Share

3. Ketertarikan Fian

"Mas, aku tidak suka loh, sama sikap Delia. Dia sering menatapku datar. Juga akhir-akhir ini, dia sering bersikap kasar padaku. Aku takut, apalagi ada Renisa. Bahaya untuk pertumbuhan Renisa, melihat Delia yang pemarah."

Aku memijat pangkal hidung, rasanya pening. Sudah yang kesekian Tisa mengadu akan sikap Delia. Seminggu ini, anak itu memang terlihat berbeda. Entah ada apa dengannya.

Namun, untuk sikap kasar seperti yang Tisa laporkan, jujur saja aku tidak bisa percaya. Ya, walau seminggu yang lalu, Delia berteriak padaku, tapi itu tidak cukup membuktikan bahwa Delia bersikap kasar pada Tisa.

"Kamu siap-siap. Hari ini, kita jalan-jalan ke bukit."

"Mas, kita lagi bahas putri kamu loh, ini!" Tisa merenggut.

"Maksud kamu, Delia hanya putriku, begitu?" Alisku mengkerut tajam.

"Ih, bukan begitu. Delia juga putriku. Ah, sudahlah. Lagian, ngapain kamu ngajak jalan-jalan mendadak begini?"

Kuhela napas lelah. "Aku rasa, keluarga kita butuh kumpul bersama dengan suasana baru."

Aku berharap dengan begini, Delia bisa kembali seperti semula. Menjadi gadis yang manis dan dapat menerima keadaan kami.

"Renisa aku titipkan ke ibu sama bapakku saja ya, Mas? Soalnya suhu di bukit, tidak baik untuk kesehatannya."

Aku mengangguk saja mendengar penuturan Tisa.

***

"Mama ambilin ya, Sayang? Delia mau apa?" Tisa masih berusaha mengambil hati Delia.

Gadis itu bergeming seraya mengambil sebuah piring. Namun, dengan cepat Tisa merebut piring itu.

"Biar mama saja ya." Wanita itu tersenyum.

Aku masih menyaksikan interaksi keduanya. Tepatnya, memperhatikan setiap perubahan pada raut wajah Delia.

Gadis itu menatap Tisa lamat-lamat. Bukan tatapan lembut seperti biasanya, melainkan tatapan tajam. Wajah gadis itu masih terlihat datar. Alisku terpaut cemas melihat ekspresi yang ditunjukkan Delia.

Detik berikutnya, kami semua dibuat tercengang saat Delia membanting piring berisi makanan yang disodorkan Tisa. Makanan di meja berserakan karena ulahnya. Piring yang dibanting ke meja pun pecah.

Aku menggeram, berusaha menahan amarah. Tanganku terkepal kuat memegang sendok. Suara tangis Renisa menggema mengisi kekosongan.

Mata Delia menyorot tajam pada Tisa. Sementara wanita itu, sibuk membujuk Renisa yang menangis.

Ini tidak bisa dibiarkan!

Aku bangkit lalu berkata, "Kita batalkan rencana awal. Delia, ikut ayah sama Mama Tisa. Fian, tolong kamu jaga Renisa di rumah!"

***

"Tenang, Mas. Keputusan kamu sudah tepat." Tisa menggenggam tanganku, menguatkan.

Namun, bukannya tenang justru jantung ini berdebar tak karuan. Apa keputusanku ini sudah tepat?

Putriku tidak memiliki gangguan mental! Aku hanya ingin memastikan bahwa psikis Delia baik-baik saja.

Seorang psikiater keluar dari ruangannya bersama Delia, membuatku makin resah. 

"Saya ingin bicara sama orang tua Delia."

Aku mengangguk, mengikuti langkah wanita berjas putih itu seraya menggenggam tangan Tisa.

***

Aku menceritakan kejadian yang menimpa keluargaku pada psikiater berambut sebahu. Mulai dari kematian Adel sampai aku dan Tisa menikah lagi. Tentu saja dengan menutupi perselingkuhanku dan Tisa. Aku juga tidak membeberkan fakta kalau Adel mati gantung diri dan Delia melihat kejadian itu. Apa nanti kata wanita ini, bila tahu mendiang istri pertamaku gantung diri.

Bisa malu aku!

"Saya paham sekarang, kenapa Delia bersikap tidak terkontrol seperti itu."

"Maksud Anda apa bilang begitu?" Jelas aku tersinggung saat dia mengatakan 'sikap Delia tidak terkontrol'. Apa dia bermaksud mengatai jiwa putriku mulai terganggu?!

"Maaf, Pak. Sepertinya Anda salah paham."

"Mas, tenang dulu." Tisa mengelus pelan lenganku, membuat darah yang sempat mendidih mulai dingin kembali.

"Melihat dari gejala yang ditunjukkan oleh putri Bapak dan Ibu, Delia hanya merasa sedih akan kehilangan ibu kandungnya. Kemungkinan besar, maaf sebelumnya, Delia jadi pemarah karena keputusan Anda menikah lagi di saat ibu kandungnya baru saja meninggal."

"Bagaimana dengan psikisnya?" tanyaku cemas.

Wanita yang terlihat lebih muda dari Tisa itu, tersenyum. "Syukurnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan tadi, setelah saya berusaha memancingnya untuk bercerita, Delia akhirnya mau terbuka. Raut wajahnya memang memperlihatkan kesedihan, tapi Anda tenang saja, perlahan-lahan Delia akan kembali seperti semula."

Psikiater itu menyarankan agar kami sering mengajak Delia berkomunikasi agar dia tidak merasa kesepian hingga menyimpan kesedihannya sendiri. Katanya, Delia anak yang tergolong sulit mengekspresikan perasaannya. Makanya dia bersikap kasar, alih-alih menangis menunjukkan kesedihan. Aku juga disarankan sesekali mengajak sekeluarga keluar demi menikmati kebersamaan, mungkin dengan begitu Delia bisa merasakan kehangatan keluarga.

Usai mendengarkan banyak wejangan dari wanita muda itu, aku sedikit lebih lega. Mulai sekarang aku harus lebih memperhatikan Delia lagi. Aku juga harus sering mengajaknya berbincang ringan, agar dia tidak merasa kehilangan sosok ayah.

***

Setelah mengetuk pintu kamar Delia, aku masuk dan duduk di sebelahnya. Gadis itu tersenyum, di tangannya terdapat sebuah rubik. Hampir selesai, wah, putriku memang pintar kalo soal menyatukan warna-warna di rubik itu.

"Gimana sekolah, Lia hari ini?" Sudah lama rasanya tidak memanggil Delia dengan panggilan itu. Biasanya, almarhuma istri yang sering memanggilnya begitu.

Seraya mengelus surai hitamnya, kusunggingka senyum terlembut membalas senyum di wajah sepucat susu Delia.

"Baik," jawabnya.

Tidak puas rasanya hanya mendapatkan jawaban sesingkat itu. Aku berusaha mencari-cari topik untuk dibicarakan. 

"Di sekolah, bagaimana teman-teman Delia? Maksud ayah, selama ini Delia, kan, jarang bawa teman ke rumah."

Setahuku, Delia hanya dekat dengan seorang gadis bernama Winda. Beberapa kali, anak itu datang ke rumah bersama Delia selepas pulang sekolah. Jika tidak mengerjakan tugas sekolah, keduanya hanya bermain di kamar. Namun, akhir-akhir ini aku tidak melihat gadis berbadan agak tambun itu, terakhir saat yasinan empat puluh malam mendiang Adel.

"Winda pindah sekolah."

"Kenapa pindah?" tanyaku mulai penasaran.

Delia mengangkat bahunya. Seraya bangkit menuju meja belajar, dia berkata, "Mungkin lebih baik begitu."

Alisku mengkerut, tidak paham. 

"Delia mau belajar, Ayah masih mau di sini?"

Apa gadis kecilku sedang mengusir ayahnya secara halus? Aku terkekeh seraya menggeleng.

"Iya, cantik. Ayah keluar," ucapku seraya meninggalkan kamarnya.

***

Usai membereskan berkas-berkas yang ada di meja, aku menyandarkan punggung ke kursi. Tangan memijat pelan pangkal hidung, rasanya berdenyut-denyut bagian itu sampai ke kepala.

Mendengar dering ponsel, dengan malas aku mengangkatnya. Tanpa melihat si penelepon, kudekatkan benda pipih ke telinga.

"Assalamu'alaikum. Maaf sebelumnya, apa benar ini dengan Bapak Arya Kusuma?"

Alis mengkerut mendengar suara seorang wanita dari seberang. Detik berikutnya, mataku yang membeliak mendengar suara isakan dari seberang.

"Putri Bapak di-bully oleh beberapa teman wanitanya di sekolah."

Rahangku mengerat seraya memacu langkah mendekati mobil di parkiran kantor. Panggilan dari pihak sekolah, membuat darah mendidih. Bisa-bisanya terjadi pembulian di sekolah terbaik di ibu kota itu. 

Sungguh tidak bisa dibiarkan!

***

"Kalau kalian tidak bisa menjaga anak didik kalian, lebih baik tutup saja sekolah ini!"

Sesampainya di kantor guru, aku langsung marah-marah. Melihat Delia sesegukan duduk di depan seorang wanita yang kuketahui sebagai wali kelasnya, membuat emosi tidak dapat kukontrol.

"Tenang dulu ya, Pak. Iya, saya tahu kami telah teledor, tapi tol—"

"Itu kalian tahu! Pokoknya saya tidak mau tahu, seret kemari anak-anak tidak punya etika yang membuli anak saya! Kalau kalian tidak bisa mengajarkan mereka etika yang baik, biar saya ajar di sini, sekalian saya beri pelajaran!"

Merasakan tangan Delia memeluk pinggang, hatiku terenyuh. Punggung gadis berambut hitam panjang itu, bergetar. Aku yang berdiri di samping tempatnya duduk, segera merengkuh tubuh putriku.

Aroma tidak sedap menguar dari tubuhnya, aku hampir mual. Rambut Delia tampak lengket dan basah. Pun seragamnya. 

Aku menggeram pelan, menatap satu per satu guru-guru yang menampilkan ekspresi bingung. Tambah geram aku dibuatnya. Melihat tidak ada tanda-tanda mereka bergerak, aku lekas memapah Delia untuk berdiri.

Kemudian menggeram seraya menatap tajam orang-orang di ruangan itu.

"Saya akan tuntut kejadian ini!" Itu bukan hanya sekadar ancaman, melainkan niat.

Setelah menenangkan Delia di mobil, aku menelepon pengacara keluarga. Meminta agar kasus ini dibawa ke meja hijau. Aku tidak rela, putriku diperlakukan seperti ini!

***

"Bagaimana, Delia, Mas?" Tisa mengusap lenganku.

Aku meliriknya sebentar, sebelum kembali beralih menatap punggung Delia yang sedang tertidur di kamarku dan mendiang Adel. Semenjak malam dia berperilaku kasar padaku dan mengatakan ingin tidur di kamar ini, saat itu juga Delia pindah kamar. Dengan gerakan pelan, aku menutup pintu kamarnya.

"Sudah lebih baik dari yang kemarin." Aku memeluk Tisa saat sudah sampai di kamar kami.

"Syukurlah. Mas, besok ada waktu, tidak?"

Aku mendongak menatapnya, masih dalam posisi memeluk tubuh ramping Tisa. 

"Kenapa memangnya?"

"Aku mau belanja kebutuhan bulanan. Temani aku, ya?"

Sebenarnya agak ragu meninggalkan Delia besok. Kemarin, setelah membawa Delia pulang dari sekolah, aku tetap berada di sampingnya. Bahkan hari ini rela tidak masuk kantor.

"Mas ...." Suara pelan dan manja Tisa, akhirnya membuatku mengangguk.

***

"Bagaimana, Sayang? Sudah semua?" Aku bertanya pada Tisa yang tengah menggendong Renisa.

Si kecil yang menggemaskan itu, merengek minta ikut. Tampak Tisa mengecek gawainya, melihat catatan bahan apa saja yang kehabisan di rumah.

"Kayanya sudah semua deh, Mas."

Kuhela napas lega. Setelah mendorong troli ke meja kasir, aku mengecek gawai hendak menelepon Delia. Gadis itu pasti kesepian. Di rumah hanya ada seorang pembantu, sedangkan Fian sibuk kuliah. Untuk masalah kebutuhan bulanan, sejak masih ada Adel, selalu dia yang pergi belanja, tidak pernah diminta pembantu di rumah dan sekarang kebiasaan itu diteruskan sama Tisa.

"Arya?"

Aku yang hendak mendial nomor Delia terhenti ketika mendengar seseorang menyebut namaku. Menoleh ke sisi kiri, alis mengkerut melihat seorang pria berkacamata tengah tersenyum.

"Ini, aku, Bian. Bian Wirogo!" Dia menyahut antusias. Detik berikutnya, aku tersenyum dengan sedikit kekehan.

"Astaga! Si raja akting!" sambutku seraya memeluknya seraya menepuk punggung kekar pria itu.

Dia tertawa menyambut. Aku sampai lupa pada pria ini. Padahal dulu, kami sering bermain sewaktu masih SD sampai SMA. Namun, setelah lulus SMA, aku tidak pernah lagi melihat lelaki ini. Kecuali di beberapa stasiun tv dan koran.

Bian bukan aktor, hanya sejak kecil dia sangat mahir memanipulasi kebohongannya hingga semua orang percaya saja pada apa yang lelaki ini katakan. Makanya saat masa sekolah dulu, dia mendapatkan julukan 'raja akting'. 

"Siapa, Bro?" bisiknya setelah aku dan Bian selesai dengan urusan kasir.

Matanya melirik Tisa yang menggendong Renisa. Aku tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuk dengan tangan yang bebas dari kantong belanjaan. Setelah menaruh barang-barang belanjaan ke bagasi mobil, aku membukakan pintu untuk istri, lalu kembali menatap Bian yang berdiri menunggu jawaba.

Pasti lelaki ini belum tahu kalau Adel sudah meninggal. 

"Istriku."

"Kamu poligami?!" Benar saja. Matanya langsung membeliak tajam.

"Nanti deh, aku cerita di rumah. Kalau kamu tidak sibuk, ayo ke rumahku."

"Iya, aku pengen tahu bagaimana keadaan mantan adik kelasku yang cantik itu, setelah dipoligami suami gatalnya ini."

Aku sedikit meringis mendengarnya mengataiku. Pria yang sudah masuk ke mobilnya itu, memang punya mulut yang pedas!

***

Bian memakiku setelah mendengar cerita tentang Adel. Tanpa menutup-nutupi kejadian sebenarnya, aku membeberkan kejadian mengenaskan itu. Kecuali tentang aku yang berselingkuh di belakang Adel.

"Astaga! Jadi, ini, Tisa? Sudah beda banget ya, sekarang. Perasaan dulu, kamu hitam ya, sekarang sudah mirip ubi dikupas."

Ya Tuhan ... mulut pria satu ini! Apa dia tidak tahu kata 'filter'?!

Tampak Tisa tersenyum canggung. Dulu, aku dan Tisa hanya berpacaran selama enam bulan karena dia harus pindah ke luar kota. Bian yang saat itu akan ikut pertukaran pelajar ke Jepang, hanya tiga kali bertemu dengan Tisa yang notabene adik kelas kami. Sampai akhirnya aku jatuh hati pada Adel, murid pindahan kelas satu.

"Silakan diminum, ehm—"

"Panggil Bian saja," potongnya seraya menyeruput teh. Tisa mengangguk seraya tersenyum canggung.

Mendadak aku menyesal mengajak Bian ke rumahku.

"Assalamu'alaikum. Ma, Yah. Ada tamu rupanya." Fian tersenyum ke arah Bian usia mengecup punggung tanganku dan Tisa, tak terkecuali Bian.

Fian memang pemuda yang sopan. Aku makin bangga saja padanya. Namun, bukan berarti aku setuju dia menyukai Delia apabila benar dia mulai tertarik pada putriku.

"Kamu pasti, putranya Tisa ya?" tebak Bian. Fian mengangguk seraya tersenyum.

Pemuda yang masih menenteng tas kebesaran yang entah apa isinya, duduk di sofa single. Tepat di hadapan Bian.

"Om ini, kalau boleh tahu, siapanya Mama ya?"

Bian tersenyum. "Saya, Bian Wirogo. Teman semasa sekolah kedua orang tuamu ini. Jangan beranggapan saya mantan kekasih mamamu ya, apalagi selingkuhannya."

Lelaki itu tergelak, dia pikir lucu leluconnya yang mengatai dirinya selingkuhan Tisa. Jika itu sampai terjadi, aku gorok lehernya!

Fian terkekeh menanggapi. "Tunggu, sepertinya saya tidak asing dengan nama itu. Anda ... bukan Bian Wirogo, penulis novel, 'kan?"

"Sayang sekali, tebakan kamu sangat tepat sasaran." Lelaki itu mulai memperbaiki posisi duduk. Lebih berwibawa dari sebelumnya.

Mulai sudah akting maskulinnya sebagai seorang penulis novel bertema gaib dan pembunuhan serta seentoronya.

"Benarkah? Wah, Fian sangat menggemari Anda. Bahkan, dia punya banyak buku-buku yang Anda tulis." Tisa mulai bergabung dalam pembicaraan. Tangannya masih menepuk-nepuk punggung Renisa yang terlelap di pangkuan.

Anak itu memang tidak rewel. Tidak seaktif anak seusianya juga.

"Beruntung sekali saya berkesempatan bertemu dengan Anda."

Kedua lelaki berbeda generasi itu mulai berbincang seputar dunia tulis dan hantu. Entah apa yang menarik di sana. Sedang Tisa sudah pergi ke kamar untuk membaringkan Renisa. Aku sendiri memilih diam, menyimak pembicaraan yang sama sekali tidak dapat kupahami.

***

"Saya tunggu karya tulismu. Jika sudah selesai, segera kirim ke e-mail saya. Saya siap membantu menerbitkan."

Aku mulai bosan mendengar keduanya masih berbicara meski sudah sampai di teras rumah. Kenapa pria berkacamata ini, tidak langsung pulang saja?

"Tentu saja. Ini karya tulis pertama saya dan saya pastikan, Anda yang akan lebih dulu membaca ceritanya." Fian terkekeh.

Tidak habis pikir, calon Dokter sepertinya tertarik dengan hal-hal seperti itu.

Setelah Bian pamit pergi, aku dan Fian kembali memasuki rumah. Pemuda itu tampak celingukan seolah mencari sesuatu.

"Kamu cari apa, Nak?" tanyaku menepuk pundaknya.

"Delia di mana, Yah?"

Mendadak perasaanku tidak enak. Kenapa pula anak ini menanyakan keberadaan Delia?

"Di kamarnya. Dia sedang sakit." Terpaksa kuberitahu.

"Sakit?" Alisnya mengkerut tipis. "Fian ke atas dulu, Yah."

Aku hanya mampu menatap punggung Fian yang berjalan menaiki tangga, tanpa bisa mencegahnya. Meski sebenarnya aku ingin memberi jarak untuk Fian dan Delia sejauh mungkin. Sangat tidak lucu, bila apa yang kutakutkan terjadi.

Mencintai saudara tiri? Apa jadinya keluarga ini!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status