Setibanya di kediaman keluarga Pedrosa—tempat Bianca tinggal, ia segera keluar dari mobilnya sebelum Karl membukakan pintunya. Ia berlari, mencegat salah satu pelayan wanita bermata sendu yang berdiri di samping pintu masuk rumah itu, meminta pelayan itu mengantarkannya ke kamar Bianca. Pelayan itu tampak ragu saat melihatnya, namun begitu Karl yang sudah berhasil menyusulnya berdiri di belakangnya, pelayan itu akhirnya mau mengantarkannya ke kamar Bianca.
Tempatnya berada saat ini tampak megah, walaupun tidak seluas mansion Karl. Sedari tadi ia tiba di kediaman Pedrosa, ia melihat banyak orang berjalan keluar-masuk. Kondisi mereka sangat mengerikan. Matanya sempat menangkap dua orang yang memegang tandu, membawa jasad seorang pria yang sudah tidak bergerak lagi masuk ke dalam rumah. Luka yang dialami pria itu sangat parah, mengeluarkan banyak darah (ia sempat berpikir bahwa darah vampir berwarna hitam pekat atau hijau, tapi ternyata normal seperti darah manusia) hingga ia tidak sanggup lagi melihatnya. Tubuh pria itu hancur sampai nyaris tidak dapat dikenali lagi. Hanya tangan dan pakaiannya saja yang membuatnya yakin kalau jasad itu dulunya adalah seorang pria.
Ia benar-benar ketakutan, hingga ia merasakan seluruh tubuhnya gemetar sebelum Karl yang sedari tadi terus berjalan di belakangnya kini berpindah ke samping kanannya, merangkulnya erat.
“Ada aku di sini.”
Kata-kata Karl berhasil menenangkannya. Ia mengangguk, membiarkan Karl terus merangkulnya sampai mereka tiba di kamar Bianca.
“Saya permisi, Tuan Smith.”
Pelayan wanita itu membungkuk sesaat, meninggalkan mereka berdua. Agak ragu, ia menyentuh gagang pintu yang ada di hadapannya.
“Oh, Karl?”
Suara seorang pria bernada ringan menyapa Karl, membuatnya memutar tubuhnya secara otomatis menuju ke arah pemilik suara itu. Seorang pria keturunan Asia bertubuh atletis datang menghampiri mereka. Lebih tepatnya, Karl. Wajah pria itu tampak kelelahan, namun tidak menghalanginya untuk tersenyum pada mereka berdua. Untuk beberapa saat, pria itu tampak mempertanyakan keberadaannya di tempat ini, lalu wajah pria itu berubah cerah.
“Kamu Vero, ya?” tanya pria itu setelah kelihatannya pria itu berhasil mengingatnya. Padahal ia sendiri saja tidak tahu siapa pria yang berdiri di hadapan mereka saat ini. “Halo, salam kenal. Bianca sering cerita banyak soal kamu.”
Ia tidak tahu harus menanggapi apa perkataan pria itu, sehingga yang bisa ia lakukan hanya diam. Pria itu melirik ke arah Karl dengan jari yang menunjuk ke arahnya.
“Dia … apa tidak masalah dibawa ke sini?” tanya pria itu. Ah, sepertinya ia tahu apa maksud dari pertanyaan pria itu.
“Dia tahu, jangan khawatir,” jawab Karl, lugas. “Mana Theo?”
“Baru saja istirahat, tapi dia sudah nunggu kamu dari tadi,” pria itu berpaling ke arahnya. “Vero, aku bisa minta tolong sama kamu?”
“Ya?”
“Tolong bujuk dia. Seenggaknya supaya dia mau makan. Dia terus mengurung diri di sana selama seminggu.”
“Aku mengerti,” sahutnya. “Akan kucoba sebisaku.”
Pria itu lega mendengarnya, lalu mengantar Karl menemui pria bernama Theo yang disinggung Karl tadi, meninggalkannya di depan kamar Bianca yang terasa suram. Ia membulatkan tekadnya untuk mengetuk pintu kamar Bianca, tapi tangannya yang gemetar menghalanginya untuk mengetuk pintu itu. Setelah ia merasa tenang, ia mengetuk pintu itu beberapa kali sampai pintu itu terbuka. Kepala Bianca menjulur ke luar pintu, memandangnya enggan. Tatapan mata wanita itu kehilangan sinarnya. Hanya ada kehampaan dalam mata itu, ditambah dengan wajahnya yang sangat pucat dan kelelahan. Dahi wanita berkerut sejenak, mempertanyakan keberadaannya di tempat ini.
“Vero? Kenapa kamu di sini?” Bianca tidak berniat mengundangnya masuk ke dalam kamarnya, sehingga ia harus bersabar berdiri di tempatnya. “Jangan bilang Erick nyuruh kamu buat bujuk aku keluar kamar?”
“Erick?” kini ia yang kebingungan mendengar pertanyaan Bianca. “Siapa dia?”
“Pacar kakakku,” Bianca menghela napas seraya mengacak-acak rambut bangun tidurnya yang sudah berantakan. “Jadi, ada apa kamu ke sini?”
Veronica menyentuh pintu kamar Bianca, memaksa Bianca membuka pintu lebar-lebar dan menyelip masuk ke dalam kamar wanita itu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan tampak berantakan, seperti baru diterjang tornado.
“Vero! Siapa yang bolehin kamu—”
Ia berbalik begitu tangan Bianca mencengkeramannya dan hendak menyuruhnya untuk keluar. Tangannya menahan tangan Bianca, menatap tajam wanita itu. “Aku nggak butuh izin dari siapa pun untuk menjenguk sahabatku.”
“Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya masuk! Keluar!” Bianca menggeram, bersama dengan gigi taringnya yang muncul keluar dan iris matanya yang berubah merah. Untuk sesaat, ia merasa ketakutan. Namun saat melihat mata itu tampak seperti akan menangis kapan pun, ketakutannya berganti menjadi kecemasan. Wanita itu tampak kelelahan, begitu lemah, hingga cengkeraman tangan wanita itu tidak berasa apa-apa di tangannya, membuatnya mudah menarik wanita itu ke dalam dekapannya.
“Bianca, aku nggak tahu seperti apa perasaanmu sekarang. Aku nggak bisa ngebayangin kayak apa rasanya, karena aku nggak akan bisa. Yang tahu apa yang kamu rasain itu cuma kamu sendiri,” ia mengusap rambut Bianca saat wanita itu mulai tenang. “Tapi itu nggak akan menghalangiku untuk berada di sisimu di saat kamu butuh aku. Kita sahabat, kan?”
“Aku nggak … butuh …” Bianca berusaha mendorong Veronica menjauh, namun gagal. Suara wanita itu gemetar. “Nggak …”
“Ssst …,” Veronica mengusap pelan punggung Bianca. “Nggak akan ada yang ngelihat. Rahasia kalau kamu menunjukkan sisi lemah dan menangis ini akan terkunci selamanya padaku. Kamu bisa pegang kata-kataku, oke?”
Mendengar perkataannya berhasil meruntuhkan benteng pertahanan yang dibangun Bianca. Tangis wanita itu pecah, membiarkan Veronica memeluk tubuh Bianca sampai sahabatnya itu merasa lebih baik.
***
Kacau. Semuanya tampak kacau.
Karl terus mengucapkan kalimat itu berkali-kali dalam benaknya saat ia mendatangi kediaman Pedrosa. Melihat banyaknya mayat kelompok keluarga Pedrosa yang dibawa ke lantai atas untuk dikremasi dengan layak, ia menggeram kesal. Jika ini perbuatan klan naga—kelompoknya, tentu perkaranya akan jauh lebih mudah. Ia hanya perlu menggunakan kekuasaannya sebagai pemimpin keluarga Smith untuk menghukum mati pelakunya, sama seperti saat ia menghukum mati anak buahnya—Jean Sapphire—yang membunuh Neil Wilson, dengan cara melunakkan seluruh tulangnya hingga meleleh dan tidak bisa bergerak. Seperti cairan, lalu menguap saat terkena cahaya matahari, mencegah raga Jean mendapatkan kesempatan untuk bereinkarnasi. Hukuman mati yang ekstrem, tapi sepadan dengan kerusakan yang sudah diperbuat anak buahnya itu.
Sayangnya, ini tidak semudah itu. Lawan yang sedang ia dan para kelompok makhluk supernatural itu sangat tangguh, dan ia belum memiliki banyak data tentang pergerakan dari manusia serigala itu. Ia memandangi sosok Theodore Pedrosa yang tengah tertidur lelap di atas tempat tidurnya. Pucat. Dilihat dari lukanya, sangat parah, tapi memang jauh lebih baik dibandingkan mayat-mayat vampir yang ia lihat tadi.
“Theo, Karl sudah datang,” Erick berbisik di dekat telinga Theodore, membangunkan pria yang membuka matanya.
“Karl?” Theodore memaksakan diri untuk bangun, namun ia mencegahnya.
“Istirahatlah. Kamu butuh itu,” Karl mendekati sosok Theodore yang tetap kukuh untuk mencoba bangun, membuatnya terpaksa harus mengeluarkan aura naganya untuk menghentikan Theodore. “Aku hanya butuh beberapa informasi.”
“Shoot,” ujar Theodore yang sudah menyerah, kembali berbaring. Sekilas ia melihat wajah lega Erick yang seperti mengucapkan terima kasih padanya karena berhasil menghentikan Theodore, sehingga ia membalasnya dengan senyum simpul.
“Di mana kejadiannya berlangsung? Dan kapan?”
“Di bandara, saat aku menjemput Indri Pedrosa yang baru pulang dari Italia. Kira-kira saat hari mulai gelap,” jawab Karl, disusul helaan napas yang berat, dan keengganan pria itu saat menyebut nama ibu tirinya. Tangan pria itu mencengkeram kain spreinya. “Tiga orang kepercayaanku membelot ke Schneider …”
“Akan kubantu untuk membereskan kekacauan itu,” Karl mengubah bentuk tangan kanannya menjadi wujud naganya, mengiris tangan kirinya menggunakan cakar naganya. Darah keluar dari tangannya. Ia mendekatkan tangannya pada Theodore yang menggeleng lemah. “Minumlah.”
“Tidak perlu. Aku bisa pulih tanpa itu.”
“Minum saja. Ini akan membuatmu lebih baik,” ia mengibaskan tangannya, mengubah bentuk tangan kanannya kembali menjadi wujud manusia, lalu memaksa Theodore yang sudah mengeluarkan gigi taringnya karena terangsang oleh darahnya untuk meminum darah itu. “Lukamu akan segera pulih begitu kamu meminum darahku. Lagipula, kamu adalah ketua klan Pedrosa, adikmu pasti membutuhkan keberadaan kakaknya sekarang.”
Tidak ada pilihan lain bagi Theodore selain menerima darahnya begitu ia menyinggung adik Theodore yang selalu menjadi kelemahan pria itu. Theodore
menghisap darahnya, membuat luka di tubuh pria itu lenyap. Puas, ia menjauhkan tangannya, merapalkan mantra pemulih untuk menutup lukanya.
“Begini lebih baik,” ujarnya lagi. “Ada pergerakan baru dari Schneider selain insiden itu?”
Theodore mengubah posisinya menjadi duduk sambil menggenggam tangan Erick, mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Schneider sudah tiba di sini. Pergerakannya masih di bawah tanah, tapi jumlah pengikutnya semakin bertambah setiap harinya. Kamu pasti nggak akan suka mendengarnya. Informanku mengatakan ada beberapa kelompok naga yang juga bergabung.”
“Naga? Sampai merekrut naga juga! Bukannya mereka—”
“Itu masalahnya. Aku tidak mengerti bagaimana mereka berhasil menghasut para naga untuk bergabung dengan kelompok pembantai naga mereka,” sahut Theodore, muram. “Kalau sampai mereka merekrut naga juga, berarti ada sesuatu yang lebih besar yang mereka incar.”
“Yaitu?”
“Ini hanya dugaan sementara. Jika itu benar …” Theodore menggigit bibir bawahnya.
“Kemungkinan mereka mengincar keabadian dan ingin menciptakan dunia di mana hanya ada makhluk supernatural saja,” lanjut Erick. “Naga memiliki keabadian yang tidak dimiliki kami. Baik darah murni maupun darah campuran. Aku benar?”
Karl mengangguk. Suaranya tercekat saking terkejutnya, sehingga ia membiarkan Erick memimpin diskusi mereka.
“Ada beberapa faktor yang bisa mendukung seseorang melakukan sesuatu bukan?” Erick mengambil tablet layar sentuh yang ada di atas nakas di samping tempat tidur Theodore, menunjukkan data yang ada di dalam layar tablet berukuran sepuluh inchi tersebut. “Baik manusia maupun makhluk supernatural, mereka semua pasti memilikinya. Dalam kasus kelompok vampir, itu adalah urusan birokrasi dan kasta. Dalam klan naga—maaf, aku tidak bermaksud untuk menyinggung—itu ada pada kekecewaan mereka akan—”
“Aturan kuno klan naga,” sambung Karl, sambil membaca cepat semua dokumen itu dan mengembalikannya pada Erick. “Ini memang kelemahan klan naga yang aku coba untuk menghapusnya, tapi sulit.”
Erick mengangkat bahu, menerima tablet itu dan meletakkannya kembali di atas nakas, membantu memasangkan selimut pada Theodore yang mulai tertidur karena efek darah naga yang ia berikan tadi sudah mulai bekerja.
“Kurasa ini hari yang panjang, jadi lebih baik biarkan dia beristirahat,” Karl menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. “Pastikan dia mendapat tidur yang cukup. Seharusnya besok sudah bisa pulih.”
“Akan kuusahakan,” Erick menggumam, lalu menuntunnya keluar ruangan. Begitu menutup kamarnya, Erick membungkuk menghadapnya. “Terima kasih, Karl. Aku nggak tahu apa yang terjadi kalau kamu nggak ada.”
“Kamu terlalu berlebihan,” Karl meminta Erick untuk kembali berdiri tegap, dan Erick menurut. “Sudah sewajarnya membantu temanku sendiri.”
“Andai semua naga sepertimu, Karl. Mungkin akan lebih baik,” Erick melirik ke arah pintu Theodore. “Tadi dokter pribadi Pedrosa sudah meminta aku dan Bianca untuk menerima kemungkinan terburuk.”
“Kamu dan Bianca? Lalu Phillips? Bukankah Theo itu—”
“Dia anak haramnya, kalau kamu masih ingat. Sama sekali tidak peduli dengan keadaan Theo dan meminta dokter itu untuk membiarkan Theo mati,” mata Erick berkaca-kaca saat mengatakannya. Suaranya terdengar bergetar, dan berkali-kali mengerjap agar tidak menangis di depan Karl. “Jadi, terima kasih.”
“Phillips, Phillips. Masih tidak berubah. Mungkin sebaiknya aku berbicara padanya empat mata setelah keadaannya stabil. Dia harus diberi pelajaran,” Karl mengendus aroma Veronica dan Bianca yang tengah berjalan mendekati mereka berdua. “Kurasa adik kesayangannya sebentar lagi akan tiba. Dan aku harus membawa Cinderella-ku kembali sebelum sihirnya benar-benar lenyap.”
Erick melirik arlojinya, lalu tertawa pelan. “Sihirnya sudah lepas sejak dua jam yang lalu, Karl. Kayaknya kamu jadi lebih lembut dibandingkan dulu. Jadi dia pacarmu?”
“Well, di masa depan, ya. Tapi sekarang, belum. Dia masih belum memberiku jawaban,” Karl tersenyum begitu melihat sosok Veronica yang berjalan cepat menuju tempat mereka berada sekarang bersama Bianca. “Waktuku masih banyak, jadi aku siap menunggu kapan pun.”
“Berharap saja Odelia tidak mengganggumu,” ujar Erick seraya menepuk bahunya.
“Aku sudah memutuskan pertunangannya sejak awal. Dia tahu itu.”
“Menurutmu. Tapi belum tentu dengannya,” Erick berjalan menghampiri Bianca yang sudah berada di depan mereka, merangkul bahu Bianca dan menyeretnya menjauh dari kamar Theodore sebelum Bianca bisa menolaknya, meninggalkan ia dan Veronica. Mata wanita itu setengah terpejam, mengingatkannya akan bayi panda yang tertidur dan jatuh dari tempat tidurnya di salah satu acara yang pernah ia lihat di saluran TV bersama Stephen beberapa waktu yang lalu. Tanpa sadar, ia tertawa pelan.
“Sudah mengantuk, Cinderella?”
Veronica menggembungkan pipinya begitu mendengarnya memanggil wanita itu dengan sebutan Cinderella. “Siapa yang kamu panggil Cinderella?”
“Kamu,” ia menggendong tubuh wanita itu dengan cepat. Kali ini Veronica tidak menolak. Wanita itu hanya membenamkan wajahnya di dada Karl. “Kita pulang sekarang.”
Wanita itu tidak menjawab pertanyaannya, sudah benar-benar tertidur. Ia memandangi Veronica yang berada dalam gendongannya, lalu berjalan pergi meninggalkan kediaman Pedrosa.
***
Sebulan berlalu sejak ia tinggal di rumah Karl setelah mengunjungi upacara pemakaman ibu Bianca. Ia tidak bisa mengundang Erna karena alasan identitas Bianca yang seorang vampir, sehingga mau tidak mau ia terpaksa baru memberitahu Erna beberapa hari setelahnya. Tentunya tidak mungkin berakhir baik-baik. Erna kecewa padanya dan juga Bianca, memutus kontak dengan mereka berdua, membuatnya merasa bersalah. Sama sekali tidak mau menyapanya saat di kampus. Bianca sendiri juga belum menunjukkan batang hidungnya. Mengingat betapa syoknya Bianca waktu itu, ia rasa Bianca masih membutuhkan waktu untuk menerima kematian ibunya. Agak mengejutkan memang, mengingat Bianca sama sekali tidak pernah mengungkit keluarganya. Hanya sekali temannya itu membicarakan keluarganya, itu pun penuh emosi dan kejengkelannya pada kedua orangtuanya yang terus mengasingkan Theo, saat mereka baru saja lulus SMA. Setelah itu, Bianca tidak pernah lag
Theodore baru saja membubarkan rapat harian keluarga Pedrosa untuk membicarakan rencana mereka selanjutnya saat terdengar suara ketukan pintu berulang kali dari luar. Ia memijat di antara alisnya, lalu menyuruh orang yang mengetuk pintu tadi untuk masuk ke dalam. Tidak perlu mengira-ngira siapa yang mengetuknya, karena ia sudah tahu.“Baru selesai?” tanya Bianca, adik perempuannya, berjalan masuk ke dalam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum akhirnya menghampirinya. “Belum ada perkembangan dengan hasil penyelidikan anggota kita yang berkhianat?”“Belum. Tapi kelompok yang menyerang temanmu itu sudah ditangkap. Tinggal menunggu keputusan dari pusat untuk menjatuhkan hukuman mati. Walaupun agak sangsi, mengingat kamu tahu send
Karl menyisingkan kerah lengannya, mengecek jam di smartwatch-nya yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Sudah tepat pukul delapan malam dan ia masih belum juga melihat kehadiran Nikki. Udara di luar pada malam hari terasa jauh lebih dingin dibandingkan saat hari masih siang. Mungkin karena sudah memasuki musim gugur dan ia tidak berada di dalam mobilnya. Perasaannya mulai tidak enak. Dikeluarkannya smartphone yang ia selipkan di saku dalam jas abu-abu yang ia gunakan saat ini, membuka layar smartphonenya untuk melihat isi pesan teks. Masih tidak ada jawaban sejak lima belas menit ia mengirim pesan pada Nikki, mengabari wanita itu bahwa ia sudah tiba. Apa sebaiknya ia masuk ke gedung apartemennya untuk menjemput wanita itu sambil melihat situasinya saat ini? Bisa s
Setelah acara makan malam selesai, Veronica mengucapkan terima kasih pada Theodore Pedrosa atas jamuan yang tidak terduga itu. Ia belum pernah bertemu dengan Theodore selain mendengar dari cerita Bianca. Deskripsi sahabatnya tentang kakak laki-lakinya itu sangat tepat—kaku dan mengintimidasi di awal, namun tipe yang hangat dan ramah jika sudah mengenal lebih lama dengan orang itu. Berbeda dengan Bianca yang mewarnai rambutnya dengan warna perak dan potongan rambut yang mencolok, Theodore masih mempertahankan warna hitam alami rambutnya dengan potongan rambut rapi yang ditata seperlunya menggunakan gel rambut, membuatnya terlihat lebih elegan. Ada sedikit sisa kemiripan Theodore dan Bianca, yaitu dari warna mata cokelat, warna kulit mereka yang dingin dan pucat, serta bibir tipis mereka. Orang yang baru mengenal Bianca dan Theodore pasti tidak akan menyangka bahwa mereka berdua bersaudara sampai menghabiskan waktu leb
Febrina berjalan menyusuri jalanan kota Waterford yang ramai karena sudah hari Sabtu, dipenuhi oleh orang-orang yang berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Sudah hampir setahun ia tidak mengunjungi kota kelahirannya ini, dan melihat banyaknya perubahan yang terjadi selama ia tidak ada di sini.Contohnya, gedung yang dulunya merupakan toko buku yang selalu jadi tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu, kini menjadi gedung kosong terbengkalai penuh dengan tanaman-tanaman liar yang merambat hingga ke luar. Hanya tersisa papan nama dari toko itu. Ada papan yang terpasang di dekat gedung itu yang tertulis nama dan nomor telepon dari agen properti yang menangani tempat itu, menandakan tempat itu sudah dijual oleh pemiliknya. Kecewa karena tempat favoritnya sudah menghilang, ia memasrahkan dirinya berjalan tanpa tujuan menyusuri kota
Veronica duduk di stadion sepak bola yang kosong karena hari ini bukan jadwal pertandingan, hanya latihan biasa, menerima minuman kola yang diberikan oleh Dania—teman satu jurusannya—dan meminumnya hingga isinya tersisa setengah saking hausnya. Di antara semua teman satu jurusannya, hanya Dania saja yang mudah didekati karena menyandang status yang sama dengannya; orang yang terpinggirkan dari lingkungan pertemanan sosial kampusnya. Dania tipe yang lone-wolf—lebih suka menghabiskan waktunya seorang diri dan membenamkan dirinya ke dalam dunia fantasi imajinasi buatannya, menuangkannya ke dalam novel online yang selalu tayang setiap dua kali seminggu di sebuah platform novel online—Goodnovel. Tidak banyak mahasiswa yang memproklamirkan identitas gender mereka seperti Dania yang sudah coming out sebagai non-binary, sehingga masih orang merasa aneh dengan identitas gender Dania walaupun kota Waterford sangat terbuka deng
Mengantar pulang seorang wanita di saat perasaan mereka tidak baik jelas bukan ide bagus. Sama sekali bukan, dan memang seharusnya dihindari. Jemarinya mengetuk setir kemudinya begitu mobil Bugatti Vero biru yang ia kendarai sudah melintas keluar dari gedung kampus Nikki. Suasana semakin canggung karena ia tidak memiliki ide untuk membuka percakapan dan tidak ada inisiatif dari Nikki untuk memecah atmosfer aneh yang mereka berdua buat. Matanya bergerak ke kanan-kiri, berpura-pura tengah memperhatikan jalanan yang sebenarnya tidak terlalu ramai sebagai alasan untuk mengintip Nikki. Wanita itu memandang ke luar jendela, walaupun ia yakin sekali kalau pikiran wanita itu sudah melayang jauh keluar dari raganya saat ini, lebih jauh dari pemandangan yang ada di depan mata wanita itu. Tidak tahan dengan atmosfer yang semakin negatif itu, ia akhirnya berdehem agar perhatian Nikki teralih dari lalu lintas di depan menuju pada
Sudah sebulan lebih sejak ia mengajukan cuti pada pihak kampus karena kematian ibunya. Agak rumit menjelaskan bagaimana perasaannya selama ini pada ibu kandungnya. Ia ingin ibunya tetap hidup, dan mempertanggung jawabkan perbuatannya yang sudah membuatnya dihantui rasa bersalah dan mimpi buruk karena membunuh ibu kandung Theo—Irene Pedrosa—di depan ia dan Theo. Ia ingin ibunya membayar dosanya, dan fakta bahwa ibunya mati bukan di tangannya, melainkan di tangan bawahan Theodore yang membelot ke pihak Schneider jelas mengguncangnya. Apalagi saat ia melihat sendiri bagaimana tubuh ibunya itu hangus terbakar, tidak menyisakan sedikit pun kecantikan yang pernah dibanggakan oleh ibunya itu. Benar-benar mengerikan. Ia sampai tidak sanggup menatapnya lebih lama, dan meminta orang-orang yang mengurus jenazah ibunya untuk menutup kembali kain putih yang menutupi tubuh mendiang ibunya.Apa ini yang disebut dengan pembalasan takdir dari Tuha