Pramono merayakan ulang tahun yang ke tujuh puluh dua hari ini. Seakan ingin meluapkan kebahagiaan, Indira menyiapkan kado dan kue tart cokelat yang cantik untuk kakeknya. Narti juga sudah menyediakan nasi kuning yang berbentuk tumpeng. Untaian lagu terdengar dari kamar dan Pramono tertawa dengan nada bahagia.
Perayaan yang hanya dihadiri bertiga, cukup menghadirkan jutaan kebahagiaan. Inilah pencapaian tertinggi dalam hidupnya. Pramono melihat Indira sudah siap untuk mandiri.
"Perayaan yang paling berkesan. Terima kasih sudah berjuang untuk kita," ucap Pramono dengan sedih dan penuh rasa syukur secara bersamaan. Indira mengangguk.
"Bersabar ya, Kung. Indi janji kehidupan kita akan lebih baik dan Kakung akan mendapat perawatan yang lebih dari sekarang," jawab Indira dengan bibir gemetar.
Pramono menyentuh pipi cucunya. Tidak lama, Narti datang dengan dua petugas medis dan ambulan sudah terparkir di depan rumah. Indira tersenyum dan den
Entah berapa lama Indira menunggu dengan kondisi setengah tertidur. Akhirnya, pintu operasi terbuka. Alden membangunkan Indira dengan perlahan dan gadis itu terbangun.Kakeknya didorong keluar dari ruang operasi dan Indira mengikuti dengan langkah cemas. Mata kakeknya masih terpejam."Masih dalam kondisi terbius, Mbak. Nanti juga sadar, kok," ucap perawat yang mendorongnya.Indira mengucapkan terima kasih. Seorang perawat meminta Indira menebus beberapa obat yang akan diperlukan nanti untuk disuntikkan ke dalam infus. Gadis itu mengangguk dan berlalu diikuti Alden.Begitu selesai mendapatkan obat, Indira mampir ke meja rekening pasien untuk menyelesaikan administrasi.Lima menit kemudian, petugas tersebut menyodorkan beberapa kertas dan semua telah terbayar! Biaya sejumlah lima belas juta lunas, beserta deposit yang masih tersisa sebesar sepuluh juta."Depositnya kami akan pergunakan untuk biaya obat dan kamar pasc
Pramono mulai siuman dan Indira menyambut dengan sukacita. Tidak henti-hentinya ia mengucap syukur dan mengecup pipi kakeknya, dengan hati meluap oleh kelegaan.Penantian setelah sekian jam berbuah baik. Walaupun masih harus tidur miring dan terlihat lemah. Namun Pramono sudah menyunggingkan senyum, yang mampu menyingkirkan kekhawatiran Indira."Terima kasih sudah bersabar pada kakung, Nduk," ucap Pramono pelan.Indira mengangguk dengan senyum manis."Makasih juga buat Kakung yang udah mau bertahan demi Indira," sambut gadis itu tidak kalah sumringah.Pramono mengerjapkan mata dengan lemah."Haus ...," keluh Pramono dengan lirih.Indira mengangsurkan gelas dengan sedotan padanya. Pramono meminum cairan putih itu dengan susah payah. Napasnya kembali tersenggal."Jangan banyak-banyak dulu minumnya, ya?" pesan perawat yang muncul untuk memeriksa kondisi pasien.Indira mengangguk
Siwi mencoba menahan tawa saat dokter Toni, teman Alden, memeriksa dengan seksama. Widari dan Sandi terbaring di kamar tamu yang memiliki dua tempat tidur dengan wajah memerah. Hati mereka penuh umpatan dan mendongkol."Saya harus memasang infus untuk membantu meredakan syaraf mereka yang menegang. Untuk serangan jantung mereka, saya akan memberi surat pengantar ke rumah sakit. Supaya ada tindakan lanjutan," ucap Toni dengan wajah masih serius dan melepas stetoskop dari kupingnya."Jika ada saran pemasangan ring, saya sarankan ke Penang. Mereka bisa membantu cara alternatif yang lebih efektif," lanjut Toni."Jangan ke rumah sakit. Dokter keluarga kami tahu cara menangani, kok!" cegah Sandi dengan wajah panik."Ibu Siwi sudah menggantikan dengan saya, Pak. Dokter Dedi sepertinya bercanda dengan kasus jantung kalian. Bisa-bisanya serangan jantung berulang kali kok tidak ada rekomendasi ke rumah sakit," tukas dokter Toni dengan wajah pura
"Kupikir pakde dan eyang adalah pemain utama. Ternyata ular beludak ini sumbernya," desis Siwi terdengar geram ketika membaca semua bukti yang Shana dan Alden kumpulkan."Sorry ya, Wi. Aku udah nggak sabar pengen libas itu bule keparat. Aku balik Jakarta, kamu running sini sambil kumpulin bukti. Gimana?" tawar Shana. Siwi mengangguk setuju."Itu rencana paling ok saat ini. Mungkin aku memang gampang terkecoh, nggak semudah kamu," renung Siwi dengan sesal."Hei! Jangan loyo gitu dong! Udah anggap aja aku yang doing dirty job, kamu yang terima beres, ok??" hibur Shana. Siwi tersenyum kecut."Kenyataannya aku masih terlalu dangkal memahami dunia bisnis yang kotor," aku Siwi dengan jujur."Kamu selalu terdepan, aku percaya itu," puji Siwi pada sahabatnya Shana. Wanita itu mengibaskan tangannya."Nggak ada yang ngalahin insting bisnismu, kita saling melengkapi.""Makasih, ya. Selalu mendukung aku."&
Shana mencoba melarikan diri dari jerat perasaan pesona Alden. Tidak dia duga bahwa percintaan yang ia tegaskan pada Keenan untuk tidak melibatkan perasaan, kini berbalik pada dirinya sendiri.Ini merupakan hari kedua Shana menjauh dan tidak bersama dengan Alden. Hatinya jengkel. karena tidak sedikit pun ada perhatian untuknya. Bahkan sekedar pertanyaan sederhana mengenai kabar ataupun perkembangan pekerjaan mereka.Keenan jauh lebih baik, karena sempat menelepon dirinya untuk menanyakan kabar sekilas. Tapi Alden? Hilang dari radarnya.Apa yang membuat pikirannya menjadi gila dan mengejar kenikmatan juga perhatian dari pemuda itu? Alden hanya menyentuhnya jika ingin. Tidak mengumbar setiap hari seperti Keenan yang akan selalu siap sedia kapan pun Shana mau.Dengan kesal, Shana menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Malam ini ia memiliki janji dengan Greg, pemilik Mercure, untuk membicarakan tentang rencana peluncuran desain berikutnya.***Kee
Sore itu Indira mencai-cari Alden. Tidak nampak batang hidungnya sedari tadi. Rasa bersalah karena telah menggodanya memenuhi pikiran Indira.Benarkah tadi pagi Alden serius? Rasanya tidak mungkin pemuda setampan dia memiliki hati untuknya. Indira sendiri belum siap menyukai pria mana pun. Perasaan untuk Alden hanya sekedar sahabat, tidak lebih."Indi, jangan lupa utuk mengirimkan hasil scan karyamu ke Jakarta, ya?!" seru Siwi mengingatkan."Ya, Mbak. Nanti malam saya kirim," sahut Indira dengan sigap.Siwi berlalu dengan Laras dan meninggalkan Indira sendiri di depan ruang kantornya. Alden tidak bersama dengan mereka. Dengan gontai, Indira melangkah keluar dan pulang menuju rumah sakit.***Alden memilih pergi dari kantor dengan alasan ingin mengunjungi Solo untuk menyelidiki pabrik batik yang ia curigai sebagai pusat pembuatan pabrik yang akan menyuplai Mercure Asia.Namun jauh dalam lubuk hatinya, Alden berusaha me
Salatiga selalu akrab dengan hujan. Bulan Mei yang harusnya mulai panas, ternyata masih menguyurkan hujan gerimis sore itu. Langit Salatiga terlihat mendung dan berawan gelap.Indira masih menunggu suster perawat mengganti perban kakeknya dan memilih menunggu di luar. Ponselnya bergetar dan dua pesan masuk. Indira melihat pengirim, Keenan.Mengabarkan jika sedang bersama dengan Siwi, untuk menyampaikan pesan bahwa dirinya berangkat ke Jakarta pagi tadi. Indira membalas singkat dan menyimpan kembali ponselnya."Mbak Indi, bisa ketemu dengan dokter Willy sebentar?!" seru suster Ani. Ini bergegas mendekatinya."Ada apa ya, Sus?""Kurang tau, Mbak. Coba ditemui aja, kita jaga kakung di sini," jawab suster tersebut dengan senyum ramah.Indira mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sepanjang koridor menuju ruang praktek dokter Willy, Indira merasakan instingnya menerka sesuatu yang buruk.Namun ketegaran
Lega hati Indira ketika mereka tiba di rumah siang itu. Pramono tidak henti-hentinya tersenyum dan memamerkan giginya yang masih utuh. Ketampanan masih jelas terukir pada wajah keriputnya."Kita pulang ...," bisik Indira mesra pada kakeknya. Pramono tertawa."Ini yang paling kakung tunggu!" seru Pramono dengan suara dipaksa keras.Indira tersenyum bahagia. Dengan lembut ia membetulkan selimut kakeknya dan sekilas melihat kulit Pramono di tangan juga leher mulai menghitam. Inikah efek dari penderita diabetes, atau kanker itu mulai mengerogoti dengan ganas? Indira tidak mengerti. Namun Pramono terlihat sehat dan ceria."Pakde Pram!" seru Siwi yang muncul dengan sekeranjang hamper buah di tangan."Lho Mbak Siwi ...?" sambut Pramono terkejut sekaligus senang karena mendapat kunjungan. Siwi mencium tangan pria yang ia kenal dari kecil."Banyak yang tanya sama Siwi lho, Pakde. Teman-teman di Solo mau nengokin ..