Share

Sadar Diri

"Ines," panggil seseorang yang baru saja membuka pintu kamar gadis itu tanpa mengetuknya.

Gadis itu mengalihkan pandangannya. "Abang? Udah pulang? Kok Cepet banget, sih," tanya Ines dengan bertubi-tubi.

"Udah kok. Emang mau nginep di sana apa?"

"Ya kirain, Bang."

Arka bergidik ngeri. "Nggak, ah. Di sana banyak setan."

Ines mengerutkan dahi dengan bingung. "Hah? Setan? Sejak kapan di rumah mewah banyak setannya, Bang? Baru tahu Ines tuh. Ada hantu apa aja Bang di sana?" tanya Ines dengan penasaran.

Arka menatap Ines dengan raut serius sambil menahan tawanya. "Di sana ada Tante Miskey, Poci, Dedek tuyul, dan Mr black. Abang mau minta Sara Wijayanto buat menelusuri, sekaligus ngusir mereka juga kalo bisa," jawab Arka dengan asal.

Ines menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu Mr Black siapa, Bang? Kalau keduanya aku tahu, itu panggilan sayang dari Sara Wijayanto and the geng, terus Dedek tuyul aku kenal kok."

Arka mengembuskan napasnya. Niat untuk bergurau, malah hancur oleh kelemotan sang adik. Benar-benar tidak asyik, membuat mood anjlok.

"Ya Allah, Nes. Mr Black, itu gendoruwo." Arka berdecak sebal.

Ines manggut-manggut. "Oh saudara kembar Abang ternyata, Ines kira pemain film box office."

Arka menjitak kepala Ines dengan gemas. Berbicara atau bergurau dengan adiknya ini memang benar-benar menguras kesabaran, bawaannya langsung emosi saja. Sudah lemot, gampang dibohongi, kalau ngomong suka asal, memang tidak berguna. Entah apa yang bundanya makan saat mengandung gadis ini? Jangan-jangan sang bunda meminum soklin lantai yang dicampur dengan wipol. Wah, bahaya.

"Lo kalau ngomong nggak disaring dulu," gerutu Arka, membuat Ines mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya.

"Disaring? Emang bisa, ya, Bang?" tanya gadis itu dengan heran.

Arka mendengkus sebal. "Capek, gue capek. Udah ayo turun ke bawah, tadi pas mau pulang ke sini gue beli makanan. Lo belum makan kan?" Ines menggelengkan kepala sambil menyengir. "Makanya ayo kita turun, makan," ajak Arka.

Ines menganggukkan kepala, lalu beranjak dari ranjang mengikuti Arka yang berjalan di depannya. Gadis itu tiba-tiba menghentikan langkahnya tanpa sepengetahuan kakaknya, karena berhenti tanpa mengeluarkan suara. Arka yang tidak menyadari akan keberadaan sang adik di belakangnya malah terus berjalan menuju ke ruang keluarga, tempat di mana sang ayah dan bunda menunggu.

Mayang yang tengah menundukkan pandangannya sambil menyandarkan kepala ke pundak Argi langsung menatap ke arah Arka. Wanita paruh baya itu mengerutkan dahi bingung. Bagaimana tidak? Bukankah dia tadi mengatakan akan menyusul Ines untuk mengajaknya makan? Lalu ke mana adiknya itu?

"Katanya mau nyusulin Ines di kamar, Bang?"

"Lah, abang emang nyusulin Ines, kata siapa mau pidato." Arka menaikkan sebelah alisnya.

Mayang dan Argi saling menatap satu sama lain. "Terus Inesnya mana?" tanya Argi.

Arka mendengkus sebal, lalu berdecak. "Ck, atuh Ines di belakang abang, Yah. Masa nggak lihat," jawab Arka tanpa menoleh ke arah belakang.

Dengan santainya Arka kembali melangkah, lalu duduk di sofa berhadapan dengan kedua orang tuanya yang hanya terhalang meja. Dia kemudian mengembuskan napasnya dengan kasar. "Nes, duduk di samping abang. Jangan takut. Emang kamu nggak pegel apa berdiri terus?" ujar Arka dengan tatapan yang fokus ke layar ponsel.

Mayang menatap geli pada putranya itu. Dia berusaha untuk tidak tertawa terlebih dulu sebelum Arka menampakkan wajah malunya.

"Duduk, Ines! Abang bilang duduk, ya, duduk!" tegas Arka dengan masih terfokus pada layar ponselnya.

Arka mendengkus sebal. Rasanya dia ingin sekali memukul kepala Ines. Pria itu sudah memintanya duduk, tetapi sang adik tak kunjung menuruti permintaannya. Apa sekarang lemotnya beralih menjadi tuli?

"Ines, abang bilang duduk ya duduk! Ngerti ngg-" Arka yang awalnya berteriak, kini langsung menghentikannya kala dia mengalihkan pandangan dari ponsel ke arah sampingnya. Ternyata tidak ada siapa pun di sana, bahkan pria itu sudah mengedarkan pandangan, tetapi tetap saja tidak ada Ines di sana.

"I-nes mana, Bun?" tanya Arka dengan linglung.

Mayang mengedikkan bahunya. "Mana bunda tahu. Kan tadi kita tanya, katanya kamu mau nyusulin Ines? Seharusnya kamu peka dong, berarti ada yang nggak beres," cerocos Mayang, membuat Arka menatap dengan bingung ke arah bundanya.

"Emang Ines nggak ada sedari tadi, Bun?" Mayang mengangguk. "Hah? Berarti dia nggak ikut turun dong?" Kini giliran Argi yang mengangguk.

"Kenapa kalian nggak bilang?! Dipikir aku ini cenayang apa?! Bunda kan tahu aku kayak dia, yang tidak pernah peka pada perasaan seseorang." Mendengar ucapan Arka, sontak membuat Argi melemparkan bantal sofa ke wajah putranya itu.

"Nggak jelas banget, sih. Pake bawa-bawa dia sama kepekaan segala," gerutu Argi.

"Terus Arka harus susul Ines lagi dong? Males, ah. Ayah aja sana," ujar Arka, tanpa menjawab gerutuan sang ayah.

"Mager."

Mayang berdecak sebal. "Ya udah, biar bunda aja." Argi dan Arka saling menatap satu sama lain sambil tersenyum penuh arti.

"Ines nggak bakalan mau, Bun. Dia tahu diri," seloroh Arka.

Mayang menatap Arka. "Bunda paksa terus seret."

"Dikira adik Arka anak kucing apa," gerutu Arka.

"Tahu, dikira anak aku kerbau apa," sahut Argi dengan kesal.

"Heh, dia itu anak aku. Bukan anak kucing atau kerbau," balas Mayang tak mau kalah.

"Cie ... anak aku," ejek Arka dan Argi, membuat Mayang mendengkus sebal seraya beranjak dari duduknya.

***

Ines masih diam di tempatnya sambil menatap punggung Arka yang menjauh tanpa menyadari keberadaan sang adik. Sepertinya pria itu sedang fokus, entah pada apa. Gadis itu mengembuskan napas kasar, lalu berbalik badan kembali masuk ke dalam kamarnya.

"Huh, Ines-ines. Untung inget, coba kalau nggak? Bisa bahaya, nanti kena bentak sama Ayah dan Bang Arsya lagi," gumam gadis itu pada dirinya sendiri.

"Bunda kapan, sih, sayangnya sama Ines. Padahal kan Ines baik, cantik, pinter, rajin menabung, dan sabar, tapi Bunda benci banget sama Ines. Setiap lihat Ines, pasti kambuh. Ya walaupun kadang-kadang, tapi kan tetap aja nggak baik. Nggak baik buat Ines, soalnya suka dimarahin Ayah atau Abang." Ines berbicara sendiri sambil cengengesan tidak jelas. Mungkin jika melakukannya di pinggir jalan raya atau tempat ramai, gadis itu bisa diangkut oleh ambulance rumah sakit jiwa karena dianggap gila.

"Ines belum mandi," ucapnya sambil menepuk jidatnya.

Gadis itu langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang sudah lengket. Beberapa menit kemudian, ia langsung ke walk in closet untuk mengenakan pakaian. Di saat akan merapikan rambutnya, tiba-tiba perut gadis itu berbunyi.

"Yah, perut nggak bisa diajak kompromi, nih. Masa laper di saat yang tidak tepat. Mana Ines lagi diet, diet uang maksudnya. Aduh, berat nih dalam memilih, antara diet atau makan? Kalau makan, dietnya nggak jadi dong? Nanti kantong Ines kekuras semua? Tapi kalau diet, Ines laper. Ya udah, makan aja," gumam Ines.

Gadis itu akan mengambil uang dia dompetnya. Di dalam dompet tersebut, terdapat lima lembar uang lima puluh ribuan. Itu adalah uang hasil jerih payahnya, setiap dua minggu sekali gadis itu akan mendapatkan gaji dari restoran tempatnya bekerja. Gajinya memang tidak seberapa, hanya sebanyak empat ratus ribu. Bagi orang lain, uang itu mungkin sedikit, tetapi bagi Ines itu lebih dari cukup. Dia bisa menabung sedikit dan menyisakan untuk kebutuhan sehari-hari juga.

"Eh, kenapa Ines ambil uang? Kan tadi Ines bawa makanan sisa dari restoran. Makan itu aja, deh," ucap Ines, lalu berjalan mendekati nakas. Di atasnya terdapat sebuah plastik yang berisi satu box makanan.

Gadis itu duduk di lantai sambil menikmati makanan yang tersaji di meja sofa. Baru tiga suap makan, tiba-tiba kemunculan seseorang membuatnya langsung menghentikan acara makannya. Ines menundukkan kepala, tetapi sebelum itu dia menenggak air di dalam gelar terlebih dulu hingga tandas.

"Maaf, Bun. Ines tadi lapar banget karena dari pagi cuma makan roti, jadi Ines makan makanan yang ada." Ines meremas kuat rok yang dikenakannya.

"Siapa yang nyuruh kamu makan?" tanya Mayang dengan sinis.

Ines menggelengkan kepala. "Nggak ada, Bun. Tapi Ines beneran lapar, maaf," jawab Ines dengan lirih.

"Itu bukannya makanan enak dan mahal? Kamu dapet dari mana? Apa jangan-jangan kamu maling?" tuduh Mayang.

"Nggak, Bun. Ini dapet dari restoran tempat Ines kerja, Bun. Atasannya nyuruh masing-masing karyawan bawa makanan. Ines nggak maling, Bun, mana berani begitu."

Mayang mengerutkan dahi bingung. "Kamu kerja?" Ines mengangguk. "Di restoran?" Lagi, Ines kembali mengangguk.

"Udah berapa lama? Terus buat apa kamu kerja?"

"Udah dua minggu, Bun. Ya, buat kebutuhan Ines sehari-hari," sahut Ines sambil tersenyum tidak enak. "Ines butuh uang, Bun, buat beli stok makanan. Kayak roti gituh. Soalnya udah dua minggu ini, Bi Iis nggak pernah ngasih-ngasih roti buat ganjalan perut. Terpaksa deh Ines kerja sampingan."

"Kenapa kamu nggak beli? Kenapa harus nunggu dikasih Bi Iis? Kayak pengemis kamu tuh, cocok sih sama kamu," seloroh Mayang dengan senyum mengejek.

"Belinya pakai apa, Bun? Ines mana punya uang buat belinya, kan Ines nggak pernah dikasih uang saku, walaupun cuma seribu," sahut Ines sambil tersenyum tulus. "Eh, nggak-nggak. Bi Iis selalu kasih uang tiap hari, Bun, seribu tapi. Katanya uang sisa belanja. Nah, itu selalu Ines kumpulin. Intinya setiap dua sampe tiga hari sekali, baru Ines beliin roti, dapetlah roti harga segitu," lanjut gadis itu sambil terkekeh pelan.

Mayang sedikit tersentuh mendengar ucapan Ines. "Bawa makannya ke ruang keluarga, Ayah sama Abang nunggu kamu buat makan bareng," ucap Mayang seraya berjalan meninggalkan Ines yang malah mematung di tempatnya.

Ines membelalakkan matanya. "Apa?!" pekiknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status