Pagi itu langit terlihat cerah. Seakan mengerti akan suasana hatiku. Tersenyum penuh arti. Namun, senyumku seketika hilang. Tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangan kananku dengan keras menuju gedung belakang sekolah. Aku mengerang kesakitan mencoba melepaskan cengkaraman itu. Usahaku sia-sia, karena dua orang gadis lainnya ikut mendorong tubuhku ke sebuah tembok yang sudah berlumut.
Gadis lain berambut panjang yang berdiri sejajar di hadapanku melayangkan sebuah pukulan ke pipi kananku. Wajahku terhempas menghantam tembok di belakang. Aku bisa merasakan aliran darah di sudut bibirku. Terasa perih dan sungguh tidak enak.
“Itu kau kan?” tangan lainnya menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak ke atas.
“Apa yang kau bicarakan? bicaralah yang jelas,” balasku berusaha melepaskan tangan yang masih menarik rambutku. Tangannya terlepas dari rambutku.
Aku mengusap sudut bibirku. Merapikan rambutku yang berantakan. Membenarkan letak dasi yang sedikit miring dan menepuk-nepuk bagian bahuku yang ditempeli sedikit noda dari lumut.
“Kau yang mengunggah video kami merokok di komonitas online sekolah kan?” teriak gadis itu marah. Wajahnya memerah. Tampak jelas kalau ia takut dan penuh kekhawatiran.
Aku tidak yakin dia dari kasta satu atau kasta dua. Yang aku yakin, tubuh ramping, tinggi dan gaya berpakaian yang stylish menunjukkan kalau dia berasal dari salah satu keluarga konglomerat.
Tradisi tidak masuk akal lainnya. Segala kekerasan dan bullying seakan-akan tidak dipermasalahkan. Lihatlah aku. Anak tunggal dari orang paling dihormati dan berkuasa di sekolah saja bisa diperlakukan seperti ini. Dan satu hal lagi yang aku mengerti adalah kasta di atas segalanya.
“Kenapa kau menuduhku? Karena rumor? Rumor yang membuktikan kalau itu aku?” tanyaku santai dengan smirk di sudut bibirku.
Tiba-tiba saja aku tertawa karena merasa ini sedikit menyenangkan. Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Mengambil foto selfie dengan cantik. Lalu mengarahkan kamera ke tiga orang gadis yang masih berdiri marah di depanku.
“Apa yang kau lakukan? kau sudah gila?” gadis itu mencoba meraih ponselku.
Dengan cepat tanganku menepis. “Waaaaah, kalian tampak lebih cantik kalau di foto,” ucapku sembari memasukkan kembali ponsel ke dalam saku.
“Apapun yang kukatakan, kalian tidak akan percaya bukan? kenapa? karena kalian hanya percaya dengan apa yang ingin kalian percaya. Dan itu adalah aku,” aku mendorong bahu salah satu gadis dengan bahuku sambil melangkah pergi.
Gadis yang akrab dipanggil Arin itu malah kembali mendorongku dari belakang.
“A….,” desisku berbalik menghadap mereka, “sshhhh. Aku lupa bilang, lain kali, jangan menunjukkan kebodohan kalian,” ucapku memperingatkan.
Aku berjalan melewati mereka bertiga yang masih berdiri tidak percaya dengan apa yang kulakukan. Siapa sangka kalau aku yang berada di kasta tiga akan melawan mereka yang kasta satu. Walaupun sebenarnya latar belakangku sebagai putri tunggal pemilik sekolah ini sungguh tidak berguna.
****
Aku duduk di salah satu bangku taman belakang sekolah. Satu-satunya alasan yang membuat aku suka dengan sekolah ini adalah fasilitas sekolah yang sangat lengkap dan beragam. Lingkungan hijau yang dipenuhi pohon lindung di sepanjang jalan dan lorong. Yang paling aku sukai adalah taman belakang sekolah, lebih tepatnya di samping auditorium sekolah. Sebuah lapangan hijau yang luas dan diselingi bangku-bangku berjarak di pinggir lapangan.
Aku memandangi sudut bibirku melalui sebuah cermin bundar warna hitam. “Aiiiih, seharusnya aku tidak membiarkan mereka menyentuh wajahku tadi.” Menyesali kejadian yang baru saja terjadi.
Aku mengambil sebuah tisu basah dari dalam tas. Mengusap pelan darah yang sudah membeku di sudut bibirku.
“Au…,” aku meringis kesakitan. Mencoba membuka menutup rahang. Sedikit senam rahang untuk mengurangi rasa kaku di bagian rahang.
Aku terpaksa bolos kelas pertama dan kedua karena harus meladeni anak-anak kasta satu tadi. Sekarang jam istirahat. Dari kejauhan, samar-samar aku melihat seorang anak laki-laki berkacamata yang berjalan menuju ke arahku.Ya. Itu Mino.
Lima Langkah. Tiga Langkah. Dan sekarang dia berdiri di hadapanku. Dia menyodorkan sebuah salaf luka. Tanganku rekflek menerima salaf itu tanpa menatap wajahnya. Aku tidak mau Mino melihat keadaanku yang agak kacau seperti saat ini.
Mino duduk disampingku. “Siapa suruh kau posting hal-hal seperti itu?”
Aku terkejut mendengar kalimat pertama yang diucapkan oleh anak laki-laki yang kusangka sangat cuek itu.
“Kalau kau juga mau menuduhku, pergilah sana,” perintahku pelan.
Mino tertawa ringan. Menoleh ke arahku melihat salaf yang belum kuoleskan ke sudut bibir yang terluka.
“Ini apa?” tanyaku menghindari kesalahpahaman. Lirikku pada salaf di tanganku
“Salaf luka,” jawabnya singkat.
Aku menghela nafas. Bersandar pada sandaran kursi. “Kuharap kau tidak berpura-pura baik padaku, karena..,” aku berhenti sejenak. Membuka tutup salaf. Mengambil sedikit dengan ujung jari dan mengoleskannya ke sudut bibirku, “karena, kalau kau nanti sudah tak baik padaku. Aku yang akan susah,” sambungku.
Aku mengembalikan salaf itu ke tangannya. Lalu berjalan meninggalkannya di belakang. Banyak hal yang kupikirkan. Kejadian tadi pagi. Kejadian kemarin sore sepulang sekolah.
Aku menoleh ke belakang, berbalik dan berhenti. Kudapati Mino masih duduk di bangku itu dan terus menatapku. Ketika melihat ekspresi Mino yang tampak polos tapi potongan wajahnya sangat tajam itu, aku terus mengingat kejadian kemarin sore sepulang sekolah.
Waktu itu, aku menulis namaku di kertas tanpa tujuan. Hanya khawatir Mino tak tahu namaku disaat-saat penting nantinya.
Tapi kali ini.
“Jia.” Mino berteriak memanggil namaku.
Aku terdiam. Tak bergerak. Masih menatapi Mino yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari posisiku saat ini.
Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali. Jianada Melody. Jianada Melody. Jianada Melody. Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah. Diharapkan segera menuju kantor direktur Diharapkan segera menuju kantor direktur Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru. Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han. Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membu
Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini. Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu. “Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar. Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang. Karena aku sama sepertimu. Huft! Aku menghembuskan nafas pelan. Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yan
“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a