Share

5. MISTER HAN

Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali.

Jianada Melody.

Jianada Melody.

Jianada Melody.

Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah.

Diharapkan segera menuju kantor direktur

Diharapkan segera menuju kantor direktur

Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru.

Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han.

Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membukakan pintu. Mataku sekejap melirik sebuah lukisan yang terpajang di samping pintu. Cukup menyita perhatianku sebelum memasuki ruangan. Itu lukisan sederhana tidak beraturan yang menunjukkan seorang pria paruh baya merangkul seorang gadis kecil. Siapapun yang melihat akan tahu kalau lukisan itu digambar oleh anak tujuh tahun.

Huft. Aku mendesah pelan, berjalan masuk dan langsung duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Ini kali keduaku duduk di sofa ini.

“Ayah dengar kau terluka sayang,” ayahku sedikit memiringkan sedikit kepala mengintip sudut bibirku yang sudah membiru, “ayah khawatir luka itu akan meninggalkan bekas luka.” Mister Han bersuara membuka topik pembicaraan seraya berjalan dari kursi kerjanya. Ia kini telah duduk di hadapanku.

Aku reflek memegangi sudut bibirku yang terluka. Aku menilik ekspresi wajah Mister Han. Aku tidak bisa menyimpulkan gurat apa yang terukir di wajah sendu ayahku.

“Bukankah ayah seharusnya menanyakan apa yang terjadi padaku? Bagaimana aku bisa terluka?” tanyaku.

“Seakan-akan ayah sudah tahu hal ini,” bisikku bersungut-sungut.

Mister Han terkekeh ringan. “Pertengkaran kecil diantara sesama teman hal biasa bukan? Dan ayah yakin ini salah satu cara kau membangun kedekatan dengan teman-teman baru.”

Aku menyerngitkan dahi. Mencoba memahami kalimat yang baru saja keluar dari mulut orang di hadapanku ini. Mataku bertemu dengan matanya. Hening sejenak.

Aku tertawa paksa. Memecah sunyi. “Aku tidak yakin dengan berita apa yang ayah dengar. Tetapi ini sebenarnya bukanlah seperti yang ayah pikirkan. Luka ini kecil memang, tapi bisa membuat lubang yang sangat dalam. Dan ini tidak hanya terjadi padaku, apakah ayah tidak pernah melihat lebih jauh? atau memang ini kesengajaan yang kau buat?” Aku balik bertanya. Nada suaraku mulai bergetar.

Aku masih memperhatikan wajah ayahku. Dia tampak tidak menyangka aku akan mempertanyakan hal itu. Namun, ekspresinya masih sama. Tenang.

“Ayah mengabdikan seluruh hidup ayah untuk sekolah ini. Memberikan pelayanan terbaik untuk menciptakan anak-anak yang berhasil, yang bisa menjadi seseorang nantinya dan…”

“Ayah tahu bukan itu yang kumaksud,” tanpa kusadari aku berdiri sambil memotong kalimat ayahku.

“Duduklah. Ayah belum selesai berbicara.” perintah Mister Han.

Aku menurut. Aku enggan untuk membantah. Apa karena sebelumnya aku tidak pernah membangkang?

Kau tahu? Saat ini, di kepalaku bersarang rangkaian pertanyaan yang hendak keluar dari mulutku. Tapi aku hanya bisa mengulum bibir bawahku untuk menahannya dan menunduk.

“Dengarlah sayang. Kau masih butuh penyesuaian dengan segala hal disini. Karena kau bukan di Kanada. Segalanya berbeda. Ayah tau kau tidak terima dipindahkan ke kasta tiga, tapi bertahanlah sedikit lagi, ayah pasti akan memberikan yang terbaik untukmu.” Mister Han menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya merekah membentuk seulas senyuman di wajah sendunya.

Aku mengangkat kepala. Bernafas pelan. Pura-pura mengerti. “Baiklah. Bertahan dan menunggu bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.” Aku berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan tanpa berpamitan pada Mister Han.

“Aku akan menunjukkan apa arti bertahan yang sebenarnya.” Gumamku dalam hati. Saat itu juga aku bertekad. Aku akan buktikan kalau pilihan salahku ini berada di jalan yang tepat.

Sekretaris Lin yang sedari tadi berdiri disudut ruangan kembali membukakan pintu untukku. Aku tersenyum paksa menyapa Sekretaris Lin sebelum melangkah keluar.

“Awasi Jia. Laporkan segala hal yang dilakukannya. Aku tidak ingin hal buruk menimpa sekolah yang sudah susah payah kubangun,” perintah Mister Han pada Sekretaris Lin.

****

Aku menyusuri lorong gedung. Dadaku terasa panas. Perasaanku tak tentu. Marah. Kecewa. Kesal. Semuanya bertaut membentuk sebuah ambisi. Aku mengusap dada dan menarik nafas dalam-dalam. Memejamkan mata mencoba menenangkan perasaan. Waktu itu aku tidak tahu kalau Mino akan mengikutiku sampai ke ruangan Mister Han. Ia keluar dari balik salah satu pilar di ujung lorong.

“Kau tak apa?” tanyanya menghadang langkahku.

Aku tidak terkejut. Karena jarak kami tidak terlalu dekat.

“Ya. Tak seburuk yang kupikirkan.” Aku berbohong. Tak itu sebenarnya yang kurasakan. Aku mendahului langkah Mino.

Ia berjalan di sampingku. Menyamakan ritme langkahnya dengan langkahku.

“Kenapa kau tak bilang yang sebenarnya?” Mino kembali bertanya.

“Yang mana? Soal aku yang kena pukul? Atau soal aku yang memposting video anak-anak itu merokok?” Aku balik bertanya, “kau tak punya kata-kata lain? Kau selalu bertanya kenapa setiap bersamaku,” lanjutku sambil terkekeh pelan.

Mino menghentikan langkahnya. Tertinggal dua langkah di belakangku. Aku menoleh setelah menyadari Ia tak lagi berjalan di sampingku.

Mino menarik nafas panjang.  

“Jia.” Ia memanggil namaku untuk kedua kalinya hari itu.

Aku tidak menjawab. Menunggunya melanjutkan.

“Maafkan aku.”

“Untuk apa?” tanyaku heran.

“Masalah video itu,” ia berhenti sejenak. Mencoba menebak reaksi apa yang akan kuberikan, “masalah video itu, sebenarnya aku yang melakukannya.” Mino kembali berhenti. Memperhatikanku yang masih belum menunjukkan ekspresi apapun.

“Aku mempostingnya di malam sebelum hari pertama kau masuk sekolah. Tapi aku tidak menyangka kalau hal itu akan mencuat sekarang setelah kau menjadi pusat perhatian semua orang,” Mino berusaha menjelaskan.

“Maafkan aku karena telah membuat kau terluka,” lanjutnya. “Aku tau ini tidak adil, tapi sekali lagi maafkan aku,” pintanya sambil menunggu jawaban dariku. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah.

Aku sama sekali tidak menyangka Mino adalah orang yang lembut seperti ini. Meskipun ia memakai kacamata berwarna terang, hal itu tidak menutupi aura misteri yang terpancar dari raut wajahnya. Tajam dan tegas.

“Kenapa?” kali ini aku yang bertanya kenapa. Berusaha menahan air mata yang sudah hendak keluar sejak tadi.

“Karena aku sama sepertimu,” jawabnya.

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status