Share

6. Pertemuan

Pagi ini Nasya terlambat datang ke sekolah, karena tadi malam dirinya tak bisa tidur. Dan sekarang dia harus menjalankan hukuman yang diberikan oleh Pak Kusuma sebagai guru piket yang bertanggung jawab, dia memberikan hukuman yaitu membersihkan lapangan olahraga.

Matanya menangkap teman sekelasnya sedang pemanasan yang dipimpin oleh ketua Abian. Beberapa anak perempuan menertawakan Nasya yang sibuk memungut sampah, "Hei! Lihat di sana. Ada anak beasiswa yang terlambat!" 

Gelak tawa berderai keras, Nasya menulikan telinga dengan apa yang mereka katakan. Wanita tersebut tetap menjalankan hukumannya.

"Mungkin dia kelelahan setelah melayani pelanggan semalam," ucap Rihanna membuat yang lainnya tertawa, Ratu yang mendengar hal itu menjadi geram. Gadis itu baru saja akan meremas mulut Rihanna, akan tetapi terhenti ketika guru olahraga datang bersama beberapa siswa laki-laki. 

"Baiklah, pagi ini kita semua akan melakukan olahraga lari. Ayo berbaris dua bersaf kemudian lakukan pemanasan," suruh Guru tersebut. 

****

Ratu memberikan air minum ke arah Nasya, wanita itu tampak begitu kepanasan dengan peluh yang membasahi seragamnya, "Apa kau lelah?" 

"Tak perlu khawatir Ratu, aku tak lelah sedikit pun." Nasya tersenyum membalas pertanyaan Ratu. Keduanya tampak menikmati waktu istirahat dengan baik, Nasya baru saja akan mengeluarkan kotak bekalnya akan tetapi terhenti ketika Galen berdiri tepat di sisi meja.

"Ikut aku sebentar!" ujarnya datar kemudian pergi meninggalkan Nasya dengan wajah cengo. Tak mau membuang waktu Nasya langsung saja bangkit dan berpamitan pada Ratu yang senyum-senyum tidak jelas.

Galen berjalan mendahului Nasya, langkah kaki lelaki itu membawa mereka ke atas atap sekolah. Entah kenapa rasa gugup menggerogoti tubuh Nasya, ia bahkan tak sanggup menelan air ludah sendiri. Pria itu tak berbicara, ia hanya diam sambil menatap ke depan.

"Puas?" tanya Galen seketika membuat wanita yang berada di depannya tidak mengerti, Nasya mengangkat kepalanya dan tatapan Galen yang begitu marah.

Dia mulai mendekati Nasya, "Puas membuat aku dipukul oleh Ayahku sendiri? Pasti kau mengadu bukan?" Galen menatap tajam.

"A-apa?" tanya Nasya masih tidak mengerti, ia menutup matanya rapat ketika tangan Galen meninju tembok yang tepat berada di belakang tubuh Nasya. Dia benar-benar terpojok sekarang, tak dapat melarikan diri karena terkunci oleh tubuh pria tinggi di depannya.

"A-aku tidak mengatakan apapun Galen, percayalah!" jawab Nasya sebisa mungkin menahan rasa takut yang ia dera. Lagi-lagi matanya tertutup ketika Galen memukul tembok keras.

"Lihat saja apa yang akan terjadi kedepannya Nasya, memang benar bahwa aku akan bertanggungjawab akan tetapi bukan berarti aku memperlakukan mu dengan baik. Jadi,  selamat datang di permainanku, Nasya sayang ...," ucap Galen membuat bulu kuduk Nasya merinding, setelah mengatakan hal itu ia langsung pergi meninggalkan Nasya sendirian. 

Perlahan isakan tangis terdengar jelas di atas atap sekolah, tubuh Nasya meluruh ke atas lantai, "Apa lagi ini Tuhan?" 

****

Matahari begitu terik membuat Nasya kelelahan berjalan dari sekolah menuju rumah, mungkin ini juga efek kehamilan nya. Wanita pendek berbalut baju SMA itu memandang heran ke arah restoran yang tidak di buka, tidak mungkin kedua orangtuanya melakukan libur kerja.

"Nasya pulang," ujar wanita tersebut memasuki rumah, matanya menatap pada sang Ayah yang sudah berdiri di atas tangga. Lelaki paruh baya itu seakan memberi kode agar Nasya mengikuti langkah kakinya, ia mengernyit ketika melihat Ayahnya berpakaian begitu rapi?

"Ada apa sebenarnya?" lirih Nasya, ia menaiki tangga pelan dan melihat empat orang dewasa termasuk Ayah dan Ibunya sedang duduk dengan Paman Dimas dan satu wanita yang belum Nasya tahu namanya, akan tetapi dapat di tebak bahwa itu adalah istri Dimas dan lebih tepatnya Ibu dari Galen.

Keina menarik tubuh putrinya mendekat, "Lebih baik kamu ganti pakaian terlebih dahulu. Nanti kita akan bincang-bincang." Dan membawa Nasya masuk ke dalam kamar.

"Apa itu anakmu? Nasya kecil yang dulunya begitu kecil sekarang sudah besar dan cantik saja ya," ucap Stelle memandang kagum pada Nasya.

Tak lama kemudian Nasya keluar dari kamar bersama dengan Keina, ia duduk di depan Dimas dan istrinya. Ia seperti seorang buronan saja sekarang, hingga deheman dari Dimas membuat Nasya kembali menegakkan kepala.

"Maksud kedatangan kami kemari adalah ingin tanggungjawab dengan apa yang sudah terjadi, aku sebagai Ayah dari Galen meminta maaf sebesar-besarnya," ucap Dimas membuka pembicaraan. Ia memandang pada kedua orang tua Nasya. 

Kemudian menoleh pada sang istri, Stelle berdiri dari duduknya, "Aku kebawah sebentar."

"Apa yang akan kau lakukan sebagai tanggungjawab untuk putriku Dimas?" tanya Carlos seketika, entah kenapa ruangan yang tadinya sejuk menjadi canggung dan menyeramkan.

Kepala mereka semua menoleh ke arah seseorang yang sedang berjalan mendekat bersama Stelle, di sana sosok Galen muncul.

Carlos yang melihat wajah Galen begitu santai, membuat dirinya naik darah. Ia mendekati tubuh lelaki itu dan memberikan bogeman mentah. Kedua orangtuanya hanya diam, karena Galen pantas mendapatkan itu. 

"Ayah, cukup sampai di sana!" ujar Nasya yang tidak bisa melihat Ayahnya memukul Galen lagi. Dia tak ingin dan juga takut.

Galen memegangi sudut bibirnya yang terasa perih, ia mendecih ketika sang Ibu langsung saja menarik tubuhnya untuk duduk di samping sang Ayah. Dengan posisi saling berhadapan dengan Nasya.

Lama berdiam diri, tak ada siapapun yang membuka pembicaraan. Carlos menghela napas kasar, "Jadi? Apa yang akan kau lakukan untuk itu?" 

"Hanya ada satu pilihan, yaitu mereka harus menikah." Dimas menjawab seperti tak ada beban sedikit pun, Nasya langsung tersedak air ludahnya sendiri ketika mendengar hal tersebut. 

Bagaimana mungkin dia harus menikah ketika dirinya masih sekolah, Carlos dan Keina tampak manggut-manggut. Memang benar kalau hanya itu pilihan utamanya.

"Kapan itu akan di lakukan?" tanya Keina membuka mulutnya. 

Nasya mendongak menatap tak percaya, "Apa ini tindakan yang benar?" 

Semuanya menatap pada Nasya ketika wanita itu mengatakan hal tersebut, begitupun dengan Galen yang menampilkan ekspresi datar. 

Carlos mengernyit heran, "Kalau tindakan ini tak benar? Apa lagi yang menurutmu benar Nasya?!" Lelaki paruh baya itu menjawab dengan suara yang sedikit tinggi.

Nasya langsung saja takut dengan jawaban sang Ayah, karena ketika Carlos sudah meninggikan suaranya berarti lelaki itu benar-benar serius dengan apa yang ia pikirkan. Dia diam tak berkutik, membiarkan semua berjalan begitu saja.

"Minggu ini. Mereka akan menikah Minggu ini," ujar Dimas membuat keputusan. Yang lainnya menyetujui apa yang dikatakan oleh Dimas, kecuali Nasya dan Galen tentunya.

Tak sengaja mata Nasya menatap pada Galen, terlihat sekali pemuda itu ingin membantah akan tetapi tak bisa mengeluarkan suara. Ia memandang tajam pada Nasya, seakan tatapan itu bisa membunuh wanita itu sekarang.

"Baiklah, kita sepakat. Minggu ini mereka akan menikah, lalu bagaimana dengan sekolah dan uang bulanan mereka nanti?" tanya Keina. Sebenarnya hal inilah yang membuat ia kepikiran sejak tadi.

"Mereka akan tetap sekolah hingga lulus. Akan tetapi aku menyarankan agar Nasya tidak melanjutkan ke perguruan tinggi nantinya. Dan untuk uang bulanan Galen yang akan bekerja," jelas Dimas memberikan pencerahan pada kedua orang tua Nasya.

Galen menatap sang Ayah, "Bagaimana mungkin aku bisa bekerja dan sekolah secara bersamaan Ayah? Apa kau bercanda?!" 

"Jangan membantah Galen! Ini semua demi kebutuhan kalian juga nanti. Dan untuk pekerjaan kau sudah mendapatkan nya bukan? Aku sudah memberikan satu perusahaan milikku padamu, jalankan itu dengan baik!"  jawab Dimas memandang putra nya yang masih kesal dan menggerutu tak jelas.

Nasya menundukkan kepala sedih, padahal sudah jelas rencananya di masa depan bahwa ia akan kuliah. Menjadi orang sukses, membahagiakan kedua orang tuanya, kemudian menikah dengan orang yang ia cintai. Tapi, kenapa takdir berkata lain?

"Apa semuanya akan berjalan begitu rumit nantinya?" tanya Nasya lirih, perlahan air mata jatuh ke atas pahanya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan ia lalui ke depannya, dapatkah Nasya menjalani semua dengan sabar?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status