Share

Bukan Sebuah Bagian

Suara orang-orang dewasa yang tengah berbincang begitu terdengar memenuhi ruangan yang sangat luas itu. Bukan hanya perbincangan soal bisnis saja, tetapi keharmonisan keluarga pun menjadi topik yang paling asyik untuk diperbincangkan. Bahkan, sesekali mereka tertawa karena guyonan dari anak-anak mereka. Hingga pertanyaan seorang wanita paruh baya menghentikan perbincangan itu.

"Mayang, Ines ke mana? Kenapa nggak kamu ajak?" tanya wanita paruh baya bernama Kinar Anindya Erick, Ibu dari Dirgantara Erick dan Argiantara Erick.

Mayang menatap mertuanya itu. "Nggak tahu, Mi. Lagipula untuk apa mengajaknya? Dia bukan keluarga Erick, dan kalian semua pasti tidak suka dengannya."

Kinar mengembuskan napasnya dengan pelan. "Seenggaknya, kalau dia ada di sini, mami dan semuanya bisa nyuruh-nyuruh dia. Kan kalau nyuruh gadis itu, kita nggak perlu bayar. Gratis," sahut Kinar.

"Mami," peringat Argiantara dan suami Kinar, Ardiantara Zidan Erick.

"Mami bener, Dad, Gi. Kenapa kalian nggak bawa gadis itu," bela Dirgantara, membuat Kinar tersenyum penuh kemenangan.

Crystal mengangguk. "Iya, dia kan berguna, walau aku nggak sudi lihat mukanya."

"Crystal," tegur Ardiantara, membuat Crystal mengerucutkan bibirnya.

"Ck, Grandpa kenapa sih belain anak haram itu terus," gerutu Crystal yang dibalas tatapan tajam oleh pria paruh baya yang dipanggil kakek.

"Emang, Grandpa tuh selalu belain dia. Padahal dia bukan cucu Grandpa," tambah Erick.

Di antara keluarga Erick, hanya Ardiantara dan Argiantara yang tidak pernah suka dengan perlakuan keluarga besarnya terhadap Ines. Bukan hanya keduanya, tetapi ada satu orang lagi yang tidak pernah menyukai apa yang mereka lakukan pada gadis malang itu. Dia adalah Arka Erick, kakak Ines dan anak sulung dari Argiantara Erick dan Mayang Erick.

"Ines adalah bagian dari keluarga Erick, dia lahir dari rahim Bunda. Dia adik Arka," seloroh Arka seraya duduk di samping Argiantara.

"Ternyata pendukung gadis itu banyak juga, ya. Pake jampi-jampi apa sih dia?" Erick tersenyum miring.

"Banyak yang mendukung, karena dia baik. Tidak seperti kalian," celetuk seseorang dengan suara dinginnya.

Sean Adhitama Erick, adalah anak tertua dari Dirgantara Erick bersama istrinya, Thalita Erick. Pria itu juga tidak suka dengan sikap keluarga besarnya yang semena-mena pada Ines. Dia tidak mendukung atau berpihak pada gadis itu maupun keluarganya, tetapi selama Ines bersikap baik maka seharusnya mereka memperlakukan gadis itu dengan baik.

"Abang apa-apaan sih? Kita nggak salah kok buat benci dia. Asal-usulnya aja nggak baik, pasti dia juga nggak baik." Erick mendengkus sebal.

"Kamu yang nggak baik. Udah jarang sholat, suka ke club, maen perempuan lagi. Dosa numpuk, malaikat mungkin udah capek nyatat keburukan kamu," balas Sean tanpa perasaan, membuat Erick langsung terdiam.

Arka tersenyum miring. "Itu mah buruk banget."

"Ish, kenapa malah aku yang jadi sasaran kalian, gara-gara Si Lemot sih, jadi gue kan yang kena," gerutu Erick.

Arka menghela napasnya dengan pelan, lalu berdiri dari duduknya. "Makasih, Grandma, Grandpa. Makasih atas undangannya, walaupun Arka datang ke sini dengan setengah hati, karena paksaan dari Bunda. Lain kali, aku nggak usah diundang, ya. Biar aku bisa ajakin Ines pergi," ucap Arka, "kalau gitu Arka pamit," lanjutnya.

"Ines! Ines! Dan Ines! Sedari tadi kalian bahas dia terus?! Aku pusing dengernya! Apalagi kalian berempat terus puji dia, aku nggak terima!" teriak Mayang sambil menatap tajam ke arah Arka, Argiantara, dan Sean secara bergantian.

"Wajar, Bun. Dia adik Arka, bagian dari keluarga ini," bela Arka.

"Dia bukan bagian keluarga ini! Dia itu orang asing! Dia bukan keturunan Erick, ngerti nggak kamu?!" Mayang semakin murka dengan balasan Arka.

"Tapi dia lahir dari rahim Bunda! Dia anak Bunda dan Ayah, adik Arka! Bahkan Sean yang bukan keturunan Erick pun, dianggap keluarga. Kenapa adik aku nggak?!" bentak Arka yang tersulut emosinya.

"Karena Ines lahir dari keterpaksaan, Bang! Bunda diperkosa mak-" timpal Crystal dengan berteriak marah pada Arka, membuat semua orang di sana terkejut bukan main atas ucapan Crystal.

"Crystal!" teriak Arka, Argi, Ardi, dan Sean. Sebelum gadis itu melanjutkan ucapannya.

Crystal langsung merapatkan bibirnya kala melihat Mayang yang diam mematung di tempatnya. Gadis itu melupakan fakta jika tidak ada yang boleh menceritakan masa kelam itu di depan Mayang, karena wanita itu akan histeris mengingat kejadian tersebut. Kejadian yang membuatnya trauma.

"Ayo, pulang Arka." Argi beranjak menghampiri Mayang, lalu mengajaknya pulang.

Arka dan Argi meninggalkan ruangan tersebut tanpa memberi salam. Berlama-lama di sana hanya membuat keduanya naik darah, mereka selalu menjadi provokator agar Mayang membenci Ines.

Mayang, Argi, dan Arka sudah masuk ke dalam mobil. Sebenarnya Arka membawa kendaraannya sendiri, tetapi sang bunda meminta ia untuk pulang bersama. Ucapan lirihnya, membuat Arka mengalah dengan menghubungi Pak Imat untuk membawa mobilnya.

Saat berada di dalam mobil, Arka berkata, "Abang mau cari Ines, ya."

"Ines ada di rumah," sahut Mayang dengan lirih, membuat Argi dan Arka sontak menatap ke arah Mayang yang sedang menatap lurus ke arah depan.

"Apa? Gimana Bunda bisa tahu?" tanya Arka.

Mayang mengembuskan napasnya dengan perlahan. "Bunda kunciin dia di kamar dari tadi sore," jawab Mayang.

"Apa?!" teriak kedua pria itu.

***

Flashback On

Setengah jam berjalan dari rumah Fernan, akhirnya Ines sampai di rumahnya. Rumah Fernan dengan rumahnya lumayan dekat, maka dari itu dia memutuskan berjalan kaki. Kenapa tidak naik taksi atau angkutan umum? Bagaimana mungkin? Uang saja dia tidak punya. Jika punya uang pun, mungkin sudah ia belikan makanan sedari tadi dan tidak perlu repot-repot datang ke rumah Fernan untuk menumpang makan. Ines memanggil satpam yang menjaga gerbang di rumahnya, lalu melangkahkan kaki setelah satpam itu mengizinkannya untuk masuk. Tentu saja diizinkan, memangnya siapa yang mau melarang. Ada-ada saja.

Gadis itu membuka pintu utama dan masuk ke dalam rumah. Ines melirik ke arah kiri dan kanan. Sepertinya rumah dalam keadaan sepi, pasti semua orang sudah tertidur. Setelah mengunci pintu utama, Ines kembali melanjutkan langkahnya menuju ke dalam kamar. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba suara seseorang menghentikannya.

"Kamu abis dari mana?" tanya sebuah suara.

Karena penasaran, gadis itu langsung berbalik menatap ke asal suara. Di sana Elma, kakak dari sang bunda sekaligus tantenya sedang berdiri sambil menatap tajam ke arah gadis itu.

"Mulai berani, ya, kamu? Mau jadi apa pulang malem?" Elma tersenyum miring.

"Ines abis dari rumah Fernan, Tante," ucap Ines.

"Alah, jangan bohong, kamu pikir saya anak kecil," sahut Elma.

"Ada apa ini, Kak?" tanya Mayang yang tiba-tiba sudah berdiri di anak tangga terakhir.

Elma menatap Mayang, lalu berkata, "Anak kamu, pulang malem-malem begini, abis ngapain coba. Apa jangan-jangan abis dibooking Om-om."

"Ines abis dari rumah Fernan," bentak Ines yang tidak tahan dengan perkataan dari Elma.

Plak!

Suara tamparan yang begitu keras menggema di ruangan tersebut. Mayang tanpa aba-aba berjalan cepat ke arah Ines, lalu menampar gadis itu dengan kuat.

"Udah berani kamu, ya! Berani bentak Kakak saya, siapa kamu di sini?! Apa kamu ada hak, hah?!" teriak Mayang.

"Maaf," lirih Ines dengan air mata yang sudah menggenang di matanya.

"Nggak tahu diri! Suami saya sekolahin kamu tinggi-tinggi, tapi kamu malah begini, nggak hormat sama orang yang lebih tua!" bentak Mayang.

"Wajar, sih, begitu. Kamu kan bukan keluarga Erick yang menjunjung tinggi etika, kamu cuma anak hasil perkosaan," desis Elma sambil tersenyum miring seakan mengejek Ines.

Gadis yang sedang menunduk itu langsung mengangkat kepalanya. "Maksudnya?"

"Maksudnya, kamu mau tahu maksudnya? Kamu itu bukan anak Mas Argi, tapi anak bajingan yang udah memperkosa adik saya. Seharusnya kamu itu ikut dia ke penjara, tapi sayangnya Argi malah pengen rawat kamu. Dasar bodoh," papar Elma.

Mayang yang mendengar ucapan Elma malah kembali mengingat kejadian kelam yang menimpa dirinya. Kejadian itu terus berputar bagai kaset yang rusak.

"Apa itu benar, Bun?" tanya Ines dengan lirih.

Wajah gadis itu sudah dipenuhi oleh air mata. Pertanyaan Ines sontak membuat Mayang menatap gadis itu. Wanita itu langsung menghampiri Ines, lalu memukul gadis malang tersebut dengan membabi buta.

"Iya, gara-gara ayah kamu yang brengsek itu, saya harus kehilangan kehormatan saya! Saya harus dihina oleh semua orang karena dituduh selingkuh! Saya harus menahan malu karena ayah kamu! Dan lebih parahnya, ternyata benihnya tumbuh di rahim saya! Seharusnya kamu mati waktu itu, saya nggak sudi! Saya nggak mau punya anak haram! Kamu lebih baik mati, atau masuk penjara sama ayah kamu yang brengsek itu!" Mayang berteriak dan terus memukul-mukul tubuh Ines dengan kuat, sedangkan yang dipukul hanya diam sambil menangis sesak karena baru mengetahui fakta ini. Fakta bahwa dia bukanlah anak dari ayahnya, melainkan orang lain. Dan lebih parahnya, dia ada karena sang bunda yang diperkosa oleh ayah kandungnya.

"Mayang!"

"Bunda!"

Arka dan Argi datang menghampiri Mayang yang sedang mengamuk. Argi menarik Mayang untuk masuk ke kamar mereka, sedangkan Arka menatap tajam ke arah Ines.

"Kamu apain Bunda sampai dia histeris begitu, hah?!" Ines menggelengkan kepala. "Kalau sampai Bunda kambuh lagi, kamu bakal tahu akibatnya. Abang nggak akan segan-segan buat kirim kamu ke penjara. Kamu emang nggak tahu terima kasih," sarkas Arka, membuat Ines diam.

Semua orang meninggalkan Ines untuk melihat keadaan Mayang.

Flashback off

"Ines," panggil seseorang yang baru saja membuka pintu kamar gadis itu tanpa mengetuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status