Share

Bab 6

Setelah menurunkannya di depan gedung kampusnya, Stephen langsung meninggalkannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Padahal pria itu berjanji akan menjelaskan semuanya saat di mobil. Sesaat, ia melihat wajah Stephen yang begitu cemas, sehingga ia berusaha memaklumi sikap Stephen. 

Ia menghela napas panjang, merapikan barang-barangnya yang ada di atas meja. smartphonenya yang ia ubah ke mode getar agar tidak mengganggu konsentrasinya saat ia di kelas tadi bergetar beberapa kali, menandakan ada panggilan masuk. Ia menghentikan sejenak aktivitas merapikan barang-barangnya, meraih smartphonenya yang berada di sebelah kanannya, menekan tombol hijau begitu melihat nama yang tertera di layar smartphonenya.

“Halo, Kak,” ujarnya, sambil menjepit smartphonenya itu ke bahu kirinya sementara ia kembali merapikan barang-barangnya. “Ada apa? Tumben nelepon?”

“Kakak nggak ganggu kamu, kan? Masih di kelas?” tanya kakak perempuannya—Febrina Darren. Telinganya sempat mendengar beberapa orang berbicara di belakang kakaknya, tengah membicarakan hal yang tidak ia mengerti banyak selain tentang pemasaran produk. Kakaknya tidak pernah memberitahunya di mana tempat kakaknya bekerja, sehingga ia hanya bisa menerka-nerka pekerjaan kakaknya. Yang jelas, kakaknya bekerja di kota sebelah, kota Summerstone, yang berjarak dua jam perjalanan dari kota Waterford.

“Baru aja selesai, kok. Kalau masih ada kelas, ngapain kuangkat?”

“Benar juga,” kakaknya tertawa pelan. Seorang wanita berbicara pada kakaknya, sehingga kakaknya meng-hold panggilannya untuk beberapa menit, sebelum kembali berbicara padanya. “Aku tahu sih, ini terdengar agak gak masuk akal, tapi perasaanku nggak enak, makanya kutelepon kamu sekarang. Takut terjadi apa-apa sama kamu. Soalnya aku kan nggak di sana. Kamu baik-baik aja, kan?”

Tangannya berhenti bergerak. Ia diam. Intuisi kakaknya itu seperti biasa, sangat kuat sampai membuatnya ngeri. Apakah ia harus memberitahu kakaknya mengenai insiden orang-orang tadi? Tidak. Ia tidak mau merepotkan kakaknya. Kakaknya itu pasti akan meninggalkan pekerjaannya segera kalau ia sampai mengatakannya. Pasti akan melelahkan untuk kakaknya jika ia memberitahu apa yang baru saja ia alami tadi pagi. Lebih baik ia simpan dulu informasi itu untuk saat ini.

“Ya, aku baik-baik saja. Kakak terlalu khawatiran,” ujarnya lagi, begitu semua barang-barangnya sudah masuk ke dalam tas. Tangan kanannya kini mengambil alih tugas bahu kirinya tadi, memegang smartphonenya. “Kakak sendiri gimana?”

“Aku? Selalu baik, tenang aja. Bulan depan aku dapat cuti seminggu, jadi rencananya aku bakal balik buat jengukin kamu.”

“Oh.”

“Cuma oh? Kamu nggak kangen sama kakakmu ini?”

“Kangen, kok,” balasnya, cepat. Lalu ia terdiam sejenak. Apa sebaiknya ia menceritakan soal mimpi buruk yang ia alami tadi malam?

“Apa ada yang mau kamu bicarakan?”

Pertanyaan kakaknya tepat sasaran. Ia menutup risleting tasnya seraya menggigit bibir bawahnya. Kalau sudah begini, lebih baik ia ceritakan saja. Mungkin kakaknya bisa membantunya.

“Kak?”

“Hm?”

“Aku …”

Terdengar lagi suara seseorang dari tempat kakaknya berada. Kakaknya memintanya untuk berhenti sejenak, berbicara pada rekan kerjanya itu sementara ia menunggu. Tampaknya, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan soal mimpinya. Kakaknya kelihatannya sibuk. Tidak enak jika mengganggu waktu kakaknya sekarang.

“Halo? Vero? Tadi kamu mau ngomong apa?”

“Nggak. Nggak ada,” sahutnya sambil menggeleng pelan, walaupun tahu bahwa kakak perempuannya itu tidak mungkin akan melihatnya. “Aku baru ingat ada tugas yang harus kukumpul hari ini, jadi aku tutup sekarang, ya?”

“Oh. Oke kalau gitu. Aku emang sibuk, tapi kalau ada apa-apa, kamu telepon aja. Syuuutt~  aku pasti akan langsung meluncur ke tempatmu! Ngerti? Kamu tetap prioritasku.”

“Iya, aku ngerti. Aku baik-baik aja, kok,” kilahnya. Mana mungkin ia memberitahu kakaknya kalau ia baru saja dikejar oleh sekelompok vampir? Kakaknya pasti akan menganggapnya gila, lalu menceramahinya selama berjam-jam dan menyuruhnya untuk berhenti menonton serial TV Shadowhunters atau sejenisnya di Netflix. Atau kemungkinan terbesarnya, kakaknya itu akan mencabut layanan keanggotan Netflix—hal terkeji yang harus ia hindari.

“Jaga dirimu, Vero. Aku sayang kamu.”

“Aku juga sayang Kakak.”

Perasaan bersalah menyelimutinya karena harus berbohong pada kakaknya.

Ia menekan tombol merah, lalu mematikan layar smartphonenya. Menjejalkan smartphonenya ke dalam kantong depan tasnya. 

Seseorang tiba-tiba menepuk keras pundaknya, membuatnya refleks mencengkeram tangan itu.

“Harus kubilang berapa kali sih, Bianca!? Berhenti menyentuh bahuku!” bentaknya seraya melepaskan cengkeramannya dari Bianca. Wanita itu memegangi tangannya yang sedikit memerah karena cengkeramannya tadi, berpura-pura mengaduh kesakitan, lalu duduk di sebelahnya. “Mana Erna?”

“Pulang lebih awal. Ada gim simulasi kencan yang luncur hari ini dan dia ingin menjadi orang pertama yang memainkannya, jadi kamu tahu lah, sisanya,” Bianca mengendikkan bahu. “Daripada itu, gimana soal kencanmu kemarin? Kamu ketemu sama Karl Smith? Seperti apa orangnya?”

“Kencan? Aku cuma makan siang sama Karl, lalu pulang. Orangnya baik, menyenangkan, walaupun awal-awal aku merasa sedikit terintimidasi sama auranya.”

“Cuma itu? Nggak lebih?”

Ia mengangguk. Matanya memandang ke sekeliling. Begitu melihat bahwa di ruangan itu hanya tersisa mereka berdua, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Bianca. “Boleh nanya sesuatu?”

“Apa?” Bianca ikut mencondongkan tubuhnya.

“Kamu … vampir?”

Mata wanita itu membesar, tampak syok untuk sesaat, sebelum berhasil menguasai diri. Ia sempat melihat warna iris mata Bianca yang berubah sesaat menjadi merah sebelum akhirnya kembali menjadi cokelat, berhasil membuatnya sedikit bergidik karenanya. “Laurent yang memberitahumu?”

Ia mengangguk. “Ya. Apa itu benar?”

Bianca mendesah panjang. “Benar. Maaf, aku nggak maksud buat nyembunyiin, tapi ini bukan sesuatu yang mudah untuk—”

“Aku tahu. Aku hanya bertanya. Hanya saja …”

“Apa?”

“Tadi ada beberapa vampir yang datang ke apartemenku.”

Air muka Bianca berubah biru. “Mengincarmu? Dari mana kamu tahu mereka vampir?”

“Stephen yang bilang tadi. Yang jelas, aku yakin banget mereka bukan tipe yang bisa diajak bicara baik-baik.”

Bianca menggumam pelan, tampak cemas. “Aku akan minta anak buahku untuk menyelidikinya. Nggak mungkin mereka bisa masuk semudah itu ke teritori keluargaku kalau bukan dari kalangan keluargaku sendiri. Pasti ada salah paham, atau apalah namanya. Kamu dalam perlindungan keluargaku selama ini, jadi jangan cemas. Oke?”

“Perlindungan keluargamu?” tanyanya, kebingungan. “Sejak kapan?”

“Sejak aku berteman denganmu, tentu saja. Kakakmu menitipkanmu padaku waktu kakakmu dapat pekerjaan di tempatnya yang sekarang, ingat?”

“Loh, tapi itu kan …,” Veronica diam sesaat. “Jangan bilang kakakku sudah tahu soal identitasmu sebagai vampir?”

Bianca segera mengibaskan tangannya ke udara. “Sama sekali nggak. Kakakmu mungkin nggak ada maksud lain saat memintaku, tapi aku menganggapnya sebagai hal serius. Mau kuantar pulang?”

Ia menyipitkan matanya. “Dan itu membuatku teringat akan satu hal. Mana pacar-pacarmu?”

“Aku membatalkan seluruh jadwalku dengan pacar-pacarku buat kamu, Vero. Gimana, tersentuh?”

“Coba deh kamu ngomong gitu sama Erna. Mungkin dia yang bakal tersentuh.”

“Masa? Mungkin sebaiknya kupertimbangkan di waktu mendatang …,” Kelihatannya Bianca menanggapi serius perkataannya tadi, karena wanita itu kini mengerutkan alisnya sambil menggumam pada dirinya sendiri. Membuatnya semakin tidak mengerti pada temannya itu. Kenapa Bianca selalu terlihat antusias jika menyangkut tentang Erna? Rasanya aneh.

Apa jangan-jangan …

Sebaiknya ia tanyakan saja sekarang, mumpung Erna tidak ada sekarang.

“Bianca? Aku tahu mungkin ini topik sensitif buatmu, tapi …”

“Hm?” Bianca menoleh padanya. “Ngomong aja, nggak apa.”

“Apa kamu … suka sama Erna?”

Pertanyaannya tepat sasaran, karena wanita itu membeku seketika. Wajah Bianca berubah merona, dan mengalihkan pandangannya dari Veronica. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum menyeringai melihat reaksi tidak terduga dari Bianca. “Aku benar nih, berarti?”

“Sial …,” ujar wanita itu, setengah berbisik seraya membenamkan wajahnya yang masih merona hebat itu di atas meja. “Dari kapan kamu tahu?”

“Pantes aja. Sudah lama banget aku curiga, tapi aku selalu ragu. Makanya kutanya sekarang,” katanya lagi. “Kapan kamu mulai suka Erna?”

“E-entahlah. Aku sendiri juga nggak tahu,” Bianca mendongak sedikit, mengusap tengkuk lehernya, berusaha menyembunyikan betapa gugupnya wanita itu sekarang. Kepercayaan diri yang selalu diperlihatkan Bianca di depan semua orang kini runtuh seketika. “Jangan bilang Erna, ya?”

“Nggak bakal. Rahasiamu aman sama aku,” ia mengedipkan sebelah matanya, lalu kembali serius. “Penawaranmu mengantarku pulang tadi itu masih berlaku, kan? Soalnya aku khawatir kalau orang-orang itu masih di sana.”

“Tentu,” jawab Bianca. Wanita itu diam sejenak, tampak mengendus sesuatu, lalu memutar kedua bola matanya. “Ah, kayaknya tawarannya sudah nggak berlaku lagi. Coba kamu keluar deh, sekarang.”

“Keluar? Sekarang?”

Bianca mengangguk. Agak enggan, ia beranjak dari kursi yang didudukinya, berjalan keluar dari kelasnya. 

“Halo, Nona Darren.”

Ia terkejut mendapati sosok Stephen berdiri di sampingnya sambil melambaikan tangannya, menyunggingkan senyum yang sanggup menghentikan dunianya beberapa detik. Ia berbalik masuk, memandangi Bianca yang sudah tidak ada di ruangan itu. Di mana wanita itu sekarang? Apa sudah pergi? Cepat sekali.

“Karl baru saja meneleponku tadi. Memintaku membawamu ke rumahnya hari ini.”

Rasa senangnya berubah sebal saat pria itu menyebut nama Karl. “Sekarang?”

“Ya. Dan untuk sementara waktu, kamu tinggal di rumah Karl sampai masalah tadi selesai. Nggak masalah, kan?”

Pertanyaan Stephen tadi jelas-jelas bukan pertanyaan, namun pernyataan. “Ya.”

“Anak pintar,” Stephen mengangkat tangannya, hendak mengusap kepala Veronica, namun mengurungkan niatnya. Pria itu mempersilakannya berjalan mendahuluinya, dan ia terima dengan setengah hati karena masih sebal.

“Oh, ada satu hal lagi yang mesti kukatakan sekarang, Nikki,” Stephen sudah berjalan di sampingnya, berhenti sejenak saat mereka sudah mencapai pintu depan gedung kampusnya saat ini. “Karl itu orang baik, jadi dia pasti bisa menjagamu lebih baik daripada aku tadi.”

Kata-kata Stephen seolah memintanya untuk tidak menyukai pria yang tengah berjalan di sampingnya saat ini. Kakinya berhenti melangkah, memandang Stephen yang juga ikut berhenti, memandangnya penuh kebingungan.

“Kenapa?”

Pria itu menaikkan sebelah alisnya. “Ya?”

“Kata-katamu tadi. Aku nggak suka dengernya.”

Stephen diam sejenak, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket kulit berbahan kulit sintetis hitam. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Bagian mana yang kamu nggak suka?”

“Semuanya.”

“Oh.”

Hanya itu kata yang keluar dari bibir tipis pria itu, sebelum pria itu berjalan mendahuluinya menuju area parkir. Begitu mereka tiba di depan mobil, Stephen tidak segera membukakan pintu mobilnya. 

“Nikki?”

Ia pura-pura tidak menggubris pria itu, masih sebal. 

“Kamu marah?”

Ia tetap diam. Pria itu menghela napas panjang, menyandarkan tangannya di atas atap mobilnya, mendekatkan tubuhnya ke arah Veronica. “Aku sudah bilang di awal pertemuan kita, bukan? Akan lebih baik jika kamu tidak menyukaiku. Kamu akan berterima kasih padaku di masa depan nanti.”

Selesai mengatakannya, pria itu menjauh darinya. Membukakan pintu mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

***


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status