Share

4. KASTA SATU

Pagi itu langit terlihat cerah. Seakan mengerti akan suasana hatiku. Tersenyum penuh arti. Namun, senyumku seketika hilang. Tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangan kananku dengan keras menuju gedung belakang sekolah.  Aku mengerang kesakitan mencoba melepaskan cengkaraman itu. Usahaku sia-sia, karena dua orang gadis lainnya ikut mendorong tubuhku ke sebuah tembok yang sudah berlumut.

Gadis lain berambut panjang yang berdiri sejajar di hadapanku melayangkan sebuah pukulan ke pipi kananku. Wajahku terhempas menghantam tembok di belakang. Aku bisa merasakan aliran darah di sudut bibirku. Terasa perih dan sungguh tidak enak.

“Itu kau kan?” tangan lainnya menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak ke atas.

“Apa yang kau bicarakan? bicaralah yang jelas,” balasku berusaha melepaskan tangan yang masih menarik rambutku. Tangannya terlepas dari rambutku.

Aku mengusap sudut bibirku. Merapikan rambutku yang berantakan. Membenarkan letak dasi yang sedikit miring dan menepuk-nepuk bagian bahuku yang ditempeli sedikit noda dari lumut.

“Kau yang mengunggah video kami merokok di komonitas online sekolah kan?” teriak gadis itu marah. Wajahnya memerah. Tampak jelas kalau ia takut dan penuh kekhawatiran.

Aku tidak yakin dia dari kasta satu atau kasta dua. Yang aku yakin, tubuh ramping, tinggi dan gaya berpakaian yang stylish menunjukkan kalau dia berasal dari salah satu keluarga konglomerat.

Tradisi tidak masuk akal lainnya. Segala kekerasan dan bullying seakan-akan tidak dipermasalahkan. Lihatlah aku. Anak tunggal dari orang paling dihormati dan berkuasa di sekolah saja bisa diperlakukan seperti ini. Dan satu hal lagi yang aku mengerti adalah kasta di atas segalanya.

“Kenapa kau menuduhku? Karena rumor? Rumor yang membuktikan kalau itu aku?” tanyaku santai dengan smirk di sudut bibirku.

Tiba-tiba saja aku tertawa karena merasa ini sedikit menyenangkan. Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Mengambil foto selfie dengan cantik. Lalu mengarahkan kamera ke tiga orang gadis yang masih berdiri marah di depanku.

“Apa yang kau lakukan? kau sudah gila?” gadis itu mencoba meraih ponselku.

Dengan cepat tanganku menepis. “Waaaaah, kalian tampak lebih cantik kalau di foto,” ucapku sembari memasukkan kembali ponsel ke dalam saku.

“Apapun yang kukatakan, kalian tidak akan percaya bukan? kenapa? karena kalian hanya percaya dengan apa yang ingin kalian percaya. Dan itu adalah aku,” aku mendorong bahu salah satu gadis dengan bahuku sambil melangkah pergi.

Gadis yang akrab dipanggil Arin itu malah kembali mendorongku dari belakang.

“A….,” desisku berbalik menghadap mereka, “sshhhh. Aku lupa bilang, lain kali, jangan menunjukkan kebodohan kalian,” ucapku memperingatkan.

Aku berjalan melewati mereka bertiga yang masih berdiri tidak percaya dengan apa yang kulakukan. Siapa sangka kalau aku yang berada di kasta tiga akan melawan mereka yang kasta satu. Walaupun sebenarnya latar belakangku sebagai putri tunggal pemilik sekolah ini sungguh tidak berguna.

****

Aku duduk di salah satu bangku taman belakang sekolah. Satu-satunya alasan yang membuat aku suka dengan sekolah ini adalah fasilitas sekolah yang sangat lengkap dan beragam. Lingkungan hijau yang dipenuhi pohon lindung di sepanjang jalan dan lorong. Yang paling aku sukai adalah taman belakang sekolah, lebih tepatnya di samping auditorium sekolah. Sebuah lapangan hijau yang luas dan diselingi bangku-bangku berjarak di pinggir lapangan.

Aku memandangi sudut bibirku melalui sebuah cermin bundar warna hitam. “Aiiiih, seharusnya aku tidak membiarkan mereka menyentuh wajahku tadi.” Menyesali kejadian yang baru saja terjadi.

Aku mengambil sebuah tisu basah dari dalam tas. Mengusap pelan darah yang sudah membeku di sudut bibirku.

“Au…,” aku meringis kesakitan. Mencoba membuka menutup rahang. Sedikit senam rahang untuk mengurangi rasa kaku di bagian rahang.

Aku terpaksa bolos kelas pertama dan kedua karena harus meladeni anak-anak kasta satu tadi. Sekarang jam istirahat. Dari kejauhan, samar-samar aku melihat seorang anak laki-laki berkacamata yang berjalan menuju ke arahku.Ya. Itu Mino.

Lima Langkah. Tiga Langkah. Dan sekarang dia berdiri di hadapanku. Dia menyodorkan sebuah salaf luka. Tanganku rekflek menerima salaf itu tanpa menatap wajahnya. Aku tidak mau Mino melihat keadaanku yang agak kacau seperti saat ini.

Mino duduk disampingku. “Siapa suruh kau posting hal-hal seperti itu?”

Aku terkejut mendengar kalimat pertama yang diucapkan oleh anak laki-laki yang kusangka sangat cuek itu.

“Kalau kau juga mau menuduhku, pergilah sana,” perintahku pelan.

Mino tertawa ringan. Menoleh ke arahku melihat salaf yang belum kuoleskan ke sudut bibir yang terluka.

“Ini apa?” tanyaku menghindari kesalahpahaman. Lirikku pada salaf di tanganku

“Salaf luka,” jawabnya singkat.

Aku menghela nafas. Bersandar pada sandaran kursi. “Kuharap kau tidak berpura-pura baik padaku, karena..,” aku berhenti sejenak. Membuka tutup salaf. Mengambil sedikit dengan ujung jari dan mengoleskannya ke sudut bibirku, “karena, kalau kau nanti sudah tak baik padaku. Aku yang akan susah,” sambungku.

Aku mengembalikan salaf itu ke tangannya. Lalu berjalan meninggalkannya di belakang. Banyak hal yang kupikirkan. Kejadian tadi pagi. Kejadian kemarin sore sepulang sekolah.

Aku menoleh ke belakang, berbalik dan berhenti. Kudapati Mino masih duduk di bangku itu dan terus menatapku. Ketika melihat ekspresi Mino yang tampak polos tapi potongan wajahnya sangat tajam itu, aku terus mengingat kejadian kemarin sore sepulang sekolah.

Waktu itu, aku menulis namaku di kertas tanpa tujuan. Hanya khawatir Mino tak tahu namaku disaat-saat penting nantinya.

Tapi kali ini.

“Jia.” Mino berteriak memanggil namaku.

Aku terdiam. Tak bergerak. Masih menatapi Mino yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari posisiku saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status