Share

7. Pernikahan

Keputusan telah dibuat, Nasya dan juga Galen sudah rersmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing ketika para tamu yang berasal dari kenalan Ayah dan Ibu Galen berpamitan pergi.

Pernikahan mereka tidak dibuka secara publik, mengingat bahwa keduanya masih sekolah. Dimas dan Carlos sudah memperhitungkan itu matang-matang, jadi hanya orang-orang terdekat saja yang menghadiri pernikahan mereka.

Nasya berdiri ketika Stelle dan Keina melambaikan tangan agar ia segera mendekat pada mereka. Wanita hamil itu tampak menampilkan wajah sendu, Keina membawa tubuh putrinya ke dalam kamar dan memeluk Nasya erat.

"Jaga dirimu Nak, Ibu tidak akan berada di dekatmu lagi. Kamu ingat bukan kalau sekarang dirimu sudah menikah," ujar Keina menatap kedua bola mata Nasya yang berkaca-ksca, "Tapi jangan khawatir, Kapan-kapan Ibu akan datang bersama Ayah."

Nasya mengangguk paham, ia kembali memeluk tubuh sang Ibu. Dirinya merasa tak ingin pergi dari rumah, akan tetapi dia harus melakukan itu karena tanggungjawab yang ia jalankan.

"Tidak usah terlalu khawatir Keina, aku akan mengatakan pada Galen untuk menjaga Nasya. Dan sesekali aku juga akan mengunjungi mereka berdua pastinya," ucap Stelle yang sedari tadi menyimak pembicaraan Keina dan Nasya.

Stelle mendekat pada menantunya itu. Ia mengelus rambut Nasya sayang, "Jangan terlalu banyak pikiran. Kalau Galen nakal katakan saja pada Ibu."

"Hm." Nasya mengangguk paham. Ia juga memeluk tubuh Stelle erat.

"Dan pastikan bahwa cucu kami mendapat asupan yang cukup. Kamu harus rutin memeriksakan perkembangan cucu kami nantinya, benar begitu Keina?" Stelle menyikut perut Keina. Wanita paruh baya itu mengangguk kan kepala mengiyakan perkataan Stelle.

Carlos berdiri di depan pintu kamar Nasya, "Apa semuanya sudah siap? Kalian akan segera pergi Nak." 

Nasya menoleh pada Ayahnya, ia tersenyum ketika sang Ayah merentangkan tangan. Dengan langkah pelan Nasya memeluk tubuh lelaki yang menjadi pahlawan di hidupnya, "Apa Nasya harus pergi secepat ini Ayah?"

"Jangan khawatir Nak, kami akan tetap mengunjungi mu nanti. Ayo keluar Galen sudah menunggu sejak tadi," jawab sang Ayah mengiring Nasya keluar dari kamar dengan koper besar di tangannya.

Mereka sudah sampai di halaman rumah, Nasya melambaikan tangan ketika mobil yang membawa dirinya pergi bersama Galen dan kedua orangtuanya. 

****

Sesampainya di rumah Galen, wanita itu menarik kopernya sendiri. Ia sedikit kesusahan ketika melewati jalanan berbatu, Galen yang sudah kesal menunggu Nasya yang begitu lama mengambil alih kopernya.

"Kau begitu lamban, aku sudah sangat lelah sekarang." Galen mendahului Nasya, membuat Stelle dan Dimas geleng-geleng kepala melihat tingkah putranya.

Stelle membawa Nasya untuk duduk di ruang keluarga terlebih dahulu, ia memberikan Nasya air putih karena merasa bahwa gadis itu pasti kehausan. 

"Jika kau ingin istirahat maka pergi saja ke kamar Galen, di sana ada pintu bercat hitam. Itu kamar Galen," ucap Stelle yang hanya di balas wajah cengo oleh Nasya. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu akan tetapi tak bisa.

"Apa ada yang kau khawatirkan Nasya?" Dimas angkat bicara.

"Hm ... apa Nasya harus tidur berdua dengan Galen?"

"Jadi, kau ingin tidur di mana lagi kalau bukan di kamarku?" cerocos Galen yang langsung saja memotong ucapan Nasya. Lelaki itu berjalan santai menuju dapur untuk mengambil minuman dingin, "Ayah kapan kami akan pindah?"

"Terserah mu saja Galen, karena rumah yang ingin kau huni nanti sudah dibereskan oleh bawahan Ayah." Dimas menjawab pertanyaan Galen, memang benar bahwa mereka akan tinggal di rumah yang berbeda. Dan rumah itu adalah rumah milik Galen sendiri. 

Lelaki itu membeli rumah sederhana dari hasil perusahaan yang ia kelola, dari kelas satu SMA, Dimas sudah mengajari Galen untuk mengelola perusahaan. Dan ternyata lelaki itu dapat menanganinya dengan begitu cepat.

"Jalankan pekerjaan mu dengan baik  Galen, jangan hura-hura tak menentu. Ingat kalau sekarang kau sudah punya istri. Jangan sesekali membuang waktumu," ujar Dimas membuat Galen langsung kesal dan menggerutu.

"Hm." 

Stelle memandang pada putranya, "Dan jangan berani-berani menyakiti Nasya. Kalau kamu tak ingin Ibu hajar, paham?" 

Lagi-lagi Galen membuat bola matanya bosan, "Hei kau! Jangan kemana-mana. Aku akan kembali, kita akan pergi sekarang."

Dimas menatap tajam ke arah Galen, "Kenapa kau berbicara begitu kasar?"

Galen mengabaikan hal itu, ia tetap berjalan menaiki tangga menuju kamar. Mengambil koper yang sudah di siapkan oleh Ibunya tadi Pagi, lelaki itu mengganti pakaiannya dan bergegas turun, "Ayo pergi. Ayah dan Ibu aku berangkat dulu."

Keduanya kembali memasuki mobil, mereka sempat berpamitan secara singkat mengingat Galen yang begitu terburu-buru. Stelle memandang khawatir pada sang suami, "Apa Galen akan menjaga Nasya dengan baik? Kita tidak tahu bukan apa yang ada di dalam benak anak nakal itu."

"Kita lihat saja Stelle, jangan terlalu memusingkan nya." Dimas berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Stelle yang masing diam menatap kepergian sang putra dan juga menantunya.

"Semoga saja Galen tidak membuat aku kecewa nantinya," ujar Stelle menutup pintu rumah.

****

Nasya asik memandang keluar jendela mobil, mengabaikan keheningan yang terjadi di antara keduanya. Entah kenapa Galen menjadi begitu dingin ketika bersama dirinya, tapi ketika berhadapan dengan Ayah dan Ibu lelaki itu tampak sedikit berubah walaupun cara bicaranya masih datar dan kasar.

Tak ada dari mereka yang ingin membuka pembicaraan sampai keduanya sampai di sebuah rumah sederhana milik Galen, lelaki itu langsung saja memarkirkan mobil miliknya dan keluar begitu saja. Meninggalkan Nasya yang gelagapan sendiri.

Ia mengikuti langkah kaki Galen yang mendahuluinya, wanita itu tampak bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang, di mana letak kamarnya? Dan pada akhirnya ia memutuskan untuk menunggu di sofa saja, sampai Galen kembali. 

"Rumah ini begitu sederhana," ujar Nasya memandang kagum interior khas dari rumahnya sekarang. Dia menatap ke arah tangga menunggu Galen turun dari sana, akan tetapi tak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu akan turun.

"Apa ia melupakan ku?" tanya Nasya lirih. Ia mencoba mencari kesibukan lain, seperti mengecek ponsel yang sejak Pagi belum ia pegang. Banyak panggilan dan pesan masuk dari Ratu, yang menanyakan kenapa ia tak masuk sekolah. 

Nasya mengetik pesan pada Ratu, mengatakan bahwa ia sedang ada urusan keluarga. Setelah melakukan itu Nasya kembali menatap tangga berharap Galen segera datang dan menunjukkan kamarnya di mana.

Namun, sudah lama ia menanti sosok Galen tetap tak kunjung datang. Mata Nasya sudah terasa berat, ia memutuskan untuk tidur sebentar di atas sofa sembari menunggu Galen. Entah ia akan datang atau tidak, wanita itu merebahkan tubuhnya di atas sofa, "Apa dia benar-benar melupakan ku?"

Mata Nasya perlahan menutup, ia mengelus perutnya sebentar, tak lama kemudian terdengar dengkuran halus yang menandakan bahwa Nasya sudah masuk ke alam mimpi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status