Share

8. Benang Merah

"Hem ... hem."

Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju. 

Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.

Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya.

"Sayang ...."

Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resah. Lagi, aku panggil dirinya. Namun, hingga pada panggilan ke tiga, dia tetap bungkam tak ingin menoleh.

Akhirnya kuputuskan berjongkok di sampingnya, menunduk seraya mengambil tangan istri dari kepala Delia. Lalu melepaskan sisir dari tangannya, menggenggam serta mengecup penuh kasih punggung tangan yang terasa dingin dan kaku. 

"Sayang, aku merindukanmu," kataku setelah mengecup punggung tangannya lagi.

Kepala aku dongakkan dan yang kudapati wajah Adel yang memucat penuh kerutan. Bukan, bukan kerutan, tapi wajah sepucat kabut itu retak dibeberapa bagian. Dia balas memandangku, tetapi kali ini tatap lembutnya berbeda. Netra hitam legam menatapku tajam, wajahnya berubah datar tak ada lagi senyum tulus di sana.

Bola mata Adel terlihat seperti ingin ke luar dari tempatnya. Pada pupil mata legam melebar dan bersorot tajam. Sklera matanya tampak menonjolkan urat-urat yang kian lama membesar membuatku ngeri sendiri. 

"Adel ... kamu kenapa, Sayang?" tanyaku sedikit ragu. Pasalnya, tangan Adel balas menggenggam tanganku jauh lebih erat. Lama kelamaan, remasannya terasa kuat hingga tulang tangan dan jemari rasanya mau retak.

Aku meringis menahan sakit dan panas yang menjalar di tangan. Kutatap wajahnya yang masih diam tanpa ekspresi, lalu beralih pada tanganku yang mengkerut akibat remasannya. Geraman tertahan keluar kala tulang-tulang tangan terasa ingin remuk karena remasan istri.

"Adel ..." panggilku sambil meringis seraya menatap mata tajamnya. 

Sepertinya, Adel benar-benar berniat ingin meremukkan tulang belulangku. Namun, bagaimana bisa wanita lembut dan selemah dirinya memiliki kekuatan sebesar ini? 

"Adel, sakit. Tolong hentikan," pintaku mulai terduduk di lantai yang dingin. Hingga raunganku mengisi keheningan kamar saat dia mematahkan pergelangan tangan bersamaan dengan bunyi tulang yang terdengar retak.

Jantung berpacu kala mata berhasil terbuka. Napasku memburu, gegas aku mengusap keringat di dahi. Wanita itu lagi, lagi-lagi ia datang mengusik!

Melihat Tisa yang masih terlelap di samping, gegas aku turun dari ranjang. Mencari udara di balkon kamar, sepertinya akan ampuh mengusir keganjalan yang merajai dada. Sudah beberapa minggu Adel mendatangi mimpiku. Entah itu hanya menatap dari kejauhan dengan tatapan yang entah, aku sendiri tidak dapat mengartikan. Beberapa kali, dia juga menyebut nama Delia. Entah apa maksudnya.

"Sialan kamu Adel. Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?" desisku, gigi menggeletuk hingga dapat terasa rahang mengeras. Tangan meremas pagar besi yang berada di balkon. Tatapan menerawang ke gelapnya malam.

Sekelebat bayangan hitam tampak berdiri di depan gerbang rumah. Aku mempertajam penglihatan, menembus kegelapan agar dapat melihat jelas sosok yang berdiri di luar sana. Sosok itu seolah menatap ke arahku membuat alis terpaut tajam.

"Siapa itu?!" teriakku nyaring. Tak peduli jika ada tetangga yang akan terganggu. 

Sosok itu menggeleng, lalu menempelkan jari telunjuk di bibir. Sial! Orang itu mau main-main denganku rupanya!

Saat aku hendak beranjak—berniat turun ke lantai bawah dan menemuinya—sosok itu sudah berbalik dan berjalan ke gelapnya malam. Kini aku merutuki diri karena tidak meletakkan lampu di gerbang atau di depan sana. Mengapa juga orang rumah yang berada di depan sana malah pindah, akhirnya lampu dari rumah itu yang biasanya menerangi jalan kini padam membuat suasana kian gelap.

"Ada yang tidak beres," gumamku mengingat sosok tadi. Sosok yang samar tampak memakai topi dan menghilang di balik malam.

"Sayang, kenapa?" 

Suara serak Tisa membuatku berbalik. Wanita dengan piyama sepaha itu, tengah berdiri di ambang pintu balkon sambil menguap. Aku menggeleng lalu membawanya kembali tidur. Biar sosok pengusik tadi diurus besok dan sebaiknya, aku tidak usah menceritakan pada Tisa. Jangan sampai dia khawatir berlebih lagi seperti kemarin-kemarin.

***

Napas kasar tersentak saat pengacaraku membawa kabar yang mampu membuat kepala berdenyut pagi ini. Salah satu dari gadis yang mem-bully Delia dan telah seminggu menghilang, dinyatakan meninggal akibat bunuh diri. Sungguh aku tidak habis pikir. Sebelumnya, satu dari mereka ditemukan meninggal akibat kecelakaan dan tubuh gadis tersebut terlempar dari mobil hingga hancur akibat dilindas truk yang menabraknya. Lalu sekarang, sungguh kepala mau pecah memikirkan semua ini!

"Mayat gadis itu, ditemukan gantung diri di sekolah, Pak Arya."

Seketika aku mendongak, menatap lelaki yang duduk di hadapan dengan alis mengkerut. Mata menerawang, mencoba mengingat sesuatu.

"Jadi ...." Ya Tuhan, gadis yang empat hari lalu ditemukan gantung diri di sekolah adalah ... pelaku yang mem-bully Delia?!

Aku berdecih, menyandarkan punggung ke sofa. Kembali aku menatap lelaki bertubuh kurus dengan kulit sawo matang di depanku.

"Hasil otopsi?"

Lelaki tersebut menggeleng pelan. "Keluarga tidak mengizinkan mayat gadis itu dioptopsi. Namun, saya mendapatkan informasi tentang keluarga korban yang sepertinya bisa menjadi benang merah atas kasus ini, Pak."

Aku mengangguk, lalu meraih map yang ia sodorkan. Dari data yang diperoleh, gadis itu terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai tukang becak, sementara sang ibu penjual bakso keliling. Dia hanya memiliki seorang adik lelaki.

"Orang tuanya sering bertengkar dan pernah bercerai sebelumnya. Para tetangga memberikan saya informasi ini, Pak," lanjutnya. "Sementara polisi telah menutup kasus ini karena keluarga tidak bersedia melakukan otopsi juga memilih tidak menindaklanjuti kasus anak mereka dan dugaan polisi pun mengarah pada kondisi mental gadis tersebut."

Ya, dapat disimpulkan bahwa gadis itu memiliki gangguan mental, melihat bagaimana lingkungan keluarga serta tekanan ekonomi apalagi sekolah yang dia masuki adalah sekolah terbaik dan cukup mahal. Meski memang yang kudapati, gadis itu masuk dengan bantuan beasiswa, tetapi tak bisa menjamin ketenangannya di sekolah sementara lingkungannya berada di kelas yang berbeda dengannya. Mungkin tekanan-tekanan itulah yang membuatnya kabur dari rumah dan memilih mengakhiri hidup.

Napas panjang terembus setelah diskusi panjang antara aku dan pengacara. Kini, tak ada lagi yang perlu diragukan. Kedua gadis yang mem-bully Delia memang meninggal secara normal. Tidak ada yang mengganjal.

"Saya akan tetap mengawasi dua pelaku tersebut, Pak. Sementara satu lagi yang telah dinyatakan hilang, hingga saat ini belum ada informasi terbaru dari polisi. Kemungkinan, jika sampai minggu depan dia tidak ditemukan juga, maka polisi akan menutup kasus tersebut, Pak."

Aku mengangguk, lalu menjabat tangan pria itu tak lupa memberi ucapan terima kasih sebelum Dedi pamit pergi. Meski tidak dapat menghukum kelima pelaku mengingat kondisi mereka yang tak memungkinkan, aku tetap memberi pengawasan agar tidak lagi menyentuh Delia. Meski dari mereka berlima, hanya satu gadis yang masih datang ke sekolah. Sementara yang satunya lagi telah mendekam di rumah sakit jiwa. Aku sendiri tidak peduli dengan alasan mengapa gadis tersebut mengalami gangguan jiwa, jelasnya aku menganggap hal itu sebagai ganjaran karena telah berbuat keji kepada putriku.

"Iya, tolong bantuannya, Pak," ucapku mengakhiri telepon. Kemunculan sosok semalam membuatku harus ekstra berhati-hati. Aku putuskan meminta bantuan seorang detektif, semoga saja kasus ini bisa diusut.

Lama kupandangi map yang berisikan foto seorang gadis berambut pendek, di lembar berikutnya juga terdapat foto dan biodata gadis berambut sebahu. Di bawah foto - foto itu, terdapat nama Nurul dan Ratna. 

Suara derap langkah mengalihkan pandanganku. Delia dengan kaus putih kebesaran serta rok hijau sebetis mendekat dengan tatapan fokus pada map di meja.

"Hai, Sayang." Kuberikan senyuman untuknya. Delia hanya melirik sebentar, seulas senyum tipis tersungging di bibir pink alaminya. Dia duduk di sebelahku.

"Nurul."

Aku mengikuti arah pandangnya pada map biru. "Iya, Sayang. Dia teman sekolahmu yang mem-bully Delia."

Dia bergumam, lalu menjatuhkan kepalanya di bahuku. Senyum tersungging mendapati sikap manja Delia yang tiba-tiba. Meski dia hanya diam, tetapi dengan dia yang mau dekat seperti sekarang sudah cukup menjelaskan. Tangan bergerak mengelus lembut surai hitam legamnya.

"Delia mau beli bunga lavender."

Aku mengangguk, lalu mengecup dahinya. "Iya, Sayang. Nanti kita beli bersama."

Sungguh, Tuhan ... seburuk apa pun aku sebagai seorang lelaki, tapi aku sangat menyangi putriku. Sebagai seorang ayah, aku tak akan sanggup melihatnya terluka. Apalagi jika ada yang melukainya. Aku janji, ini akan jadi yang terakhir, setelahnya tidak ada lagi yang berani melukai Deliaku.

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status