Pagi itu seharusnya Keenan melakukan fitting untuk jas wisudanya. Tapi entah apa yang membuat pemuda yang hampir menyabet gelar Sarjana Ekonomi tersebut, memilih untuk menghabiskan waktu di apartemennya.
Penghiburnya semalam sudah pergi dan kini tinggal pembantunya, Mbok Ipah. Wanita separuh baya yang datang setiap pagi, untuk membersihkan apartemennya. Decak kesal terdengar dari mulut wanita berusia empat puluh lima tahun itu.
Bukan karena kondisi ruangan yang berantakan. Namun Keenan yang terkapar tanpa busana, menjadi keprihatinannya Mbok Ipah. Dengan lembut dan penuh kasih, ia menyelimuti tubuh majikannya.
"Napeee ... jadi begini sih ...," desah wanita itu kecewa. Tidak ingin tenggelam dalam perasaan bersalah, ia bergegas membersihkan seluruh apartemen. Keenan masih tertidur pulas.
***Alden menyambar tas kecilnya dan bergegas keluar kamar. Keluarga Ganendra memberinya satu kamar di paviliun dekat taman belakang.
Saat melewati kolam renang, ia melihat Vero, ibu Keenan, sedang menelepon dengan obrolan seru. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak tampak menua sedikit pun.
Kecantikannya bagaikan abadi. Memiliki wajah mirip dengan artis Susan Bachtiar, anggun dan ketus, Vero menjadi pencuri perhatian dengan mudah. Seto Ganendra, pria pengusaha sukses itu mampu mencuri hati Vero.
Hanya melambaikan tangan tak acuh, Alden melenggang cepat melewati wanita yang ia panggil tanpa embel-embel.
"Al, mau kemana lagi?" tanya Vero menghentikan sejenak aktivitas meneleponnya. Alden hanya memberi isyarat dengan goyangan tubuh. Vero mengibaskan tangan dan berlalu segera.
Baren telah menunggunya di mobil dan dengan senyum lebar, Alden masuk. Deru mobil sport meraung keras, meninggalkan rumah di kawasan Pondok Indah.
***Dentum musik keras bergema terdengar dari luar. Alden masuk ke apartemen Keenan dengan tangan menutup telinganya. Keenan baru selesai mandi dan rambutnya terlihat basah.
"Kecilin dong!" seru Alden kesal.
Keenan melirik sekilas, namun ia mengecilkan musik dan melenggang ke dapur. Aroma kopi merebak dengan keharuman yang menyegarkan siang itu. Kepulan asap dari gelas kopi yang terisi cairan hitam kental, membangkitkan selera Alden untuk turut bergabung.
"Gila! Enak banget!" seru Alden.
Keenan memang sangat mencintai kopi. Dia sanggup mengejar biji kopi terbaik hingga ujung nusantara, hanya demi kepuasan diri.
"Dari Bawen, Jawa. Gue denger, yang dari daerah sebelahnya lebih enak," jawab Keenan menyeruput dengan sabar kopinya.
"Kenapa kita nggak jadi pengusaha kopi aja?" tanya Alden mengusulkan pada Keenan.
"Kalo Loe mau, gue jabanin," balas Keenan ringan.
"Apa yang kita cari sebenarnya, Keen?" renungan mata Alden kali ini terlihat serius.
"Selera bergaya."
"Apa??"
"Selera bergaya."
"Aneh dan jadul banget kalimat itu," ledek Alden. Keenan tertawa dan menyalakan rokok.
"Gue kan emang klasik. Shit! Kita dah wisuda bentar lagi. Kita kudu nyari gawe neh," seru Keenan baru tersadar. Dia membuka pintu geser berkaca dan memandang keluar.
"Mau kerja di mana?" Alden pun mulai tergugah untuk berpikir ke arah sana. Dua puluh dua tahun usia mereka.
"Yang pasti ninggalin busuknya udara kota Jakarta," jawab Keenan.
"Termasuk dengan para bunga liarnya?" sindir Alden menahan senyum.
"Termasuk bunga liarnya," jawab Keenan.
"Yakin, Loe?" Alden tidak percaya akan pendengarannya.
"Seratus persen!" sahut Keenan mantap.
"Loe nggak berpikir mau jadi pastor kan?" tanya Alden penasaran setengah mati. Keenan? Sang penikmat wanita? Tobat?
"Enggaklah, gue ninggalin bunga liar untuk mengejar bunga desa, Al," tukas Keenan dengan geli.
Alden mengeluarkan sumpah serapah sementara Keenan tergelak.
"Dasar!" umpat Alden dengan kesal.
"Ada pesta, di Vino plus malem ini," ucap Alden menghabiskan kopi terakhirnya.
Jika Keenan adalah penikmat wanita, Alden adalah party freaks yang selalu mengejar hingar bingar pesta hingga ke Ibiza.
Ketertarikan Alden pada alkohol dan drugs, memang tidak sampai membuatnya menjadi pecandu. Tetapi pemuda itu dengan senang hati menikmatinya.
"I am in!" sahut Keenan antusias.
Alden tersenyum puas. Dalam hal bersenang-senang, Keenan sahabat yang paling bisa diandalkan. Tapi tidak terbatas pada itu, Keenan juga sanggup membela dan mendukung Alden dalam hal apa pun. Begitu juga sebaliknya.
"By the way, gue pake Belinda tempo hari," cetus Alden dengan ragu. Keenan menoleh.
"Enak?" godanya. Alden telihat jengah.
"Sial."
Keenan terbahak.
"Silahkan. Dia udah jadi limbah gue, Al," lanjut Keenan dengan ringan. Alden melempar sahabat juga sepupunya itu dengan bantal. Keduanya tergelak.
***Siwi kakak Keenan, memisahkan dokumen di depannya dengan cepat. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu memang terlihat cantik dan cerdas.
Berbeda dengan Keenan, Siwi lebih serius menjalani hidup. Besar di Salatiga dengan neneknya Widari, membuat Siwi jauh lebih sederhana dan tidak menjalani kehidupan glamor.
Siwi memang terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Selain itu, dirinya juga aktif dalam usaha milik Eyang Widari. Siwi membantu mengelola kopi dari hasil panen penduduk sekitar di Semarang.
"Kamu sudah mantap, Wi? Terima tawaran dari Papa?" tanya Vero, ibunya. Siwi tersenyum dan mengangguk.
"Aku cuman bantuin di awal aja kok, Ma. Selanjutnya ada staf pilihan Papa yang ngelanjutin," lanjut Siwi menjelaskan pada ibunya. Vero menghela napas berat.
"Kenapa nggak mau tinggal seterusnya di Jakarta? Kan Mama jadi ada temen," cetus Vero.
"Ih, Mama. Kan udah punya grup ibu-ibu sosialita yang gaya dan selera sama. Masak mau gaul sama anak muda," tukas Siwi.
"Eyang mau pulang minggu depan. Masak cuman sebulan di sini mau balik lagi," keluh Vero tentang ibu mertuanya.
"Eyang masih kepikiran sama kopinya kali. Setelah Siwi mengiyakan tawaran Papa, di Semarang kan nggak ada yang pegang," hibur Siwi menghilangkan resah ibunya. Vero mengangguk dan meneguk wine di tangannya.
"Papamu juga belum pulang sudah seminggu," ucap Vero sambil melenggang menjauh.
Siwi berhenti membereskan dokumen. Ia menatap punggung ibunya yang menghilang di balik tembok. Siwi merasakan kesepian ibunya.
Papanya pria yang sibuk dan tidak pernah berhenti mengurusi bisnisnya. Itulah alasan Siwi mengiyakan tawaran Seto, ayahnya, supaya dia memiliki waktu untuk keluarga. Tapi tidak mengurangi rasa sepi pada ibunya.
Hubungan Vero dengan Widari, mertuanya, juga tidak begitu hangat. Entah apa yang mendasari. Tapi Siwi merasakan itu.
"Pagi, Wi!" sapa Keenan yang baru kelihatan. Siwi melirik dengan jengkel.
"Kamu kemana aja? Nongkrong mulu di apartemen sampe lupa pulang!" serunya jengkel.
Adiknya tidak peduli, terus melenggang masuk. Siwi segera menuntaskan pekerjaannya dan berusaha melupakan semua beban yang bertumpuk.
***Dua puluh tahun lalu.
"Aku sudah memiliki anak, Seto.""Aku butuh pendamping, Ver."
"Hanya status?"
"Iya. Perempuan dasarnya butuh uang dan kemapanan. Aku butuh pendamping yang bisa aku banggakan dalam berbisnis. Kamu butuh pencari nafkah. Adil kan?"
"Kamu dangkal menilaiku."
"Tidak, aku justru memberimu pilihan baik. Demi putramu. Tidak perlu jatuh cinta padaku. Hatiku sendiri telah beku seiring dengan kepergian Miana. Kamu sahabatnya yang paling memahami aku."
"Aku akan pertimbangkan."
"Keenan butuh sosok ayah. Mantanmu yang bajingan itu tidak layak untuknya."
"Maksudmu?"
"Jika engkau mengiyakan. Aku akan menawarkan perlindungan. Trisno tidak akan bisa menyentuhmu lagi!"
Itulah, awal Seto Ganendra meminang Vero, janda muda beranak satu. Seto memberikan kasih sayang yang adil pada Keenan dan Siwi, putri dari pernikahannya dengan almarhum istrinya, Miana. Sayangnya, Widari tidak menyetujui. Perang dingin itu berlangsung hingga puluhan tahun.
Hujan gerimis menguyur kota Jakarta sedari pagi. Sejak bencana banjir tahun 2000-an yang cukup merusak parah beberapa kota, pemerintah sudah mengantisipasi lebih baik tahun ini. Awal tahun 2005 yang indah bagi Keenan dan Alden. Keduanya mampu membuktikan pada orang tua masing-masing, bahwa tampang menawan mereka juga didukung dengan otak yang cerdas.Keenan Ganendra, mampu menyelesaikan pendidikan bisnisnya dan menyabet gelar Sarjana Ekonomi.Sedangkan, Alden Aminata berhasil menjadi pengacara muda. Alden juga mendapatkan tawaran menarik untuk bergabung dengan Hadi Saputra S.H and Partner. Sebuah biro hukum swasta yang cukup terkenal, karena kepiawaian mereka dalam menangani kasus besar nasional."Makan malam jam delapan, jangan telat!" teriak Siwi yang terkenal sangat bawel dan cerewet. Alden yang masih berkeringat dan menenteng bola basket segera mendapat pandangan melotot dari Siwi."Itu juga berlaku buat loe, Al!" pekiknya d
Alden mengernyitkan mata saat matahari menerobos kaca dan menyinari kamarnya. Keenan sudah masuk ke paviliunnya dan membuka lebar-lebar pintu kaca dan menyibak gorden. Kolam renang yang tepat berada di depan kamar Alden, terlihat biru dan menyegarkan pandangan."Bangun! Jam sebelas siang nih!" seru Keenan menghempaskan tubuh di sofa bulat."Sial. Kemana aja tadi malem, Loe?!" umpat Alden dengan kepala pening. Dirinya terlalu banyak mengkonsumsi alkohol tadi malam."Ngelonin Shana ...," jawab Keenan ringan. Mata Alden yang masih mengantuk mendadak terbuka lebar."Sial, Loe! Serius?" pekik Alden tidak percaya. Keenan tertawa dan tidak memberikan jawaban."Bokis pasti deh ...!" sanggah Alden tidak ingin segera percaya."She's a masterpiece ...!" cetus Keenan pamer. Alden meletakkan kepalanya kembali di atas bantal."Kampret, pantesan anteng," gerutu Alden."Gue mau ke kantor bokap, Siwi pese
Apa yang salah dengan menyukai satu wanita pada waktu bersamaan? Tidak masalah dan bukan hal penting dalam hidup Keenan dan Alden.Keduanya hanya menganggap wanita untuk dimiliki seperti barang dengan nilai yang bisa dibeli. Alden merelakan Shana untuk Keenan saat ini. Biasanya Alden akan menikmati kemudian saat Keenan sudah mendapat mainan baru. Sebuah kerjasama yang sopan, tapi membuat bergidik bagi kaum 'normal'.Tawaran Seto pada Keenan untuk membantu Siwi, segera diterima dengan antusias. Kebersamaan dengan Shana akan lebih intens lagi. Tetapi, anggapan Keenan salah.Walaupun Shana telah tidur dengannya, namun tidak semudah itu menikmati tubuhnya setiap saat. Shana ternyata bukan wanita yang sembarangan mengumbar kesenangan jika ada prioritas yang lebih penting.Keenan harus menelan kecewanya. Tetapi sore itu, Keenan berniat mencoba lagi. Kantor mulai sepi dan Shana masih berkeliaran di kantornya. Dengan harapan yang menggebu, Kee
Vero menata dengan rapi setiap tangkai bunga di vas. Sudah lima vas terisi dan menghiasi beberapa sudut rumah. Berkat kelincahan tangannya, rumah Seto tidak pernah terlihat dingin dan hambar. Selalu ada nuansa hangat yang menyentuh tiap sisi rumah mewahnya di kawasan Pondok Indah tersebut.Siwi sudah berpamitan sejak pagi tadi ke kantor. Mertuanya, Eyang Widari sudah kembali ke Salatiga. Terkadang ia merasa kesepian. Namun semenjak Siwi hadir kembali, Vero mulai merasakan keceriaan.Siwi sangat pandai membuat keluarganya berkumpul. Seto, ayahnya, bahkan sanggup meninggalkan seluruh pekerjaannya demi memenuhi permintaan putrinya untuk makan malam.Vero tidak pernah menganggap Siwi anak tiri. Namun perlakuan Widari yang dari semula tidak menyukainya, membuat Vero tidak sempat mengasuh Siwi sejak ibunya meninggal."Biar Siwi tinggal bersamaku!" tegas Widari yang terlalu membanggakan Miana, menantunya yang meninggal karena kanker ot
Terkadang sulit memulai sebuah kisah yang apik dan menarik dalam hidup. Jika kita terjebak pada kehidupan yang jauh dari kemudahan, maka kita cenderung tertelan dalam perjuangan untuk bertahan.Namun, memiliki hidup yang bergelimang harta juga tidak gampang. Keenan dan Alden bukan hanya dua pemuda yang hidup dari keberuntungan memiliki leluhur yang kaya raya. Mungkin ada jutaan manusia seperti mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengawali kisah dengan cara yang monoton seperti pendahulunya.Apa yang membuat Keenan dan Alden menarik? Mereka menempuh kehidupan yang jauh lebih liar dari leluhur mereka hanya untuk mencari sesuatu hingga ke titik PUAS. Pencarian jati diri? Mungkin. Atau, ada sesuatu yang baik, terjadi di balik keliaran hidup mereka? Sepertinya Alden sudah memulai menuju ke arah tersebut."Ini bantuanku untuk mereka," ucap Alden mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Siwi."Apa ini?" tanya Siwi heran.Tan
Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik."Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses."Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya."Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras."Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja."Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima
Indira menarik amplop putih dan merobeknya. Raut wajahnya pias. Banyak sekali uang ini? batin Indira terkejut.Hatinya makin kesal. Ia tidak butuh belas kasihan! Setelah menebus obat, ia bergegas pulang. Ketika melewati warung, Indira membeli semua kebutuhannya dengan sisa uang miliknya. Gadis itu hanya mengambil sejumlah yang ia berikan pada Alden sebelumnya, dari amplop tersebut.Begitu tiba di rumah, Indira mengintip kamar kakeknya. Masih terlelap. Indira kembali keluar dan menerjang malam menuju rumah Widari."Lho? Mbak Indi, kok tumben?" sapa Haris satpam rumah bosnya. Indira tersenyum ramah dan bertanya apakah Alden ada."Baru aja pulang. Sebentar saya panggil, Mbak," jawab Haris dan Indira mengucapkan terima kasih.Gadis itu memilih duduk di pos satpam sambil memeriksa handphonenya."Indira?" seru Alden dengan wajah senang. Indira mengangguk datar dan meraih tangan Alden serta mengembalikan amplop putih t