Halo semuanya, Terima kasih karena sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca Choosing Between Dragon and Werewolf. Jika kalian suka dengan ceritanya, kalian bisa tinggalkan kesan kalian pada ceritaku di kolom komentar dan dukung ceritaku dengan memberikan gem agar membantuku untuk tetap bisa menulis karya ini. Instagram: @zhenxinxin5081
Sean Laurent berdiri di depan balkon gedung sayap utara markas Schneider, memandangi langit sore wilayah perbatasan Waterford city dengan tatapan sendu. Tangan kanannya menyentuh cincin yang masih terpasang di jari manis tangannya, memutarinya sambil tersenyum lirih. ["I will."] Perkataan Neil Wilson--mendiang suaminya masih terngiang di telinganya. Saat pria itu mengangguk setuju, menerima lamarannya dengan senyum cerah di wajah tampan Neil berhasil melenyapkan perasaan cemas yang sempat menyelimutinya, khawatir Neil akan menolak lamarannya. Lalu ingatannya berpindah cepat ke saat terakhir ia bisa melihat suaminya dalam keadaan hidup. ["Tunggu di sini. Biar aku yang mengecek situasi. Stay still. Kamu baru pulang kerja."] Tangannya lalu berhenti memainkan cincin di jari manis tangannya tersebut. Menggigit bibir bawahnya dengan rahangnya yang mengeras mendadak, ia merutuki ketololannya di masa lalu. Rasa bersalah yang menghantuinya kembali. Kembali, dan kembali sampai rasanya ia
Erick tidak menjelaskan apa pun padanya selain memberikan lukisan yang ia inginkan barusan padanya. Pacar laki-lakinya itu hanya menyelipkan tangan kanannya, menggenggam erat tangannya yang tidak membawa lukisan tersebut dan menuntunnya keluar dari galeri seni itu dengan wajah yang sangat tegang. Sejak menerima panggilan dari Bianca barusan, sikap Erick berubah aneh. Sepertinya memang ada yang disembunyikan oleh Erick darinya. Sesuatu yang besar. Tapi apa? ["Kak? Kakak di mana? Aku diserang!"] Perkataan Bianca barusan di telepon sepuluh menit yang lalu mengusik kembali pikirannya, menciptakan perasaan cemas bercampur khawatir akan anggota keluarga satu-satunya yang ia miliki sekarang sejak menghilangnya ayah mereka secara misterius setelah sempat nyaris membunuhnya beberapa waktu yang lalu. "Hop in." Perkataan Erick barusan menyadarkannya dari rentetan pertanyaan yang ada di dalam pikirannya barusan, mengalihkan perhatiannya menuju pada Erick yang sudah membuka pintu mobil. M
Cukup lama Erick memeluk tubuhnya sebelum akhirnya pria itu melepaskan pelukannya dan keluar dari mobil setelah mematikan mesin mobilnya, berlari kecil memutari mobil agar bisa membukakan pintu untuknya yang menjadi rutinitas pria itu sejak mereka resmi berpacaran. Matanya memandangi sosok Erick yang semakin membuatnya merasa penasaran itu penuh arti, memberi isyarat pada pacar laki-lakinya itu untuk menjelaskan maksud perkataannya barusan. Namun bukannya menjelaskan maksud perkataannya barusan, pria Asia itu malah menyelipkan jemari-jemarinya masuk ke dalam jemari-jemarinya, menuntunnya memasuki kediaman keluarga Zhang setelah melemparkan kunci mobil pada salah satu pelayan keluarga Zhang yang menunggu di depan pintu masuk bangunan mansion tersebut. Ia bahkan belum sempat mengambil lukisan pemberian Erick barusan yang masih berada di dalam mobil mereka saat Erick menuntunnya barusan, sehingga keengganannya membuatnya terus memandang ke belakang, memandangi bayangan mobil yang ia tump
Nikki sudah tampak senang begitu mendapati bahwa seluruh tubuhnya mulai berhasil beradaptasi dengan dasar-dasar dalam pertarungan--hasil dari buah kerja kerasnya selama hampir dua minggu. Tidak seperti sewaktu awal-awal ia memulai sesi pembelajaran kilat martial arts dari Isabella dengan penuh kesulitan akibat sulitnya beradaptasi untuk bergerak cepat menggunakan kaki prostetik miliknya tersebut. "Yes! That way, Miss Darren! Your movement becomes better and better than the first time! Keep going!" Hatinya dipenuhi kebanggaan saat mendengar kalimat pujian tulus dari Isabella setelah ia berhasil memukul mundur Isabella menggunakan tongkat kayu yang menjadi senjata mereka untuk berlatih. "Perhatikan celah yang ada, baca serangan musuh!" Isabella kembali menyerangnya, kali ini tidak seperti awal ia mulai berlatih dengan wanita itu, wanita itu kini melakukannya tanpa merasa ragu sedikit pun. Ada sedikit gurat rasa senang yang terlihat di wajah wanita itu begitu mengetahui bahwa ia berha
Baik ia maupun Isabella menoleh ke arah sumber suara, mendapati keberadaan Karl bersama dengan Stephen yang menuruni anak tangga dengan langkah kaki yang tergesa-gesa menghampiri mereka berdua. Ia mencoba untuk berdiri, namun mengurungkan niatnya begitu mengetahui bahwa ia tidak membawa kruknya bersamanya saat sesi latihan pagi ini yang berhasil menghancurkan satu-satunya benda yang memudahkan hidupnya sejak ia kehilangan kedua kakinya tersebut. Membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain tetap pada posisinya seraya melemparkan senyum canggung pada kedua pria tersebut. "Selamat siang, Tuan Smith, Tuan Laurent," Isabella berlutut di hadapan kedua pria itu, memberi hormat. "Sudah kukatakan berulang kali padamu untuk tidak bersikap formal padaku, Isa," komentar Karl dengan nada malas. "Kamu tahu betapa bencinya aku dengan birokrasi dan formalitas, bukankah begitu?" "Anda mungkin tidak akan mempermasalahkannya, tapi status saya--" "Ah! Ini sebabnya aku membenci aturan. Terlalu merep
"Apa kubilang? Sejak awal gagasan itu sudah konyol." Ia kembali mendengus kesal mendengar perkataan Stephen paska mereka kembali dari rumah sakit dan mendapatkan kaki prostetik barunya. Dibandingkan dengan kaki prostetiknya yang lama, kaki prostetiknya yang baru ini jauh lebih stabil dan nyaman digunakan. Kesampingkan soal harga dari kaki prostetiknya yang benar-benar di luar jangkauannya karena jumlah angka nolnya lebih dari dua digit--harga bagi ia yang hanya seorang mahasiswa tahun kedua akhir yang harus menghemat satu sen dari seluruh uang saku bulanan pemberian kakak perempuannya sudah sangat mahal--harus ia akui bahwa ini jauh lebih nyaman. Ia bisa berlari dengan nyaman tanpa merasakan gesekan di kulitnya yang akan membuatnya nyeri. Bahkan kaki prostetiknya ini mengingat semua gerakan tubuhnya saat ia berjalan, membuatnya merasa senang karena untuk kali pertama dalam hidupnya ia bisa merasakan kembali arti dari berjalan normal dengan kaki biasa. "Aku nggak mau mendengar pendapa
"Apa kamu pikir aku tipe wanita yang butuh perlindunganmu?" Ia sengaja menaikkan nada bicaranya saat mengajukan pertanyaan tersebut sebagai caranya agar Stephen memahami maksud perkataannya. Pria itu justru salah menafsirkan pertanyaannya barusan dengan mengunci satu-satunya akses menuju ruang bawah tanah di mansion pria itu, otomatis memblokir aksesnya untuk melanjutkan sesi latihannya walaupun Isabella sudah pergi meninggalkan kediaman Laurent karena urusan mendadak. Tangan Stephen memainkan kunci ruangan tersebut dan memasukkannya segera ke dalam saku celana jinsnya yang membungkus kedua kaki panjang Stephen sebelum ia sempat merebut kunci itu dari tangan pria itu. "Aku tahu. Tapi fakta tetap fakta, dan aku tidak bisa mengabaikan fakta tersebut," pria itu mendekat padanya dengan tatapan sendu. Tangan kanan pria itu menyentuh pipi kirinya, mengusapnya dengan gerakan lembut dan penuh perhatian. "Tapi aku nggak mau kehilanganmu. Ini urusan berbahaya--" "Berbahaya atau tidak, aku ya
Kepalan tangannya mengendur dan ia menarik napas panjang, mengontrol amarahnya yang bergejolak akibat pemandangan yang baru saja ia lihat. Pandangannya masih tertuju pada foto pernikahan tersebut dalam diam, memberanikan diri untuk mendekati foto berukuran besar yang mendominasi ruang kamar tersebut. Cahaya matahari masuk melalui sela-sela korden jendela ruang kamar tersebut yang kelihatannya selalu tertutup sejak pemilik ruangan kamar tersebut meninggalkan ruangan itu selama ... Selama, mungkin satu dekade lebih. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang kamar tersebut, mencoba mencari tahu keberadaan dari foto lain yang mungkin akan membantunya mengetahui siapa pria yang ada di dalam foto tersebut saat matanya akhirnya tertuju pada satu foto berukuran 5R yang dipajang di atas meja kerja dengan bingkai berwarna cokelat tua yang sudah diselimuti oleh debu. Perlahan, ia melangkah, berjalan mendekati meja kerja tersebut dengan napas tercekat. Bayangan akan mimpi buruk yang terkadan