Share

10. Kumohon Tolonglah Aku!

Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. 

            Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.

Bruk!

Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.

Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.

“Kau tak apa?” tanyanya sambil meraih kedua tanganku. Membantuku bangun dan berdiri.

Aku memegangi punggung. Terasa sangat sakit. Seragam bagian belakangku juga basah dan kotor. Mino membantu membersihkan bajuku bagian belakang. Menepuk pelan berharap nodanya dapat tersamarkan.

“Kau yakin punggungmu tidak patah?” tanya Mino sekali lagi. Tangannya masih menepuk-nepuk punggungku.

Aku mengangguk lemas. Sakit dan juga malu. Itulah yang kurasakan. Mino membantu mengambil tasku yang masih tergeletak di lantai. Ia membantuku berjalan menuju kelas.

“Aih, kenapa harus jatuh,” gumamku pelan. Tanganku terangkat menutupi wajahku. Aku membayangkan foto diriku yang sudah memenuhi ruang obrolan sekolah. Entahlah, diriku selalu menjadi topik nomor satu di sekolah.

“Siapa suruh berlari-lari di jalanan licin,” katanya.

Belum sempatku membalas Mino yang mengejekku. Sebuah bel pertanda pengumuman sekolah kembali berbunyi.

“Huft, sekarang apa lagi?” ujar Mino. Ia bersandar pada kursinya. Ia menantikan suara yang sudah bisa didengarnya meskipun belum mengeluarkan suara apapun.

Sepertinya sudah kebiasaan bagi sekolahku untuk membuat sebuah pengumuman, sekecil apapun itu, baik atau buruk, akan disiarkan ke seluruh penjuru sekolah.

Selamat pagi, hari yang buruk membawa berita buruk lainnya. Berikan semangat pada teman kita yang akan melakukan introspeksi diri selama tiga bulan. Geofani Liana akan dirumahkan selama tiga bulan karena mencemarkan nama baik sekolah. Sekian, enjoy your study.

Mataku membesar. “Jangan-jangan..,” gumamku. Dengan punggung yang masih sakit, aku reflek bangkit dari bangku.

Dengan cepat Mino menahan badanku. Ia meletakkan kedua tangannya di bahuku. Menekannya dan mendorong tubuhku kembali terduduk.

“Kau mau kemana? Protes pada Mister Han? Kau pikir bisa membalikkan keadaan? kau terlalu cepat marah, itu kebiasaan buruk,” Mino menjelaskan sambil menggeleng-geleng. Nada suaranya masih tenang. Seperti biasanya.

“Aku sudah merasa aneh ketika melihatnya di auditorium kemarin. Kau tahu dia tidak salah apapun, tapi harus menanggung semuanya. Aku merasa bersalah padanya.”

“Mister Han tidak mungkin menskors anaknya sendiri, itu akan mencoreng nama baiknya, ditambah lagi terlalu banyak rumor dan story tentang kau di sekolah ini. Pikirkanlah cara lain.”

Aku menopang dagu dengan kedua tanganku sambil memikirkan cara agar Geofani kembali bersekolah normal. Aku tidak peduli dengan suasana kelas yang mulai berisik karena hari ini Bu Hani tidak mengajar. Kami mendapatkan tugas mandiri. Tapi aku sama sekali tidak peduli. Mino yang duduk di sampingku terus menatapku yang sedang berpikir keras. Beberapa kali aku merubah posisi duduk.

Tiba-tiba aku bangkit ketika sebuah ide melintas di benakku. Rasa sakit pada punggungku seakan hilang tanpa jejak. Mino yang masih duduk dengan tangan di saku mendongak melihat raut wajahku tampak serius.

Aku menunduk membalas tatapan Mino. Sorot mataku berubah, penuh tekad.

Mino ikut bangkit dari kursinya. “Jangan bilang kau,” ucapannya terhenti seakan bisa membaca apa yang kupikirkan.

“Tapi itu terlalu berisiko, kau bisa dikeluarkan dari sekolah jika ketahuan,” balasnya. Nada suara Mino berubah, terdengar sangat mengkhawatirkanku.

“Aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak melakukannya, orang lain hanya akan terluka tanpa tahu apa yang terjadi, dan itu akan membuatku menjadi orang jahat tanpa rasa bersalah,” aku berhenti sejenak, “seperti yang kau bilang, ayahku tidak mungkin mengeluarkan anaknya sendiri,” aku mengalihkan pandangan.

“Aku tidak serius bilang seperti, Mister Han bisa berubah kapan saja.” Mino mencoba menghentikanku.

“Setidaknya kita harus mencoba. Aku mohon bantulah aku, kita tidak bisa membiarkan gadis yang tidak bersalah menanggungnya. Hanya kau yang bisa membantuku,” pintaku pada Mino. Aku kembali duduk, meraih tangan Mino, membujuknya agar mau membantuku kali ini.

Mino hanya menghela nafas ketika melihat sorot mataku yang penuh harap padanya. Pertanda kalau ia sudah menyerah dengan sifat keras kepalaku. Ia mau membantuku meskipun sebenarnya ia tidak mau kami melakukan hal itu.

Aku tahu betul apa yang akan kulakukan nanti sangatlah berisiko, tapi aku harus melakukannya. Akupun merasa bersalah karena telah melibatkan Mino. Jauh di lubuk hatiku paling dalam, aku merasa takut dan juga khawatir. Tapi perasaan itu tidak boleh terukir jelas pada raut wajahku. Jikalau nanti terjadi hal buruk yang menimpa kami, aku berjanji akan menanggung semuanya tanpa melibatkan Mino. Aku tidak akan menyebutkan namanya sekalipun.

****

            Bel tanda pembelajaran berakhir telah berbunyi. Anak-anak lain langsung berhamburan keluar kelas ketika mendengar bel. Sangat berbeda denganku dan juga Mino yang mengabaikan suara bel. Kami adalah murid terakhir yang meninggalkan kelas.

            Aku tidak banyak berbincang dengan Mino semenjak percakapan tadi pagi. Dengan berat hati Mino bersedia membantuku, kini aku tidak berani menatap wajahnya. Ditambah lagi ada hal yang harus kami lakukan setelah ini. Aku dan Mino menunggu di belakang sekolah.

Suasana hening. Tanpa suara. Langit mulai berganti warna kemerahan. Sekolah sudah sepi. Hanya tersisa beberapa penjaga dan juga petugas kebersihan yang berada di sekolah.

            “Kita masuk sekarang,” perintahku mengambil langkah pertama.

            Mino menahan tanganku. Mencoba menghentikanku untuk terakhir kalinya, berharap aku berubah pikiran. Aku tidak menghiraukau Mino, melepaskan tangannya dari tanganku lalu berjalan meninggalkan Mino.

            Kami menuju ruang guru tempat penyimpanan berkas-berkas, termasuk berkas ujian. Kami berjalan pelan sambil memperhatikan sekitar. Kau pasti sudah bisa menebak apa yang akan kulakukan bukan?

            “Pintunya terkunci,” Mino menyentuh layar otomatis yang dilengkapi kode keamanan.

            Aku menyandarkan bahuku pada dinding di samping pintu. Mencoba memasukkan sembarang angka.

            Kode yang anda masukkan salah.

            Aku membelalak. Layar itu mengeluarkan suara. Mino sama denganku. Ia terkejut karena suara layar yang cukup keras hingga terdengar ke ujung lorong. Tanganku kembali terangkat mematikan layar otomatis.

            Mino menopang dagunya dengan tangan kanan yang bertumpu pada tangan kirinya. Mencoba memikirkan kemungkinan kombinasi angka kode keamanan yang terdiri dari enam angka.

            “Kita cuma punya dua kali kesempatan lagi. Kau tau tanggal berdirinya sekolah? Atau tanggal lahir Mister Han?” tanyanya.

            “Mana kutahu tanggal sekolah ini berdiri. Aku belum hidup selama itu. Sekolah ini bahkan sudah berdiri jauh sebelum aku lahir,” bisikku pelan.

            Aku mencoba pilihan kedua. Memasukkan tanggal lahir ayahku.

            “Berhasil,” teriakku tertahan.

            “Apa ini? Kenapa sandinya sangat mudah, dia seperti ingin seluruh sekolah memperingati ulang tahunnya,” gerutu Mino.

            Aku masuk lebih dulu. Mataku liar ke segala arah hingga berhenti pada salah satu lemari besi. Di dalamnya ada berkas ujian yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.

            “Di sana,” ajakku pada Mino.

            Lemari itu tidak dikunci. “What!! Ini tidak dikunci, keamanan yang sia-sia, siapa saja bisa datang dan mencuri,” gerutu Mino yang kedua kali. Dia tampak kesal.

            Aku mengambil berkas di rak paling bawah. Membuka perekat aplop dengan sangat hati-hati. Tapi.

            Zztttt!

           Bagian atas apmplop robek. Mataku membesar, tanganku terhenti. Mino turut menoleh melihat lembaran kertas yang sudah berserakan di lantai. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status