Share

Usulan Rafandra

"Ines," panggil seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai papa Fernan, Rafandra Pratama Reswara.

Merasa ada yang memanggilnya, Ines langsung mengalihkan pandangan ke asal suara. "Iya, Om? Kenapa?" tanya Ines.

Rafandra menghampiri gadis itu, lalu mengelus puncak kepalanya. "Kamu yang kenapa? Apa ada problem di rumah? Bunda kamu pasti kambuh lagi?" Bukannya menjawab, Rafandra malah balik bertanya.

Ines cengengesan tidak jelas, lalu menjawab, "Om tahu sendiri Bunda gimana kalau sama Ines, tadi juga Ayah kayak bentak Ines cuma buat nyuruh ke kamar." Ines tersenyum dengan tulusnya.

Rafandra menghela napas berat, lalu duduk di kursi biasa di ruang makan sebagai kepala keluarga. Pria itu melirik ke arah istrinya, lalu kembali beralih ke arah gadis yang berada di samping kanannya.

"Kok bisa ayah kamu marah?" tanya Rafandra kembali.

Ines menggelengkan kepala. "Nggak tahu, Om. Mungkin Ayah kesel sama Ines, karena Bunda kambuh lagi. Dan itu kan gara-gara Ines," jawab Ines masih dengan senyum tulusnya.

Rafandra menatap gadis di sampingnya. Gadis yang selalu mengulas senyum tulus kepada semua orang walaupun sedang terluka. Mungkin orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui soal gadis ini, tetapi keluarga Reswara sangat bahkan lebih tahu apa yang sedang terjadi pada Ines. Gadis itu memang pandai menyembunyikan luka juga kesedihannya. Namun, pancaran mata tidak akan pernah berdusta.

"Ya udah, nggak usah dipikirin. Ayo, makan," ujar Rafandra.

Keempat orang di ruang makan itu langsung terdiam dan fokus pada makanan masing-masing. Mereka memakannya dengan khidmat tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, hanya terdengar dentingan sendok. Rafandra sangat tegas dalam mendidik keluarganya, dalam hal kecil sekalipun. Contohnya saat sedang makan, tidak ada yang boleh berbicara atau melakukan apa pun selain makan dan minum.

Setelah menyelesaikan acara makannya, Rafandra meminta ketiga orang yang disayanginya untuk duduk di sofa ruang keluarga.

"Ada apa, Mas?" tanya Hidayah Mazzyla Zein, istri Rafandra dan mama Fernan.

Ines menundukkan kepala karena takut. Iya, takut Rafandra akan membahas soal dirinya yang hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk menumpang makan malam, bahkan terkadang ikut sarapan. Itu hanya akan dilakukannya ketika gadis itu tidak ada yang memberi uang saku, maupun makanan. Bi Iis dan Pak Imat memang suka memberikan satu sampai tiga buah roti untuknya, tetapi Ines hanya akan memakan setengahnya saja, karena yang setengahnya disisakan untuk makan malam. Namun, sudah dua minggu Pak Imat dan Bi Iis tidak pernah membekalinya dengan roti-roti itu.

"Kamu kenapa, Nes?" tanya Hidayah.

Ines mengangkat kepala, lalu menatap Rafandra dan Hidayah secara bergantian. Dia kemudian meremas ujung bajunya. Jujur, gadis itu sangat takut dan gugup.

"Hm, Ines minta maaf, Om. Maaf kalau aku selalu ngerepotin Om setiap hari, tapi kalau nggak dateng ke sini. Ines harus dateng ke mana? Ke rumah Om Dirga bukannya dikasih makanan malah dikasih omongan, Om. Nggak kenyang dong," ucap Ines dengan lirih tanpa menjawab pertanyaan Hidayah.

Rafandra mengerutkan dahinya tanda tak mengerti dengan ucapan Ines. Kenapa tiba-tiba gadis itu meminta maaf? Memangnya gadis itu salah apa padanya? Dasar aneh.

"Kamu kenapa? Emang kamu ngelakuin apa sampe bilang maaf?" tanya Rafandra, membuat Ines menatap dengan bingung ke arah pria paruh baya itu.

"Emang Om mau ngapain? Bukannya mau bahas soal Ines yang sering numpang makan, ya?" Rafandra menggelengkan kepala. "Lah, terus Om mau ngomong apa?"

Bugh!

Fernan melemparkan bantal sofa ke wajah Ines. Laki-laki itu sangat gemas pada gadis di hadapannya ini. Seandainya dia memiliki kekuatan untuk menghilangkan seseorang, sudah pasti orang yang pertama ingin dihilangkannya adalah Ines.

"Dengerin dulu makanya, jangan banyak bacot. Punya otak tuh dipake buat mikir, bukan buat makanan mampir. Dasar lemot," gerutu Fernan.

Ines mengerucutkan bibir sambil mengusap-usap wajahnya. "Ish, Fernan tegaan banget sih sama Ines. Nanti kalau muka Ines ilang emang mau tanggung jawab?" Ines berdecak sebal, lalu kembali berkata, "Ines tuh dari tadi gugup plus takut lihat muka Om, serius banget soalnya. Maka dari itu Ines berpikir, pasti Om bakal bahas soal numpang makan, terus Ines nggak dibolehin lagi makan di sini."

Fernan memutar bola matanya dengan jengah. "Cetek banget pemikiran lo. Gue usul, mending nggak usah ada otaknya. Nggak guna, tak bermutu juga. Buang aja otaknya."

"Ih, Fernan tega banget sama Ines. Ya Allah, terus limpahi Ines kesabaran, biar bisa nyetok. Soalnya di sekeliling Ines banyak banget orang-orang nggak jelas kayak Fernan. Untung Ines cantik, jadi kebal deh atas ejekannya," ujar Ines.

"Apa hubungannya si sabar sama lo yang cantik? Dasar aneh," sahut Fernan dengan kesal.

Ines berdecak sebal. "Ada dong hubungannya. Orang cantik kan selalu dihina, jadi pasti banyak sabarnya. Gituh aja nggak tahu, pemikirannya sih seupil makanya mikir pendek. Otak nggak guna dicabut aja, ganti otak ayam," balas Ines tak mau kalah.

"Kenapa jadi berantem, sih," lerai Hidayah yang geram melihat perdebatan antara putra tunggalnya dengan gadis yang sudah ia anggap seperti putri sendiri.

"Ines, Om cuma mau kasih saran. Bukan mau bahas soal numpang makan, jadi Ines dengerin saran Om."

Mendengar ucapan Rafandra, membuat ketiga orang di sana langsung terdiam. Mereka dengan seksama mendengarkan saran dari Rafandra untuk Ines.

***

"Gimana menurut kamu, Nes?" tanya Rafandra.

Ines menganggukkan kepalanya. "Saran Om bagus, tapi Ines belum tahu Om. Dua minggu ini aku bakalan sibuk dengan jadwalku yang padat, gimana kalau tiga minggu kemudian? Ines nggak sibuk," jawab Ines yang langsung disetujui oleh Rafandra dan Hidayah.

"Tapi Ines ragu, Om. Apa Ines bisa jalaninnya? Eh, yakin deh bisa kalau mau berusaha dan berdoa." Rafandra menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan gadis di hadapannya. Dia yang bertanya, dia juga yang menjawab. Memang benar-benar aneh.

"Lo pasti bisa, Nes. Gue bakal bantuin lo tiap hari kok, tenang aja. Asal ada upah bantuinnya ya," seloroh Fernan sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

"Huh ... Fernan mah mata duitan. Bantuinnya nggak ikhlas, pamrih banget sih jadi orang. Kalau begitu mah nggak usah deh bantuannya, makasih." Ines mengerucutkan bibirnya.

Fernan mendengkus sebal. "Iya-iya gue ikhlas, pelit banget sih lo. Padahal mah udah dibantuin sama bokap gue, tapi perhitangan sama anaknya."

"Bodo."

"Aduh, udah jam sembilan malem, Ines harus pulang, Om, Tan, Fer," ucap Ines yang sedang melihat jam yang terpasang di tangannya.

Gadis itu beranjak dari duduknya, lalu berpamitan pada kedua orang tua Fernan dengan mencium punggung tangan mereka.

"Assalamu'alaikum, Om, Tan. Makasih atas tumpangannya," pamit Ines sambil terkekeh pelan.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan."

Setengah jam berjalan dari rumah Fernan, akhirnya Ines sampai di rumahnya. Rumah Fernan dengan rumahnya lumayan dekat, maka dari itu dia memutuskan berjalan kaki. Kenapa tidak naik taksi atau angkutan umum? Bagaimana mungkin? Uang saja dia tidak punya. Jika punya uang pun, mungkin sudah ia belikan makanan sedari tadi dan tidak perlu repot-repot datang ke rumah Fernan untuk menumpang makan. Ines memanggil satpam yang menjaga gerbang di rumahnya, lalu melangkahkan kaki setelah satpam itu mengizinkannya untuk masuk. Tentu saja diizinkan, memangnya siapa yang mau melarang. Ada-ada saja.

Gadis itu membuka pintu utama dan masuk ke dalam rumah. Ines melirik ke arah kiri dan kanan. Sepertinya rumah dalam keadaan sepi, pasti semua orang sudah tertidur. Setelah mengunci pintu utama, Ines kembali melanjutkan langkahnya menuju ke dalam kamar. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba suara seseorang menghentikannya.

"Kamu abis dari mana?" tanya sebuah suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status