Share

Mengerti Akan Posisi

Fernan mengerutkan dahinya dengan bingung. Bagaimana tidak? Sudah dua minggu ini Ines selalu diam tak mengeluarkan suara. Terkadang, gadis itu juga terlihat sedang melamun. Jika ditanya, dia selalu bilang tidak apa-apa, sehingga membuat Fernan kesal sendiri.

"Nes, lo kenapa, sih?" tanya Fernan, tetapi tidak dijawab oleh Ines.

"Oh God, kayaknya nih anak lagi banyak hutang, terus belom bayar. Kasihan," gumam Fernan.

Karena kesal, akhirnya Fernan memutuskan untuk menggeplak tangan Ines dengan cukup kuat, membuat gadis itu terlonjak kaget dan mengalihkan pandangannya ke arah Fernan.

"Kenapa, Fer?" tanya Ines dengan polos.

Fernan mengembuskan napasnya secara kasar. "Gue tanya, Nes. Lo kenapa? Udah dua minggu lo ngelamun. Terus selama itu juga, lo nggak ada ke rumah gue, lo makan di mana?" Bukannya menjawab pertanyaan Ines, Fernan malah balik bertanya dengan bertubi-tubi.

Ines menatap Fernan dengan bingung. "Ines? Emang Ines kenapa? Orang Ines nggak papa kok, fine-fine aja. Dan kenapa Ines nggak ke rumah Fernan selama dua minggu? Kan Ines sekarang udah bisa cari makan sendiri, Fer," jawab Ines dengan santainya.

"Lo bisa cari makan? Di mana?"

Ines berdecak sebal kala mendengar pertanyaan bodoh dari Fernan. "Ya, hasil kerjalah. Masa Ines maling," gerutu Ines.

"Ya kali aja lo maling. Btw, lo kerja di mana? Emang usulan Papa gue nggak bakal lo terima," ujar Fernan.

"Ish, Fernan. Ya, bakal Ines terima, kan usulan Om Rafa tuh baik, kalau usulan Fernan baru nggak baik." Fernan mendengkus sebal, lalu menjitak kepala Ines.

"Oke-oke, gue mau ngomong serius. Lo kenapa? Gue perhatiin, selama dua minggu ini lo selalu ngelamun, dan nggak ada numpang makan malam di rumah gue." Fernan menatap dengan serius ke arah Ines.

"Fernan kope, pengen tahu aja. Ini kan privasi, nggak boleh ada yang tahu," pungkas Ines dengan kesal.

"Gue serius, Ines! Gue lagi nggak pengen bercanda!" desis Fernan, "gue tanya lo kenapa? Dan jawab yang bener, nggak usah banyak alasan!" lanjutnya dengan penuh penekanan.

Ines menundukkan kepala saat Fernan menatap dengan tajam ke arahnya. Gadis itu masih bungkam, tak berani mengeluarkan suara. Apa yang harus gadis itu katakan?

"Fernan jangan khawatir, Ines baik-baik aja. Sekarang Ines masih bisa pendam sendiri, tapi nanti kalau udah nggak kuat, Ines janji bakal ceritain semuanya," ungkap Ines dengan senyum tulusnya, membuat Fernan bungkam.

"Nes, gue sahabat lo dari kecil, gue selalu ada buat lo. Jangan pernah ngerasa sendiri. Kalau lo butuh sandaran, maka ada pundak gue. Lo butuh temen buat curhat, gue siap dengerin. Jangan begini, Nes. Gue udah muak sama sikap lo yang seolah baik-baik aja, tapi nyatanya nggak." Fernan tersulut emosinya.

Sikap Ines yang terus bungkam dan selalu menyembunyikan sesuatu, membuat Fernan selalu hilang kendali. Emosinya seakan naik, sulit untuk ditenangkan. Maka dari itu, di saat-saat seperti inilah yang membuat Fernan merasa bersalah pada akhirnya, karena telah memarahi bahkan memaki Ines dengan tanpa perasaan. Namun, gadis itu malah membalas perlakuan Fernan dengan mengulas senyum tulusnya.

"Ines belum siap cerita, nanti kalau udah siap. Ines janji bakal cerita. Fernan jangan marah, Ines nggak mau cerita itu karena banyak alasan. Yang pertama, kalau Ines cerita nanti Fernan marah, terus semua orang juga bakal marah. Jadi, mending Ines diem aja. Fernan kan emosian," sahut Ines.

"Tapi gue butuh-"

Ines menyela ucapan Fernan, membuat pria itu mendengkus sebal. "Oke-oke, kita urus dulu usulan Om, setelah itu selesai Ines bakal cerita. Janji." Ines menjulurkan jari kelingkingnya ke hadapan Fernan yang langsung disambut oleh jari kelingking pria itu. Mereka berdua saling menautkan jari kelingking, lalu saling melempar senyum satu sama lain.

***

Ines mengerutkan dahi bingung kala mendengar pintu kamarnya diketuk begitu kuat oleh seseorang. Dia yang tengah berbaring, akhirnya beranjak menghampiri pintu, lalu membukanya.

"Iya, kenapa, Bun?" tanya Ines dengan takut-takut.

"Saya tunggu kamu di ruang keluarga, cepet!" tegas Mayang.

Ines menganggukkan kepala tanda mengerti. "Iya, Bun. Ines ganti baju dulu, tadi abis bersih-bersih rumah soalnya. Tung-"

Ines menghentikan ucapannya saat Mayang malah tidak peduli dengan apa yang gadis itu katakan, membuat Ines menatap punggung bundanya yang menjauh dengan mata berkaca-kaca.

"Padahal Ines cuma ngomong, Bun, tapi Bunda nggak mau dengerin sedikit pun." Ines mengembuskan napasnya dengan kasar, lalu masuk ke dalam kamarnya dengan tergesa-gesa.

Karena memikirkan soal Mayang yang tidak peduli padanya, bahkan mendengarkan suaranya saja tidak sudi, membuat Ines melupakan perintah bundanya itu. Gadis itu menuruni anak tangga dengan perlahan, kemudian melangkah menuju ruang keluarga.

"Hai, Ines," sapa seorang gadis yang sudah Ines kenal sejak kecil.

"Halo, Cyrstal. Kamu tumben ke sini?" sahut Ines sambil tersenyum lembut ke arah gadis bernama Crystal Daiyna Erick.

Gadis itu adalah sepupu Ines dan Arka. Dia anak bungsu dari Dirgantara Erick, kakak papa Ines.

Crystal mengedikkan bahunya tak acuh. "Aku disuruh Papa ke sini," seloroh Crystal, "buat sampein kalau besok malam, grandma ngadain acara kumpul bersama. Intinya keluarga besar Erick," lanjutnya.

"Kamu denger nggak? Hanya keluarga Erick yang bisa kumpul, jadi kamu nggak usah ikut. Karena kamu bukan berasal dari keluarga Erick," sindir seorang pria di samping Crystal dengan angkuhnya.

Ines langsung terdiam sambil menundukkan kepala. Dia mengira bundanya akan mengajaknya untuk berbincang, ternyata bukan. Gadis itu malah diingatkan kembali akan posisinya di keluarga Erick. Iya, Ines sudah tahu mengapa keluarga besar ayah dan bundanya sangat membenci bahkan tidak menganggapnya ada? Dia sudah mengetahuinya saat itu. Saat di mana dia baru pulang dari rumah Fernan, lalu berpapasan dengan sang bunda.

Di sanalah bundanya memberitahu siapa dirinya? Menceritakan segalanya dengan penuh emosi. Hingga ayahnya datang, lalu membawa sang bunda untuk menenangkannya.

"Iya, Bang Erick. Ines tahu kok," balas Ines dengan masih menundukkan kepala.

Aleksander Erick Pratama. Nama lengkap dari pria di samping Crystal, dia adalah anak kedua dari Dirgantara Erick.

"Bagus kalau kamu tahu. Soalnya kalau kamu datang, nanti malah merusak suasana. Eh, menghalangi pemandangan juga," ejek Erick.

"Iya, Bang." Ines mengulas senyum tulusnya walau matanya menyiratkan kesedihan.

"Ya udah, Bun, kita pamit pulang dulu, ya." Crystal dan Erick berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Mayang dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

"Hati-hati di jalan, Sayang. Jangang ngebut, Bang, jaga kesayangannya Bunda dan keluarga Erick." Mayang menepuk pelan pundak Erick.

Ines yang mendengar ucapan Mayang hanya mampu diam. Apa katanya tadi? Kesayangan? Ya Allah, rasanya Ines ingin sekali protes, tetapi itu tidak mungkin.

"Nggak usah sok sedih. Jangan kayak orang yang seakan tersakiti, kamu emang pantes dapetin itu."

Mayang meninggalkan Ines yang masih duduk di sofa.

"Iya, Bun," sahut Ines dengan lirih. Yang mungkin tidak akan terdengar oleh Mayang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status