“Paketnya, Nona Darren.”
Veronica Darren menaikkan sebelah alisnya, keheranan. Ia ingat sekali kalau ia tidak memesan barang apa pun bulan ini. Kakak perempuannya juga tidak mengirimkan apa pun, karena jika iya, kakaknya itu pasti akan mengabarinya terlebih dulu.
“Paket? Untuk saya?”
Pria kurir itu membenarkan letak topinya. Ia sulit mengenali kurir itu karena pria itu mengenakan masker dan topi yang menutupi wajah pria itu. Hanya suaranya saja yang menandakan kalau kurir yang saat ini menunggu tanda tangannya itu adalah seorang pria. Perasaannya mulai tidak enak. Cara pria itu menatapnya juga tampak aneh. Apa ia harus menerima paket itu atau tidak?
“Iya. Silakan tanda tangan di sini,” pria itu menyodorkan pulpen bersama form tanda terima barang. Agak enggan, ia menandatangani form itu sambil mengamati sekilas tag nama pria yang ada di depannya.
Gustav. Akan ia ingat nama itu.
“Silakan barangnya. Selamat siang,” pria itu menarik form itu, lalu pergi meninggalkannya.
Buru-buru ia menutup pintu apartemennya, memandangi kotak itu penuh curiga. Dari massanya, kelihatannya isi yang ada di kotak ini bukan barang yang berat. Tangannya yang memegang kotak itu gemetar, penuh keringat dingin. Sambil menelan ludah, ia berjalan cepat menuju kursi sofa dan meletakkan kotak itu di atas pangkuannya begitu ia duduk, membuka kotak tersebut. Ia semakin kebingungan saat melihat isi kotak itu yang ternyata berisi sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah, dengan kertas kecil di samping sepatu itu itu.
Kuharap kamu suka.
—Dari orang yang sebentar lagi akan menemuimu—
Ia mengeluarkan sepatu hak tinggi itu dari kotak, mengamatinya seksama kalau-kalau ada barang lain selain sepatu itu. Sayangnya, ia tidak menemukan apa pun selain sepatu hak tinggi merah dan kertas kecil itu. Menyerah, ia meraih smartphonenya, mengirim pesan ke kedua temannya, Erna dan Bianca, meminta mereka untuk bertemu di kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu seusai jam perkuliahan.
Matanya kembali tertuju pada sepatu itu, menimang-nimang apakah akan menyimpan sepatu itu atau membuangnya. Melihat sepatu itu membuatnya teringat akan dongeng sepatu merah yang dulu ia dengar dari seseorang yang pernah menyelamatkannya sepuluh tahun yang lalu, saat ia tersesat di hutan karena mencoba kabur dari rumah. Ia mengangkat sepatu itu, iseng mencobanya di kedua kaki prostetiknya.
Aneh. Ukurannya pas sekali. Dari mana si pengirim barang ini tahu ukuran kakinya? Apa jangan-jangan, dari penguntit? Tidak, tidak. Keberadaannya yang seperti angin itu tidak mungkin memiliki penguntit. Lain ceritanya jika itu Erna atau Bianca. Kedua temannya itu sejak dulu dikenal sebagai tipe yang paling mencolok karena penampilan mereka. Bianca Pedrosa memiliki paras yang tampan untuk ukuran perempuan, ditambah dengan sikap pangerannya itu menarik banyak perhatian dari para perempuan. Sementara Erna Chen, dengan ekspresi dan sikapnya yang dingin dan keren malah menarik perhatian siapa pun—tidak peduli gender apa pun. Bisa dibilang, jika ia berdiri di samping kedua temannya itu, ia akan menjadi debunya. Seperti itu kira-kira keberadaaannya.
smartphonenya menyala sesaat, menampilkan pesan dari kedua temannya yang setuju untuk bertemu dengannya nanti siang. Ia membaca sekilas, mematikan layar smartphonenya dan melepas sepatu yang dikenakannya tadi. Menyandarkan tubuhnya di atas kursi sofa seraya memejamkan kedua matanya.
***
Ia menyendokkan suapan terakhir parfait cokelat yang ia pesan sejak sejam yang lalu ke dalam mulutnya, terus melirik ke pintu masuk kafe tempatnya berada sekarang, bersama Erna yang memfokuskan pandangannya ke layar smartphonenya, tengah bermain gim dengan telinganya yang terpasang earphone sambil sesekali menyesap jus buah kedua yang dipesan temannya itu. Bianca belum terlihat sama sekali, membuatnya cemas. Ke mana temannya itu?
“Udah, nggak usah ngarep dia bakal dateng. Aku aja nyerah,” Erna mengalihkan sejenak pandangannya dari layar smartphone, mungkin karena koneksi internetnya tidak stabil. “Tinggalin aja dia. Paling lagi sibuk sama ‘harem’nya itu. Kamu bisa ngomong sama aku aja. Mungkin aku bisa bantu.”
Sekali lagi matanya melirik ke arah pintu masuk kafe, sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. Benar kata Erna. Ia lupa kalau Bianca tipe yang lebih memprioritaskan ‘harem’nya dibandingkan mereka berdua. Mudahnya, temannya itu selalu ingkar janji di setiap pertemuan. Jika beruntung, hanya akan datang telat. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Erna yang melepas earphone yang dikenakannya, bersiap menyimak perkataannya saat terdengar suara pintu kafe yang sepi itu terbuka lebar, membunyikan lonceng yang terpasang di sudut atas pintu itu. Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, mendapati sosok Bianca yang terengah-engah berlari masuk menghampiri meja mereka. Keringat wanita itu bercucuran sampai membuat kaos hitam di balik jaket jins-nya basah karena keringatnya. Wanita itu memandang mereka berdua bergantian, merapatkan kedua tangannya di depan dada setelah berhasil mengatur napasnya.
“Maaf, telat. Tadi aku tertahan sama para tuan putriku!”
Erna menatap dongkol Bianca. “Kamu itu niat minta maaf atau nggak, sih?”
“Niat, kok! Makanya aku buru-buru ke sini!”
“Niat, ya? Sampai bikin kita nunggu satu jam di sini kayak orang bego?”
Kelihatannya temannya itu benar-benar merasa bersalah, karena temannya itu langsung beranjak dari kursinya dan berinisiatif sujud di depan mereka.
“Aku benar-benar minta maaf!”
Erna menyandarkan kepalanya ke tangan kirinya di atas meja, tersenyum menyeringai sambil menjulurkan kakinya mendekat ke wajah Bianca. “Bagus. Sekarang jilat sepatuku dan Veronica, kalau mau dimaafin.”
Hobi yang jelek, gumam Veronica dalam hati.
“Sekarang?”
Dan seperti biasa, Bianca malah sama sekali tidak mempermasalahkan hobi jelek Erna.
Ia memutar kedua bola matanya, menyingkirkan gelas parfait yang sudah habis isinya. “Erna, kamu terlalu berlebihan. Lebih baik kamu duduk sekarang, Bianca, sebelum tingkahmu itu membuat kami malu.”
“O-oh.”
Sekilas ia melihat wajah kecewa Bianca. Lalu wanita itu beranjak dari tempatnya dan duduk di samping Erna.
“Kamu terlalu pemaaf, Veronica. Sekali-kali biarkan saja dia melakukannya. Toh juga dia pasti nggak akan menolaknya. Iya, kan?” Erna mengangkat dagu Bianca seraya mendekatkan wajahnya ke arah Bianca, berbicara dengan suara berbisik.
“Y-ya… itu…,” Bianca tampak gugup memandang Erna, hingga wajah wanita itu sedikit merona, menelan ludah berkali-kali. “Aku…”
“Cukup. Aku yang nggak tertarik.” Veronica menjauhkan tangan Erna dari Bianca. “Langsung aja ke topik. Aku baru aja dapet kiriman aneh.”
“Kiriman aneh?” ulang Bianca dan Veronica, nyaris berbarengan. Ia mengangguk.
“Kamu bawa barangnya?”
Veronica membuka tas tangan yang dibawanya, mengeluarkan kotak yang ia terima tadi pagi dan meletakkannya di atas meja. Bianca hendak menarik kotak itu mendekat, namun mengurungkan niatnya saat melihat tatapan galak Erna yang merebut kotak itu darinya.
“Mari kita lihat,” Erna membuka kotak itu, tampak antusias. Lalu wajahnya yang cerah itu mendadak kebingungan setelah melihat isi kotak itu. “Sepatu hak tinggi?”
“Biar kulihat,” Bianca akhirnya memberanikan diri mengambil sepatu itu dari tangan Erna, memerhatikan detail sepatu itu seksama. Mata wanita itu seketika cerah.
“Ya ampun! Ini merek terkenal! Kalian tahu Karl Smith?”
Ia menggeleng, begitu juga Erna. “Apa itu?”
“Salah satu pacarku sempat nyinggung soal merek ini beberapa hari yang lalu, jadi aku sedikit tahu.” Bianca meletakkan sepatu itu di atas meja, mengeluarkan smartphonenya. Jari lentik wanita itu bergerak cepat di atas layar smartphonenya, lalu menunjukkan hasil pencariannya pada mereka berdua. Di situs web yang ditunjukkan Bianca, menampilkan deretan koleksi sepatu berbagai model, dengan harga setiap sepatunya cukup untuk membayar uang apartemennya selama dua bulan.
“Sepatu ini menarik banyak minat publik karena visi misi mereka yang ingin mendesain sepatu yang ramah untuk semua gender. Setiap sepatu yang mereka jual itu hanya memiliki stok lima puluh pasang, benar-benar eksklusif. Di setiap sepatu mereka selalu ada semacam kode yang bisa kita cek, untuk menjaga keaslian merek mereka. Coba kita pastikan apakah sepatu yang kamu dapat itu benar-benar sepatu koleksi mereka atau tidak,” Bianca menarik smartphonenya menjauh dari mereka berdua sambil mengambil salah satu sepatu itu, mengarahkan bagian bawah sepatu itu ke kamera smartphonenya. Setelah menunggu agak lama, ia menyadari wajah sumringah Bianca berubah keheranan, lalu menunjukkan hasil pencariannya pada mereka berdua.
“Tidak ada?” ujar ia dan Erna, nyaris berbarengan.
“Iya. Aneh banget,” Bianca masih sibuk menatap layar smartphonenya, berusaha mencari tahu soal sepatu itu setelah melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang sibuk membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung. “Tapi ini memang asli. Aku yakin banget. Barang palsu tidak akan memiliki kode. Yang ini kodenya terbaca, tapi tidak ada keterangan.”
“Mungkin barang palsu sekarang sudah mulai canggih. Ada kan, di China, pasar yang menjual barang palsu dengan harga murah tapi kualitasnya hampir mirip seperti barang aslinya? Mungkin aja seperti itu,” tukas Erna.
“Nggak. Aku yakin banget—ah, tunggu. Ada, aku nemu! Bentar.”
Bianca tampak antusias, menunjukkan pada mereka berdua hasil pencariannya tadi.
Red Cinderella, sepatu yang hanya dikeluarkan sepasang oleh Karl Smith tahun ini. Menurut penuturan pemimpin Karl Smith yang sampai sekarang tidak pernah mau menunjukkan dirinya di depan publik, sepatu itu terinspirasi dari seorang anak perempuan yang pernah ia selamatkan. Siapakah wanita yang beruntung mendapatkan sepatu limited edition itu?
Selesai membaca artikel itu, Bianca dan Erna saling memandang satu sama lain sambil mengangguk, bergegas menutup kembali kotak itu dan mendorong Veronica menyimpannya kembali ke dalam tas.
“Gawat. Ini benda langka berarti?” Bianca menggigit ibu jarinya setelah meletakkan smartphonenya di atas meja, tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang terlihat di wajahnya. “Kalau pacar-pacarku tahu, aku pasti bakal diamuk. Lebih baik kamu jaga sepatu itu baik-baik. Veronica.”
“O-oh.” Masih kebingungan, ia menutup risleting tasnya. Pelayan yang tadi dipanggil oleh Bianca datang, memasang senyum bisnis pada mereka berdua, sebelum senyum pelayan itu berubah menjadi senyum hangat begitu melihat Bianca yang mengedipkan sebelah matanya. Kecemasan yang tadi ia lihat dari wajah temannya itu seakan sirna seketika.
“Siang, Tuan. Apa Anda sudah memutuskan akan memesan apa?”
Dengan mulusnya, Bianca menarik halus tangan pelayan wanita itu seraya mengecup punggung tangannya. “Kedatangan bidadari sepertimu membuatku kebingungan.”
“Bi-bingung?” Wajah pelayan itu kini merona hebat.
“Iya, bingung. Bingung jika sewaktu aku selesai memesan, sosokmu yang cantik ini akan segera menghilang—awww!”
“Ini orang, nggak ada kapoknya ya, tebar pesona sana-sini!?” Tanpa ampun Erna menjitak kepala Bianca dan menjewer telinga Bianca, sukses membuat siapa pun yang melihatnya ngilu. “Ke mana permintaan maafmu tadi karena sudah bikin kita nunggu lama di sini!? Ke mana!? Dasar ampas!”
“A-ampun, Erna! Ini bukan, maksudku, aku nggak maksud—”
“Dilihat dari mana pun juga orang tahu kalau kamu lagi tebar pesona, Dodol!” Erna menjambak rambut Bianca yang tertata rapi, mendekatkan wajah Bianca mendekat pada Erna hingga jarak mereka tersisa beberapa sentimeter, tidak mampu lagi menyembunyikan kejengkelannya. “Coba jawab! Mana permintaan maafmu tadi?”
“Kan udah tadi! Masa lagi?”
“Menurutmu yang tadi itu apa?” Erna menunggu jawaban Bianca.
“Itu kan hanya sapaan, nggak lebih,” gumam Bianca.
“Oh, sapaan, ya?”
Bianca tertawa gugup, mengangkat kedua tangannya. Puas, Erna membiarkan Bianca kembali berbicara dengan pelayan wanita tadi. Bianca sendiri berhenti melemparkan gombalannya pada pelayan wanita tadi, kembali memasang wajah keren yang selalu diperlihatkan saat wanita itu diam. Jujur, ia tidak mengerti kenapa Bianca selalu suka memancing amarah Erna, seakan itu seperti ritual khusus yang harus dijalani Bianca setiap kali bertemu Erna. Padahal, temannya itu tahu kalau Erna tipe yang mudah sekali terpancing emosi.
“Ditunggu pesanannya, Tuan.”
Pelayan wanita itu tersipu, meninggalkan Bianca yang kembali ke mode tebar pesonanya, mengedipkan sebelah matanya pada pelayan tadi. Sepertinya pelayan wanita itu juga salah paham mengira Bianca adalah laki-laki, mengingat satu-satunya penanda bahwa Bianca itu perempuan hanya kartu identitasnya saja.
“Capek, ah! Sesukamu saja!” Erna menggembungkan pipinya, mengabaikan Bianca yang tersenyum simpul ke arah Erna. “Jangan lupa, yang telat yang bayar semuanya.”
“Iya, tahu. Aku yang bayar. Pesan apa pun yang kalian mau.” Bianca menopang kepalanya ke sebelah tangannya yang menyandar di atas meja, masih memusatkan perhatiannya ke arah Erna yang tidak menyadari tatapan Bianca.
“Gitu, dong!” Erna tidak lagi cemberut, mengambil buku menunya dengan wajah sumringah, seakan kekesalannya lenyap begitu saja. “Nah, Veronica! Mumpung ada yang traktir, kita pesan aja yang paling mahal! Ya?”
Tanpa sadar ia tertawa, melihat Erna yang begitu ekspresif. Sejujurnya, ia juga lega mendengar tawaran Bianca, karena di rumahnya hampir tidak ada makanan tersisa, dan uang saku pemberian kakak perempuannya mulai menipis. Ia ikut mengambil buku menu, melihat ke daftar makanan yang bisa membuat perutnya yang masih lapar karena hanya memakan parfait itu kenyang. Kalau bisa sih, sisanya dibawa pulang. “Biar kupikirkan.”
“Oke. Aku juga. Mana yang paling mahal, ya…”
Perhatiannya teralih dari buku menu saat mendengar suara lonceng yang terpasang di pintu masuk itu berbunyi, memunculkan sosok seorang pria berjaket kulit hitam dan kaos putih dengan kacamata biru yang bertengger di hidungnya, melangkah masuk ke dalam kafe. Tangan pria itu menahan pintu itu beberapa saat, sementara tangan kirinya melepas kacamata, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kaki ramping pria itu terbungkus rapi oleh celana jins biru tua dengan robekan di lututnya, dan ankle boots cokelat tua, semakin menyempurnakan penampilan pria itu.
“Vero! Oiii!”
Ia tidak menggubris panggilan Erna. Kedua matanya masih terkunci mengagumi sosok pria yang kelihatannya berjalan ke arahnya setelah tersenyum lega.
Eh, tunggu. Ke arahnya?
Matanya mengerjap. Buru-buru ia menyembunyikan wajahnya di balik buku menu yang sedari tadi ia pegang. Bibirnya sibuk menggumamkan kata-kata penenang pada dirinya sendiri, berharap bahwa apa yang ia lihat tadi tidak nyata. Tidak mungkin kan, pria sekeren itu datang menghampirinya?
“Ya, cukup sembunyinya. Bukunya menghalangi saja.”
Ia terkesiap, menelan ludah saat apa yang ia pikirkan tadi benar-benar nyata. Pria itu memang menghampirinya, menarik buku yang ia gunakan untuk menyembunyikan wajahnya tadi dari pria itu menjauh darinya.
“Begini lebih baik. Salam kenal, Nona Veronica Darren.”
***
Mata Veronica mengerjap, tidak mempercayai apa yang baru saja ia lihat saat ini, terus memandangi sosok pria setinggi 185 sentimeter yang menatapnya sambil menyunggingkan senyum hangat yang sanggup menyilaukan mata siapa pun yang melihatnya. Seperti dia yang sekarang berusaha mati-matian menenangkan jantungnya yang berisik hanya karena melihat senyuman pria asing itu. Senyuman itu anehnya, jauh lebih menyilaukan dari senyuman yang selalu diperlihatkan Bianca pada semua wanita yang ditemuinya.“Ya?” ujarnya, setelah ia berhasil mengendalikan diri, mengontrol debaran jantungnya yang tidak lagi sekencang tadi. “Dari mana Anda tahu nama saya?”Pria itu tanpa sungkan menarik kursi itu sebelum meminta izin pada mereka semua, duduk di kursi dengan kedua matanya yang masih menatap Veronica, meletakkan kembali buku men
Veronica tidak mampu lagi menyembunyikan keterkejutannya begitu memasuki apa yang disebut Stephen sebagai rumah dari temannya yang bernama Karl Smith. Butuh waktu lima belas menit mengitari halaman depan kediaman Karl Smith. Sesekali ia melihat beberapa pria berseragam hitam yang sama sekali tidak menyembunyikan ketidaksukaan mereka saat melihat kehadiran Stephen. Pria itu sendiri tampaknya tidak menggubris respon mereka yang tidak sopan itu, malah bersiul pelan, seolah tidak menyadarinya.Ah, ralat. Pria itu jelas-jelas menyadarinya. Buktinya, tanpa ragu Stephen menabrakkan mobil yang dikendarainya tadi ke tiga orang pria yang berdiri menghadang mobil mereka. Dengan santainya Stephen membuka kaca jendelanya, menyembulkan kepalanya dari kaca jendela sambil tertawa pelan.
Veronica terus bengong. Membiarkan Stephen yang baru saja kembali setelah urusannya selesai itu mengantarkannya pulang ke rumah. Mentalnya terguncang setelah pernyataan cintanya yang menurutnya terlalu mendadak sehingga ia tidak menyimak kata-kata Karl selanjutnya. Otaknya seketika kosong. Seperti sebuah buku ukuran F4 yang masih berwarna putih, kehilangan semua coretan yang sempat menghiasi buku itu. Tidak bisa memproses apa yang baru saja ia dengar dari pria rambut hitam berwajah oriental itu. Bahkan ia lupa mengucapkan terima kasih pada Stephen yang sudah mengantarkannya pulang.“Nikki? Halo?”Tepukan keras di bahunya berhasil menyadarkannya. Ia berbalik, memandangi Stephen yang berdiri di belakangnya, tertawa pelan melihatnya.
Baru kali ini ia, Stephen Laurent, gugup.Membawa sebuket bunga mawar merah yang biasanya selalu disukai oleh semua wanita yang menjadi pacarnya, Stephen terus menunggu penuh cemas sambil menekan tombol bel apartemen Veronica.Kemarin, Nikki marah padanya, dan ia tidak mengerti alasan kenapa wanita itu marah. Ia tidak merasa mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu tersinggung. Justru ia memilih dengan cermat setiap ucapannya agar tidak menyakiti perasaan Nikki, mengingat kondisi wanita itu yang spesial. Walaupun ia masih belum mengerti alasan di balik kemarahan Nikki, lebih baik ia meminta maaf. Biasanya, buket bunga mawar yang masih segar dan organik ini akan selalu berhasil menyelesaikan semuanya.
Setelah menurunkannya di depan gedung kampusnya, Stephen langsung meninggalkannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Padahal pria itu berjanji akan menjelaskan semuanya saat di mobil. Sesaat, ia melihat wajah Stephen yang begitu cemas, sehingga ia berusaha memaklumi sikap Stephen.Ia menghela napas panjang, merapikan barang-barangnya yang ada di atas meja. smartphonenya yang ia ubah ke mode getar agar tidak mengganggu konsentrasinya saat ia di kelas tadi bergetar beberapa kali, menandakan ada panggilan masuk. Ia menghentikan sejenak aktivitas merapikan barang-barangnya, meraih smartphonenya yang berada di sebelah kanannya, menekan tombol hijau begitu melihat nama yang tertera di layar smartphonenya.“Halo, Kak,” ujarnya, sambil menj
Mata Bianca sekilas melirik ke arah luar, melihat Veronica yang mengobrol dengan pria yang kemarin, Stephen Laurent. Bukan tipe pria yang bisa ia percaya untuk menjaga Veronica sebenarnya. Tapi kakak laki-lakinya—Theodore Pedrosa, memintanya untuk mempercayai pria itu. Kalau kakaknya percaya pada pria itu, berarti ia harus percaya. Ia tidak mengerti kenapa Theo bisa dengan mudahnya memberi izin pada pria itu tanpa mempedulikan protokol izin masuk teritori seperti yang biasanya selalu ditekankan pada semua serigala dan vampir yang berniat masuk ke dalam wilayah Pedrosa. Pria itu meminta izin lima menit sebelum memasuki wilayah keluarganya. Lima menit. Padahal seharusnya, jika pihak asing ingin memasuki wilayah Pedrosa, izin itu baru bisa diperoleh paling cepat sehari sebelumnya.Tidak, tidak. Lebih baik ia tidak memikirkannya la
Veronica menatap layar smartphonenya, penuh cemas. Ini sudah seminggu sejak Bianca mengatakan akan menyelidiki vampir-vampir yang mendatangi apartemennya itu, dan sampai sekarang ia belum mendapat kabar dari sahabatnya itu. Berulang kali ia mengirim chat pada Bianca, berharap sahabatnya itu akan membalas pesannya. Sayangnya, tidak ada jawaban. Bahkan dibaca pun juga tidak. Begitu juga dengan Stephen. Sejak hari itu ia tidak mendapat kabar apa pun dari pria itu, membuatnya menyesal karena tidak meminta ID LINE pria itu di hari pertama pertemuan mereka. Sekarang, bagaimana cara menghubungi pria itu?Urgh …Kenapa ia tolol sekali, sih?Ia mengaca
Setibanya di kediaman keluarga Pedrosa—tempat Bianca tinggal, ia segera keluar dari mobilnya sebelum Karl membukakan pintunya. Ia berlari, mencegat salah satu pelayan wanita bermata sendu yang berdiri di samping pintu masuk rumah itu, meminta pelayan itu mengantarkannya ke kamar Bianca. Pelayan itu tampak ragu saat melihatnya, namun begitu Karl yang sudah berhasil menyusulnya berdiri di belakangnya, pelayan itu akhirnya mau mengantarkannya ke kamar Bianca.Tempatnya berada saat ini tampak megah, walaupun tidak seluas mansion Karl. Sedari tadi ia tiba di kediaman Pedrosa, ia melihat banyak orang berjalan keluar-masuk. Kondisi mereka sangat mengerikan. Matanya sempat menangkap dua orang yang memegang tandu, membawa jasad seorang pria yang sudah tidak bergerak lagi masuk ke dalam rumah. Luka yang dialami pria itu sangat para