Share

Ketakutan

Ines hanya mampu diam tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Gadis itu menatap Arka yang tengah berbincang bersama seorang gadis yang memanggil mereka. Keduanya nampak akrab, seakan sudah berkenalan sejak lama. Saking asyiknya berbincang, mereka sampai melupakan ada seorang gadis yang tengah menatap keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Hingga Arka menyadari satu hal, lalu mengalihkan pandangannya dan menghentikan perbincangan itu.

"Nes, sini," pinta Arka, membuat Ines mendekati Kakaknya.

Setelah berdiri di samping Arka, gadis yang ada di hadapan mereka langsung menyapa Ines.

"Hai, Nes," sapa gadis yang berada di hadapan mereka.

Ines menatap gadis itu dengan ragu-ragu, lalu menyahut, "Ha-hai, Ka-k Nel," sahut Ines dengan terbata-bata.

Arka hanya tersenyum maklum melihat kegugupan Ines. Dia mengerti mengapa gadis itu menjadi gugup. Pasalnya, gadis yang berdiri di hadapan mereka adalah kenopakan bundanya. Ibu dari gadis itu merupakan kakak angkat dari bunda Arka dan Ines.

"Kamu bareng sama Bang Arka? Emang nggak apa, ya, Nes?" tanya gadis bernama Nela itu.

Arka mengerutkan dahinya. "Memangnya kenapa?" Bukannya menjawab, Arka malah balik bertanya.

Nela menggelengkan kepala sambil tersenyum paksa. "Nggak, Bang. Nggak apa-apa kok, nggak usah dipeduliin pertanyaan aku tuh," jawab Nela.

"Oh iya, kamu mau ikut masuk ke kantor abang?" tawar Arka yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Nela.

"Kalau begitu, abang dan Ines duluan, ya."

Arka menarik tangan Ines agar mengikutinya. Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah belakang menatap Nela yang juga menatapnya dengan tajam. Nela kemudian menyunggingkan senyum penuh ejekan ke arah Ines yang seakan tahu arti dari senyuman itu.

Saat di depan pintu lift. Ines melepaskan genggaman Arka di tangannya, membuat pria itu menatap heran ke arah sang adik. "Abang, aku pulang aja, ya. Aku mau bantu Bunda di rumah," pinta Ines dengan tatapan memohonnya.

Arka menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"

Untuk beberapa saat Ines diam tak menjawab, lalu akhirnya membuka suara. "Ines pulang, ya, Bang. Nanti kalau Ines main, terus pulang telat, Bunda bakal marah. Nanti Abang kena getahnya. Maaf, ya, Bang," ujar Ines tanpa menjawab pertanyaan Arka.

Arka menghela napas berat. "Oke, kamu boleh pulang. Tapi diantar sama Pak Imat, ya. Jangan naik taksi, bahaya. Abang nggak mau kamu kenapa-napa, Nes."

Ines menggelengkan kepala tanda menolak permintaan Arka yang akan mengundang masalah. Terlebih lagi sang bunda yang tidak suka gadis itu selalu merepotkan kakaknya. Bundanya akan marah kalau Pak Imat, supir pribadi kakaknya, malah mengantar dia yang tidak memiliki kepentingan. Sedangkan sang kakak pasti mempunyai banyak kepentingan bahkan meeting di outdoor.

"Kamu pulang sama Pak Imat, atau abang yang antar?" tawar Arka, membuat Ines tidak mempunyai pilihan selain diantar oleh Pak Imat, supir pribadi Arka.

Pria itu memang sangat aneh. Dia padahal membawa mobil sendiri saat mengajak Ines ke kantornya pagi tadi, tetapi entah kenapa setiap akan meeting di luar ia akan meminta Pak Ujang untuk menyetir mobilnya. Maka dari itu Pak Imat selalu berada di kantor menunggu perintah Arka.

"Ya udah, Ines pulang bareng Pak Ujang aja, Bang." Ines memberikan senyum terbaiknya kepada Arka.

Pria dua puluh lima tahun itu menghubungi sang supir. Beberapa saat kemudian, Pak Imat datang menghampiri keduanya.

"Ada apa, Den Arka?" tanya Pak Ujang.

Arka melirik ke arah Pak Imat, lalu berkata, "Tolong antar Ines pulang, Pak. Hati-hati bawa mobilnya, saya bukan sayang penumpangnya, tapi sayang mobil. Mahal itu," jawab Arka yang disertai candaan di akhir kalimat, membuat Pak Imat dan Ines terkekeh pelan.

"Abang mah gitu," gumam Ines.

Pak Imat menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapan Arka, bos mudanya itu. "Baik, Den. Yuk, Non, mari!" ajak Pak Imat.

Ines meraih tangan Arka, lalu mencium punggung tangan pria itu. "Ines pulang, ya. Assalamu'alaikum," ucap Ines yang langsung dijawab oleh Arka.

"Wa'alaikumsalam."

Arka menatap penuh kasihan ke arah adik perempuannya itu. Sebenarnya dia tahu mengapa Ines meminta pulang ke rumah daripada menemani dan membantunya di kantor, dengan alibi membantu sang bunda.

Dengan menghela napas berat, Arka kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam lift dan menekan angka sembilan, lantai di mana ruangannya berada.

***

Pak Imat merasa heran dengan sikap Ines yang tidak biasa. Gadis itu hanya diam dan menatap ke arah jendela mobil. Biasanya nona muda itu akan terus berceloteh sambil memakan permen lollipop kesukaannya.

"Non Ines kenapa diem aja atuh?" tanya Pak Imat.

Merasa ada yang bertanya, Ines mengalihkan pandangannya dari jendela mobil ke arah Pak Imat. Dia lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban, bahwa ia tidak apa-apa.

Pak Imat mengembuskan napas pelan. Dia tahu ada yang sedang disembunyikan oleh gadis itu. Bagaimana dirinya tahu? Tentu saja dia akan tahu. Sejak Ines kecil, dia bersama istrinyalah yang merawat gadis cantik itu.

"Bapak tahu, kalau kamu sedang memikirkan sesuatu. Kamu nggak bisa bohong sama bapak, kamu lupa kalau bapak urus kamu sedari bayi," seloroh Pak Imat, membuat Ines kembali menatap pria paruh baya itu.

"Ayo, cerita sama bapak. InsyaAllah, bapak akan mendengarkan dengan baik." Ines terharu mendengar ucapan Pak Imat.

Gadis itu akhirnya membuka suara, lalu berkata, "Tadi pagi Ines kira hari ini sekolah, ternyata libur. Terus di halte aku ketemu Abang, dia ajak ke kantor. Di sana kita papasan sama Kak Nela, dan-" Ines tak mampu melanjutkan ceritanya, gadis itu malah menangis sesenggukan.

"Non jangan khawatir, bapak akan bicara sama ibu kalau Non Nela ngadu. Jangan nangis, nanti cantiknya ilang, Non," pungkas Pak Imat yang merasa kasihan pada gadis itu.

Ines menundukkan kepalanya dengan air mata yang tak kunjung berhenti. "Ines takut, Pak. Nanti kalau Bunda marah gimana? Kak Nela pasti ngomong yang macem-macem sama Bunda. Ines takut," sahut Ines disertai dengan tangisannya.

"Non, nggak boleh suudzon dulu, kita harus selalu husnuzon. Percaya sama bapak, Ibu pasti nggak bakal apa-apain Non. Kalaupun diapa-apain, bapak bakal belain Non."

"Tapi-"

"Udah, Non. Sekarang hapus air matanya, ya. Mukanya jelek kalau nangis," ucap Pak Imat.

Ines menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya, lalu menampilkan senyum manis pada Pak Imat yang juga ikut mengulas senyum.

"Nah, gitu dong, senyum. Non kan pernah bilang, kalau Non nggak boleh cengeng. Karena emang sedari kecil mereka begitu, termasuk Ibu, jadi jangan dibawa hati dan cengeng. Non masih punya bapak dan bibi 'kan? Jadi jangan nangis. Non nggak sendirian kok," ujar Pak Imat dengan lembut.

Ines menganggukkan kepala. "Iya, Pak. Maaf, tadi refleks. Air matanya yang nakal pengen keluar, padahal Ines udah larang." Pak Imat hanya menggeleng-gelengkan kepala saat mendengar jawaban dari Ines.

***

Setelah sampai di halaman rumah bundanya. Ines langsung turun dari mobil, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mewah itu. Gadis itu mengembuskan napas lega, ketika mendapati rumah tersebut kosong dan sepi. Ke mana bundanya?

Ines berjalan menuju ke ruang makan untuk memastikan keberadaan sang bunda. Namun, nihil. Ruangan itu kosong tidak ada orang sama sekali, bahkan Bi Iis yang selalu berkutat dengan benda-benda dapur sekarang tidak ada di sana. Gadis itu mengembuskan napas berat, lalu membalikkan badannya.

Baru saja membalikkan badannya, tiba-tiba seseorang melayangkan sebuah tamparan yang sangat keras. Ines langsung memegang pipinya yang memerah dan sangat perih, sehingga bibirnya pun sedikit robek dan mengeluarkan darah.

"Non!" panggil sebuah suara dengan lantang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status