Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali.
Jianada Melody.
Jianada Melody.
Jianada Melody.
Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah.
Diharapkan segera menuju kantor direktur
Diharapkan segera menuju kantor direktur
Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru.
Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han.
Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membukakan pintu. Mataku sekejap melirik sebuah lukisan yang terpajang di samping pintu. Cukup menyita perhatianku sebelum memasuki ruangan. Itu lukisan sederhana tidak beraturan yang menunjukkan seorang pria paruh baya merangkul seorang gadis kecil. Siapapun yang melihat akan tahu kalau lukisan itu digambar oleh anak tujuh tahun.
Huft. Aku mendesah pelan, berjalan masuk dan langsung duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Ini kali keduaku duduk di sofa ini.
“Ayah dengar kau terluka sayang,” ayahku sedikit memiringkan sedikit kepala mengintip sudut bibirku yang sudah membiru, “ayah khawatir luka itu akan meninggalkan bekas luka.” Mister Han bersuara membuka topik pembicaraan seraya berjalan dari kursi kerjanya. Ia kini telah duduk di hadapanku.
Aku reflek memegangi sudut bibirku yang terluka. Aku menilik ekspresi wajah Mister Han. Aku tidak bisa menyimpulkan gurat apa yang terukir di wajah sendu ayahku.
“Bukankah ayah seharusnya menanyakan apa yang terjadi padaku? Bagaimana aku bisa terluka?” tanyaku.
“Seakan-akan ayah sudah tahu hal ini,” bisikku bersungut-sungut.
Mister Han terkekeh ringan. “Pertengkaran kecil diantara sesama teman hal biasa bukan? Dan ayah yakin ini salah satu cara kau membangun kedekatan dengan teman-teman baru.”
Aku menyerngitkan dahi. Mencoba memahami kalimat yang baru saja keluar dari mulut orang di hadapanku ini. Mataku bertemu dengan matanya. Hening sejenak.
Aku tertawa paksa. Memecah sunyi. “Aku tidak yakin dengan berita apa yang ayah dengar. Tetapi ini sebenarnya bukanlah seperti yang ayah pikirkan. Luka ini kecil memang, tapi bisa membuat lubang yang sangat dalam. Dan ini tidak hanya terjadi padaku, apakah ayah tidak pernah melihat lebih jauh? atau memang ini kesengajaan yang kau buat?” Aku balik bertanya. Nada suaraku mulai bergetar.
Aku masih memperhatikan wajah ayahku. Dia tampak tidak menyangka aku akan mempertanyakan hal itu. Namun, ekspresinya masih sama. Tenang.
“Ayah mengabdikan seluruh hidup ayah untuk sekolah ini. Memberikan pelayanan terbaik untuk menciptakan anak-anak yang berhasil, yang bisa menjadi seseorang nantinya dan…”
“Ayah tahu bukan itu yang kumaksud,” tanpa kusadari aku berdiri sambil memotong kalimat ayahku.
“Duduklah. Ayah belum selesai berbicara.” perintah Mister Han.
Aku menurut. Aku enggan untuk membantah. Apa karena sebelumnya aku tidak pernah membangkang?
Kau tahu? Saat ini, di kepalaku bersarang rangkaian pertanyaan yang hendak keluar dari mulutku. Tapi aku hanya bisa mengulum bibir bawahku untuk menahannya dan menunduk.
“Dengarlah sayang. Kau masih butuh penyesuaian dengan segala hal disini. Karena kau bukan di Kanada. Segalanya berbeda. Ayah tau kau tidak terima dipindahkan ke kasta tiga, tapi bertahanlah sedikit lagi, ayah pasti akan memberikan yang terbaik untukmu.” Mister Han menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya merekah membentuk seulas senyuman di wajah sendunya.
Aku mengangkat kepala. Bernafas pelan. Pura-pura mengerti. “Baiklah. Bertahan dan menunggu bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.” Aku berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan tanpa berpamitan pada Mister Han.
“Aku akan menunjukkan apa arti bertahan yang sebenarnya.” Gumamku dalam hati. Saat itu juga aku bertekad. Aku akan buktikan kalau pilihan salahku ini berada di jalan yang tepat.
Sekretaris Lin yang sedari tadi berdiri disudut ruangan kembali membukakan pintu untukku. Aku tersenyum paksa menyapa Sekretaris Lin sebelum melangkah keluar.
“Awasi Jia. Laporkan segala hal yang dilakukannya. Aku tidak ingin hal buruk menimpa sekolah yang sudah susah payah kubangun,” perintah Mister Han pada Sekretaris Lin.
****
Aku menyusuri lorong gedung. Dadaku terasa panas. Perasaanku tak tentu. Marah. Kecewa. Kesal. Semuanya bertaut membentuk sebuah ambisi. Aku mengusap dada dan menarik nafas dalam-dalam. Memejamkan mata mencoba menenangkan perasaan. Waktu itu aku tidak tahu kalau Mino akan mengikutiku sampai ke ruangan Mister Han. Ia keluar dari balik salah satu pilar di ujung lorong.
“Kau tak apa?” tanyanya menghadang langkahku.
Aku tidak terkejut. Karena jarak kami tidak terlalu dekat.
“Ya. Tak seburuk yang kupikirkan.” Aku berbohong. Tak itu sebenarnya yang kurasakan. Aku mendahului langkah Mino.
Ia berjalan di sampingku. Menyamakan ritme langkahnya dengan langkahku.
“Kenapa kau tak bilang yang sebenarnya?” Mino kembali bertanya.
“Yang mana? Soal aku yang kena pukul? Atau soal aku yang memposting video anak-anak itu merokok?” Aku balik bertanya, “kau tak punya kata-kata lain? Kau selalu bertanya kenapa setiap bersamaku,” lanjutku sambil terkekeh pelan.
Mino menghentikan langkahnya. Tertinggal dua langkah di belakangku. Aku menoleh setelah menyadari Ia tak lagi berjalan di sampingku.
Mino menarik nafas panjang.
“Jia.” Ia memanggil namaku untuk kedua kalinya hari itu.
Aku tidak menjawab. Menunggunya melanjutkan.
“Maafkan aku.”
“Untuk apa?” tanyaku heran.
“Masalah video itu,” ia berhenti sejenak. Mencoba menebak reaksi apa yang akan kuberikan, “masalah video itu, sebenarnya aku yang melakukannya.” Mino kembali berhenti. Memperhatikanku yang masih belum menunjukkan ekspresi apapun.
“Aku mempostingnya di malam sebelum hari pertama kau masuk sekolah. Tapi aku tidak menyangka kalau hal itu akan mencuat sekarang setelah kau menjadi pusat perhatian semua orang,” Mino berusaha menjelaskan.
“Maafkan aku karena telah membuat kau terluka,” lanjutnya. “Aku tau ini tidak adil, tapi sekali lagi maafkan aku,” pintanya sambil menunggu jawaban dariku. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah.
Aku sama sekali tidak menyangka Mino adalah orang yang lembut seperti ini. Meskipun ia memakai kacamata berwarna terang, hal itu tidak menutupi aura misteri yang terpancar dari raut wajahnya. Tajam dan tegas.
“Kenapa?” kali ini aku yang bertanya kenapa. Berusaha menahan air mata yang sudah hendak keluar sejak tadi.
“Karena aku sama sepertimu,” jawabnya.
*******
Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini. Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu. “Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar. Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang. Karena aku sama sepertimu. Huft! Aku menghembuskan nafas pelan. Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yan
“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.