tubuh tersedot pusaran angin berupa cahaya biru gelap. Tubuh lemah berputar-putar dalam gulungan angin. Pasrah. Hanya bayi mungil itu kudekap erat-erat, takut ia lepas dan terpelanting jauh.

Ketika membuka mata, aku sudah berada di kamar yang seluruh perabotnya terbuat dari kayu. Sedikit lega.

Tapi itu hanya berlangsung sejenak, saat sadar tuan putri tiada di dalam dekapan, kepanikan menyelimuti. Tak peduli tubuh perih dan lemas, aku beranjak, tak sengaja menjatuhkan cangkir di atas meja kecil samping tempat tidur.

"Ah, kau sudah sadar rupanya," sapaan bernada ramah itu membuatku menoleh ke arah pintu.

Aku menatapnya lama, seorang lelaki tua berbadan jangkung sedikit bungkuk, rambutnya sudah memutih di makan usia dan bayi dalam gendongan.

"Euh ...

"Tenang, bayimu baik-baik saja, tadi dia menangis, mungkin lapar. Jadi kubuatkan susu."

"Siapa kau, Tuan?"

"Aku Joe, kau?"

"Gea."

"Sebaiknya kau istirahat dulu, nanti kalau sudah sembuh, akan kuantar kau pulang."

"Pulang? A-aku tidak punya tempat tinggal."

Tatapannya bingung, tapi kemudian tersenyum, "Kalau begitu tinggallah bersamaku. Kau akan kuangkat anak, juga anakmu akan kuanggap cucu. Aku sendiri di rumah ini, tidak punya anak, istriku sudah meninggal tiga tahun lalu."

Aku tersenyum, sepertinya kakek ini memang orang baik-baik.

***

"Jadi ... Ibu bukan ibu kandungku?"

Gea menggeleng, "Bukan, Tuan Putri."

"Kakek Joe juga bukan kakekku?"

Rayna terdiam, apa yang diceritakan ibunya—ralat, ibu angkatnya-- sama persis dengan yang ia lihat di dalam mimpi.

"Lalu kenapa tiba-tiba aku tidur di kamar? Seingatku ... aku meminum teh yang diberikan Varo. Varo kau ...

"Tenang, Rayn. Bukan racun yang kumasukkan dalam minumanmu, itu hanya sebuah ramuan yang membuatmu tertidur, semacam obat tidur."

Varo menjawab, seakan mengerti arti tatapan gadis yang masih terbaring itu.

Kali ini pandangan Rayna beralih ke arah Dylon, "Kau juga yang mengendalikan mimpiku?"

Hanya anggukan yang didapat, gadis itu mencoba duduk, segera dibantu oleh Vioren.

"Lalu ada lagi yang harus kuketahui?"

Tiap pasang mata di ruangan itu saling memberi isyarat, akhirnya Varo yang berdehem kemudian angkat bicara.

"Saat ini usiamu sudah tujuh belas tahun, sementara kekacauan di Azzario semakin menjadi. Kami ke sini untuk menjemputmu, Rayn. Kami butuh kau untuk merebut kembali takhta Azzario yang selama ini dikuasai Gordhova."

"Kenapa harus aku?"

"Karena kau adalah keturunan terakhir suku Edelyn, hanya kau yang mampu melakukannya." Varo menarik napas sejenak, "Kau ... takkan menyia-nyiakan perjuangan Raja Alexio, kan?"

Tak ada sahutan dari Rayna, gadis itu sibuk dengan alam pikirannya sendiri.

"Rayn? Kau mau 'kan ikut dengan kami? Membantu kami menyelamatkan rakyat Azzario, juga menyelamatkan kerajaan lain di Vhoris, sebelum tangan kotor Gordhova menyentuhnya.

Kau mau 'kan, Rayn? Sudah tujuh belas tahun rakyat menanti kehadiranmu, menderita dan tersiksa. Tapi mereka yakin, suatu saat kau pasti kembali. Menyelamatkan mereka. Kau  ... tak akan menyia-nyiakan pengorbanan Gea 'kan, Rayn?"

Varo dan yang lainnya harap-harap cemas menanti jawaban Rayna, sementara gadis itu masih diam.

"Boleh aku membawa Nyla?"

"Nyla?"

Vioren langsung menatap sahabatnya, "Un-untuk apa, Tuan Putri?"

"Tidak untuk apa-apa. Aku hanya ingin mengajaknya."

"Jangan, Tuan Putri. Kami tidak berani mengambil risiko." Kali ini Gea ikut menyahut.

"Kenapa ...

"Nyla tidak akan bisa ikut denganmu, Rayn. Bukankah dia harus sekolah? Dia manusia biasa, orang tuanya akan kebingungan kalau kita membawanya."

Rayna kembali menatap Varo, benar juga, Nyla 'kan harus sekolah.

"Baiklah, kapan kita berangkat?"

"Kami akan mengatur rencana, sebaiknya ... Tuan Putri tetap ke sekolah seperti biasa, begitu juga kau, Dylon. Agar kita tidak dicurigai. Nanti jika semua sudah tersusun secara matang, kami akan kembali menghubungi Tuan Putri. Untuk sementara sebaiknya Tuan Putri kembali ke kontrakan ...

"Vioren!"

Semua menoleh ke arah Gea yang memotong ucapan Vioren, wanita itu tampak cemas.

"Ada apa, Gea?" tanya Varo bingung.

"Sa-saya khawatir pada Tuan Putri, Pangeran."

"Khawatir kenapa, Bu?"

"Euh ...

"Tidak akan ada yang terjadi, Gea. Ada aku yang menjaga Tuan Putri." Dylon ikut bicara.

"Tapi ...

"Bu ... tidak ada orang jahat di sekitarku, percayalah, aku bisa menjaga diri. Di kontrakan juga ada Nyla, kan?"

Pandangan Rayna bertemu dengan bola mata hijau milik ibu angkatnya, dapat dilihatnya wanita itu sedikit menegang sebelum ia mengangguk.

"Baiklah. Semoga Tuhan menjagamu, Tuan Putri."

Ada keraguan di nada bicara wanita itu, tapi hanya ia sendiri yang mengetahui artinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status