Share

03 - The Jackals

Jenna's POV

"Astaga.. Aku lelah sekali.. Hei, tak bisakah kita berhenti dahulu sebentar?" Kristy terdengar mengeluh saat baru beberapa kilometer kami berjalan.

"Tidak. Kau harus terbiasa hidup seperti kami jika masih ingin bersahabat dengan kami. Mengerti?" ucap Jessie sengit disusul dengan gerutuan lirih dan cemberut dari mulut Kristy.

Sementara aku dan Maggie hanya menahan tawa geli melihatnya.

Tentu saja kami tahu, Kristy jarang bahkan hampir tak pernah keluar dengan berjalan kaki. Setiap hari ia selalu pergi kemana-mana dengan diantar oleh sopir pribadinya. Tapi semenjak ia bersama kami, kehidupannya nyaris berubah 180 derajat dan harus ikut merasakan pahitnya hidup sebagai orang biasa.

Tapi meski sering mengeluh, dia tak pernah mencoba meninggalkan kami. Dia sahabat kami yang baik dan tak pernah perhitungan dengan kami bertiga.

"Oh! Bukankah itu Kak Jason?" seru Maggie tiba-tiba membuat atensi kami sepenuhnya tersita olehnya.

"Mana? Mana? Wah, kau benar. Itu Kak Jason! Kak Jason! Kak!" Kristy dan Jessie berseru seraya melambai-lambaikan kedua tangan mereka.

Aku pun turut menoleh ke arah yang mereka maksud. Tampak olehku seorang laki-laki tampan baru saja keluar dari sebuah restoran. Kami pun berlari kecil menghampirinya, persis seperti anak-anak ayam yang berlarian menghampiri induknya saat induknya menemukan makanan.

"Oh! Kalian? Sedang apa di sini?" tanya Kak Jason pula pada kami.

"Kami hendak ke pasar. Kakak sendiri?" tanya Jessie pula.

"Aku baru saja makan siang bersama seorang klien. Tapi, kalian mau ke pasar? Tumben sekali."

"Kami hendak menumpas para perusuh di sana, Kak." Kristy menyahut sembari menyilangkan kedua tangannya menirukan style manusia bertopeng.

Kak Jason hanya mengernyit mendengarnya, seolah menyatakan keheranannya.

"Ah, jadi.. Ada sekelompok pelajar yang sering membuat onar di sana, Kak. Dan kami pergi ke sana karena ingin menghentikan mereka." Maggie pun menjelaskan.

"Ah.. Maksud kalian Sammy dan ketiga temannya?" ucapan Kak Jason serempak membuat kami saling berpandangan.

"Kak Jason mengenal mereka?" tanya Jessie pula.

Kak Jason hanya tersenyum dan mengangguk.

Aku berpikir sejenak. Ah, mungkin dia mengenal mereka sewaktu mendatangi mereka di pasar kemarin.

"Oh ya, Jenna.. Bagaimana keadaan ibumu? Apa beliau baik-baik saja sekarang?"

Aku agak tersentak mendengar pertanyaan itu, "Ah, ya.. Kak Jimmy— ehm maksudku dr. Jimmy bilang Ibu hanya kelelahan dan tidak perlu rawat inap."

"Hmm begitu.. Kalau ada waktu aku akan mampir ke rumahmu nanti." Kak Jason menepuk kepalaku pelan.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

"Tapi ngomong-ngomong, Kak. Karena kita bertemu di sini, tak bisakah kita makan dahulu di restoran? Aku lapar.." Kristy mulai menunjukkan wajah sok imut dan bergelayut manja di lengan Kak Jason.

Seperti dikomando, Jessie dan Maggie kompak menarik lengan Kristy dan menjauhkannya dari Kak Jason.

"Kenapa, sih?" tanya Kristy sedikit kesal.

"Apa kau lupa tujuan kita, huh?" bentak Jessie setengah berbisik.

"Kalau kau seperti ini aku tidak akan mau lagi memasakkan makanan untukmu. Mengerti?" sambung Maggie pula.

"Ck.. baiklah, baik.." Kristy pun mengalah meski dengan sedikit memberengut.

Aku tertawa geli melihatnya.

"Kalau begitu, aku harus kembali ke kantor sekarang. Kalian semangatlah. Jangan sampai kalah dari mereka." ucap Kak Jason, kembali menepuk pelan kepalaku.

"Terima kasih, Kak!" seru kami pula mengiringi kepergian Kak Jason hingga ia lenyap ke dalam mobilnya.

"Oi, Jenna. Entah kenapa tapi kurasa Kak Jason menyukaimu." ucap Maggie beberapa saat kemudian padaku.

"Heh? benarkah?" tanyaku pula sedikit antusias.

Kak Jason menyukaiku? Wah, sepertinya menyenangkan.

"Ya.. Aku juga berpikiran seperti itu. Kurasa dia menyukaimu. Oh.. Pasti enak sekali memiliki kekasih setampan dan sekaya itu. Aku juga mauu.." sambung Jessie.

"Takkan kubiarkan! Kak Jason tidak menyukai siapapun. Kau! Jenna. Kau tidak boleh memiliki kekasih selama kami juga belum mendapatkannya, mengerti?" ucap Kristy sengit, lantas tanpa menunggu jawabanku, dia langsung beranjak pergi begitu saja mendahului kami.

Aku, Maggie dan Jessie hanya saling berpandangan melihatnya. Bukan karena heran atau khawatir ia akan marah, melainkan heran sebab ia berjalan menuju arah yang salah.

Yah, lagipula aku hanya menganggap Kak Jason seperti kakakku sendiri.

***

Setelah berjalan beberapa menit lamanya, akhirnya kami tiba di pasar dengan selamat tanpa kurang suatu apapun, meski kini Kristy nyaris pingsan karena kelelahan.

Namun, alangkah terkejutnya kami sesampainya di sana, sebab beberapa dagangan milik para pedagang sudah porak poranda dan berserakan di sana-sini.

"Astaga! Apa yang terjadi?" pekik Jessie tertahan.

"Oh tidak.. kurasa kita sudah terlambat." Kristy menggumam iba.

"Jahat sekali.." sambung Maggie pula.

Sementara aku? Aku bahkan sudah mengumpat-ngumpat kesal dalam hati sejak tadi.

Sial! kenapa aku bisa datang terlambat begini? Kalau saja aku datang lebih awal, pasti ini takkan terjadi. Apa mungkin keempat berandal itu bolos lagi?

"Ayo, kita bantu mereka." ajakku pula pada ketiga sahabatku.

Lantas, kami berempat pun berpencar bergiliran membantu membereskan dagangan para pedagang yang kocar-kacir.

"Paman baik-baik saja? Maaf, kami terlambat datang.. Kalau saja kami datang lebih awal, kami pasti bisa menghalangi mereka.." sesalku pada pria paruh baya yang kemarin kutolong.

Rupanya ia kembali menjadi sasaran kebrutalan The Jackals.

"Tidak apa-apa, Nak. Terimakasih kalian sudah berbaik hati mau menolong kami. Aku memang sudah sepantasnya mendapatkan ganjaran ini." pria itu berkata sambil tersenyum.

"Kenapa Paman berkata seperti itu? Ini bukan salah Paman yang berdagang di sini. Tenang saja. Aku pasti akan membalas perbuatan mereka. Percayalah padaku."

"Tidak perlu.. Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Setidaknya kami sudah bersyukur masih diijinkan berjualan di sini."

"Apa maksudnya?"

"Begitulah, Nak. Kita tahu sendiri tanah pasar ini adalah milik Tuan Jonathan. Kami bisa berdagang di sini berkat kebaikan hati beliau. Semula pasar kecil ini hendak ditutup, tapi berkat beliau yang memikirkan nasib kami para pedagang kecil ini, akhirnya beliau membiarkan pasar ini tetap berjalan dengan semestinya."

Aku tertegun mendengarnya. Jadi seperti itu? Pasar ini semula hendak ditutup?

Paman Jonathan benar-benar orang baik. Aku heran sebenarnya darimana Sammy mendapatkan sifat jeleknya itu? Padahal Ayahnya saja berhati malaikat begitu.

"Tapi tetap saja itu bukan berarti anaknya bisa berlaku semena-mena seperti ini. Paman.. Pokoknya kami janji kami akan menghentikan tindakan mereka berempat. Percayalah pada kami. Kami pasti bisa mengatasi mereka." ucapku lagi berusaha meyakinkan.

Pria itu hanya terkekeh mendengar ucapanku dan berterima kasih padaku. Dalam hati aku benar-benar bertekad akan menghentikan The Jackals. Aku tidak bisa membiarkan para pedagang ini terus dianiaya oleh mereka.

***

Sammy's POV

"Sungguh.. Sebenarnya aku tidak tega harus merusak dagangan mereka seperti itu."

Entah sudah ke berapa kali aku mendengar perkataan yang sama dari mulut Martin itu. Tapi aku hanya diam tanpa menyahut. Sebenarnya aku juga sama dengannya. Hanya saja, aku merasa sudah tidak peduli lagi sekarang. Walau bagaimanapun juga aku tahu siapa sebenarnya para pedagang itu sebelumnya. Mereka harus merasakan sakit juga sebagai balasan atas perbuatan mereka di masa lalu.

Lagipula, aku melakukan ini semua juga karena hal lain—yang hanya aku dan ketiga sahabatku yang tahu.

"Sudahlah.. Aku pun sama denganmu. Tapi, kita melakukan ini karena terpaksa. Lagipula kita hanya merusak dagangan mereka, tidak melukai mereka sedikitpun." Harry menyahut.

"Tapi hari ini sepertinya pasokan kita hanya sedikit. Apa sudah tidak ada pembeli yang datang ke pasar itu lagi karena takut dengan kita? Kalau ini dibiarkan, bisa-bisa kita tidak mendapatkan hasil apa-apa." ucap Yoshua pula.

Aku tertegun sejenak mendengarnya. Benar juga. Semakin hari hasil yang kami peroleh memang semakin sedikit.

"Kau benar. Baiklah, untuk sementara kita hentikan dulu pemalakan kita di pasar. Kita akan kembali beraksi setelah tiga hari." ucapku kemudian.

"Setuju. Hahh.. Akhirnya aku bisa belajar lagi.." ucapan Martin mau tak mau membuatku tersenyum simpul.

"Oh! Itu busnya. Ayo!" seru Yoshua tiba-tiba.

Kami berempat pun naik ke dalam bus secara bergiliran.

Ya, inilah pekerjaan sehari-hari kami. Meski terlihat sangar dan berandalan dari luar, namun tak ada yang tahu bahwa sebenarnya kami memiliki maksud dan tujuan tersendiri di balik itu semua.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status