Seorang gadis tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin. Entah apa yang ingin dia lihat? Yang jelas, dia hanya mengulas senyum manisnya. Senyum manis yang selalu terukir di bibirnya setiap hari, tanpa lelah. Dia mengedipkan sebelah matanya, lalu berjalan keluar kamar dan menuju ke ruang makan.
"Selamat pagi, Bun," sapa gadis itu kepada wanita paruh baya yang sedang berkutat dengan masakannya.
Gadis itu menatap ke arah meja makan yang terdapat beberapa makanan. Hati rasa ingin mencicipi, tetapi apalah dayanya yang takut sang bunda marah.
"Bunda, Ines berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum, Bun." Setelah mencium punggung tangan bundanya, Ines langsung berjalan keluar rumah menuju ke depan gerbang rumahnya.
Vinessa Queensheila Erick. Gadis yang cantik, manis, dan selalu menebar senyum kepada setiap orang. Dia juga selalu membuat orang tertawa sekaligus kesal dalam waktu yang bersamaan, karena ketidakwarasan dan kelemotannya, membuat siapa pun di sekelilingnya akan langsung naik pitam.
Seperti saat ini, dia sedang berdiri menunggu jemputan dari seseorang untuk berangkat ke sekolah. Namun, sudah pukul 07.25 WIB orang yang ditunggu tak kunjung datang. Dia kemudian mengambil ponsel di saku celananya untuk menghubungi orang itu. Saat sudah tersambung, Ines langsung berbicara pada intinya tanpa memberi salam sekalipun.
"Halo, Akang Fernanku yang gantengnya tiada tara," ucap Ines dengan nada selembut mungkin.
"Hm, apa?" tanya Fernan dengan suara serak khas bangun tidurnya di seberang sana.
"Lo lama banget, sih, jemput gue, Fer. Kaki gue kesemutan, bahkan badan gue hampir lumutan," papar Ines.
"Jemput lo? Emang mau ke mana?" tanya Fernan kembali.
"Ya ke sekolahlah, Akang Fernan!" tegas Ines sambil mengentakkan kakinya.
"Sorry, gue baru bangun tidur, Nes," sahut Fernan.
"Lo baru bangun, Fer? Kok bisa, sih? 'Kan hari ini sekolah, Fer?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Fernan, Ines malah balik bertanya dengan bertubi-tubi.
"Sebentar, Nes. Sekolah, ya?" beo Fernan, "emang hari ini hari apa? Bukannya hari minggu, ya? Kok bisa sekolah, sih? Atau gue yang salah? Gue lihat kalender dulu." Fernan menatap ke layar ponselnya dan membuka kalender.
"Fer, lo ngomong apaan, sih? Ayo, buruan jemput gue. Nanti kita telat!" pekik Ines.
Fernan mendengkus sebal. "Makanya, kalau lemot jangan dipelihara, Nes! Lo ganggu mimpi indah gue yang lagi kencan sama Lisa blackpink. Ini hari Minggu, Ogeb. Lihat kalender lo makanya. Udah, ah, bye."
"Minggu?" Ines menyalakan ponselnya, lalu melihat kalender.
"Si Fernan kayaknya pengen libur sendiri, nih, anak. Orang di kalender Ines aja sekarang hari kamis. Gimana bisa libur?" gumam Ines.
Ines mengedikkan bahunya, lalu berjalan menuju ke halte bus terdekat. Saat sedang menunggu bus yang lewat, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di hadapan Ines. Gadis itu langsung mengerucutkan bibirnya karena kesal.
Bagaimana tidak kesal? Mobil ini menghalangi pemandangan Ines. Gadis itu berjalan mendekati jendela mobil, lalu mengetuknya dengan pelan.
"Permisi, Pak, Kak atau siapa aja. Tolong mobilnya jangan menghalangi pemandangan saya!" ucap Ines dengan sedikit lantang.
Kaca mobil terbuka lebar, tampaklah seorang pria dengan setelan kantor lengkap dan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.
Pria itu melambaikan tangannya, lalu berkata, "Halo, Princess? Are you Okay?"
"Not fine."
Pria itu mendengkus sebal. "Mau ke mana?" tanya pria di dalam mobil itu sambil menatap Ines dari bawah sampai ke atas.
"Ck, mau sekolah, Bang Arka," jawab Ines dengan santainya.
Arka, pria di dalam mobil itu langsung terkejut dengan mata yang melotot. Dia atau gadis di hadapannya ini yang bego? Pasalnya, tadi dia melihat kalender sebelum pergi, tetapi ini bukankah hari minggu?
"Kamu baik-baik aja 'kan?" tanya Arka dengan hati-hati.
Ines menganggukkan kepala. "Baik."
"Kayaknya kamu nggak baik, deh. Abang tahu kamu lagi frustasi, tapi nggak begini juga, Nes." Mendengar ucapan abangnya, Ines hanya mengerutkan dahi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Orang aku sehat, Bang."
"Sehat kok oon," gumam Arka.
"Ini hari minggu, Nes. Ngapain kamu sekolah? Mau mejeng dengan Pak Kobet? Ya, kali, Dek. Jangan malu-maluin abang dong!" Sinis Arka.
"Minggu? Ini kamis, Bang," bantah Ines.
"Coba lihat ponsel kamu."
Ines menyerahkan ponselnya kepada Arka, membuat pria itu langsung menghidupkan ponsel adiknya. Dia mengecek kalender dan ternyata benar. Ya, benar-benar buat kesal.
"Ya, gimana nggak hari kamis! Lihat, ini bulannya. Dasar ogeb!" Arka menoyor kepala Ines, membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya.
Arka menarik tangan Ines agar masuk ke mobilnya. "Masuk, Abang ajak kamu ke suatu tempat."
***
Arka memarkirkan mobilnya di halaman perusahaan milik sang ayah, yang kini telah diambil alih olehnya. Ines cemberut, gadis itu mengira bahwa Arka akan membawanya ke suatu tempat yang indah. Ternyata ke perusahaan? Tempat membosankan dan melelahkan bagi Ines. Bagaimana tidak? Di sana Arka hanya menyuruhnya duduk, lalu terkadang meminta bantuan.
"Ngapain, sih, ke sini?" tanya Ines.
Arka menatap ke arah adiknya. "Mau jual paku."
Ines mengerutkan dahinya bingung. "Hah? Gimana ceritanya, Bang, perusahaan jualan paku? Dikira matrial kali," ucap Ines sambil memutar bola matanya jengah.
Arka menjitak kepala Ines dengan gemas. "Ya kali, Nes. Masa abang yang gantengnya mirip Bright, harus jualan paku di perusahaan."
"Ganteng dari mana, Bang?" tanya Ines, "kalau Bang Sean sama Bang Erick beneran gantengnya, abang mah oplas kali."
"Yang bener aja, Nes! Masa abang harus oplas dulu biar ganteng! Ini kegantengan alami yang diturunkan oleh Ayah sama Bunda," ungkapnya dengan bangga.
"Muka kayak badut ancol aja bangga," gumam Ines yang masih terdengar oleh Arka.
"Adek siapa, sih, lo? MasyaAllah, pinter banget. Saking pinternya, gue pengen pelet lo," gerutu Arka.
"Ye, dikira melet pacar apa? Ya kali Ines mau jadi pacar Abang, ogah. Mending Ines jadi pacarnya si Jupri aja," cerocos Ines.
"Ih, itu mulut atau burung perkutut? Nyerocos aja kalau ngomong. Mending suaranya bagus, kayak kaleng rombeng!" pekik Arka sambil menoyor kepala Ines.
"Abang kdrt, nih, dari tadi jitakin kepala Ines mulu," racau Ines.
Arka memukul tangan Ines dengan lumayan keras, membuat sang empu mengaduh kesakitan.
"Ya kali gue kdrt sama adek sendiri. Kalau sama bini gue, baru namanya kdrt. Lo kapan pinternya, Nes?" pungkas Arka dengan nada kesal, lalu berjalan mendahului Ines.
"Nanti, Bang. Kapan-kapan!" teriak Ines sambil berlari menyusul sang kakak.
Ketika Arka dan Ines akan memasuki gedung, tiba-tiba sebuah suara memanggil nama keduanya.
"Bang Arka, Ines," panggil seseorang, membuat keduanya menatap ke asal suara. Arka menaikkan sebelah alisnya, sedangkan Ines menatap tajam ke arah orang di hadapannya kini.
Ines hanya mampu diam tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Gadis itu menatap Arka yang tengah berbincang bersama seorang gadis yang memanggil mereka. Keduanya nampak akrab, seakan sudah berkenalan sejak lama. Saking asyiknya berbincang, mereka sampai melupakan ada seorang gadis yang tengah menatap keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Hingga Arka menyadari satu hal, lalu mengalihkan pandangannya dan menghentikan perbincangan itu."Nes, sini," pinta Arka, membuat Ines mendekati Kakaknya.Setelah berdiri di samping Arka, gadis yang ada di hadapan mereka langsung menyapa Ines."Hai, Nes," sapa gadis yang berada di hadapan mereka.Ines menatap gadis itu dengan ragu-ragu, lalu menyahut, "Ha-hai, Ka-k Nel," sahut Ines dengan terbata-bata.Arka hanya tersenyum maklum melihat kegugupan Ines.
Tamparan yang begitu keras, membuat tubuhnya tersungkur ke lantai. Namun, sebelumnya dahi gadis itu juga membentur ujung kursi meja makan. Bi Iis dan Pak Imat yang melihat itu langsung berteriak, sedangkan Ines hanya bisa menangis tanpa suara sambil memegang pipinya yang memerah. Melihat hal itu, Bi Iis langsung menghampiri Ines dan memeluknya."Ampun, Bu. Jangan sakiti Non Ines, Bu," pinta Bi Iis yang sudah menangis tersedu-sedu melihat nona mudanya yang kesakitan akibat tamparan keras dari sang nyonya."Menyingkir, Bi Iis! Anak sialan ini harus diberi pelajaran!" teriak wanita yang dipanggil nyonya oleh Bi Iis.Wanita itu bernama Mayang, bunda dari Ines. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Mayang datang dari belakang, lalu menampar gadis yang berada di pelukan Bi Iis tanpa sebab.Mayang menarik tubuh Bi Iis agar melep
Seorang gadis tengah berdiri di depan pintu sebuah rumah mewah, tetapi terlihat sederhana dan nyaman. Dia mengangkat tangannya dengan ragu-ragu, apa dia harus mengetuk pintu tersebut atau kembali pulang ke rumahnya dengan menahan lapar. Gadis itu sangat malu karena harus datang ke rumah ini setiap hari hanya untuk singgah. Ya, singgah untuk makanan. Walaupun tuan rumahnya dengan senang hati menerima kedatangan dia, tetapi tetap saja tidak enak pada mereka."Aduh, Ines bingung. Ketuk jangan ya? Tapi kalau nggak diketuk, nanti Ines makan apa coba?" gumam Ines.Iya, gadis itu adalah Ines. Dengan modal keberanian karena rasa lapar yang menyerang perut kosongnya sedari pagi, membuat gadis itu nekad untuk datang ke rumah Fernan hanya untuk sebuah makanan. Malu? Sebenarnya dia malu, tetapi mau bagaimana lagi? Gadis itu tidak punya pilihan lain, daripada terserang maag atau penyakit lambung. Jadi, lebih baik
"Ines," panggil seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai papa Fernan, Rafandra Pratama Reswara.Merasa ada yang memanggilnya, Ines langsung mengalihkan pandangan ke asal suara. "Iya, Om? Kenapa?" tanya Ines.Rafandra menghampiri gadis itu, lalu mengelus puncak kepalanya. "Kamu yang kenapa? Apa ada problem di rumah? Bunda kamu pasti kambuh lagi?" Bukannya menjawab, Rafandra malah balik bertanya.Ines cengengesan tidak jelas, lalu menjawab, "Om tahu sendiri Bunda gimana kalau sama Ines, tadi juga Ayah kayak bentak Ines cuma buat nyuruh ke kamar." Ines tersenyum dengan tulusnya.Rafandra menghela napas berat, lalu duduk di kursi biasa di ruang makan sebagai kepala keluarga. Pria itu melirik ke arah istrinya, lalu kembali beralih ke arah gadis yang berada di samping kanannya."Kok bisa ayah kamu marah?" tanya Rafandra kembali.Ines menggelengkan kepala. "Nggak tahu, O
Fernan mengerutkan dahinya dengan bingung. Bagaimana tidak? Sudah dua minggu ini Ines selalu diam tak mengeluarkan suara. Terkadang, gadis itu juga terlihat sedang melamun. Jika ditanya, dia selalu bilang tidak apa-apa, sehingga membuat Fernan kesal sendiri."Nes, lo kenapa, sih?" tanya Fernan, tetapi tidak dijawab oleh Ines."Oh God, kayaknya nih anak lagi banyak hutang, terus belom bayar. Kasihan," gumam Fernan.Karena kesal, akhirnya Fernan memutuskan untuk menggeplak tangan Ines dengan cukup kuat, membuat gadis itu terlonjak kaget dan mengalihkan pandangannya ke arah Fernan."Kenapa, Fer?" tanya Ines dengan polos.Fernan mengembuskan napasnya secara kasar. "Gue tanya, Nes. Lo kenapa? Udah dua minggu lo ngelamun. Terus selama itu juga, lo nggak ada ke rumah gue, lo mak
Suara orang-orang dewasa yang tengah berbincang begitu terdengar memenuhi ruangan yang sangat luas itu. Bukan hanya perbincangan soal bisnis saja, tetapi keharmonisan keluarga pun menjadi topik yang paling asyik untuk diperbincangkan. Bahkan, sesekali mereka tertawa karena guyonan dari anak-anak mereka. Hingga pertanyaan seorang wanita paruh baya menghentikan perbincangan itu."Mayang, Ines ke mana? Kenapa nggak kamu ajak?" tanya wanita paruh baya bernama Kinar Anindya Erick, Ibu dari Dirgantara Erick dan Argiantara Erick.Mayang menatap mertuanya itu. "Nggak tahu, Mi. Lagipula untuk apa mengajaknya? Dia bukan keluarga Erick, dan kalian semua pasti tidak suka dengannya."Kinar mengembuskan napasnya dengan pelan. "Seenggaknya, kalau dia ada di sini, mami dan semuanya bisa nyuruh-nyuruh dia. Kan kalau nyuruh gadis itu, kita nggak perlu bayar. Gratis," sahut Kinar."Mami," peringat Argiantara dan suami Kinar,
"Ines," panggil seseorang yang baru saja membuka pintu kamar gadis itu tanpa mengetuknya.Gadis itu mengalihkan pandangannya. "Abang? Udah pulang? Kok Cepet banget, sih," tanya Ines dengan bertubi-tubi."Udah kok. Emang mau nginep di sana apa?""Ya kirain, Bang."Arka bergidik ngeri. "Nggak, ah. Di sana banyak setan."Ines mengerutkan dahi dengan bingung. "Hah? Setan? Sejak kapan di rumah mewah banyak setannya, Bang? Baru tahu Ines tuh. Ada hantu apa aja Bang di sana?" tanya Ines dengan penasaran.Arka menatap Ines dengan raut serius sambil menahan tawanya. "Di sana ada Tante Miskey, Poci, Dedek tuyul, dan Mr black. Abang mau minta Sara Wijayanto buat menelusuri, sekaligus ngusir mereka juga kalo bisa," jawab Arka dengan asal.Ines menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu Mr Black siapa, Bang? Kalau keduanya aku tahu
Fernan menatap penuh keheranan pada gadis di hadapannya. Bagaimana tidak? Dua minggu kemarin, gadis itu terus diam terkadang melamun. Sekarang, tidak-tidak bukan sekarang, tetapi lebih tepatnya seminggu ini, dia terus mengulas senyum dan terlihat bahagia. Ada apa dengannya?"Lo kenapa, sih? Gue jadi segan deket-deket lo, Nes." Fernan bergidik ngeri.Ines menatap Fernan dengan kerutan di dahinya. "Kok segan sih? Emangnya gue kenapa diseganin? Kek juragan aja disegani," ucap Ines sambil terkekeh pelan.Fernan berdecak sebal. "Iya, segan. Segan karena ngeri. Kemaren-kemaren diemin gue, kadang juga ngelamun. Sekarang, senyum-senyum kayak orgil," sahut Fernan."Ish, Fernan mah nggak tahu orang lagi bahagia. Emang Ines harus sedih terus apa?" balas Ines dengan mengulas senyum tanpa beban.Fernan menaikkan sebelah alisnya. "Lo bahagia kenapa, sih? Gue penasaran tahu. Lo kan udah janji sama gue, kalau