Keenan membanting tubuh di sofa sementara ketiga gadis yang mendambakan dirinya melirik dengan penuh hasrat. Tiga mahasiswi semester empat, belia dan segar! Itulah istilah Keenan bagi wanita yang menarik minatnya.
Lota, Jena, dan Carmen, tiga gadis berkulit putih dan memiliki tubuh indah memasang aksi menggoda. Siapa yang tidak mengenal dia? Anak pengusaha kaya raya, tampan dan cerdas! Kombinasi sempurna untuk makhluk keturunan adam.
"Keen, jangan lupa!" seru Baren, teman kuliahnya yang selalu mengatur gadis-gadis incarannya untuk datang ke apartemen Keenan di kawasan Kemang. Keenan mengacungkan jempol dan Baren berlalu.
"Have fun, Ladies!" seru Baren sebelum lenyap di balik pintu.
Keenan meraih telepon canggihnya dan masuk ke fitur mbanking. Sejumlah rupiah bernilai juta melesat ke rekening atas nama Baren Dwi Putra. Bayaran atas jasanya mendatangkan penghibur malamnya sekarang.
Keenan mengeluarkan amplop dari tas ranselnya dan membeberkan sejumlah uang berwarna merah. Mata gadis-gadis itu terbeliak.
"Ada yang mau?" tanya Keenan sambil menuang whisky ke gelasnya. Semua memekik senang.
Tangan Keenan meraih remote dan mengalun lagu menghentak yang memancing tubuh mereka menari mengikuti irama lagu.
"Menarilah untukku," pinta Keenan sambil melepas blazer dan sepatunya. Lota dan Jena mulai meliukkan tubuh dengan gemulai mengikuti alunan musik.
Carmen mengikuti dan mulai mendekati Keenan yang duduk di sofa. Tanpa diminta, Carmen melepas satu persatu bajunya dan meninggalkan underwear yang bernuansa hitam berenda.
"Ayo dong! Yang lain jangan malu!" seru Keenan mulai melepas celana panjangnya. Lota dan Jena menggigit bibir saat melihat tonjolan di balik boxer Keenan.
Pemuda itu memang bertampang keren. Hidung tinggi dan dagu terbelah, tubuhnya terpahat sempurna dengan kedua bahu kekar. Rambutnya sedikit mengombak dan panjang sekuping, sementara tingginya sekitar 183 centi. Banyak yang mengatakan, Keenan adalah Clint Eastwood muda ala Indonesia.
Lota dan Jena telah melepas seluruh baju juga underwear mereka. Keenan tersenyum dan matanya lekat pada bentuk tubuh satu persatu.
Lota mendekati dan mulai memagut dengan liar. Sementara Jena mulai meraba bagian tubuh Keenan yang masih tertutup boxer. Tangan Jena dengan lincah mengeluarkan benda menonjol dari balik celana boxer dan mulutnya mulai beraksi maju dan mundur.
Keenan meringis dan melepas pagutannya. Ia mengincar Carmen yang memiliki ukuran paling besar untuk bukit kembar. Tangan Keenan menarik Carmen dan mulutnya bermain pada puncak bukit yang berwarna cokelat tua tersebut.
Dengungan nikmat lirih terdengar dari bibir Carmen. Lota beralih mendekati Carmen dari belakang dan dengan posisi jongkok, ia melahap lembah basah temannya tanpa jijik. Carmen menjerit liar dan mulai meracau.
Keenan tersenyum puas. Semua saling menyenangkan satu sama lain.Sementara Keenan merasakan hangatnya mulut Jena yang terus beraksi di tubuhnya bagian bawah. Keenan Ganendra, pemuda berdarah priyayi jawa, memiliki gejolak muda yang ia umbar dan tidak pernah berhenti mencari kepuasan.
Inilah surganya!
***Alden masuk mobil dan memasukkan kunci dengan buru-buru. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia harus pulang karena menggantikan Keenan menemani neneknya, Widari, mendengarkan penyanyi keroncong. Seto, pamannya, khusus menyewa untuk malam itu. Keenan bukan saudara kandungnya melainkan sepupu jauh.
Namun karena hubungan baik kedua orang tua mereka, Alden tinggal dengan keluarga Keenan sejak SMP. Keduanya sangat kompak dan akur.
'"Al ...," panggil seorang gadis dari jauh. Belinda, nama gadis itu, berlari mendekat. Alden menurunkan kaca mobil sportnya.
"Hai, Bel!" sapa Alden. Belinda adalah mantan pacar Keenan yang baru putus.
Alden bersumpah saat ini ingin menikmati tubuhnya. Dulu setiap mereka berenang bersama, Belinda selalu mengenakan bikini yang membuat mata Alden haus memandang.
"Aku mau bareng dong," pinta Belinda manja. Alden tersenyum pucuk dicinta ulam pun tiba!
"Hayuk. Masuk deh," sambut Alden terkesan cuek.
Padahal setengah mati ia ingin itu terkabul. Dirinya memilih single cukup lama setelah Nora, pacarnya, meninggalkan dia karena tidak setuju dengan gaya hidup Alden yang suka sekali berpesta.
Belinda masuk dan mengucapkan terima kasih. Alden tersenyum tipis dan mulai memutar stir mobil meluncur meninggalkan halaman parkir kampus. Selama perjalanan mereka mengobrol dan bercanda.
Saat lampu merah, Alden memutar musik. Layar kecil yang seharusnya menampilkan klip video, tiba-tiba menampilkan adegan syur dari film koleksinya.
Alden menepi dan memohon maaf pada Belinda. Gadis itu tidak terlihat tersipu. Wajahnya menatap tak berkedip dan napasnya mulai cepat.
"Jangan diganti," pinta Belinda menahan jari Alden.
"Ntar kalo kepingin?" goda Alden. Belinda tidak menjawab, namun melebarkan pahanya.
Alden tersenyum dan tanpa ragu, ia menelusup di antara kedua belah kaki Belinda. Cairan hangat terasa di jarinya, seiring desahan lirih Belinda. Jari Alden masuk menyelinap dari samping segitiga tipis yang membungkus area kenikmatan Belinda.
Setelah sekian detik. Tangan Belinda menurunkan resleting Alden. Bentuk mencuat panjang dan tegak membuat Belinda terbeliak. Siapa yang tidak ingin bersama dengan Alden? Pemuda tampan, calon pengacara dan dari keluarga konglomerat.
"Al, aku nggak tahan," bisik Belinda.
"Kemarilah, aku bisa menjamin aman, security wilayah sini mengenalku," jawab Alden dengan tenang dan memundurkan tempat duduknya. Tanpa membuang waktu, Belinda membuka celana dalamnya dan merangkak kesamping.
Alden mengeluarkan persneling saktinya, dan membiarkan tangan Belinda menuntun ke dalam lubang penuh kehangatan. Alden memejamkan mata dan menikmati setiap goyangan dan hentakan pinggul wanita cantik tersebut.
Mobil sport Alden yang terparkir di pinggir area kampus tampak bergoyang dari luar. Namun dengan penuh pengertian, security komplek tersebut mematikan lampu jalan. Belinda semakin liar menggerakkan tubuhnya.
Mulut Alden turut melahap puncak bulatan yang membusung indah. Dua kenikmatan yang Belinda rasakan, membuat gadis itu memekik dengan liar.
Tidak lagi mampu menahan dorongan yang siap meledak, keduanya mencapai puncak dengan teriakan keras.
Alden Aminata, putra seorang keluarga ningrat dari Bali, berdarah Belanda, memiliki kehidupan yang fantastis. Liar, berduit, dan penuh dengan sensasi.
Namun, seperti apakah karakter Keenan dan Alden sesungguhnya? Betulkah kedua pemuda itu seliar itu? Atau ada sisi lain yang memicu keduanya untuk bersikap demikian? Apa misteri dibalik ketidak perdulian Eyang Widari? Penasaran? Kepoin ceritanya yuk ...
Pagi itu seharusnya Keenan melakukan fitting untuk jas wisudanya. Tapi entah apa yang membuat pemuda yang hampir menyabet gelar Sarjana Ekonomi tersebut, memilih untuk menghabiskan waktu di apartemennya.Penghiburnya semalam sudah pergi dan kini tinggal pembantunya, Mbok Ipah. Wanita separuh baya yang datang setiap pagi, untuk membersihkan apartemennya. Decak kesal terdengar dari mulut wanita berusia empat puluh lima tahun itu.Bukan karena kondisi ruangan yang berantakan. Namun Keenan yang terkapar tanpa busana, menjadi keprihatinannya Mbok Ipah. Dengan lembut dan penuh kasih, ia menyelimuti tubuh majikannya."Napeee ... jadi begini sih ...," desah wanita itu kecewa. Tidak ingin tenggelam dalam perasaan bersalah, ia bergegas membersihkan seluruh apartemen. Keenan masih tertidur pulas.***Alden menyambar tas kecilnya dan bergegas keluar kamar. Keluarga Ganendra memberinya satu kamar di paviliun dekat taman belakang. Saat mel
Hujan gerimis menguyur kota Jakarta sedari pagi. Sejak bencana banjir tahun 2000-an yang cukup merusak parah beberapa kota, pemerintah sudah mengantisipasi lebih baik tahun ini. Awal tahun 2005 yang indah bagi Keenan dan Alden. Keduanya mampu membuktikan pada orang tua masing-masing, bahwa tampang menawan mereka juga didukung dengan otak yang cerdas.Keenan Ganendra, mampu menyelesaikan pendidikan bisnisnya dan menyabet gelar Sarjana Ekonomi.Sedangkan, Alden Aminata berhasil menjadi pengacara muda. Alden juga mendapatkan tawaran menarik untuk bergabung dengan Hadi Saputra S.H and Partner. Sebuah biro hukum swasta yang cukup terkenal, karena kepiawaian mereka dalam menangani kasus besar nasional."Makan malam jam delapan, jangan telat!" teriak Siwi yang terkenal sangat bawel dan cerewet. Alden yang masih berkeringat dan menenteng bola basket segera mendapat pandangan melotot dari Siwi."Itu juga berlaku buat loe, Al!" pekiknya d
Alden mengernyitkan mata saat matahari menerobos kaca dan menyinari kamarnya. Keenan sudah masuk ke paviliunnya dan membuka lebar-lebar pintu kaca dan menyibak gorden. Kolam renang yang tepat berada di depan kamar Alden, terlihat biru dan menyegarkan pandangan."Bangun! Jam sebelas siang nih!" seru Keenan menghempaskan tubuh di sofa bulat."Sial. Kemana aja tadi malem, Loe?!" umpat Alden dengan kepala pening. Dirinya terlalu banyak mengkonsumsi alkohol tadi malam."Ngelonin Shana ...," jawab Keenan ringan. Mata Alden yang masih mengantuk mendadak terbuka lebar."Sial, Loe! Serius?" pekik Alden tidak percaya. Keenan tertawa dan tidak memberikan jawaban."Bokis pasti deh ...!" sanggah Alden tidak ingin segera percaya."She's a masterpiece ...!" cetus Keenan pamer. Alden meletakkan kepalanya kembali di atas bantal."Kampret, pantesan anteng," gerutu Alden."Gue mau ke kantor bokap, Siwi pese
Apa yang salah dengan menyukai satu wanita pada waktu bersamaan? Tidak masalah dan bukan hal penting dalam hidup Keenan dan Alden.Keduanya hanya menganggap wanita untuk dimiliki seperti barang dengan nilai yang bisa dibeli. Alden merelakan Shana untuk Keenan saat ini. Biasanya Alden akan menikmati kemudian saat Keenan sudah mendapat mainan baru. Sebuah kerjasama yang sopan, tapi membuat bergidik bagi kaum 'normal'.Tawaran Seto pada Keenan untuk membantu Siwi, segera diterima dengan antusias. Kebersamaan dengan Shana akan lebih intens lagi. Tetapi, anggapan Keenan salah.Walaupun Shana telah tidur dengannya, namun tidak semudah itu menikmati tubuhnya setiap saat. Shana ternyata bukan wanita yang sembarangan mengumbar kesenangan jika ada prioritas yang lebih penting.Keenan harus menelan kecewanya. Tetapi sore itu, Keenan berniat mencoba lagi. Kantor mulai sepi dan Shana masih berkeliaran di kantornya. Dengan harapan yang menggebu, Kee
Vero menata dengan rapi setiap tangkai bunga di vas. Sudah lima vas terisi dan menghiasi beberapa sudut rumah. Berkat kelincahan tangannya, rumah Seto tidak pernah terlihat dingin dan hambar. Selalu ada nuansa hangat yang menyentuh tiap sisi rumah mewahnya di kawasan Pondok Indah tersebut.Siwi sudah berpamitan sejak pagi tadi ke kantor. Mertuanya, Eyang Widari sudah kembali ke Salatiga. Terkadang ia merasa kesepian. Namun semenjak Siwi hadir kembali, Vero mulai merasakan keceriaan.Siwi sangat pandai membuat keluarganya berkumpul. Seto, ayahnya, bahkan sanggup meninggalkan seluruh pekerjaannya demi memenuhi permintaan putrinya untuk makan malam.Vero tidak pernah menganggap Siwi anak tiri. Namun perlakuan Widari yang dari semula tidak menyukainya, membuat Vero tidak sempat mengasuh Siwi sejak ibunya meninggal."Biar Siwi tinggal bersamaku!" tegas Widari yang terlalu membanggakan Miana, menantunya yang meninggal karena kanker ot
Terkadang sulit memulai sebuah kisah yang apik dan menarik dalam hidup. Jika kita terjebak pada kehidupan yang jauh dari kemudahan, maka kita cenderung tertelan dalam perjuangan untuk bertahan.Namun, memiliki hidup yang bergelimang harta juga tidak gampang. Keenan dan Alden bukan hanya dua pemuda yang hidup dari keberuntungan memiliki leluhur yang kaya raya. Mungkin ada jutaan manusia seperti mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengawali kisah dengan cara yang monoton seperti pendahulunya.Apa yang membuat Keenan dan Alden menarik? Mereka menempuh kehidupan yang jauh lebih liar dari leluhur mereka hanya untuk mencari sesuatu hingga ke titik PUAS. Pencarian jati diri? Mungkin. Atau, ada sesuatu yang baik, terjadi di balik keliaran hidup mereka? Sepertinya Alden sudah memulai menuju ke arah tersebut."Ini bantuanku untuk mereka," ucap Alden mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Siwi."Apa ini?" tanya Siwi heran.Tan
Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik."Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses."Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya."Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras."Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja."Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima