Share

Kemarahan Bunda

Tamparan yang begitu keras, membuat tubuhnya tersungkur ke lantai. Namun, sebelumnya dahi gadis itu juga membentur ujung kursi meja makan. Bi Iis dan Pak Imat yang melihat itu langsung berteriak, sedangkan Ines hanya bisa menangis tanpa suara sambil memegang pipinya yang memerah. Melihat hal itu, Bi Iis langsung menghampiri Ines dan memeluknya.

"Ampun, Bu. Jangan sakiti Non Ines, Bu," pinta Bi Iis yang sudah menangis tersedu-sedu melihat nona mudanya yang kesakitan akibat tamparan keras dari sang nyonya.

"Menyingkir, Bi Iis! Anak sialan ini harus diberi pelajaran!" teriak wanita yang dipanggil nyonya oleh Bi Iis.

Wanita itu bernama Mayang, bunda dari Ines. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Mayang datang dari belakang, lalu menampar gadis yang berada di pelukan Bi Iis tanpa sebab.

Mayang menarik tubuh Bi Iis agar melepaskan pelukannya dari tubuh Ines. Setelah berhasil, wanita itu langsung menjambak rambut Ines yang masih menangis.

"Sakit, Bun hiks... ampun, Bun hiks... Ines salah apa, Bun, hiks...." Ines memegang tangan Mayang yang masih menjambak rambut gadis itu. Rasanya rambut Ines seakan terlepas dari kepala.

"Bun, sakit, Bun hiks...," rintih Ines.

Mayang melepaskan jambakannya, lalu menghempaskan kepala Ines sehingga membentur lantai.

"Kamu ke mana tadi, hah?!" tanya Mayang dengan berteriak marah.

Ines menghapus air matanya, lalu menjawab, "Ines kira sekarang hari kamis, ternyata minggu. Makanya Ines mau pergi ke kampus, tapi pas di jalan ketemu Abang. Dia ngasih tahu Ines, terus ajak Ines ke kantornya, Bun."

"Arka yang bertemu kamu, atau kamu sengaja datang ke kantor dia?! Saya tahu, kamu pasti yang datang ke sana buat ngadu kan?! Jawab!" teriak Mayang, membuat Ines terlonjak kaget.

Hal yang paling ditakuti oleh Ines sejak kecil adalah kemarahan Mayang. Wanita itu tidak akan segan-segan menampar, menjambak, bahkan memukul Ines. Padahal saat itu Ines baru berumur dua tahun, tetapi dia tidak merasa kasihan maupun iba pada anak sekecil itu. Ines tidak mengetahui mengapa bundanya sangat membenci gadis itu, bahkan akan sangat marah pada kesalahan kecil yang dilakukannya.

"Sumpah, Bun. Ines ke sana diajak Abang, bukan sengaja. Ines nggak pernah mengadu sama Abang, Bun," sahut Ines.

"Bohong! Kamu kira saya percaya sama kamu?! Saya lebih percaya pada keponakan saya, dibandingkan kamu yang hanya orang asing?!" Mayang menjentul-jentulkan kepala Ines yang kembali menangis saat mendengar bundanya mengatakan bahwa dia adalah orang asing.

"Ines nggak bohong, Bun. Abang yang ajak Ines, dan aku juga nggak ngomong apa-apa sama Abang," pungkas Ines dengan lirih.

"Alah, saya nggak percaya! Sebagai hukumannya, kerjakan semua pekerjaan rumah. Dan kamu nggak dapat makan hari ini!" sinis Mayang dengan penuh penekanan.

"Tapi, Bun-"

"Saya nggak menerima penolakan! Awas kamu ngadu sama Arka atau suami saya!" Mayang berjalan meninggalkan Ines.

Ines menatap punggung Mayang yang menjauh dan menghilang. Ines kembali menangis, lalu beberapa saat kemudian gadis itu menghapus air matanya dan mengulas senyum. Ines langsung beranjak mengerjakan hukuman yang diberikan oleh Mayang.

Ines yakin, suatu saat Bunda bakal baik sama Ines, batin Ines.

***

Ines mengembuskan napas kasar, lalu mulai mengerjakan apa yang diperintahkan oleh bundanya, Mayang. Pertama, gadis itu mulai menyapu seluruh lantai ruangan, lalu mengepelnya. Setelah selesai, dia mengelap barang-barang yang ada di ruang keluarga, kemudian mencuci piring, dan memasak makanan. Pekerjaannya baru selesai pada pukul 17.10 WIB.

Matanya membelalak ketika menatap jam yang terpajang di dinding dapur, membuat gadis itu tergesa-gesa menata makanan di meja makan. Setelah semuanya selesai, Ines langsung bergegas ke kamarnya untuk membersihkan badan yang terasa lengket.

"Lengket banget, nih, badan," gumam Ines, "mandi jangan ya. Mandi, ah," lanjutnya.

Sebelum beranjak ke kamar mandi. Ines melangkah ke depan cermin terlebih dulu, menatap pantulan dirinya. Tidak ada yang dilakukannya, hanya mengulas senyum tulus.

"Tetap senyum, Nes, siapa tahu mereka balas senyum kamu. Tapi, kalau suatu saat kamu lelah buat tersenyum, minta Allah untuk peluk kamu dan hilangin senyum ini," gumamnya.

Tanpa terasa air mata mengalir dari pipi gadis cantik itu. Dengan cepat, dia menghapus air matanya. Ines langsung beranjak ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian, Ines baru keluar dari kamar mandi menjalani ritual di sore hari. Sambil menunggu azan Magrib berkumandang, gadis itu membaringkan tubuhnya di ranjang sambil memainkan ponselnya.

Pintu kamarnya diketuk berkali-kali, membuat Ines menghampirinya dan membuka pintu itu. "Ayah, ada apa?" tanya Ines dengan lembut.

"Ayah mau susul kamu. Ayo, makan bersama," ajak pria paruh baya yang dipanggil ayah oleh Ines.

Gadis itu menggelengkan kepala, lalu menyahut, "Nggak usah, Yah. Ines di kamar aja, deh. Makasih, Ayah."

Pria itu mengangkat tangannya, lalu mengelus kepala Ines. Dia tersenyum lembut menatap putri bungsunya.

"Takut sama Bunda, hm? Kalau itu alasan kamu, tenang aja. Kan ada ayah, Sayang." Pria itu merangkul bahu Ines dan mengajaknya ke ruang makan.

Ayah Ines bernama Argiantara Zidni Erick. Dia merupakan adik kandung Dirgantara Erick, ayah dari Crystal.

"Tapi-"

"Nggak ada tapi-tapian, Nak. Jangan takut, ada ayah juga abang. Bunda nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Percaya sama ayah, oke," ujar ayah Ines, membuat gadis itu mengulas senyum dan menganggukkan kepala.

Sesampainya di ruang makan, ayah Ines langsung meminta putri bungsunya itu duduk di kursi samping kanannya. Sedangkan Mayang berada di kursi samping kiri ayah Ines, membuat keduanya saling berhadapan.

"Mas, kenapa kamu ajak dia makan," ujar Mayang pada suamianya, ayah Ines.

"Dia anak aku, Mayang, kalau kamu lupa. Dia lahir dari rahim istriku, yaitu kamu," sahut Argi.

Mayang menatap suaminya. "Nggak, dia bukan anak kita! Dia anak pria brengsek itu! Dia bukan anak aku! Aku nggak sudi mengakui anak bajingan itu!" teriak Mayang.

Wanita itu tersulut emosi saat suaminya mengatakan bahwa Ines adalah anak mereka, tetapi Mayang tidak terima. Karena ucapan sang suami, membuat dia kembali terbayang masa kelam itu. Argi menghampiri Mayang yang berteriak sambil menangis. Ines terkejut melihat reaksi sang bunda, hanya karena ayahnya mengatakan kalau Ines adalah putri mereka. Dan apa maksud bunda yang mengatakan bahwa dirinya putri pria bajingan itu?

"Dia bukan anak aku! Aku nggak pernah menginginkan dia jadi anak aku! Pergi kamu anak sialan, pergi dari sini! Pergi dari rumah ini!" jerit Mayang sambil menyiramkan air yang ada di gelas ke wajah Ines.

"Ines, masuk kamar, Nak!" tegas Argi.

Ines yang sadar diri, langsung beranjak dari duduknya. Padahal sedari pagi dia belum makan apa pun, maka dari itu dia menurut pada sang ayah yang mengajaknya untuk makan malam. Namun, kejadian tadi membuat Ines ketakutan.

"Ines lapar, tapi nggak ada makanan di tas. Biasanya ada roti. Aduh, mana nggak punya uang buat belinya. Apa Ines ke rumah Fernan aja, ya, pinjem uang," gumam Ines.

"Ya udah, deh, Ines ke rumah Fernan aja."

Baru saja Ines akan melangkahkan kaki keluar rumah, tiba-tiba suara seseorang menghentikannya.

"Mau ke mana kamu?" tanya seseorang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status