Share

6. Hukuman

Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.

Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.

Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.

Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada.

"Delia ... Delia ...."

Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tubuh membuatku merasa seperti terendam di air.

Tuhan ... untuk kali ini aku memohon. Enyahkan sosok sialan itu dari hadapanku!

Baru kali ini aku menyesal tidak bersungguh-sungguh belajar agama. Sekarang, saat dibutuhkan, tak ada satu surah pun terlintas di kepala.

"Mas ...."

Aku menggeleng kuat, tak ingin membuka mata. Saat sentuhan lembut menjamah lengan, aku menepis kasar tangan itu. Kulit dingin yang terasa amat halus.

"Sakit, Mas!" Mendengar ringisan Tisa, perlahan aku membuka mata.

Napas lega kuembuskan melihat istri yang duduk di samping. Aku ikut duduk lalu memeluknya erat.

"Maaf. Mas, mimpi buruk." Semoga saja, itu benar mimpi. 

****

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, terdengar suara Delia dari dalam mempersilakan. Tampak gadis bergaun putih berbaring sembari bermain rubik.

"Ayah membatalkan gugatan pada anak-anak yang bully Delia?"

Belum juga duduk di sisi ranjang, dia sudah bertanya. Aku mengangguk, mengelus kepalanya lembut.

"Kenapa?"

Delia menghentikan aktivitasnya, fokus melihatku. Gadis dengan surai hitam legam, menatap datar.

"Memangnya, Delia tidak mendengar kabar anak-anak itu, ya?"  

"Tahu."

Alisku mengkerut tipis melihat wajahnya biasa saja saat berujar.

"Olehnya, ayah cabut tuntutan itu," kataku menjelaskan.

"Tapi mereka bersalah!" tegasnya.

"Nak, mereka sudah mendapatkan ganjaran tanpa perlu kita bersusah-susah. Jadi, maafkan, ya." Aku mengelus kepala Delia, tapi ditepisnya dengan kasar. Gadis itu bangkit, aku pun melakukan hal yang sama. Gegas mencekal lengannya, membuat Delia membalikan badan.

Tanpa mendongak, matanya menatapku tajam yang berdiri menjulang di depan tubuh ringkihnya. Pupil matanya menajam.

"Mereka bersalah! Harus dihukum!" katanya pelan, tetapi tegas. 

Aku menghela napas kasar mendengarnya. Pusing kepalaku menghadapi sikap keras anak ini.

"Delia, kenapa kamu jadi keras kepala begini?" 

"Pergi," katanya pelan, tapi terdengar tegas.

Mendadak darahku mendidih mendapati sikap Delia yang keras dan tidak sopan begini. Dengan tangan terkepal kuat, aku meninggalkannya, lantas membanting pintu kamar Delia untuk melampiaskan amarah.

***

Tawa Renisa menggema di ruang tamu. Gadis kecil berkuncir tampak senang bermain dengan kucing gendut berbulu kuning. Diusap-usapnya bulu hewan yang berada di pangkuan.

Dari bawah, aku menangkap sosok Fian menuruni tangga. Pakaian pemuda itu sudah rapi dengan ransel di punggung. 

"Hai, Nisa." Dielusnya kepala Renisa yang sedang duduk di karpet berbulu. Kemudian duduk di sofa yang berhadapan denganku.

"Fian mau keluar dulu, Yah. Ada tugas kuliah, mau dikerjakan bersama teman," lapornya seraya mengambil apel di keranjang buah yang berada di meja.

"Sebentar lagi magrib, hati-hati kamu bawa motornya," peringat Tisa yang duduk si sampingku.

Fian tersenyum lalu mengangguk. Tisa kembali merebahkan kepalanya di bahuku. Hari ini, wanitaku demam. Olehnya aku pulang cepat dari kantor. Biasanya jam delapan atau sembilan malam baru pulang, jika pekerjaan menumpuk, bisa sampai larut.

"Kenapa masih di sini? Tidak pergi?" tanya Tisa melihat Fian masih betah duduk di sofa mengunyah apel.

"Lagi menunggu seseorang."

Alisku mengkerut mendengar ucapan pemuda berjaket hitam itu. Netra elangnya beralih pada tangga, tersenyum penuh arti. Aku mengikuti arah pandang pemuda itu. 

Saat melihat Delia turun, dada macam diremas rasanya. Kenapa Fian tersenyum menatap putriku?!

"Sudah. Fian berangkat," katanya seraya berdiri. Selesai menyalamiku dan Tisa, dia berlalu begitu saja.

Astaga anak satu itu. Benar-benar sulit ditebak! 

Sebenarnya, dia sungguh menyimpan hati pada Delia atau bagaimana?

"Mau ke mana, Sayang?" tanyaku pada Delia yang hendak berlalu.

Dia melirik sebentar. "Dapur."

Aku menghela napas dalam. Saat Delia kembali dengan segelas jus mangga, aku memperhatikan gadis itu. Tatapannya terus mengarah pada Renisa yang sedang asik bermain bersama kucing.

"Buang kucingnya, Nisa," katanya tiba-tiba.

Tisa yang sedang memelukku dari samping, mengangkat kepala. "Jangan begitulah, Del. Biarkan adikmu main. Bukan berarti karena tidak suka, maka Renisa pun tidak boleh memiliki kucing itu."

Tatapan Delia datar memandang Tisa. Terasa remasan di lenganku mengencang. Pasti Tisa tidak nyaman dengan tatapan Delia.

Tanpa kata, gadis bergaun putih melangkah kembali ke lantai atas. Jus mangga yang masih setengah gelas, ditinggalkan begitu saja di meja.

"Tenang ya. Maklumi saja. Delia memang begitu." Aku mengelus lengan Tisa lembut, berharap dia tidak risi dengan kelakuan putriku.

***

Usai makan malam, aku beranjak ke kamar Delia. Hanya untuk memastikan keadaannya. Entah mengapa, aku merasa Delia mulai menjauh dari jangkauanku. Mungkin, karena akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tidak memperhatikannya.

"Putri ayah sedang apa, heum?" 

Delia yang sedang duduk di ranjang, tampak menatap langit-langit kamar. Kedua tangan dia tumpukan ke sisi tubuh. Dia melirik sebentar, masih tanpa senyuman.

"Ayah pergi. Delia tidak suka ayah ada di sini."

Terkesiap aku mendengar ucapannya. Apa putriku ini sedang marah? Namun, karena hal apa?

"Baiklah, ayah buat salah. Tapi, ayah tidak tahu letak salah ayah di mana. Mau, Delia beritahu pada ayah?" 

Aku duduk di sampingnya, mengusap pelan rambut panjang Delia. Lagi-lagi dia hanya melirikku sebentar sebelum kembali mendongak menatap langit-langit.

Saliva tertelan kasar saat mengingat kejadian beberapa bulan silam. Di mana mayat Adel bergelantungan di langit-langit kamar ini.

Hawa dingin mendadak memenuhi ruangan. Angin berembus menerpa kain horden. Gegas aku menutup jendela kamar Delia yang masih terbuka. Lalu kembali duduk di sampingnya yang masih setia menatap langit kamar.

"Kalau ayah ada salah, ayah minta maaf sama Delia."

Dia masih diam. Makin resah saja hatiku. Berulang kali aku mencoba berbicara dengannya, tapi hasilnya nihil. 

"Delia punya masalah di sekolah, heum? Ayo, sini, cerita ke ayah."

Mungkin dengan mengungkit hal lain, Delia mau buka suara. Gadis itu perlahan menatapku. Lalu menggeleng pelan. Baiklah, aku menyerah membujuknya bicara.

Aku bangkit, hendak meninggalkannya. Namun, mendadak ada sesuatu yang menarik kaki membuatku terjungkal ke depan. Sekuat tenaga menahan diri agar tidak mengumpat di depan Delia.

Saat sedang kesusahan mencoba duduk seraya mengusap lengan yang terasa perih, sesuatu berjatuhan dari atas. Terasa dingin dan cair mengenai kulit dahi dan tengkuk. Bau anyir menusuk indera penciuman. Mataku membeliak melihat darah menetes di kain celana. Perlahan mendongak memeriksa dari mana tetesan cairan merah kental itu.

"Ya Tuhan—" Mataku terpejam rapat melihat di atas sana, ada sesosok wanita bergaun marun bergelantungan di langit kamar. 

Darah segar mengalir dari luka di lengan yang menganga. Terasa cairan kental berbau anyir membanjiri kepala. Tubuhku menggigil hebat merasakan cairan itu membasuh tubuh. 

Tuhan ... tolonglah aku.

"Ayah." Sentuhan di bahu membuatku tersentak. Mendongak mendapati Delia menatap tanpa ekspresi.

Gegas aku meraba kepala dan sekujur tubuh. Tidak ada apa pun. Hanya keringat yang membanjiri pelipis. Ya Tuhan apa tadi itu?!

Dengan jantung berdentum hebat, aku bangkit. Mengembuskan napas dalam secara berulang. Delia masih berdiri di hadapan. Aku mengusap kasar wajah sebentar. 

"Ayah mau keluar dulu, Sayang." Terbata aku pamit pada Delia.

Gadis bergaun putih mengangguk dengan mata memandang polos. Namun, aku mengurungkan niat keluar dari kamar, saat tak sengaja melihat pergelangan putih Delia terdapat luka cakaran.

"Siapa yang lakukan ini?" 

Delia menatapku dalam. "Kalau Delia kasih tahu apa Ayah akan menghukum pelakunya?"

Aku tertegun mendengarnya. Apa Delia masih dendam dengan keputusanku mencabut gugatan pada anak-anak yang mem-bully-nya?

"Katakan. Ayah akan hukum orangnya!" kataku cepat.

Wajah gadis itu mendekat, dia sedikit menjinjit. Dengan ragu, aku membungkuk menyamai tinggi badannya yang sebatas dadaku.

"Kucing Renisa," gumam Delia seperti berbisik tepat di telingaku. 

Setelah menjauh, Delia menatapku yang bergeming. Kemudian, tanpa berkata apa pun lagi, dia kembali duduk di ranjang memainkan rubik. Membiarkanku yang termangu.

Harus kuapakan hewan tak berdaya seperti itu?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status