Share

Bahagia Yang Disengaja

Fernan menatap penuh keheranan pada gadis di hadapannya. Bagaimana tidak? Dua minggu kemarin, gadis itu terus diam terkadang melamun. Sekarang, tidak-tidak bukan sekarang, tetapi lebih tepatnya seminggu ini, dia terus mengulas senyum dan terlihat bahagia. Ada apa dengannya?

"Lo kenapa, sih? Gue jadi segan deket-deket lo, Nes." Fernan bergidik ngeri.

Ines menatap Fernan dengan kerutan di dahinya. "Kok segan sih? Emangnya gue kenapa diseganin? Kek juragan aja disegani," ucap Ines sambil terkekeh pelan.

Fernan berdecak sebal. "Iya, segan. Segan karena ngeri. Kemaren-kemaren diemin gue, kadang juga ngelamun. Sekarang, senyum-senyum kayak orgil," sahut Fernan.

"Ish, Fernan mah nggak tahu orang lagi bahagia. Emang Ines harus sedih terus apa?" balas Ines dengan mengulas senyum tanpa beban.

Fernan menaikkan sebelah alisnya. "Lo bahagia kenapa, sih? Gue penasaran tahu. Lo kan udah janji sama gue, kalau lo bakal cerita banyak."

Ines menggelengkan kepala tanda tidak setuju. "Kapan Ines bilang begitu? Perasaan nggak pernah bilang deh," ucap Ines dengan polosnya.

Fernan merutuki gadis di hadapannya itu. Bagaimana bisa dia lupa akan ucapannya saat itu? Dia yang mengatakan sendiri bahwa dia akan menceritakan apa yang terjadi padanya setelah menyelesaikan usulan papanya, Rafandra.

"Pura-pura lupa lagi lo," ketus Fernan, membuat Ines langsung terkekeh pelan. "Malah ketawa, bukannya mikir. Gue nggak mau bantuin lo lagi, gue pergi aja deh," lanjut Fernan dengan mengancam Ines.

Ines masih terkekeh pelan, lalu memegang tangan Fernan dengan dalih menahan pria itu agar tidak pergi. Ines akhirnya mau menceritakan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.

"Oke, Fer. Dengerin Ines. Tapi Ines nggak mau cerita, Ines pengennya tuh Fernan nanya, terus Ines yang jawab. Gimana?" tawar Ines dengan polos dan tanpa beban.

Fernan menjitak kepala gadis itu. "Ya Allah, Nes. Lo kapan sih pinternya? Masa tinggal cerita aja susah bin ribet banget. Ngapain coba harus ditanya, padahal tinggal cerita," cerocos Fernan dengan kesal.

Ines mengerucutkan bibirnya. "Ya udah kalau nggak mau mah."

"Iya-iya gue tanya. Ines Sayang, dua minggu kemarin, lo kenapa?" tanya Fernan dengan nada yang terpaksa dilembutkan.

"Jadi, Ines kan waktu itu pulang dari rumah Fernan, terus papasan sama Tante. Intinya Tante tuh kayak ngehina Ines gituh, ya Ines nggak terima dong. Eh, Bunda datang, dia marah saat Ines ngelawan Tante. Auto Bunda marah sama Ines. Dan ada satu fakta mengejutkan, Fer," jawab Ines.

"Apa?"

Ines mengembuskan napasnya dengan kasar. "Ternyata Ines bukan anak Ayah, Fer. Katanya Ines itu anak dari pria bajingan. Bunda diperkosa sama pria brengsek yang sayangnya adalah ayah Ines."

"Siapa yang bilang?"

"Bunda sendiri, Fer. Walaupun Bunda ngucapinnya sambil histeris, tapi Ines yakin itu bener. Soalnya Bang Arka juga sampe marah, dia ngancem Ines. Kalau ada apa-apa sama Bunda, Ines bakal berurusan sama dia." Ines mengedikkan bahunya tak acuh.

Melihat mata Ines yang sudah berkaca-kaca, membuat Fernan iba. Pria itu kemudian meminta untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Oke, lupain kejadian itu." Fernan mengedipkan satu matanya ke arah Ines. "Terus seminggu ini lo kenapa bahagia banget?" Fernan menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya.

"Hm, karena ... keluarga Ines tiba-tiba berubah, Fer." Fernan mengerutkan dahi bingung. "Jadi, tuh. Malam di mana setelah acara kumpul bersama keluarga Erick, tiba-tiba Bunda datang ke kamar Ines nyuruh makan. Ines aja sampe teriak." Ines cengengesan tidak jelas.

"Nggak tahu kenapa, setelah kejadian semalam. Tiba-tiba sepulang kuliah, semua orang jadi berubah. Mereka sekarang nganggep Ines ada, terus sayang Ines gituh. Aneh sih, tapi Ines nggak boleh suudzon kan sama orang. Jadi, ya Ines nikmatin aja."

Fernan menatap serius ke arah gadis di hadapannya. "Dari cerita yang lo sampein, gue punya kesimpulannya. Gue yakin mereka punya tujuan tertentu," seloroh Fernan, "jangan terlalu bahagia, takutnya mereka nggak serius sayang sama lo. Nanti lo udah dibawa setinggi langit, eh tahunya di-prank sama mereka, jatoh kan lo? Gue yakin, seyakin-yakinnya. Pasti mereka punya maksud nggak baik sama lo," lanjut Fernan.

Ines mengangguk. "Iya, Fer. Ines cuma bahagia saat Bunda begitu lembut, terus ngizinin Ines buat makan bersama keluarga di meja makan."

"Ya udah, gue ada satu mata pelajaran lagi. Lo udah kan?"

"Udah kok, Fer."

"Tungguin gue, ya. Nanti pulang bareng." Fernan mengelus kepala Ines dengan lembut.

***

"Kita mau langsung pulang atau makan dulu?" tanya Fernan dengan santai.

Ines memukul tangan Fernan dengan keras. "Hm, pulang aja deh. Ines lagi badmood buka toko. Entah kenapa, rasanya lelah banget. Setiap hari Ines pulang malam, cuma buat uang yang nggak seberapa," jawab Ines dengan pelan.

Fernan mengelus puncak kepala Ines. "Inget, nggak boleh ngeluh, nggak baik. Seharusnya lo bersyukur, Nes. Ada nasib orang yang lebih parah dari lo. Makanya kalau mau membandingkan, jangan sama orang yang berada di atas kita. Tapi bandingin sama orang-orang bawah, lo pasti bakalan bersyukur banget sama Allah. Percaya sama gue, suatu saat lo bakal nemuin kebahagiaan yang nyata dan tulus," ucap Fernan dengan panjang lebar.

Tak terasa keduanya sudah sampai di depan gerbang rumah Ines. Gadis itu melirik ke arah Fernan sebelum turun dari mobil pria tersebut. Dia kemudian mengulas senyum lebar, lalu berkata, "Makasih, Fer."

Ines membuka pintu mobil, lalu turun dari sana. Dia berjalan memasuki gerbang rumahnya setelah dibukakan oleh satpam. Saat akan memasuki rumahnya, tiba-tiba gadis itu mendengar percakapan keluarganya. Tidak, bukan keluarganya, tetapi ada tantenya dan Nela. Ines bersembunyi di balik tembok dekat ruang keluarga.

"Gimana? Apa kalian menerima tawaran Mr Vallen?" tanya Kinar dengan antusias.

Ardi mengembuskan napasnya dengan kasar. "Entah, aku kasihan sama Ines. Dia nggak ada salah sama kita, tapi kita malah ngorbanin dia. Kayaknya kita nggak jadi menerima tawaran itu," jawab Ardi dengan lesu.

"Gadis itu sangat salah! Salah karena lahir di rahim Mayang! Dan sudah seharusnya dia berbalas budi sama kita, Mas! Kalau kamu nolak tawaran Mr Vallen, kita bakalan jatuh miskin. Kamu lupa? Kamu kerja keras buat bangun ketiga perusahaan itu, lalu sekarang kamu pengen ngelepas gituh aja?! Apa kamu nggak sayang sama anak dan cucu kamu, Mas!" murka Kinar kala mendengar jawaban suaminya yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka.

"Apa yang Mami ucapin bener, Pi. Lagipula kita udah turutin kemauan Papi, yang nyuruh kita buat pura-pura berubah baik sama Ines." Dirga menyandarkan punggungnya ke sofa.

Crystal mengangguk. "Iya, Grandpa. Crystal nggak mau hidup susah, Grandpa."

Argi mengembuskan napas berat. "Aku setuju sama Papi, tapi Mami juga ada benernya, Pi. Dengan terpaksa, aku bakalan terima tawaran Mr Vallen. Lagipula Ines bukan anak aku, Pi, jadi aku nggak terlalu sedih buat ngelakuin itu. Perusahaan kita lebih berharga daripada anak itu."

Ardi menatap tidak percaya pada Argi. "Kenapa kamu jadi kayak gini, Gi? Bukannya kamu selalu mendu-"

"Iya, aku sering belain Ines. Tapi nggak nutup kemungkinan, ada rasa benci yang terselip di hati aku, Pi. Apalagi saat istri aku selalu histeris, begitupun juga Arka. Papi tanya sendiri sama dia," sela Argi.

"Apa yang Ayah bilang itu bener, Grandpa. Kita belain dia, kita sayang dia. Tapi kita juga benci dia, karena gara-gara dia Bunda sering histeris," sahut Arka dengan membenarkan ucapan Argi.

"Kamu denger itu, Mas. Keluarga Erick itu nggak ada yang pengen Ines ada, kita semua benci anak bajingan itu. Udahlah, Mas. Terima aja tawaran Mr Vallen, dengan begitu Si Anak Pembawa Sial bakal pergi dari rumah. Mayang nggak bakal histeris lagi, terus kita nggak perlu pura-pura nerima kehadiran dia," pungkas Kinar dengan senyum penuh kemenangan.

"Baik, aku akan menghubungi Mr Vallen, lalu menentukan tanggal baik buat pernikahan itu."

Semua orang di sana mengulas senyum penuh kebahagiaan, tetapi tidak dengan Ines. Gadis itu begitu hancur, hatinya seperti patah berkeping-keping. Ternyata apa yang Fernan katakan itu benar, mereka semua berubah baik karena memiliki maksud yang tidak baik.

Ya Allah, Ines salah apa? Kenapa selalu Ines yang nggak pernah dapat apa pun dengan tulus? Kalau mereka nggak pengenin Ines, kenapa nggak dibunuh dari bayi, batin Ines.

"Ines kira mereka bener-bener tulus, tapi ternyata bahagia itu disengaja. Bahagia Yang disengaja karena kesepakatan bersama," gumam Ines sambil membalikkan badan.

Belum sempat gadis itu melanjutkan langkahnya, tiba-tiba suara seseorang yang memanggil, membuat gadis itu menghentikan langkahnya.

"Ines?" beo seseorang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status