Share

Negeri Bernama Azzario

Rayna memerhatikan Nyla, sahabatnya tengah berbicara dengan pemuda berambut coklat di depan kontrakan. Serius sekali tampaknya, sampai tak sadar dirinya berdiri di depan pagar.

Sesaat kemudian pemuda itu mengangguk kemudian meninggalkan Nyla, berjalan ke luar pagar dan kini berdiri di hadapan Rayna.

Mata coklat terangnya tampak menilai Rayna, sebelum kemudian tersenyum ramah.

"Saya permisi. Mari."

Gadis berambut keperakan yang sudah kembali dicat hitam itu memerhatikan, mengikuti langkah si pemuda dengan matanya.

"Rayn kau sudah kembali? Kenapa tidak mengabari? Harusnya aku sudah mencoba resep baru sambil menikmati hari libur ini." Nyla mendekat.

"Ah, maaf. Ibuku pamit hendak keluar kota maka dari itu kemarin aku disuruh pulang," sahut Rayna berbohong.

Tak ada sahutan lagi dari Nyla, gadis itu hanya tersenyum lalu mengamit lengan sahabatnya memasuki kontrakan.

"Itu tadi siapa, Nyla?"

"Yang mana?"

"Pemuda berambut coklat tadi." Rayna melepas sepatunya lalu mengekori Nyla ke dapur, "Pacar baru ya?"

Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Nyla tertawa pelan, sudah menduga sahabatnya akan bertanya.

"Dia Arren, sepupuku. Tampan ya?" godanya sembari mengeluarkan roti dari oven.

Lebih tampan Varo.

Ingin sekali Rayna menjawab demikian, namun urung, Nyla pasti akan mengejarnya dengan pertanyaan tentang siapa Varo nantinya. Dan itu merepotkan.

"Hey, jangan senyum-senyum begitu! Apa sepupuku terlalu tampan? Sehingga kau senyum-senyum tak jelas?" Nyla menepuk bahu sahabatnya meletakan piring berisi roti ke atas meja.

"Hmm ... iya, di-dia tampan," sahut gadis berambut panjang itu gelagapan.

"Nah, kau jatuh cinta ya?"

"Ah? Ti-tidak, enak saja."

"Sudahlah ...

Nyla tertawa saat melihat Rayna buru-buru naik ke atas, menghilang di balik pintu kamar.

Seringai kecil muncul di bibir gadis itu.

Kita lihat saja, Rayna. Ah, tapi bagus juga kalau dia jatuh cinta pada Arren.

***

"Gea tunggu dulu!" Dylon menahan lengan gadis bermata hijau itu, ia butuh penjelasan.

"A-apa? Ja-jangan menyentuhku sembarangan, Dylon!" Ditepisnya tangan pemuda bertubuh sedikit berisi itu, "Ada apa?"

"Apa benar kau melarikan tuan putri saat ia masih bayi?"

Mata hijau Gea menyipit, "Maksudmu?"

"Hmm ... kau tidak mengubah ceritamu, kan?"

"Tidak."

"Bagaimana aku bisa memercayaimu?"

"Paman Tiezer saksinya."

Kali ini mata ungu Dylon yang menyipit dengan kening berkerut, benarkah cerita Gea?

Atau ... pangeran Valerius yang mengarang cerita?

Bukankah saat pangeran menemuinya di hutan tiga malam yang lalu, ia mengatakan bahwa tuan putri Rayna adalah anak kecil yang dihapus ingatannya.

Pangeran juga mengatakan, bahwa Rayna dibawa pergi oleh Gea saat berusia sepuluh tahun?

Kemudian ia trauma karena melihat peperangan di depan mata, selanjutnya ingatan gadis itu dihapuskan?

Begitu cerita yang ia dapatkan dari pangerannya. Lalu dari Gea?

Jelas sekali berbeda.

"Dylon? Apa yang kau pikirkan?"

"Ceritamu dan pangeran sangat berbeda."

"Kau ini keturunan suku Welv, kan? Kau juga yang mengendalikan putri Rayna saat ia terlelap? Lalu bagaimana bisa kau bertanya padaku?"

"Kau lupa? Aku tidak sendiri saat mengendalikan mimpinya kemarin, tapi bersamamu yang mengalami juga dengan bantuan pangeran." Keduanya bungkam, ada sesuatu yang menjadi pikiran masing-masing.

Selanjutnya gadis berambut kebiruan itu menjentikkan jarinya.

"Tanyakan saja pada pangeran."

Usulan Gea membuat Dylon mengernyit, "Kau yakin?"

"Iya."

"Di mana pangeran saat ini?"

"Euh ... terakhir kali ia di rumahku."

***

Rayna menonton televisi dengan malas, sendirian di kontrakan ternyata amat membosankan.

Inikah yang kemarin dirasakan Nyla saat dirinya tak ada?

Sekarang posisinya terbalik, ia yang ditinggalkan oleh Nyla. Gadis berambut sebahu itu pulang ke rumah, ayahnya sakit.

Tadi pagi sepupunya kemari untuk memberi tahu.

Ngomong-ngomong soal sepupu, Rayna mengernyit, di balik sapaan ramah pemuda bernama Arren itu, ia menangkap gelagat lain.

Seperti ... tatapan menyelidik.

Ah, barangkali dia ingin memastikan siapa Rayna, kan?

Takut kekalau Nyla tinggal seatap dengan orang jahat. Begitu barangkali.

Tapi ...

Suara ketukan di jendela kamar membuat Rayna menoleh, bias cahaya matahari senja memperjelas bayangan seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.

Rasa takut menyelimuti, apa itu hantu?

Atau orang jahat yang ingin merampok kontrakannya?

Oh, Tuhan ... ayolah, di rumah ini tak ada barang berharga.

Kembali ketukan terdengar, gadis itu beranjak pelan menuju jendela.

Rasa takut kembali menyergap, iya kalau yang di luar adalah manusia. Setidaknya ia bisa memukul, menendang dan menginjak lehernya.

Lalu bagaimana bila itu hantu, seperti yang ia lihat di film-film horor?

Satu lagi, bangunan kontrakan ini kan dua tingkat minimalis, tak ada tangga selain tangga di dalam rumah.

Dan kamarnya terletak di lantai dua, tingginya kira-kira tiga meter dari bawah. Jika ia manusia biasa, tak mungkin bisa naik tanpa tangga.

Jika pun menggunakan tali, sudah pasti ia akan ketahuan oleh warga sekitar.

Lalu ... melompat? Manusia biasa tak punya kemampuan sehebat itu.

Ketukan kembali terdengar lebih keras, memaksa jantung gadis itu berdetak dua kali lipat lebih cepat.

Gemetar tangannya membuka jendela, berharap yang terbaik dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Klek!

Suara terbukanya kunci jadi terdengar begitu nyaring di telinga Rayna, gadis itu cepat sembunyi di balik gorden sembari menutup mata.

Seraut wajah tampan muncul saat daun jendela dibuka dari luar, selanjutnya seluruh tubuh pemuda itu masuk.

Rayna menelan saliva susah payah saat mendengar suara kaki menapak di lantai.

Sementara pemuda itu tersenyum melihat sang gadis ketakutan.

Aneh, kalau takut mengapa harus dibuka?

"Rayn?"

Yang disapa mengernyit, pelan dibukanya kelopak mata, lalu menganga tak percaya.

"Va-varo? Kau ...

Senyuman manis Varo membuat gadis itu kesal setengah mati, dilepasnya sendal kamar lalu memukuli pemuda itu.

"Kau membuatku takut, Varo! Kau membuatku hampir mati ketakutan!"

"Ampun, Rayn, aku tak bermaksud begitu. Rayn, ampun."

Ditahannya gerakan tangan Rayna, aksi gadis itu terhenti, mata keduanya bertemu.

Varo tersenyum, ia merindukan gadis kecilnya.

"Ja-jangan menatapku seperti itu!" desis Rayna lalu mengalihkan pandangan.

Varo menjawab dengan tawanya lalu menepuk pelan kepala gadis itu, "Kau cantik."

Semu merah menghiasi pipi gadis di hadapan, seperti kelopak bunga sakura di musim semi. Menawan.

"Sudah-sudah, pergi dari sini!"

Didorongnya Varo menuju jendela, ia sendiri berbalik memunggungi. Sungguh ... ia tak berniat serius mengusir Varo. Hanya ingin menyembunyikan rona merah di pipi. Pun rasa malu yang menyergap relung hati.

Ketukan di pintu kamar membuat keduanya mengernyit, saling pandang, siapa?

Bukankah Nyla tak ada?

Ah, barangkali sahabatnya kembali. Ada yang tertinggal atau apa.

"Sebaiknya kau pergi, aku tak mau Nyla melihat kau di sini," bisik gadis itu pelan.

 Varo tak bergeming, masih berdiri di tempat dengan mata lurus menatap ke arah pintu.

Rayna mendesah malas, pelan ia melangkah ke pintu kemudian membukanya.

Mata gadis itu membulat saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu, ia nyaris pingsan saat itu juga.

"Va-varo, ba-bagaimana bisa ...

"Ada apa, Rayna?" tanya pemuda yang baru datang.

"Kau?" Rayna menoleh ke dalam kamar, tak ada siapa-siapa. Lalu yang itu tadi?

"Ada apa?"

"Si-siapa yang ... masuk lewat jendela?"

"Siapa?"

Apa ia halusinasi? Apa ia terlalu merindukan Varo sehingga membuat imajinasi seperti tadi?

Tapi itu nyata, Varo bisa menyentuh tangannya saat ia memukuli pemuda itu.

"Rayna ada apa?"

Gadis itu mengerjap pelan, "Ah, ti-tidak. Tidak ada apa-apa. Kau mau minum apa?

"Tidak perlu repot-repot, aku hanya ingin mengunjungimu."

"Oh, kita bicara di bawah saja."

"Eum ... bagaimana kalau aku masuk? Kita bicara di kamarmu saja?"

Tatapan Rayna terarah ke mata pemuda di hadapan, tapi Varo selalu menghindar. Ia tak pernah mau menatap ke dalam mata Rayna.

"Jangan menatapku demikian, Rayna."

"Ah, maaf. Aku suka mata birumu. Tapi ... aku tidak suka menerima tamu di kamar."

Halis pemuda di hadapan Rayna terangkat sebelah, "Aku 'kan bukan tamu," sahutnya lalu masuk begitu saja.

Rayna menatap tak suka ke arah Varo yang kini duduk di tepi kasurnya, tampak santai tak berbeban.

"Sini, Rayna!" Varo menepuk-nepuk kasur di sebelahnya.

Tak ada sahutan dari mpunya kamar, gadis itu malah melirik ke arah jendela. Samar-samar masih ia lihat bayangan manusia berdiri di luar jendela.

Pikiran terbagi dua, antara Varo yang kini duduk di kasur dan seseorang yang berdiri di balkon kamarnya.

"Ada apa, Rayna?"

Varo mendekat ke arah gadis itu, saat tangan kekarnya hendak merangkul pundak Rayna, gadis itu mengelak dan membentang jarak.

"Siapa kau?"

Kernyitan di dahi pemuda itu jelas terlihat, telunjuk mengarah ke arah dadanya sendiri.

"Aku?"

"Iya, siapa kau sebenarnya?"

"Kau lihat sendiri aku siapa? Bukankah kau tahu bahwa aku Pangeran Varo?"

"Begitukah?"

Sementara pemuda yang berdiri di balkon kamar Rayna menyimak percakapan keduanya.

Ia tidak menduga kalau semua akan begini. Ia dan pemuda yang di dalam akan muncul secara bersamaan. Tak pernah terpikir olehnya. 

"Aku Varo, Rayna. Percayalah!"

"Apa buktinya?"

"Aku pangeran di negeri Azzario."

"Lalu ...

"Bohong! Dia bukan aku, Rayn!"

Pemuda yang tadi di luar secepat kilat melompat masuk ke dalam kamar, tatapan ketiganya bertemu.

Kini ada dua Varo di ruangan itu.

"Kalian?" Rayna menatap keduanya bergantian.

"Akulah Varo, Rayn!" ujar pemuda di dekat jendela.

"Aku Varo, Rayna!"

"Bagaimana bisa aku memercayai kalian?"

"Akan kutunjukkan buktinya." 

Pemuda yang berdiri di dekat jendela menggosok-gosokan kedua belah tangannya, seketika tubuh itu dilingkupi cahaya tipis biru keperakan.

"Hanya keturunan suku Rosan yang memiliki sihir biru," lanjutnya.

Kini tatapan Rayna beralih ke arah pemuda yang berdiri tak jauh darinya, "Kau punya bukti?"

Baru saja pemuda itu hendak menjawab, cahaya biru dari sihir Varo mengenai tubuhnya, membuat tubuh itu terpelanting membentur meja kecil di samping Tv.

"Apa yang kau laku ...

Kalimat gadis itu tak tuntas, pemuda yang di dekat jendela menarik kemudian mendekapnya.

"Lepaskan aku!" Gadis itu memberontak.

"Tenang, Rayn! Lihat itu!" Bisiknya lembut.

Gadis itu menoleh ke arah pemuda yang tadi roboh, rambut hitam pekat itu perlahan berubah kecoklatan, mata yang tadi biru kini berubah coklat gelap.

"Arren?!" Pekik Rayna.

Arren berdiri sempoyongan, seringai buas tersungging di bibirnya.

"Siapa kau sebenarnya, Arren?"

"Aku? Aku utusan Ratu Gordhova untuk melenyapkanmu, Rayna!"

"Ada hubungan apa kau dengan Nyla? Jawab!"

Tawa Arren berkumandang, menggetarkan setiap sudut ruang kamar Rayna, gadis itu mundur selangkah, telinganya berdenyut nyeri. Varo segera menutup telinga Rayna dengan kedua belah telapak tangan yang dialiri sihir.

Pangeran Azzario itu sendiri menghentakkan kakinya ke lantai, tawa Arren terhenti saat lantai kamar membelah dan mengejar pemuda berambut kemerahan tersebut.

Varo menarik tangannya dari telinga Rayna, mengarahkannya pada Arren, selarik sinar biru menghantam bahu pemuda itu.

Arren tak mau kalah, ia menggosok-gosokan kedua belah tangannya, mengarahkan tangan tersebut ke arah Varo membuat sihir keduanya bertemu hingga menimbulkan letupan di udara.

Keadaan kamar sudah berantakan, pecahan ubin di sana-sini, Rayna menghindari  reruntuhan atap karena tak sanggup menahan guncangan. 

Beberapa kali ia menghindar, tak urung tubuhnya luka-luka dan lecet akibat tertimpa reruntuhan kecil.

Kaki terasa perih saat menginjak ubin-ubin yang pecah.

Arren kembali menghimpun bola api di tangan, mengarahkan bola tersebut ke arah keturunan terakhir suku Edelyn, cepat Varo menyambar tubuh gadis itu lalu membawanya melompat lewat jendela.

Melihat sasarannya kabur, tangan kanan Ratu Gordhova tak tinggal diam, secepat kilat ia melompat menyusul Varo yang menggendong tubuh mungil Rayna.

“Berhenti kalian!”

Putra Ratu Ava menoleh, Arren berada tak jauh darinya. Masalah lari, sebenarnya pemuda berambut coklat itu tak lebih piawai darinya. Hanya saja, kini ia membawa Rayna.

“Varo, turunkan saja aku,” pinta gadis bermata bening itu melihat pemuda yang menggendongnya telah kepayahan.

“Tidak!”

“Kita bisa tertangkap.”

“Tidak akan!”

“Tapi ...

“Mau lari ke mana, Putra Raja Zius?”

Varo menghentikan langkah di tepi danau tak jauh dari kontrakan Rayna  tatkala Arren sudah menghadang jalannya, pelan diturunkannya tubuh Rayna, ia sudah siap mati untuk menjadi tameng bagi gadis itu.

“Kau boleh membunuhku, tapi jangan sentuh Rayna.”

“Kalian akan mati,” desis Arren tajam.

“Tidak semudah itu, Arren Luxio,” balas Varo tenang.

“Arren, kau belum menjawab pertanyaanku, siapa Nyla? Ada hubungan apa kalian?”

Pemuda yang ditanya tersenyum sinis, melangkah satu-satu ke arah dua lawannya—atau satu—karena Rayna tak layak dijadikan lawan, sekali tepuk saja ia tak akan berkutik.

“Kau ingin tahu siapa dia?” Arren menyunggingkan senyuman lebar.

Varo menarik Rayna mundur selangkah demi selangkah, seiring langkah maju pemuda di hadapan.

“Dia kekasihku, Rayna!”

“A-apa?”

Rayna menggeleng, tak menyangka selama ini ia tinggal dengan kekasih dari utusan Ratu Gordhova. Tapi, selama ini Nyla amat baik padanya, apa itu ... bagian dari rencana mereka?

Kekecewaan menghampiri hati gadis itu, orang yang paling ia percaya selama ini ternyata ... musuh dalam selimut.

Sekelebat bayangan melintas di pikirannya, tentang kekhawatiran sang ibu saat ia akan mengontrak bersama Nyla, juga malam itu, saat ia akan kembali ke kontrakan.

Apa ... selama ini ibunya tahu bahwa Nyla ada di golongan musuh?

Lalu ...

“Awas, Rayn!”

Gadis itu tersadar saat cahaya merah mengarah kepadanya, Varo juga berada cukup jauh, rupanya selagi ia hanyut dalam alam pikiran kedua pemuda di depan telah saling menyerang.

Sekarang, bagaimana ia bisa mengelak dari sihir merah Arren? Ia tak punya sihir biru yang kuat seperti Varo.

Dalam kebingungan, ia kalut, sementara cahaya itu kian dekat, sepersekian detik lagi menyentuh tubuhnya, gadis itu membuat gerakan refleks mengarahkan tangan ke arah sihir Arren.

Ajaib!

Dari tangan lemah itu keluar sinar putih keperakan yang langsung memotong bahkan membalikkan serangan Arren, pemuda itu terlempar setelah terkena serangan dari sihirnya yang berbalik.

Meski ia kebal terhadap sihir sendiri, tapi tak urung pakaian bagian dadanya koyak termakan api sihir tersebut.

Terseok-seok pemuda itu bangkit, menatap Rayna yang kini tengah meraba-raba telapak tangan sendiri. Dia ... benar-benar keturunan suku Edelyn!

Varo tak beda jauh dengan Rayna, terpana, itu tadi pemandangan yang menakjubkan!

Seorang keturunan terakhir suku terkuat, telah berhasil menggunakan sihirnya.

Cepat ia menghampiri gadis itu, Rayna menatapnya bingung.

“Varo ... itu tadi mimpi?”

“Tidak! Itu sihirmu, Rayn, sihir khas suku Edelyn. Ibulah yang terakhir kali menggunakannya dan sekarang kau.”

Kedua manusia beda jenis itu menoleh ke arah Arren, yang dipandang mendadak pucat, namun nafsu membunuhnya lebih kuat, segera ia menghimpun bola-bola api untuk menyerang dua orang di hadapan.

“Minggir, Rayn! Biarkan aku yang menghadapinya!”

“Varo ... boleh aku mencoba lagi?”

Varo menggeleng, “Jangan di sini. Siapkan sihirmu untuk menghadapi Gordhova, di Azzario.”

Rayna mengangguk, segera ia menyingkir, membiarkan pemuda bermata biru itu menghadapi tangan kanan Ratu Gordhova.

Serangan pertama sampai ketiga, Varo terdesak hebat, menjejak serangan keempat, posisi berbalik, Arren yang gantian terjepit oleh kilatan-kilatan cahaya biru dari sihir Varo.

Serangan kelima, Sihir Varo dan Arren bertemu di udara, saling melilit, berusaha menguasai satu sama lain, sayangnya mereka imbang, ledakan keras terjadi, tempat itu gelap.

“Varo!” Rayna memanggil-manggil nama pemuda itu. Ia khawatir.

Perlahan-lahan, sinar biru yang berputar layaknya spiral nampak di hadapan gadis itu.

“Ayo kita pergi!”

Entah dari mana, tetiba Varo menyambar tangannya memasuki gulungan cahaya. Lenyap.

Suasana kembali terang, tampak Arren terkapar pingsan tak jauh dari tempat munculnya portal, tepi danau sudah tak berbentuk, pohon-pohon kecil tercerabut, rumput-rumput mengering dan hangus. Senyap.

***

Rayna merasakan embusan angin kencang menggesek kulitnya, menimbulkan rasa perih bagai ditusuk ribuan jarum tepat di setiap pori tubuh.

Genggaman tangan Varo ia perkuat, luka-luka di sekitar sikut dan telapak kaki kian terasa sakit akibat embusan angin. 

Cukup lama berputar-putar dalam pusaran angin, gadis itu merasa disentak oleh tangan tak kasat mata, genggaman tangan Varo nyaris terlepas jika pemuda itu tak sigap merengkuh tubuh mungilnya.

Selanjutnya, hening, udara sejuk membelai kulit gadis itu. Sedikit terasa lembab.

Kaki telanjangnya yang penuh luka bagai menginjak dedaunan kering.

“Bukalah matamu, Rayn.”

Perlahan kelopak mata itu terbuka, secara refleks didorongnya dada bidang pemuda yang memeluknya.

“Dasar tukang cari kesempatan!”

“Kau mengataiku?”

“Memangnya siapa lagi?” Mata Rayna mendelik jengkel, tapi tunggu, ini ... di mana? Hey, ini di tengah hutan!

“Va-varo, tempat apa ini? Ini pasti bukan hutan yang tak jauh dari danau tempat pertarungan, kan?” Mengingat danau, gadis itu terkejut, “Arren! Di mana Arren, Varo?”

“Dia kalah, pingsan di tepi danau tadi.”

“Lalu kita?”

Senyuman Varo melengkung, “Selamat datang di Azzario, Rayn.”

“A-apa? Azzario?” Gadis itu mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Oh ... rupanya Azzario itu hutan belantara.

“Iya, ini hutan tempat persembunyian kami. Para pejuang takhta kerajaan.”

“Tapi mengapa menyeramkan ...

Suara daun kering dan reranting yang diinjak memotong ucapan Rayna, tatapan Varo mengedar ke segala penjuru.

Digenggamnya erat jemari gadis di sampingnya, dalam sekali sentak, Rayna sudah berada dalam gendongannya. Melompat ke balik salah satu pohon besar kemudian mengintai dari sana.

Seekor kadal seukuran kambing muda, muncul dari balik semak-semak di seberang mereka. Lidahnya yang panjang dan bercabang dua, sesekali menjulur keluar.

Sisik kasar melapisi setiap bagian kulit, mata merah menyala dan lendir hijau meleleh di sekitar mulut membuat penampilannya lengkap. Menyeramkan sekaligus menjijikkan di waktu bersamaan.

“Makhluk jelek!” dengus Rayna kesal.

“Ssstt ... jangan bersuara,” bisik Varo, “kita tak tahu, dia kadal sungguhan atau jelmaan atau bahkan peliharaan.”

Keturunan terakhir suku Edelyn itu diam, menatap pemuda yang tengah menggendongnya, sementara Varo tengah memerhatikan gerak-gerik kadal di bawah pohon seberang sana. Kaki pemuda itu digunakan untuk menginjak semacam tuas yang muncul di balik sebuah batu besar.

Perlahan, batu besar itu bergeser tanpa suara, memperlihatkan sebuah lubang besar, cepat dibawanya Rayna memasuki lubang tersebut.

Di dalam lubang terdapat undakan anak tangga, pemuda itu cepat menuruninya. Di anak tangga ke sepuluh, Varo kembali menginjak tuas, lagi-lagi secara perlahan batu besar tadi bergerak menutupi lubang, secara otomatis lampu-lampu di sisi tangga menyala.

“Tempat apa lagi ini, Varo?”

“Ini istana bawah tanah, tempat persembunyian para tentara dan rakyat yang masih setia pada pemegang takhta yang sah. Kau Rayna!”

“Kenapa harus bersembunyi?”

“Kalau tidak, kami akan dipaksa tunduk pada ratu kegelapan yang saat ini menguasai Azzario, Gordhova. Kalau membantah, kami akan dibunuh.”

“Kenapa tidak tunduk?”

“Tak bisa. Tindakan ratu kegelapan sangat semena-mena, telengas dan tak memilik belas kasihan.” Varo menghela napas berat, “Lagi pula, kami percaya kau pasti kembali menyelamatkan kami.”

Rayna terdiam, menunduk, mencoba mencerna semua kata-kata Varo. Dia harus berhasil. Demi tujuh belas tahun rakyat Azzario menantinya.

“Kita sudah sampai, Rayn,” ujar Varo ketika tiba di lantai dasar.

Rayna melongo, tempat ini ... di bawah tanah tengah hutan? Indah sekali!

Seperti ... berada di dalam mahligai mewah nan indah. Dindingnya terbuat dari pualam, lantai marmer dan langit-langit ruangan berbentuk kubah dihiasi lampu-lampu putih yang indah. Sangat cantik.

“Selamat datang kembali, Pangeran Valerius.”

Seorang gadis muda berseragam pelayan, membungkuk hormat pada Varo.

“Siapkan kamar untuk Tuan Putri, Audrin!”

“Baik, Pangeran. Sudah kami siapkan, mari ....”

Varo mengikuti langkah maid tersebut, sampai mereka tiba di depan sebuah pintu kokoh dari kayu eboni, tirainya terbuat dari sutera yang disulami mutiara.

Audrin membukakan pintu, “Silakan, Pangeran.”

Masih sambil menggendong Rayna, pemuda bermata biru itu memasuki kamar.

Lagi dan lagi, Rayna kembali terpesona dengan keindahan bangunan itu.

Lantai marmer yang mengkilap, dinding pualam berhias lukisan bunga-bunga dan tumbuhan yang tak ia temui di Bumi.

Tempat tidur rendah dengan tilam dari sutera tebal, bantal-bantal lembut tersusun rapi. Tiang penyangga tirai dari kayu eboni, tirainya sendiri dari sutera merah muda yang disulami mutiara.

Pelan, Varo meletakan tubuh Rayna ke atas tempat tidur, gadis itu menatap pemuda tampan yang tengah menyelimutinya.

“Istirahatlah dulu, Rayn. Nanti, Delius akan kemari untuk mengobati luka-lukamu. Aku harus mengadakan pertemuan dengan para petinggi.”

Pemuda itu beranjak, namun tangannya ditahan oleh Rayna.

“Ada apa?”

“Tetap di sini sampai aku terlelap,” pinta gadis itu pelan.

“Tidurlah.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status