Share

2. Pernikahan Kedua

Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima.

"Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.

Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum. 

"Ya, cukup melelahkan lah, Om."

Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku.

"Delia mau ke toilet."

Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin.

"Saya juga permisi ya, Om, Ma. Kebelet." Fian berlalu setelah aku mengangguk dan Tisa memberi wejangan agar tidak lama.

***

Sepanjang jalan menuju rumah, mobil senyap. Terlihat Renisa terlelap di pangkuan ibunya. Dari kaca spion, aku menatap Delia yang diam memandangi jendela mobil. Sejak pergi ke resto hingga saat ini, anak itu terus saja diam. Sementara aku gelisah melihat Fian yang terus menatap Delia.

Jangan sampai ada benih-benih asmara di antara kedua anak itu. Bisa kacau pernikahanku dengan Tisa. Lagi pun, aku tidak akan mengizinkan sembarang pria mendekati putriku.

***

Hari pernikahanku dan Tisa makin dekat dan keluarga Tisa pun menerimaku dengan baik, karena dulu kami pernah menjalin kasih saat SMA dan keluarganya mengenalku dengan baik. Kecuali, keluarga Adel dan keluargaku, mereka menantang keputusan ini.

Masa bodolah. Lagipula yang menjalin rumah tangga bukan mereka, melainkan aku. 

Langkah terhenti di depan tangga saat melihat kamarku dan Adel sedikit terbuka. Alis mengkerut mendengar ada suara dari dalam, seperti benda runcing yang saling bergesekan.

Mendadak bulu kudukku merinding. Semenjak kematian Adel, aku tidak berani tidur di kamar itu. 

Lantai atas memiliki tiga kamar dan satu perpustakaan kecil. Jadi aku memilih tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamar Delia.

Perlahan aku mendekat, susah payah menelan saliva. Tangan bergetar kala mendengar suara musik klasik dari dalam. 

Siapa yang masuk ke kamar ini tanpa izinku? Pembantu rumah ini tidak mungkin seberani itu. Jika membersihkan kamar ini, mereka akan melapor dulu dan hanya dilakukan seminggu sekali.

Degup jantungku berdebar hebat saat tangan dipenuhi keringat memutar kenop pintu. Tampak punggung seorang wanita dari dalam, rambut legam tergerai panjang.

Hampir saja aku berteriak andai tidak menyadari siapa gadis itu.

"Delia ngapain di sini?"

Gadis bersurai panjang menoleh, lalu tersenyum. Gadisku ini selalu saja manis jika tersenyum. Rasa takut menguar begitu saja melihat senyumnya.

"Rindu bunda," katanya membuat kedua alis mengkerut.

Ucapan Delia cukup ambigu. Aku menoleh menatap beberapa helai bunga lavender tergeletak di ranjang.

"Bunda suka bunga lavender."

Aku mengangguk membenarkan. Gadis itu makin melebarkan senyumnya, lalu mendekat. Delia memelukku erat.

Gadis itu diam saja. Tidak seperti dulu, saat aku selesai tidur dengan Adel dia akan bergumam, "Delia suka wangi tubuh Ayah."

Namun, itu dulu, sebelum aku lebih sering tidur dengan Tisa. Karena wangi parfum Adel yang beraroma lavender terganti dengan parfum Tisa yang beraroma mawar.

"Sejak kapan, Delia suka musik klasik?"

Delia mendongak, lama memandangiku. Alis mengernyit melihat sikap Delia.

"Yah, jangan menikah dengan tante Tisa," ucapnya akhirnya.

Aku tertegun sesaat. Dengan lembut aku mengelus rambutnya. Kuberikan pengertian pada Delia. Aku beri doktrin bahwa Tisa adalah wanita yang baik dan tepat menjadi ibunya. Berharap dia dapat memahami dan menerima keputusan ini.

Namun, respon yang kudapat justru sebaliknya. Gadis itu malah mengatakan hal di luar topik kami dengan senyum merekah di wajahnya yang sepucat susu. 

"Wangi lavender memabukan ya, Yah."

***

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah!"

Doa serta tangis haru Tisa menjadi akhir perjuangan kami. Rasa bahagia membuncah di hati, kala Tisa telah resmi kuikat ke dalam tali suci pernikahan. 

Hari ini, tepat seratus hari Adel meninggal. Usai semalam acara seratusannya, pagi ini aku dan Tisa melangsungkan pernikahan. Tidak banyak tamu yang hadir, hanya kerabat dekat Tisa, para tetangga serta Neneknya Adel.

Wanita tua itu datang pasti hanya ingin memastikan keadaan cicitnya aman. Tentu saja Delia aman bersamaku. Ck, mereka saja yang terlalu membesar-besarkan ini.

Memangnya salah, jika aku ingin melanjutkan hidup dengan menikah lagi? Usiaku baru empat puluh tahun, tentu butuh seorang istri untuk mendampingi. Lagi pun, Delia masih remaja dan butuh kasih sayang seorang ibu dan Tisa memiliki itu.

"Jangan senang dulu kamu, Arya. Adel di sana, pasti tidak tenang memikirkan nasib Delia ke depannya."

Aku meneguk susah saliva saat Nenek menjabat tanganku seraya berbisik. Apa itu sebuah ancaman?

Ck, dia pikir ini zaman batu. Apa-apa dikaitkan dengan hal-hal mistis tidak berguna semacam itu.

Lagipula siapa dia yang tahu apa arwah tenang atau tidak di alam sana?!

***

Dengan mata terkantuk-kantuk, aku menggapai celana dan memakainya. Jarum jam masih menunjukkan waktu dua dini hari.

Tenggorokan rasanya kering, aku mengusap pipi Tisa sebentar sebelum beranjak ke dapur. Ah, kebahagiaanku lengkap sudah. 

Sebelum pergi ke lantai bawah, aku melirik sejenak ke pintu kamar bekas aku dan mendiang istri pertama—Adel—yang tertutup rapat. Melihat pintu itu saja, masih membuatku merinding terbayang mayat Adel.

Sebenarnya aku ingin pindah dan menjual rumah ini, sayangnya aku tidak tega pada Delia. Semenjak kejadian itu, dia jadi gadis pemurung. Delia memang dasarnya pendiam, tapi tidak separah ini. Jadi kubiarkan kami menempati rumah ini, mungkin dengan begitu Delia bisa mengobati rasa rindunya pada sang Bunda.

Usai meneguk air, aku kembali ke lantai atas. Namun, langkah terhenti di anak tangga terakhir saat melihat pintu kamar terbuka. Lampu yang selalu padam, kini menyala.

Apa Delia masuk ke sana lagi? Namun, untuk apa di tengah malam begini?

Gegas aku membuka pintu. Namun, tidak kutemukan siapa pun di sana. Hanya ada lavender segar di ranjang dan suara musik klasik yang entah dari mana asalnya.

Kuteguk saliva yang terasa kembali kering. Sial! Mendadak aku merinding.

"Ayah?"

"Astaga!" Aku menyentak napas kasar saat berbalik mendapati Delia dengan balutan piyama putih. Rambut hitam panjangnya tergerai.

"Delia bikin ayah kaget. Delia kenapa ada di sini?"

"Bunda." Gadis itu menunjuk ranjang yang ditaburi bunga lavender yang masih tampak segar.

Alis mengkerut melihat tingkah Delia. Tidak ada eskpresi yang dapat kubaca di wajahnya. Anak itu masih menunjuk ranjang dengan wajah datarnya.

"Delia jangan main-main! Ayo, kembali ke kamarmu." Aku memegang kedua pundaknya, hendak membawa Delia keluar dari kamar ini.

Namun, gadis itu malah terdiam. Matanya menatapku tanpa mondangak. Tinggi Delia yang hanya sebatas dadaku, membuat mata gadis ini seperti membeliak tajam. Aku meneguk saliva. 

Ada apa dengan putriku? Kenapa Delia jadi aneh begini.

"Delia—"

"Delia mau di sini!" Dia membuang pandangan.

Kuembuskan napas lelah. Astaga ... aku masih mengantuk dan harus berhadapan dengan sikap Delia yang mendadak seperti ini.

"Delia tidur di kamar Delia ya," tuturku selembut mungkin.

"Delia bilang, Delia mau di sini!" Dia menyentak tanganku kasar membuat tubuh sedikit terjengkal ke belakang.

Gadis itu menatapku dengan wajah datarnya. Lalu berlalu begitu saja. Seolah tidak peduli, dia berbaring memunggungi lalu menarik selimut hingga menutup bahu.

Jantungku mendadak berdebar mendapatkan perlakuan Delia. Gadis itu tidak pernah berbuat kasar begini, tak pernah membentak, dia selalu bersikap manis. Lembut dan penurut, sama seperti sifat Adel. 

Baiklah, biarkan malam ini dia tidur di sini. Hanya malam ini.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status