Share

Suara Perut

-3-

"Aku tidak mau!" tegas Nadine, tak peduli saat Theo mengernyitkan dahi. "Coba deh kamu pikir, gimana caranya bisa balas dendam kalau hidup sederhana?" tanya Nadine dengan mata menyorot tajam. 

Theo mengusap rambut dengan tangan, merasa bahwa ucapan Nadine ada benarnya. Pria bertubuh tinggi itu memasukkan tangan ke saku celana dan menyandarkan diri ke dinding. "Oke, saya setuju. Tapi kita tidak akan tinggal di sini," ujarnya. 

"Hmm, terus mau tinggal di mana?" 

"Rumah saya." 

"Tidak mau! Rumahmu ... sempit." 

Theo terkekeh, mengangguk menyetujui pendapat Nadine. Rumah miliknya memang kecil, hanya sebuah rumah di perumahan sangat-sangat sederhana sekali. 

"Begini saja, supaya adil, kita gantian tiap minggunya tinggal di mana. Karena aku jelas-jelas tidak mau dianggap mengejar kekayaanmu," usul Theo. Sengaja mengubah panggilan dari saya ke aku, agar bisa merasa lebih dekat. 

Nadine tampak terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui usul Theo. Perempuan berambut panjang itu membalikkan tubuh dan jalan menuju unitnya. Menoleh sekilas pada pria bertubuh tinggi tersebut dan melambaikan tangan memanggil. 

Theo perlahan mendekat dan berhenti tepat di depan Nadine yang seketika merasa canggung. Perasaan aneh yang baru kali ini dia rasakan saat bersama Theo, setelah sekian lama mereka berteman. 

"Bersiap-siaplah, kita ke rumah orang tuaku," ujar Nadine sambil menunduk. 

"Oke, tunggu sebentar, aku mau ngambil pakaian ganti di mobil," sahut Theo sembari berbalik dan jalan memasuki lift kembali. 

***

Satu jam kemudian, kedua orang tersebut sudah bersiap di mobil. Perjalanan menuju Kota Bogor kali ini ditempuh dengan lancar. Lalu lintas yang tidak terlalu padat di pagi menjelang siang ini membuat kendaraan bisa melaju cepat. 

Nadine meminta Theo untuk berhenti di rest area. Mereka duduk di sebuah meja milik pedagang di situ dan menikmati sarapan sederhana. 

"Nanti kamu nggak perlu banyak bicara, cukup aku aja," ucap Nadine. 

"Kenapa? Mereka pasti akan bertanya-tanya alasan kita ingin segera menikah," sahut Theo. 

"Makanya kubilang juga biar aku yang bicara. Kamu itu terlalu jujur orangnya. Nggak bisa jaga rahasia." 

Theo mengulaskan senyuman tipis, dalam hati mengakui bahwa Nadine benar kali ini. Sifatnya yang terlalu jujur itu kadang menyulitkan, tapi Theo tidak ingin mengubah hal tersebut. 

Kejujuran, tanggung jawab dan kesetiaan adalah sikap-sikap yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Theo tiba-tiba merasa rindu untuk bertemu keluarganya di Belitung.

Perjalanan mereka berlanjut. Setibanya di kediaman orang tua Nadine, Theo turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk bos-nya. Hal biasa yang selalu dilakukan, tapi hari ini ada perasaan yang berbeda. Terutama saat Nadine menyambut uluran tangan pria itu dengan pipi yang merona. 

Perempuan berhidung mancung itu melangkah pelan sambil bergandengan tangan dengan Theo. Mereka memasuki pintu depan rumah yang telah dibukakan oleh seorang asisten rumah tangga. 

"Mami dan papi di mana, Bi?" tanya Nadine sembari jalan memasuki ruang tamu yang megah. 

"Di teras belakang, Non,' jawab Bi Sumi, perempuan paruh baya yang telah cukup lama bekerja di sini. 

Nadine mengajak Theo menuju teras belakang rumah. Semakin dekat dengan tempat itu, debar di hatinya semakin tidak menentu. Tangannya mendadak dingin, dan hal itu tidak luput dari perhatian Theo. 

Setibanya di tempat tujuan, Nadine melepaskan tangan Theo dan jalan menghampiri maminya yang sedang melukis. Menciumi kedua pipi perempuan kesayangan itu sambil berpelukan. 

"Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, Sayang?" tanya Bu Rianti, maminya Nadine. 

"Sengaja, Mi, biar jadi kejutan," jawab sang putri yang beranjak menghampiri papinya yang sudah merentangkan tangan dan memeluk putrinya dengan penuh kerinduan. 

"Tambah cantik aja," puji Pak Daniel, papinya Nadine sambil mengecup pipi putrinya. 

"Tentu dong, kan nurun dari mami," timpal sang istri sambil menyalami Theo. 

"Iyain aja deh, daripada papi disuruh tidur sendiri," canda Pak Daniel yang membuat Nadine tersenyum lebar. "Ayo, Sayang, kita duduk dulu," ajak sang papi yang dibalas anggukan sang putri. 

Keempat orang tersebut duduk di dua kursi panjang di teras belakang. Pak Daniel beradu pandang dengan sang istri, saat melihat Nadine yang berpegangan tangan dengan Theo. 

"Papi, Mami, kedatangan kami ke sini adalah ... untuk meminta izin. Kami akan segera menikah," ujar Nadine dengan suara pelan. 

Pak Daniel terdiam sesaat, sementara Bu Rianti terperangah dengan mata membulat. Merasa tidak percaya dengan ucapan anak gadisnya itu yang sangat tidak disangka-sangka. 

"Gimana, Sayang? Mami kok bingung, ya," sahut Bu Rianti sambil memandangi wajah kedua anak muda di hadapan itu secara bergantian. 

"Maaf, saya hanya ingin menegaskan ucapan Nadine, bahwa kami hendak melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat," timpal Theo. 

Tiba-tiba Pak Daniel berdiri dengan raut wajah tegang dan tangan mengepal. "Papi tidak setuju kalau kamu mau menikah dengan Theo, Nadine!" tegas pria bertubuh tegap itu dengan suara keras. 

"Tapi, Pi, aku ... mencintai Theo," balas Nadine yang membuat papinya semakin emosi. 

"Mau ditaruh di mana muka papi kalau kamu nikah sama supir!" 

"Pi, tolonglah, kami saling mencintai. Theo adalah orang yang bertanggung jawab, Pi. Aku merasa nyaman dengannya. Hal itu sangat berbeda bila bersama dengan Bagas." Nadine berdiri dan menghampiri papinya. Berharap pria yang menjadi cinta pertamanya itu mau mengubah keputusan. 

"Sekali papi bilang tidak, itu berarti tidak!" Pak Daniel membalikkan tubuh dan jalan menjauh. 

Nadine yang hendak mengejar akhirnya menunda keinginan karena maminya menggeleng keras. "Jangan dikejar, percuma. Kalau sedang emosi papimu jangan dilawan," tukas Bu Rianti sambil menarik lengan putrinya. 

"Sini, duduk dekat mami, kita bahas sekali lagi. Mami benar-benar penasaran dengan alasan kalian untuk menikah," lanjut perempuan dewasa itu seraya mengusap lengan putrinya. 

Nadine menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menceritakan semuanya sesuai dengan apa yang telah disepakatinya dengan Theo. Bu Rianti mendengarkan dengan saksama tanpa menyela sedikit pun. 

Hingga tibalah saat makan siang. Pak Daniel tetap tidak mau keluar dari kamar. Permintaan putrinya untuk makan bersama pun tidak digubris sama sekali. Hal itu membuat Nadine bersedih. Ogah-ogahan makan dan hanya mengaduk-aduk isi piringnya tanpa selera. 

Bu Rianti akhirnya menyusul sang suami ke kamar. Duduk di sebelah kanan dan mengusap punggung pria yang telah menikahinya selama puluhan tahun itu dengan lembut. 

"Kita makan bareng, yuk, Pi," rayunya dengan suara pelan.

"Belum lapar," jawab Pak Daniel yang tengah tengkurap. 

"Mami suapin." 

"Papi bisa makan sendiri." 

"Ayolah, kasian Nadine udah nungguin dari tadi." 

Pria berkulit putih tersebut bergeming. Berusaha menekan rasa lapar yang mendera. Merasa gengsi bila ikut makan bersama yang lainnya, karena tadi dia sudah menolak. 

Akan tetapi, suara perutnya tiba-tiba bergema di ruangan luas ini. Bu Rianti menggigit bibir bawah untuk menahan tawa. Namun akhirnya dia tak mampu menahan lagi dan tertawa terbahak-bahak. Tak peduli suaminya mencebik. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status