Share

5. Kutukan

Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi.

"Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah. 

Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan.

"Saya mau pulang!"

"Ayah!"

Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu.

"Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku yang terus-terusan memuntahkan isi perut.

"Maaf ya, ayah telat. Ayah lupa jemput, Delia soalnya tadi harus urus adik kamu dulu di rumah sakit. Adik kamu demam." Setelah sedikit membaik, aku berjalan lemas duduk di halte.

"Adik?" gumamnya lirih.

Aku mendongak menatapnya seraya mengangguk. "Renisa."

"Kita pulang naik taksi saja ya," usulku sambil memegangi perut yang bergejolak ingin kembali memuntahkan sesuatu.

Aku berjalan cepat ke sisi halte, kembali memuntahkan isi perut. Bau busuk yang mirip bangkai tikus tadi, masih terngiang membuatku tidak sanggup bila harus pulang menggunakan mobil itu. Apalagi sosok gadis berseragam SMA tadi yang entah sudah pergi ke mana, masih teringat jelas di kepala.

***

"Mas, kenapa?" Tergopoh-gopoh Tisa menghampiriku yang baru saja sampai di teras rumah.

Gegas dia mengambil alih tugas Delia memapahku masuk ke rumah. Wanita itu meletakkan tubuh lemas ini ke ranjang. Terlihat dari pintu Bibi tergopoh membawakan segelas air hangat yang sempat diminta Tisa sebelum membawaku ke kamar.

"Terima kasih, Bi," ucapku, lalu menyeruput air itu.

"Kenapa bisa begini sih, Mas?"

"Kamu kenapa bisa ada di sini? Renisa bagaimana?" Bukannya menjawab, justru aku menanyakan keadaan putri sambungku yang terakhir kali masih ada di rumah sakit.

"Renisa diperbolehkan pulang sama Dokter tadi. Aku telepon kamu, tidak diangkat. Jadi aku minta Fian jemput pakai mobil temannya."

Lega mendengar Renisa sudah membaik. Aku memijat pelipis yang terasa berdenyut. Laju jantung belum juga normal, semenjak kejadian aneh di mobil tadi. Sementara Tisa memijat lengan dan bahuku. 

Bersyukur rasanya, Tisa bukan tipe istri yang cerewet. Dia tidak bertanya lanjut, biasanya lebih memilih menungguku bercerita daripada mendesak. Berbeda dengan Adel yang akan langsung mencerca dengan segala macam pertanyaan yang kelewat khawatir.

Kenapa juga aku harus memikirkan wanita yang sudah mati itu?!

Hu, mendadak aku kesal gara-gara diganggu sama arwah bocah SMA. Apa setelah ini, arwah Adel juga akan menggangguku?!

Tiba-tiba aku teringat ucapan Nenek tua itu di hari pernikahanku dan Tisa. Wanita yang harusnya sudah terlelap di liang kubur itu, benar-benar mengutukku! 

Sial memang!

***

"Mama, si ucinnya mau amm juga."

Aku tersenyum melihat Renisa kembali ceria. Wajah yang kemarin pucat, sudah mulai dialiri darah. Renisa tertawa saat kucing yang entah dia dapatkan dari mana memakan biskuit dari tangannya langsung.

"Kucing itu datang dari mana, Sayang?" tanyaku setelah duduk di samping Tisa yang memperhatikan putrinya bermain dengan kucing gemuk di lantai beralaskan karpet berbulu.

"Entah, nyasar mungkin. Tadi pagi, Renisa sama bibi main di halaman belakang. Eh, masuk-masuk, Nisa sudah bawa kucing itu dalam pelukan," cerita Tisa membuatku terkekeh gemas.

"Coba sini, ayah lihat kucingnya." Aku menggoda Renisa dengan mengambil kucing berbadan gemuk ke pangkuan.

Anak imut itu, hanya menatapku dalam diam. Mata bulat bak buah cherry matang mengerjap-ngerjap lucu. Astaga, menggemaskan sekali.

"Nisa mau kucingnya?" Kuelus kucing berbulu halus dan wangi. Mungkin, Bibi sudah memandikan kucing ini.

Anak berusia tiga tahun itu, mengangguk antusias. Senyumnya mengembang lucu di bibir berisi.

"Cium dulu, tapi." Aku arahkan telunjuk ke pipi memberi isyarat.

Renisa tampak berpikir, mungkin dia bimbang. Anak itu, memang lebih dekat ke ibunya, ketimbang aku yang mungkin masih baru di matanya.

"Ayo, cium pipi Ayah." Tisa menyahut.

Dengan ragu-ragu, Renisa mendekat. Gadis kecil naik ke pangkuan Tisa, lalu mencium pipiku sekilas. Aku dan Tisa tergelak melihat tingkahnya yang langsung bersembunyi ke pelukan Tisa. Membenamkan wajah ke perut sang Mama.

"Sepertinya seru ini. Ada apa sih, huem?"

Aku melirik anak sulungku—Fian. Pemuda itu tampak sudah rapi. Dia duduk di sofa single seraya memakai sepatu.

"Tidak. Kami hanya menertawakan tingkah, Renisa yang lucu," jawab Tisa masih dengan kekehan. Fian manggut-manggut, tampak serius mengikat tali sepatu.

"Ayah sudah sembuh?" 

Pandangan kami terarah pada Delia yang berjalan menuruni tangga. Meski wajah gadisku itu terlihat datar, tapi selalu tampak cantik dan menggemaskan. Dua mata bulat yang dihiasi bulu mata lentik, akan terlihat lugu saat mengerjap. 

Aku mengangguk seraya menepuk sisi kanan sofa yang kosong. Delia mendekat, lalu duduk di samping.

"Kenapa ada kucing di rumah?" tanya Delia, melirik kucing berwarna kuning yang berada di pelukan.

"Tuh, adik kamu biang keroknya." Aku terkekeh menunjuk Renisa dengan dagu. Renisa terkekeh memainkan ekor kucing.

"Delia tidak suka kucing," aku Delia, sebelum beranjak kembali ke lantai atas.

"Mas ...." Tisa menarik lenganku, tatapannya menyorot cemas.

Aku sendiri resah melihat sikap Delia. Fian berdeham, pemuda itu berdiri seraya tersenyum hangat.

"Fian berangkat dulu, ya." Pemuda bermata elang dilengkapi lesung pipi pada kedua sisi wajah, mencium punggung tanganku dan Tisa bergantian.

Saat deru mesin motor Fian terdengar melaju, dari lantai atas terdengar suara benda jatuh. Suara keras itu, membuatku dan Tisa terlonjak.

"Apa itu, Mas?" pekik Tisa. Gegas aku menaruh kucing ke sisi sofa yang kosong, kemudian berlari menuju lantai atas.

***

Usai mengecek kamar yang kutempati bersama Tisa dan kamar Delia yang tidak terjadi apa-apa, aku beralih ke kamar mendiang Adel. Saat pintu terbuka, yang kudapati hanya Delia duduk tenang di ranjang. Namun, anehnya wangi lavender memenuhi ruangan ini.

"Bau apa ini?" Kudekati Delia yang duduk sambil memainkan rubik. Warna-warna pada rubik itu sudah berganti, seperti baru kembali dia mainkan. Tidak seperti terakhir aku lihat, tinggal satu warna belum dia pecahkan.

"Ayah tidak suka lagi wangi lavender?" Delia menatapku lamat-lamat.

"Bukan itu maksud ayah. Hanya, ini baunya terlalu menyengat, Sayang." 

Delia diam, dia kembali sibuk dengan kubus rubik di tangannya. Aku kembali bertanya, menanyakan apakah dia mendengar suara benda jatuh yang amat keras tadi? Karena tidak mungkin hanya suara hp atau pigura jatuh sampai terdengar di lantai satu.

"Tidak." Aku menghela napas mendengar jawaban singkat Delia. 

Baiklah, mungkin gadis ini dalam mode tidak ingin diganggu. Sebaiknya aku keluar. Setelah mengelus rambut panjang Delia, aku gegas keluar dari kamarnya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status