Share

7. Kucing Renisa, Manis ya!

"Ucing, ucing!"

Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.

Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya.

"Nisa cari apa?"

Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).

Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.

Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian diberikan kamar di lantai satu.

Fian dengan wangi mint duduk di samping. Tubuh kecil Renisa berada di tengah-tengah. Renisa mulai menanyakan keberadaan sang kucing pada Fian dan Delia yang telah duduk di sofa single.

"Abang tidak lihat, Dik. Memangnya, semalam kucingnya tidur di mana?" Fian mengelus rambut panjang Renisa. Senyum mengembang di wajah putih. Iris bak mata elang, intens menatap Renisa.

Renisa menggeleng pelan, katanya lupa semalam menidurkan sang kucing. Lagi-lagi aku tergelak.

"Kucing Renisa, manis ya!" 

Pandanganku jatuh pada Delia yang menatap lurus layar TV. Alis mengkerut. Bukankah kemarin dia mengatakan tak suka kucing?

"Astaghfirullahal'azim! Tuan! Tuan, Arya!"

Teriakan Bibi dari belakang, membuat kami serempak menoleh ke arah dapur. Gegas aku berlari ke taman belakang, mencari sosok yang masih berteriak histeris.

Halaman belakang yang dijadikan taman sekaligus tempat jemuran, terdapat sebuah kolam renang. Bau aneh yang menyengat tercium jelas sejak menginjak pintu belakang. Aroma busuk berbaur lavender menguar makin jelas saat aku mendekati jemuran.

Di sana, Bibi terduduk seraya mendongak menatap sebuah sarwet di jemuran. Bulu kuningnya tampak sedikit menghitam. Saat kaki telah berdiri di dekat tubuh Bibi yang masih setia duduk di tanah, mataku membeliak. 

Tangan membekap mulut melihat sesuatu yang kusangka sarwet.

"Tu–Tuan ...." Lirih suara Bibi bergetar.

***

"Ini aneh, Mas! Enggak bisa dibiarkan!"

Tisa terus merengut, berjalan mondar-mandir. Usai mendengar tangisan Renisa, Tisa bangun melihat gadis kecilnya yang seolah mengerti bahwa sang kucing telah tiada setelah melihat kulit hewan yang masih lengkap dengan bulu bergelantungan di tali jemuran.

Bibi yang hendak membuang sampah di belakang, tak sengaja melihat kulit hewan malang itu. Aku mengacak rambut frustasi. Belum juga pukul tujuh, kami sudah digemparkan dengan kejadian di luar nalar ini.

Bagaimana bisa seekor kucing tak berdaya, mati dengan cara mengenaskan seperti ini? Siapa yang tak punya hati begini, menguliti seekor kucing dan di mana bangkai hewan tersebut?

"Mas, jangan diam saja dong! Aku takut, Mas. Bahkan tadi, anak-anak lihat kulit hewan itu!"

"Diamlah, Tisa! Jangan terlalu panik. Pasti, semua ini hanya kerjaan orang iseng."

"Orang iseng macam apa yang main menguliti kulit hewan dan menjemurnya di rumah kita, Mas?!"

Napas kasar aku hentakkan. Wanita itu mulai menangis, sepertinya batinnya terguncang. Kamar dipenuhi suara tangis ketakutan Tisa saat aku mendekapnya.

"Tenanglah. Selama ada, mas, kalian aman."

Semoga saja.

***

Aku duduk di kursi kerja seraya memijat pelipis yang terasa berdenyut. Semalaman Tisa merengek karena kejadian kulit kucing lengkap dengan bulunya tergantung di jemuran kemarin pagi. Bahkan tadi dia tak memberiku izin ke kantor. Takut katanya.

"Sial," desisku pelan seraya memejamkan mata. Sejak kemarin pikiran digeluti dengan terkaan siapa yang telah berani bermain-main denganku. 

Jujur saja, orang itu memiliki tingkat humor yang lumayan. Kira-kira, orang sinting mana yang mau bersusah payah menguliti seekor kucing lalu menjemurnya di halaman belakang rumah orang lain, hu?

Lucu sekali!

Dering ponsel menyentakku dari lamunan sialan itu. Gegas aku meraih benda pipih yang bergetar di meja. Melihat panggilan sekolah yang masuk membuat dahi mengkerut tajam.

"Maaf, Pak. Ada kejadian di sekolah dan Delia ... dia—"

"Dia kenapa?" tanyaku setengah menggeram. Tangan kanan terkepal di paha, sementara gigi gemeletuk. Bahkan punggungku menegak saking terkejutnya. Kepala sedang menerka-nerka kejadian apa lagi kali ini.

Apa putriku di-bully lagi? Jika iya, tidak akan aku ampuni kali ini, siapa pun palakunnya.

"Delia bersikap aneh, Pak. Dia tidak mau beranjak dari halaman kelasnya."

Mataku berlarian ke segala arah, mencoba berpikir. Sementara alis kian menaut tajam. Ada apa dengan putriku?

"Pak."

"Saya akan ke sana!" putusku seraya beranjak. Menyimpan ponsel di saku celana usai mematikan telepon.

Entah apa lagi kali ini. Namun, apa pun itu, semoga bukan hal yang akan menyakiti putriku. Sesampainya di sekolah, aku gegas ke luar dari mobil menuju kelas Delia yang berada di kelas tiga. Dari kejauhan terlihat kerumunan siswa bahkan guru. Aku melirik arloji, pukul tujuh lewat dua puluh empat menit. Memang pagi ini aku berangkat ke kantor lebih cepat karena menghindari rengekan Tisa yang bikin kepala pusing sebab dia terus memintaku agar tidak pergi ke mana pun selain berada di rumah bersama mereka.

Saat langkah kian dekat pada kerumunan yang terdengar berisik, bahkan sebagian dari para gadis SMA itu memekik. Tampak mereka menutup hidung dan mulut menggunakan tangan. Sementara tatapan lurus ke atas, meski beberapa di antaranya menunduk seraya memejamkan mata. Detik itu juga, langkahku terhenti dengan mata membeliak kala melihat ke lantai atas gedung bertingkat itu. 

Seorang gadis berseragam SMA dengan leher terlilit tali tambang bergelantungan di atas sana. Rambut panjangnya yang hitam menutupi wajah. Melihatnya membuat darahku seolah berhenti mengalir, dada berdentum keras. Sekelebat bayangan Adel yang meninggal sama persis dengan gadis SMA itu menari di pelupuk mata seolah yang aku lihat di atas sana adalah Adel.

"Sial!" umpatku menggeram saat tersadar dan pandangan jatuh pada Delia yang berdiri di depan kerumunan dengan jarak sekitar tiga meter. 

Gadis berambut sepinggul itu terus mendongak menatap gadis yang sudah dipastikan tak lagi bernyawa. Wajah tanpa ekspresi Delia membuatku merasakan dejavu. Seolah aku benar-benar ditarik kembali pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Sungguh sama persis dengan ekspresi saat dia mendapati ibunya meninggal dalam keadaan gantung diri.

Begitu sadar dari keterpakuanku dan darah seolah mengalir kembali ke otak, gegas aku berlari membawa Delia dalam pelukan. Melakukan hal yang sama seperti saat Delia melihat mayat Adel bergelantungan di langit kamar. Mendekapnya erat dan menyembunyikan wajah putih pucat itu ke dada bidang.

"Syukurlah, Bapak datang cepat. Delia sudah berdiri di sana sebelum kami semua menemukan mayat Sharen di atas sana. Saya sangat khawatir." 

Aku tercengang mendengar ucapan wanita berseragam dinas kecokelatan itu. Kutatap wanita yang sudah berdiri di depan kami itu, lalu beralih menatap Delia yang bergeming dalam pelukan. 

"Kita pulang, Sayang," bisikku dan Delia tetap diam.

Saat aku membawa Delia dengan merangkul bahunya ke parkiran, bersamaan dengan itu, mobil polisi memasuki gerbang sekolah. Aku tak lagi mempedulikan mayat gadis SMA itu, terpenting sekarang Delia sudah berada dalam pengawasanku lagi. Sungguh jantung berdentum keras saat melihatnya tetap diam sambil memandangi kaca jendela mobil.

"Dua. Lavender ...."

Aku menoleh cepat ke arahnya saat mendengar gumaman lirih Delia. Bahkan mobil yang baru saja ke luar dari gerbang sempat aku hentikan demi melihat ekspresi datar yang tak mampu kubaca itu.

"Ada apa, Delia?" Jantungku memompa kian cepat saat Delia hanya diam memandangi. Mata bulatnya menatap lurus. Detik kemudian dia tersenyum tipis.

"Delia suka lavender. Wanginya memabukan ya, Yah."

Tuhan ... ada apa dengan putriku? Gegas aku menjalankan mobil agar tidak menghalangi jalan, lalu memarkirkan di pinggir jalan. Masih di depan sekolah Delia.

Aku tatap gadis itu, lalu kucengkeram kedua bahunya. Delia masih sama, menatap tanpa arti. Datar seolah aku sedang melihat tubuh manusia tanpa nyawa. 

"Delia, ada apa, Nak? Kamu takut, hum?" tanyaku selembut mungkin. Takut Delia tertekan akan apa yang dia lihat tadi hingga membuatnya bicara melantur. Bagaimana bisa dia mengatakan sesuatu di luar topik pertanyaan.

"Pulang, Yah," katanya seraya membuang pandang ke kaca jendela.

Aku yang tak mengerti lagi dengan putri semata wayangku itu, hanya mampu menghela napas dalam seraya melepaskan pundaknya. Membiarkan Delia diam seraya menatap sekolahnya lewat kaca jendela yang perlahan menghilang dari pandangan karena mobil melaju menuju rumah.

Dalam perjalanan, otakku berputar demi berpikir keras apa yang harus dilakukan. Apa aku bawa saja Delia ke psikiater lagi? Barangkali dengan begitu, dia bisa terbuka denganku dan berhenti bersikap aneh yang mengharuskan ayahnya ini menerka-nerka maksud dari setiap sikap tak normalnya.

Astaga apa yang baru saja aku katakan?! Jelas-jelas Delia normal! Mungkin hanya keadaan yang tidak terlalu menguntungkan membuatnya syok dan tak mampu mencerna pertanyaanku dengan baik. Ya, mungkin itu yang membuatnya bertingkah dan berkata aneh. 

Saat pikiran sedang bergelayut pada pemikiran seputar Delia, tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas hingga menimpa kap mobil hingga menggelinding ke depan dan jatuh begitu saja. Suara dentuman keras itu membuatku secara spontan menginjak pedal rem. Jantungku berpacu saat sedikit mengangkat tubuh dan mencondongkan ke depan. Mencoba melihat benda besar yang baru saja jatuh menimpa mobil.

Saat melihat bagian depan mobil terdapat cairan merah kental seketika mataku membeliak. Tangan gemetar meremas stir. Saat kepala kian condong ke depan, barulah aku dapat melihat ke depan sana. Menatap nanar pada tubuh seorang gadis berseragam SMA yang tergeletak di aspal. Di lehernya terdapat tali tambang yang melilit.

Keringat dingin menggerayangi tubuh kala wajah pucat dengan mata terpejam sedikit terlihat dari balik rambut hitamnya. Tubuhku gemetar hebat dan tak mampu digerakkan. Ingatan seolah ditarik paksa pada kejadian beberapa menit yang lalu. Di mana seorang gadis berseragam SMA bergelantungan di lantai dua kelas tiga dalam keadaan tak bernyawa.

"Ayah." Sentuhan di tangan menyentak membuatku menoleh pada Delia. Napas memburu mendapati aku duduk di kemudi sementara mobil berhenti di lampu merah. Suara klakson saling menyahut dari belakang benar-benar mengembalikan aku pada kesadaran.

Usia meneguk saliva yang terasa seperti menelan pasir, aku kembali menjalankan mobil. Pikiran menerawang memikirkan kejadian yang menimpa barusan. Bagaimana bisa aku melihat mayat gadis SMA itu jatuh menimpa mobil dan mendarat di aspal. Apa aku sedang mengalami delusi? Ya Tuhan ... sepertinya aku yang harus ke psikiater.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status