Alden mengernyitkan mata saat matahari menerobos kaca dan menyinari kamarnya. Keenan sudah masuk ke paviliunnya dan membuka lebar-lebar pintu kaca dan menyibak gorden. Kolam renang yang tepat berada di depan kamar Alden, terlihat biru dan menyegarkan pandangan.
"Bangun! Jam sebelas siang nih!" seru Keenan menghempaskan tubuh di sofa bulat.
"Sial. Kemana aja tadi malem, Loe?!" umpat Alden dengan kepala pening. Dirinya terlalu banyak mengkonsumsi alkohol tadi malam.
"Ngelonin Shana ...," jawab Keenan ringan. Mata Alden yang masih mengantuk mendadak terbuka lebar.
"Sial, Loe! Serius?" pekik Alden tidak percaya. Keenan tertawa dan tidak memberikan jawaban.
"Bokis pasti deh ...!" sanggah Alden tidak ingin segera percaya.
"She's a masterpiece ...!" cetus Keenan pamer. Alden meletakkan kepalanya kembali di atas bantal.
"Kampret, pantesan anteng," gerutu Alden.
"Gue mau ke kantor bokap, Siwi pesen kalo Loe kudu nemuin dia di kantornya setelah makan siang. Sapa tau, Loe seberuntung gue," ujar Keenan sambil berlalu. Alden kembali membuka mata.
Harapannya bangkit. Tidak peduli Shana bekas Keenan, karena keduanya sering berbagi. Dengan antusias, Alden bangun dan bersiap.
***Alden melangkah masuk gedung berlantai dua di kawasan Pejaten tersebut. Sontak seluruh mata memandang pada pria yang memang tampan dan memiliki seks appeal tinggi tersebut. Alden akan membuat wanita mana pun bertekuk lutut.Tubuhnya memang tegap dengan tinggi sekitar 183 centi dan pahatan otot sempurna, nilai sepuluh untuk seorang pria. Ayahnya, Raka, masih memiliki darah campuran asing, Belanda. Nenek Alden adalah Belanda, sementara kakeknya bangsawan Bali. Alden terlahir dengan wajah blasteran menawan.
"Bontot!" panggil Siwi dari pintu ruang kantornya.
Berbeda dengan Keenan yang hanya memiliki Siwi, kakak perempuan. Alden adalah anak terakhir dari tiga bersaudara dan lelaki satu-satunya.
Untuk masyarakat Bali anak laki-laki adalah penting. Itulah kenapa orang tua Alden memenuhi apa pun keinginannya, termasuk tinggal bersama keluarga Keenan.
Bagi Siwi, Alden adalah anak manis yang tenang dan patuh. Tidak seperti Keenan, adiknya, yang cenderung liar dan sering melawan.
Alden melangkah ke kantor dan terkejut melihat Siwi dengan Shana. Penampilan Shana sangat berbeda dari semalam. Hari ini Shana berbalut blazer putih, blus hitam dan rok span senada di atas lutut. Penampilan wanita itu terlihat cerdas dan elegan.
"Ok, Al. Duduk. Aku dan Shana punya rencana untuk merekrutmu sebagai legal lawyer kita. Daripada kamu bergabung dengan biro hukum yang lain. Gimana? Aku butuh jawabanmu sekarang lho," seperti biasa rentetan kalimat Siwi panjang dan tegas.
Entah apa yang membuat kakak sepupunya ini sangat berbeda dibanding seluruh keluarga Ganendra. Siwi sangat cerdas, konsisten, ambisius dan lurus hidupnya.
Usia Siwi dua puluh tujuh tahun namun sudah memegang tampuk kepemimpinan sebagai direktur dengan sukses.
"Kenapa bergabung dengan kalian dan tidak dengan Hadi Group?" selidik Alden tidak serta merta mengiyakan.
Walaupun jika ingin nyaman dan aman dalam berkarir, itu adalah pilihan jalur tol untuknya. Siwi mengerling pada Shana yang duduk sambil menggoyangkan kaki pelan.
"Karena kamu akan menerima tantangan menjadi oponennya. Hadi group menerima kontrak La Fayette tbk. minggu lalu," jawab Shana dengan senyum menawan.
Barisan giginya yang rapi menbuat Shana makin menarik. Alden mencoba mengusir fantasi joroknya saat melihat kedua kaki jenjang Shana yang terbalut rok pendek. Kakinya terjuntai indah dengan sepatu hak tinggi warna silver.
"Al, ini kesempatan buat kamu buktikan kalo kita bisa branding kuat dengan menyambar kontrak dari Mercure Asia Group! Kamu tau gimana perusahaan raksasa itu akan menjadi penambang emas kita!" seru Siwi dengan berapi-api.
"Wi! Itu bukannya tugas Marketing director dan Business Development kalian?" tanya Alden dengan raut heran.
"Tidak menurut Shana," sanggah Siwi dengan senyum puas karena tiba pada poin yang akan membuat Alden tertarik.
"Jika kamu berhasil menjanjikan kontrak bisnis yang menampilkan keunggulan kita dan menguntungkan mereka, udah pasti jawaban positif akan kita dapatkan. Kamu paham kan kalo Mercure milik pengacara terkenal Australia yang sangat mengedepankan kontrak bisnis yang cerdas dan tidak mengikat?" papar Shana sekaligus bertanya.
Alden tertegun. Inikah wanita yang semalam Keenan tiduri? Sebrilian ini dan Alden hanya mengandalkan tubuh berotot dan wajah tampannya?
"Gimana?" tanya Siwi kembali dengan tidak sabar.
"Aku akan mengiyakan jika Keenan bergabung. Aku butuh otak gilanya dalam menyetting poin bisnis utama," jawab Alden cepat. Siwi menghela napas kesal.
"Keenan? Si kacau itu?" sindir Siwi makin terdengar kesal.
"Keenan mungkin dangkal dalam berpikir tentang kehidupan, tapi dia bukan si pandir yang tidak mengerti darimana uang berasal," tukas Alden membela sahabat juga saudara sepupunya. Shana menimbang dan menoleh pada Siwi.
"Wi! Dia cumlaude dari semester satu sampe akhir! Beasiswa dari SD sampe SMA! Cuman saking cintanya sama cewek Indonesia aja yang bikin dia bertahan kuliah di sini," lanjut Alden.
"Gue tahu! Kan gue yang monitor Loe berdua!" jawab Siwi dengan gemas. Shana makin terlihat tertarik.
"Kayaknya ide yang canggih tuh," imbuh Shana sembari berpikir.
"Alden dan Keenan mungkin jadi ujung tombak kita menggempur mereka," lanjut Shana.
Wanita itu melemparkan pandangan penuh arti pada pemuda yang bertampang sensual di depannya. Shana akhirnya memilih menunduk saat memikirkan kalimat sensual. Harusnya kalimat itu pantas untuk ditujukan pada bentuk wanita. Tapi entah kenapa, Alden layak mendapat predikat itu.
"Ok, aku akan ngomong sama Keenan. Semoga aja Papa belom nawarin dia kerjaan di pabrik," pungkas Siwi mengalah.
"Sounds good!" sambut Alden.
Pertemuan siang itu pun usai. Siwi tampak bergegas keluar sambil menelpon ayahnya meminta pertimbangan. Ruang kantor Siwi cukup tertutup dengan tirai lipat modern. Alden menatap Shana yang masih mengetik sesuatu di laptopnya.
Kepercayaan dirinya tumbuh saat Shana mengerling padanya dengan senyum tipis mengundang. Alden bangkit dan mendekati Shana. Dia membungkukkan tubuh dan berbisik pada wanita itu sembari menyentuh betisnya dengan ujung jari.
"Aku suka sekali kakimu."
Shana merasakan tubuhnya bergetar. Aroma parfum Alden menimbulkan sensasi tersendiri. Apalagi sentuhan jari yang sederhana namun mampu membangkitkan gelora, membuat Shana merasakan cairan hangat keluar dari lembah candunya.
'Oh Alden, sehebat itukah dirimu?' puji Shana dalam hati dengan jantung terpacu. Alden berdiri tegak dan melenggang menuju pintu keluar.
"Hanya itu saja?" tuntut Shana tanpa sungkan. Tangan Alden sudah membuka pintu, namun ia berpaling dan tersenyum.
"Keenan sudah menandaimu, kurasa itu cukup. Denganku, lain kali, jika aku sempat," jawabnya dengan ekspresi menggemaskan kemudian berlalu.
Harga diri Shana seketika terbanting. Belum pernah ada pria yang menolak dan mengatakan TIDAK padanya sejelas Alden.
Pertemuan hari itu dengan Alden Aminata, meninggalkan jejak tersendiri dalam sanubari Shana. Wanita yang sangat menyukai petualangan cinta. Dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak mengenal ayah sedari lahir.
Shana tumbuh menjadi gadis cantik yang tidak mempercayai pria mana pun. Fantasinya hanya sekedar pemuas nafsu dan balasan atas sikap dominan lelaki pada kaum wanita, kebanyakan.
Shana tidak pernah terlibat percintaan rumit apalagi memikirkan untuk berkeluarga. Persahabatan dengan Siwi dimulai saat keduanya bertemu dan menjadi mahasiswa di New South Wales, Australia. Karakter Siwi yang tegas dan gigih sangat Shana kagumi dan menjadi panutannya untuk mandiri dan tidak bergantung pada lelaki.
Apa yang salah dengan menyukai satu wanita pada waktu bersamaan? Tidak masalah dan bukan hal penting dalam hidup Keenan dan Alden.Keduanya hanya menganggap wanita untuk dimiliki seperti barang dengan nilai yang bisa dibeli. Alden merelakan Shana untuk Keenan saat ini. Biasanya Alden akan menikmati kemudian saat Keenan sudah mendapat mainan baru. Sebuah kerjasama yang sopan, tapi membuat bergidik bagi kaum 'normal'.Tawaran Seto pada Keenan untuk membantu Siwi, segera diterima dengan antusias. Kebersamaan dengan Shana akan lebih intens lagi. Tetapi, anggapan Keenan salah.Walaupun Shana telah tidur dengannya, namun tidak semudah itu menikmati tubuhnya setiap saat. Shana ternyata bukan wanita yang sembarangan mengumbar kesenangan jika ada prioritas yang lebih penting.Keenan harus menelan kecewanya. Tetapi sore itu, Keenan berniat mencoba lagi. Kantor mulai sepi dan Shana masih berkeliaran di kantornya. Dengan harapan yang menggebu, Kee
Vero menata dengan rapi setiap tangkai bunga di vas. Sudah lima vas terisi dan menghiasi beberapa sudut rumah. Berkat kelincahan tangannya, rumah Seto tidak pernah terlihat dingin dan hambar. Selalu ada nuansa hangat yang menyentuh tiap sisi rumah mewahnya di kawasan Pondok Indah tersebut.Siwi sudah berpamitan sejak pagi tadi ke kantor. Mertuanya, Eyang Widari sudah kembali ke Salatiga. Terkadang ia merasa kesepian. Namun semenjak Siwi hadir kembali, Vero mulai merasakan keceriaan.Siwi sangat pandai membuat keluarganya berkumpul. Seto, ayahnya, bahkan sanggup meninggalkan seluruh pekerjaannya demi memenuhi permintaan putrinya untuk makan malam.Vero tidak pernah menganggap Siwi anak tiri. Namun perlakuan Widari yang dari semula tidak menyukainya, membuat Vero tidak sempat mengasuh Siwi sejak ibunya meninggal."Biar Siwi tinggal bersamaku!" tegas Widari yang terlalu membanggakan Miana, menantunya yang meninggal karena kanker ot
Terkadang sulit memulai sebuah kisah yang apik dan menarik dalam hidup. Jika kita terjebak pada kehidupan yang jauh dari kemudahan, maka kita cenderung tertelan dalam perjuangan untuk bertahan.Namun, memiliki hidup yang bergelimang harta juga tidak gampang. Keenan dan Alden bukan hanya dua pemuda yang hidup dari keberuntungan memiliki leluhur yang kaya raya. Mungkin ada jutaan manusia seperti mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengawali kisah dengan cara yang monoton seperti pendahulunya.Apa yang membuat Keenan dan Alden menarik? Mereka menempuh kehidupan yang jauh lebih liar dari leluhur mereka hanya untuk mencari sesuatu hingga ke titik PUAS. Pencarian jati diri? Mungkin. Atau, ada sesuatu yang baik, terjadi di balik keliaran hidup mereka? Sepertinya Alden sudah memulai menuju ke arah tersebut."Ini bantuanku untuk mereka," ucap Alden mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Siwi."Apa ini?" tanya Siwi heran.Tan
Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik."Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses."Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya."Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras."Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja."Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima
Indira menarik amplop putih dan merobeknya. Raut wajahnya pias. Banyak sekali uang ini? batin Indira terkejut.Hatinya makin kesal. Ia tidak butuh belas kasihan! Setelah menebus obat, ia bergegas pulang. Ketika melewati warung, Indira membeli semua kebutuhannya dengan sisa uang miliknya. Gadis itu hanya mengambil sejumlah yang ia berikan pada Alden sebelumnya, dari amplop tersebut.Begitu tiba di rumah, Indira mengintip kamar kakeknya. Masih terlelap. Indira kembali keluar dan menerjang malam menuju rumah Widari."Lho? Mbak Indi, kok tumben?" sapa Haris satpam rumah bosnya. Indira tersenyum ramah dan bertanya apakah Alden ada."Baru aja pulang. Sebentar saya panggil, Mbak," jawab Haris dan Indira mengucapkan terima kasih.Gadis itu memilih duduk di pos satpam sambil memeriksa handphonenya."Indira?" seru Alden dengan wajah senang. Indira mengangguk datar dan meraih tangan Alden serta mengembalikan amplop putih t
Alden kembali ke Jakarta dengan semangat yang membara. Tekadnya untuk serius menekuni tugasnya di perusahaan kini bulat. Ia dan Keenan akan bekerja dengan sebaiknya. Semoga usaha Alden menjadi bantuan yang sangat berarti untuk Indira.Entah kenapa Indira sangat mencuri simpati dan perhatiannya. Bukan dalam cara biasa seperti ia tertarik pada lawan jenis. Namun timbul rasa ingin melindungi, yang mendorong Alden hingga ia sendiri bingung akan perasaan tersebut."Al, produksi dari desain Indira sudah diproses. Jika ini berhasil, kamu harus stand by di Salatiga dan mendirikan kantor khusus untuk mengembangkan berikutnya!" seru Siwi pagi ini."Seserius itu?" tanya Alden."Tidak ada yang kuanggap sepele dalam hal apa pun. Menciptakan rumah mode akan membuat Indira nyaman dan bekerja maksimal," jawab Siwi yang didukung oleh Shana.Keenan hanya terdiam membisu di sebelahnya, dengan wajah terpaku pada laptop. Di layar menampilkan de
Pertemuan pagi itu dengan beberapa pemilik ruko, akhirnya berbuah baik. Shana menemukan lokasi yang tepat untuk rumah mode mereka.Tidak terlalu sulit untuk mencapai kata sepakat. Nilai kontrak ruko dan rumah yang mereka ditempati, masih terbilang sangat terjangkau dan murah.Tanpa menawar, Shana membayar dan mendapatkan surat perjanjian kontrak selama lima tahun."Saatnya pindah ke rumah baru!" seru Shana dengan riang.Alden tersenyum dengan antusias. Bukan karena keberhasilan mereka mendapatkan tempat dengan mudah, namun karena Indira akan mendapatkan pekerjaan yang baik ke depannya nanti."Kamu mau kemana lagi?" tanya Shana heran."Kamu pulang aja ke hotel dengan mobil sewa itu. Aku naik taxi, ada seseorang yang harus kutemui," pamit Alden meninggalkanShana yang terpaku dengan perasaan kesal. Kenapa terbersit perasaan tidak suka atas ucapan Alden barusan? Cemburukah ini? Shana menyangkal d