Share

BAB 3 - Terpaksa

“Neng? Di luar ada tamu yang nyariin, Neng,” ujar Bi Inah.

“Malam-malam begini, Bi?” jawab Naira dengan sedikit rasa tidak percayanya.

“Iya atuh, katanya sih pacarnya Neng Naira,” jelas Bi Inah.

Naira yang mendengarnya pun langsung menutup buku yang sedang dibacanya. Ia segera bangkit dari duduknya dan mencari tahu siapa yang mencarinya malam-malam seperti ini. Padahal saat ini sudah pukul sebelas malam.

Siapa yang berani bertamu malam-malam seperti ini. Sangat tidak sopan, bukan?

Naira sudah sampai di lantai satu dan segera membuka pintu rumahnya. Terlihat jelas ada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan sana. Namun, Naira hanya mampu melihat punggungnya saja.

“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” ucap Naira dengan sopan. Alhasil membuat lelaki itu langsung menoleh ke arah Naira dengan melambaikan tangannya.

“Gibran? Tahu dari mana alamat gue?” tanya Naira dengan penuh penasaran.

“Mau tahu aja atau mau tahu banget?” tanyanya kembali dengan kedua tangannya yang dilipat. Naira langsung berdecak kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang enak didengar.

“Aku mau minta tolong sama kamu,” jelas Gibran pada Naira.

“Apaan?” tanya Naira dengan ketus.

“Sebentar....” Gibran langsung masuk ke dalam rumah Naira tanpa permisi dengan melihat seisi rumah milik Naira seolah ia pernah ke sana.

“Ke luar nggak lo!” teriak Naira dengan lantang.

“Ke luar nggak!” teriaknya lagi.

“Cantik rumahnya—sama kayak yang punya,” ujarnya dengan mendekatkan wajah ke Naira. Naira refleks terkejut dan hanya mampu terdiam karena matanya ditatap oleh Gibran.

“Lo ke luar atau—”

“Atau apa?” potong Gibran dengan mengedikkan kepalanya.

“Atau gue panggil satpam!” ancam Naira.

“Jangan,” ucapnya dengan ketakutan.

“Makannya keluar!”

“Mending panggilkan penghulu aja.” Tambah Gibran lagi dengan menaik-turunkan alisnya.

“Pak Sat—” teriak Naira.

“Suuut! Jangan teriak dong, Naira, nanti kita dikira tetangga lagi KDRT,” potong Gibran dengan pelan di samping telinga Naira. Gibran berhasil membungkam mulut Naira agar tidak berteriak.

“Argghh!” teriak Gibran yang kesakitan karena tangannya yang digigit oleh Naira.

“Ke luar nggak!” teriak Naira lagi. Kali ini dengan membawa kemoceng ditangannya.

“Eh, iya aku ke luar, tapi....” Gibran sengaja menahan kalimatnya.

“Tapi apa? Mau gue pukul?”

“Jangan, jangan! Kan aku mau minta tolong,” jelasnya dengan menyatukan tangannya memohon.

“Iya udah cepetan! Minta tolong apa?” tanya Naira dengan penuh emosi.

“Buka blokirannya, ya? Hehe,” jawabnya dengan menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalau gue nggak mau?” tanya Naira.

“Aku tetap di sini sampai blokirannya kamu buka,” jelasnya dengan duduk di kursi tamu dan menyilangkan kakinya.

“Ah! Terserah,” ucap Naira yang putus asa lalu meninggalkan Gibran.

“Bi? Tolong bawakan minum atau makanan dong,” pinta Gibran dengan seenaknya kepada Bi Inah dengan tersenyum.

“Nggak usah didengerin, Bi, Bi Inah tidur aja udah malam.”

“Bukannya itu pacarnya Neng Naira, ya?” tanya Bi Inah

“Bukan, Bi, bukan!” tegas Naira.

“Haha! Nggak mau ngaku dia, Bi,” sahut Gibran.

“Ck!” Naira berdecak lalu melanjutkan jalannya.

 “Aku tahu kamu punya Abang, kan?” Perkataan Gibran berhasil membuat langkah kaki Naira langsung terhenti.

“Tahu dari mana lo?” tanya Naira. Gadis itu mendekati Gibran dengan menarik hoodie putih milik Gibran.

“Lihat deh, Bi, masa pacarnya dikasarin begini?” ucap Gibran mengadu ke Bi Inah.

“Ngomong sekali lagi gue tonjok muka lo!” ancam Naira.

Gibran yang mendengar ancaman Naira hanya mampu terdiam. Takut? Tentu saja tidak. Gibran memang tipe lelaki yang jahil dan menyebalkan di sekolah. Gibran juga tidak akan berhenti untuk menggoda Naira agar selalu kesal ketika di dekatnya.

“Nggak kebayang kalau Abang kamu tahu ada cowok di rumah, apalagi malam-malam begini,” ujar Gibran yang berhasil membuat Naira ketakutan.

“Mau lo apa hah?” tanya Naira dengan melepas hoodie Gibran.

“Buka blokirannya, setelah itu aku pergi,” kata Gibran. Tetapi, Naira masih terdiam dengan tawarannya.

“Gimana? Naira Anggiana Olivia?” tanya Gibran sekali lagi.

“Lo?” Naira melotot ke arah Gibran.

“Pasti kaget aku bisa tahu nama lengkapmu, kan?” tanya Gibran dengan tersenyum jahil.

“Tahu dari mana lo nama lengkap gue?” tanya Naira dengan mata mendelik.

“Oh, lo itu dukun? Ngaku lo!” Lanjutnya.

“Mana ada dukun secakep aku?” tanyanya dengan penuh percaya diri.

“Iya cakep, kalau dilihat dari ujung monas terus pakai sedotan plastik,” balas Naira dengan tertawa jahat.

TIN! TIN!

Terdengar suara klakson mobil dari luar. Naira yang mendengarnya pun terkejut karena masih ada Gibran di dalam rumahnya. Jika Dirga tahu, ia pasti akan dimarahi.

“Wah! Udah pulang Abang kamu, Nai,” sindir Gibran santai dengan menyanggah kepalanya.

“Lo jangan pergi dulu, sembunyi!” pinta Naira yang ketakutan.

“Nggak mau ah!” goda Gibran.

“GIBRAN!” teriak Naira.

“Apa, Naira?”

“Sembunyi!”

“Ada syaratnya.”

“Ngeselin banget sih lo!”

“Kalau nggak mau ya—terserah,” ucapnya dengan santai sambil memakan kuaci di tangan kanannya.

“Apa syaratnya?” tanya Naira pasrah.

“Buka blokirannya dan besok jalan sama aku,” jelas Gibran.

“Oke!”

“Deal ya?” tanya Gibran lagi.

“DEAL! PUAS LO!” teriak Naira yang dibalas tersenyum kemenangan oleh Gibran.

“Oke, aku pulang,” kata Gibran dengan melambaikan tangan ke Naira.

“Awas ketahuan Abang gue!” ancam Naira.

“Jangan rindu,” ujarnya.

“Najis rindu sama lo!” seru Naira yang dibalas tertawa oleh Gibran. Naira segera membukakan pintu rumahnya dan bertanya, “Baru pulang, Bang?”

“Nggak lihat lo? Masih aja nanya,” jawab Dirga ketus.

“Halo, Bang?” Lelaki itu ke luar dari tempat sebunyinya dan muncul secara tiba-tiba dengan bertingkah sok akrab.

“Lo siapa? Ngapain ke rumah gue malam-malam?” tanya Dirga.

“Oh, gue pengirim paket,” jawabnya ngasal.

“Kok betah sih—serumah sama gorila betina?” Lanjutnya dengan melirik ke Naira.

“Siapa gorila betina?” tanya Naira dengan sewot.

“Kenalin, Bang, gue Gibran. Itu Adik lo, ya?” tanya Gibran.

“Kenapa?” tanya Dirga sedikit sewot.

“Cantik sih, tapi galak,” ujar Gibran dengan pelan di kata terakhirnya.

“Awas lo macam-macam!” murka Dirga memperingatkan.

“Gue pamit, Bang,” kata Gibran lalu pergi.

“Jangan balik lo!” teriak Naira.

“Tidur anak kecil,” sela Dirga.

“Siapa anak kecil!” teriak Naira jengkel karena dituduh anak kecil.

“Lo.”

“Bukan!”

“Siapa tadi?” tanya Dirga.

“Pengirim paket,” jawabnya ngasal.

“Pengirim paket kok naiknya ferrari,” ujar Dirga.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 06.25 WIB. Namun Naira belum juga terbangun dari tidurnya karena masih tertidur di kamar. Satu-satunya orang yang dapat membangunkan dirinya adalah Dirga.

Namun, kakak lelakinya sudah berangkat ke kantor sejak shubuh tadi karena ada problem di kantornya. Padahal hari ini Naira harus berangkat pagi ke sekolah karena ada upacara.

“Neng Naira? Bangun, Neng!” teriak Bi Inah dari luar kamar.

“Neng Naira nggak sekolah?” Naira membelalakkan matanya setelah mendengar teriakan dari Bi Inah.

“Iya Bi Inah! Makasih!” teriak Naira.

Ia bergegas untuk melakukan aktivitasnya dengan terburu-buru karena takut gerbang sekolahnya akan ditutup sebelum sampai di sana.

Setelah mandi dan berseragam dengan rapi, ia berlari menuruni anak tangga dengan menenteng tas sekolahnya. Ia berkata, “Pak Jo? Setelah ini tolong antar saya ke sekolah, ya?”

“Iya, Neng! Mobilnya saya panasin dulu, ya?” ucap Pak Jo dengan sopan.

“Iya, Pak,” balas Naira mengangguk.

“Makan dulu, Neng,” kata Bi Inah.

“Bibi aja yang sarapan, Naira udah telat ini.”

“Nanti saya dimarahin Mas Dirga, Neng.”

“Biar Naira yang ngomong sama Abang,” ucapnya dengan tersenyum.

“Ayo, Pak Jo!” ujarnya setelah masuk ke dalam mobil.

“Siap, Neng!”

***

Naira telah sampai pada sekolahnya. Namun, naas gerbang sekolah sudah ditutup oleh satpam. Ia benar-benar terlambat masuk sekolah hari ini, karena Dirga yang sudah pergi dahulu ke kantornya pagi-pagi buta dan tidak membangunkan dirinya.

“Telat, ya?” Naira langsung menoleh ke sumber suara itu.

“Lo? Ngapain di sini!” Lanjutnya dengan keras.

Laki-laki yang membuat Naira terkejut adalah Gibran Alandra. Seorang lelaki dengan seragam yang dibiarkannya ke luar dan dasi yang tidak dirapikan ini menurut Naira sangat tidak cocok untuk menjadi pusat perhatian banyak orang. Terlebih lagi dengan rambutnya yang acak-acakan.

“Jangan-jangan—kita jodoh, Nai?” ucap Gibran dengan mengedipkan matanya.

“Najis!” umpat Naira. Gibran yang mendengar langsung tersenyum. Tidak ada yang menolak Gibran selama ia sekolah disini.

“Sini! Nanti ketahuan satpam.” Ia menarik tangan Naira agar mau masuk ke dalam mobil miliknya.

“Apaan sih lo!” Naira menolak dengan mendorong tubuh Gibran.

“Kamu mau dihukum sama guru?” Gibran membuka pintu mobil agar Naira masuk.

“Nggak!”

“Makannya sini masuk!”

“Gue bilang nggak!” teriaknya. Naira berusaha melepas tangannya dari gengaman Gibran.

“Kenapa? Aku nggak macam-macam sama kamu, Nai,” jelas Gibran.

“Apa jaminannya?” tanya Naira.

“Kamu boleh pukul aku kalau itu terjadi,” pungkas Gibran mencoba meyakinkan Naira.

“Oke, gue masuk! Kalau lo macam-macam gue aduin ke Abang gue!” ancamnya.

Naira langsung masuk ke dalam mobil milik Gibran. Jika saja ia bangun lebih awal pagi ini, mungkin tidak akan telat untuk pergi ke sekolah dan tentunya tidak akan terjebak dengan lelaki yang menyebalkan ini.

“Nai?” panggil Gibran.

“Hm?” balas singkat Naira.

“Kok jutek sih? Masih ingat nggak perjanjian kita semalam?”

“Perjanjian?” Naira mulai berpikir mencari maksud dari perkataan Gibran.

“Kamu janji akan buka blokiran dan kita jalan-jalan hari ini,” jelas Gibran.

Mata Naira langsung melotot setelah mendengar ucapan dari Gibran. Lelaki itu masih saja mengingat kejadian semalam. Naira mencoba membuka pintu mobil karena ingin ke luar dari sana. Tetapi, pintu mobil sudah dikunci terlebih dahulu oleh Gibran setelah dirinya masuk.

“Kamu buka blokirannya sekarang atau kamu nggak akan pernah ke luar dari mobil ini.”

“Gampang—dan blokirannya nggak akan pernah gue buka!” sahut Naira.

“Nai? Kan kamu udah janji sama aku semalam,” ucap Gibran dengan menoleh ke arah Naira.

“Please! Unblock it now, Naira,” kata Gibran dengan merengek seperti anak kecil.

“Oke, gue buka sekarang.”

Naira segera mengambil ponselnya dan membuka blokiran atas nama Gibran. Naira paling tidak bisa ketika melihat seseorang yang minta tolong kepadanya dengan cara seperti itu. Karena dirinya akan merasa tidak tega.

“Nah, gitu dong.” Gibran tersenyum dengan mengacak rambut Naira.

“Apaan sih lo!” umpat Naira dengan menepis tangan Gibran.

“Sekarang kamu mau pergi kemana?” tanya Gibran dengan menatap mata Naira.

“Maksud lo? Kita bolos sekolah hari ini?” tanya Naira yang dibalas mengangguk oleh Gibran.

“Kamu mau sekolah dihukum lari di lapangan?”

Naira menggeleng kepalanya dengan cepat. Gibran yang melihat terkekeh, karena menurutnya itu lucu.

“Kita ke mall,” ajaknya tanpa basa-basi.

“Ngapain ke mall?” tanya Naira penasaran.

“Kamu mau kita jalan-jalan pakai seragam sekolah?”

“Nggak!” jawab Naira.

Setelah mendengar jawaban dari Naira. Gibran langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan normal untuk segera menuju ke salah satu mall yang berada di Jakarta. Mereka menghabiskan waktu bersama di dalam mall hingga sore hari.

Mulai dari belanja baju, bermain game, bahkan sampai kelelahan dan mencari makan bersama. Biarpun begitu, Naira benar-benar terjebak oleh keadaan yang memaksanya untuk harus dengannya seharian ini.

SYLVIAAZ

Bersambung...

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status