"Astaga kamu beneran nambah?" tanya Alden. Indira mengangguk dengan geli. Keduanya sedang menikmati makan malam yang lebih awal.
"Aku nggak makan siang gara-gara Keenan," jawab Indira. Alden berhenti menyuap.
"Keenan? Kenapa dia?"
"Sudahlah lupain, aku nggak mau kehilangan selera makan lagi," tangkis Indira ingin beralih topik. Alden menggelengkan kepalanya.
"Pantesan dia ngotot ngak jadi ngijinin aku ngajak makan siang kamu," gumam Alden. Indira mengernyitkan keningnya.
"Kenapa nggak nunggu aja pulang kantor? Hindari berurusan sama Keenan deh. Malah jadi ribet sama dia, Al."
"Masalahnya dia juga batalin proses transfer kamu ke perusahaan Griya Busana."Deg. Jantung Indira berdetak kencang.
"Transfer aku ke Griya? Aku baru tau ...."
Alden juga baru teringat jika Indira belum mengetahui rencana mereka. Dengan penuh semangat Alden menjelaskan keseluruhan rencana mereka. Indira menj
Berulang kali Indira mengecilkan picingan matanya, untuk memperjelas pandangan pada detail desain. Namun masih tidak berhasil menemukan kejanggalan pada desain. Menurutnya, kemasan premium itu masih belum memuaskan."Kayaknya kotak yang melingkari kemasan masih kurang terang. Kamu bisa ganti dengan wana emas?" bisik Alden tiba-tiba muncul di sebelahnya. Indira terkejut dan melonjak kaget."Al!" pekik Indira yang merasakan konsentrasinya buyar seketika."Aku cuman kasih ide aja." Alden membela diri dan tersenyum mempesona.Indira mendadak merasa jengah, karena ia mengagumi senyum itu."Aku masih kerja. Nanti kalo jam sepuluh Luis belum dapet desain ini, aku bakal kena semprot," keluh Indira kembali menyibukkan diri.Alden akhirnya mengambil kursi dan duduk di depan meja kerja Indira. Kelima rekan kerja Indira melirik dengan iri. Indira mendadak menarik banyak perhatian cowok-cowok ganteng yang bukan dari kalangan bi
Siwi merapikan baju yang akan mengantarnya menuju sukses hari ini. Peragaan sampel dari perusahaannya akan dihadiri oleh pihak Mercure Asia. Desain baju karya Indira akan menjadi kunci untuk mencuri simpati Mercure seutuhnya."Jangan lupa telepon jika semua berjalan baik," pesan Vero ibunya.Siwi menjawab dengan ceria sembari berjalan keluar. Seto menatap langkah kaki putrinya dengan bangga."Mungkin sudah waktunya mundur. Siwi dan Keenan mungkin akan menjadi penerus kita," cetus Seto. Vero tersenyum dengan wajah penuh harap.Hubungannya dengan Seto semakin membaik. Rasa cinta keduanya terjalin dan sesuatu yang tidak pernah Seto lakukan, sekarang menjadi bagian dari hari-harinya.Bunyi panggilan berdering di ponsel Seto. Widari. Pria itu mengangkat, dan selanjutnya rentetan kalimat tidak menyenangkan mengenai Keenan, terlontar dari ibunya.***Siwi akhirnya selesai menyelenggarakan peragaan busana dengan desain
Siwi menangis sejadi-jadinya di kamar dan menutup wajahnya dengan bantal. Ia berteriak sekuat tenaga dan menumpahkan ganjalan hati.Apa yang ia takutkan selama ini menjadi kenyataan. Menjadi cucu dan keluarga yang berdarah bagsawan sangat tidak menyenangkan. Ia menghindari segala kemewahan dan fasilitas yang bisa ia dapatkan. Karena dirinya tahu, kebusukan eyang juga keluarganya di Solo.Paman dan Pakdenya hanya menumpang hidup senang dari eyangnya. Setelah Seto, ayahnya, sukses semua mengerogoti kekayaan dengan berbagai cara. Termasuk menjerumuskan Keenan yang telah Seto masukkan sebagai ahli waris utamanya.Siwi tidak pernah iri ataupun keberatan atas semua itu. Dia mencintai dan menyayangi adik tirinya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Bagi Siwi, Keenan adalah adik yang ia bersumpah akan lindungi dan bela apa pun yang terjadi.Siwi menghabiskan waktunya untuk menuntun dan memicu Keenan juga Alden untuk sukses. Dirinya memastikan ked
Pramono merayakan ulang tahun yang ke tujuh puluh dua hari ini. Seakan ingin meluapkan kebahagiaan, Indira menyiapkan kado dan kue tart cokelat yang cantik untuk kakeknya. Narti juga sudah menyediakan nasi kuning yang berbentuk tumpeng. Untaian lagu terdengar dari kamar dan Pramono tertawa dengan nada bahagia.Perayaan yang hanya dihadiri bertiga, cukup menghadirkan jutaan kebahagiaan. Inilah pencapaian tertinggi dalam hidupnya. Pramono melihat Indira sudah siap untuk mandiri."Perayaan yang paling berkesan. Terima kasih sudah berjuang untuk kita," ucap Pramono dengan sedih dan penuh rasa syukur secara bersamaan. Indira mengangguk."Bersabar ya, Kung. Indi janji kehidupan kita akan lebih baik dan Kakung akan mendapat perawatan yang lebih dari sekarang," jawab Indira dengan bibir gemetar.Pramono menyentuh pipi cucunya. Tidak lama, Narti datang dengan dua petugas medis dan ambulan sudah terparkir di depan rumah. Indira tersenyum dan den
Entah berapa lama Indira menunggu dengan kondisi setengah tertidur. Akhirnya, pintu operasi terbuka. Alden membangunkan Indira dengan perlahan dan gadis itu terbangun.Kakeknya didorong keluar dari ruang operasi dan Indira mengikuti dengan langkah cemas. Mata kakeknya masih terpejam."Masih dalam kondisi terbius, Mbak. Nanti juga sadar, kok," ucap perawat yang mendorongnya.Indira mengucapkan terima kasih. Seorang perawat meminta Indira menebus beberapa obat yang akan diperlukan nanti untuk disuntikkan ke dalam infus. Gadis itu mengangguk dan berlalu diikuti Alden.Begitu selesai mendapatkan obat, Indira mampir ke meja rekening pasien untuk menyelesaikan administrasi.Lima menit kemudian, petugas tersebut menyodorkan beberapa kertas dan semua telah terbayar! Biaya sejumlah lima belas juta lunas, beserta deposit yang masih tersisa sebesar sepuluh juta."Depositnya kami akan pergunakan untuk biaya obat dan kamar pasc
Pramono mulai siuman dan Indira menyambut dengan sukacita. Tidak henti-hentinya ia mengucap syukur dan mengecup pipi kakeknya, dengan hati meluap oleh kelegaan.Penantian setelah sekian jam berbuah baik. Walaupun masih harus tidur miring dan terlihat lemah. Namun Pramono sudah menyunggingkan senyum, yang mampu menyingkirkan kekhawatiran Indira."Terima kasih sudah bersabar pada kakung, Nduk," ucap Pramono pelan.Indira mengangguk dengan senyum manis."Makasih juga buat Kakung yang udah mau bertahan demi Indira," sambut gadis itu tidak kalah sumringah.Pramono mengerjapkan mata dengan lemah."Haus ...," keluh Pramono dengan lirih.Indira mengangsurkan gelas dengan sedotan padanya. Pramono meminum cairan putih itu dengan susah payah. Napasnya kembali tersenggal."Jangan banyak-banyak dulu minumnya, ya?" pesan perawat yang muncul untuk memeriksa kondisi pasien.Indira mengangguk
Siwi mencoba menahan tawa saat dokter Toni, teman Alden, memeriksa dengan seksama. Widari dan Sandi terbaring di kamar tamu yang memiliki dua tempat tidur dengan wajah memerah. Hati mereka penuh umpatan dan mendongkol."Saya harus memasang infus untuk membantu meredakan syaraf mereka yang menegang. Untuk serangan jantung mereka, saya akan memberi surat pengantar ke rumah sakit. Supaya ada tindakan lanjutan," ucap Toni dengan wajah masih serius dan melepas stetoskop dari kupingnya."Jika ada saran pemasangan ring, saya sarankan ke Penang. Mereka bisa membantu cara alternatif yang lebih efektif," lanjut Toni."Jangan ke rumah sakit. Dokter keluarga kami tahu cara menangani, kok!" cegah Sandi dengan wajah panik."Ibu Siwi sudah menggantikan dengan saya, Pak. Dokter Dedi sepertinya bercanda dengan kasus jantung kalian. Bisa-bisanya serangan jantung berulang kali kok tidak ada rekomendasi ke rumah sakit," tukas dokter Toni dengan wajah pura
"Kupikir pakde dan eyang adalah pemain utama. Ternyata ular beludak ini sumbernya," desis Siwi terdengar geram ketika membaca semua bukti yang Shana dan Alden kumpulkan."Sorry ya, Wi. Aku udah nggak sabar pengen libas itu bule keparat. Aku balik Jakarta, kamu running sini sambil kumpulin bukti. Gimana?" tawar Shana. Siwi mengangguk setuju."Itu rencana paling ok saat ini. Mungkin aku memang gampang terkecoh, nggak semudah kamu," renung Siwi dengan sesal."Hei! Jangan loyo gitu dong! Udah anggap aja aku yang doing dirty job, kamu yang terima beres, ok??" hibur Shana. Siwi tersenyum kecut."Kenyataannya aku masih terlalu dangkal memahami dunia bisnis yang kotor," aku Siwi dengan jujur."Kamu selalu terdepan, aku percaya itu," puji Siwi pada sahabatnya Shana. Wanita itu mengibaskan tangannya."Nggak ada yang ngalahin insting bisnismu, kita saling melengkapi.""Makasih, ya. Selalu mendukung aku."&