Share

5. Siapa Dia?

Nasya berjalan dengan begitu lunglai menuju rumahnya, keringat sudah membasahi baju putih abu yang di pakai. Di depan sana Nasya dapat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir indah di depan rumah.

"Mobil siapa itu? Apa salah satu pelanggan Ayah?" tanya Nasya lirih. Ia memasuki restoran yang tampak begitu sepi. Hanya ada sang Ayah dan juga pria dewasa yang sepertinya seumur dengan Ayahnya, dengan langkah ringan Nasya berjalan mendekati tangga menuju lantai dua.

"Apa sudah pulang sekolahnya?" tanya Carel membuat Nasya menghentikan langkah kakinya.

"Iya. Aku baru saja pulang Ayah," jawab wanita itu dengan pelan. Ia mengernyit ketika sang Ayah melambaikan tangan ke arahnya.

Carel memandang orang yang duduk didepannya, kemudian menyuruh Nasya untuk memberi salam, "Kenalkan dia sahabat Ayah sewaktu kecil dulu, namanya Dimas."

"Halo Paman, aku Nasya." Wanita mungil tersebut membungkukkan badan memberi salam pada sahabat Ayahnya. Pria dewasa itu tampak tersenyum dan mengusap rambut Nasya gemas.

"Gantilah pakaian mu, itu terlihat kotor," ujar Carel yang langsung saja di angguki oleh wanita manis itu. Dia berjalan pelan menaiki tangga, tangannya terulur membuka pintu kamar kemudian mata Nasya menangkap sosok sang Ibu yang terdiam sambil membelakangi.

Wanita pendek nan mungil tersebut berjalan mendekat dan memeluk tubuh sang Ibu erat.

"Ibu, Nasya sudah pulang!" ujarnya senang. Akan tetapi Keina tak bergeming membuat Nasya heran, ia melepaskan pelukan tadi kemudian berjalan untuk berdiri di hadapan Ibunya. Mata wanita itu membelalak kaget ketika melihat benda apa yang dipegangnya oleh Ibunya sejak tadi.

"I-ibu ...," lirih Nasya terputus-putus. Ia menatap mata sang Ibu yang tampak begitu sedih dan juga kecewa.

"Apa ini Nasya?" tanya Keina datar, ia memandang putri tunggalnya meminta untuk diberi penjelasan. Tangannya membuang testpack tersebut ke lantai, "Kenapa ada benda  ini di atas meja belajar mu?!"

Tubuh Nasya langsung bergetar, rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya. Tak lama kemudian air mata menetes dari kedua pelupuk matanya, "Ibu ... Maafkan Nasya, i-ini kesalahan Nasya Ibu ...."

"Ibu kecewa pada diri Ibu sendiri, tak bisa menjaga dirimu dengan baik," tukas Keina cepat sambil meluruhkan badannya kelantai, suara debuman keras terdengar begitu jelas. Bahkan Carel dan Dimas yang berada di lantai bawah langsung menatap heran.

"Ibu! Jangan bilang begitu, ini bukan salah Ibu!" teriak Nasya keras, ia akan saja memeluk tubuh sang Ibu akan tetapi terhenti ketika tangan Keina menahan pergerakannya.

"Diam di sana! Jangan mendekat!" Wanita paruh baya itu menundukkan kepala, ia tak tahu harus berbuat apa sekarang.

"Apa yang terjadi?" tanya Carel yang tiba-tiba datang bersama Dimas. Wajah keduanya tampak begitu khawatir, "Keina? Apa yang terjadi?"

Suara tangisan Nasya semakin menjadi-jadi, ketika Keina memungut testpack tadi kemudian memberikan benda itu pada suaminya, "Lihat saja."

"Apa maksudnya ini?" geram Carel menatap kedua wanita yang berada di depannya, "Jawab?!"

Nasya tersentak ketika mendengar bentakan sang Ayah, ia hanya menundukkan kepala. Tak berani menjawab.

"Tanyakan pada putrimu itu, aku ... Menemukan benda ini di atas meja belajarnya," jawab Keina membuat Carel langsung tak percaya.

"Apa itu benar Nasya? Kenapa bisa terjadi?" tanya Ayah Nasya yang tampak begitu kecewa, dari suaranya yang tadi begitu lantang sekarang menjadi lemah tak berdaya, "Katakan pada Ayah."

"Kejadian itu ... terjadi saat hari terakhir ... studi tour," jawab Nasya terputus-putus. Kemudian mengalirlah cerita Nasya yang bisa membuat ia seperti ini sekarang, perlahan tangan Carel mengepal begitu kuat mendengar penjelasan putrinya.

"Katakan padaku siapa laki-laki itu, dia harus bertanggung jawab!" tekan Carel sambil menatap dalam pada Nasya.

Putri tunggalnya itu menggelengkan kepala, "Aku ... sudah mengatakan itu padanya Ayah. Akan tetapi, ia tak ... mau bertanggung jawab."

"Siapa dia? Apa perlu kita menuntutnya?!" tanya Ayah Nasya begitu emosi, Dimas yang sedari tadi menyimak mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak akan hilang kendali. 

Nasya menundukkan kepala, "Namanya ... Galen Pradipta." Wanita mungil itu menangis ketika harus menyebut nama lelaki itu kembali.

"A-apa?" Dimas menurunkan tangannya ketika mendengar sebuah nama yang begitu ia kenal. Rasa marah langsung memuncak di kepala pria dewasa itu.

****

Dimas memasuki rumahnya dengan tergesa, wajahnya memerah karena amarah yang ia tahan sejak tadi. Matanya menatap pada sang istri yang duduk di atas sofa.

"Apa kau sudah pulang?" tanya Stelle, akan tetapi Dimas mengabaikan pertanyaan istrinya itu, ia menaiki tangga dengan cepat.

"Dimas, apa yang terjadi?" tanya Stelle mengikuti langkah kaki suaminya menuju lantai atas, atau lebih tepatnya ke kamar Galen. Di dalam sana tampak Galen yang sedang sibuk bermain play station, Dimas menarik kerah baju Galen kemudian memberikan bogeman mentah.

"Apa yang kamu lakukan Dimas?!" pekik Ibu Galen tak percaya, ia langsung saja mendekati putranya yang tersungkur akibat pukulan telak sang Ayah.

Galen memegangi bibinya yang sedikit terluka, "Ada apa ini? Kenapa Ayah memukulku tiba-tiba?"

"Kau harus bertanggungjawab dengan apa yang sudah kau perbuat Galen!" teriak Dimas keras. Ia kembali menarik Galen agar berdiri tegak, "Jangan menjadi orang brengsek."

"Apa maksudnya?" tanya Galen masih tidak mengerti, begitupun dengan Stelle yang bersiap-siap menghalangi jika Dimas kembali memukul wajah Galen.

"Kau menghamili seorang gadis bukan? Dan aku ingin kau bertanggungjawab!" ujar Dimas membuat Stelle dan Galen begitu terkejut, wanita paruh baya itu langsung saja membalikkan badan putranya.

"Apa itu benar?" tanya Stelle meminta penjelasan dari Galen, lelaki itu menggelengkan kepalanya keras. Entah kenapa tubuhnya bergetar begitu hebat.

"Aku tidak menghamili siapapun Ayah! Jangan mengada-ada," jawab Galen mencoba santai dengan perkataan Ayahnya tadi.

"Kau berbohong! Aku tahu semuanya Galen. Gadis itu yang mengatakan nya tadi, Kau tahu? Bahwa gadis yang kau hamili itu adalah putri sahabat Ayah, Carel. Kau membuat ayah malu Galen!" teriak Dimas lantang. Lagi-lagi Stelle terkejut dengan semuanya.

Dimas kembali membalikkan tubuh Galen, "Katakan yang sebenarnya sekarang Galen, kau tidak bisa mengelak lagi."

Lelaki tersebut tampak menelan ludahnya kasar, ia menundukkan kepala tak berani melihat wajah kedua orangtuanya.

"Cepat katakan! Semua perkataan Ayah tadi benar bukan?!" tanya Dimas lagi, ia begitu menahan emosinya agar tidak memukul Galen hingga babak belur.

"Iya. Aku melakukannya, tapi ... Saat itu aku sedang mabuk Ayah, jadi jangan salahkan aku," ucap Galen membela diri.

"Walaupun dalam keadaan mabuk, kau tahu bukan kalau kalian sudah melakukan kesalahan? Dan bahkan sekarang gadis itu sudah hamil anakmu! Dia juga mengatakan pada Ayah bahwa ia sudah mengatakan itu padamu. Tapi, kenapa kau tak mau bertanggungjawab, ha?" tanya Dimas panjang lebar. 

Wajah Galen berpaling ke samping ketika tangan Stelle menempel indah di pipinya, "Kau membuat Ibu kecewa Galen!" Kemudian wanita paruh baya itu pergi meninggalkan sang suami untuk menyelesaikan semuanya.

"Sekarang hanya ada satu pilihan untukmu, bertanggungjawab dan nikahi gadis itu," ucap Dimas yang langsung saja membuat Galen membulatkan mata.

Dia menggelengkan kepala, "Tidak! Aku masih sekolah Ayah. Bagaimana mungkin aku menikahinya, itu sama saja kau menghancurkan masa depanku Ayah!"

"Dan apa kau tahu, bahwa masa depan gadis itu juga hancur karena dirimu?! Jangan menjadi brengsek begini Galen!" geram Dimas tak tahan lagi, ia mencoba menahan emosi yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, "Nikahi dia dan jalankan tanggung jawabmu."

Setelah mengatakan hal tersebut Dimas langsung keluar dari kamar Galen, meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri menatap pintu kamar yang tertutup.

"Sialan kau Nasya!" umpat Galen menendang stick play station yang sedari tadi ia mainkan, hingga stick tersebut hancur mengenai tembok kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status