-7-
Pria berparas manis itu memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang. Membantu Nadine yang masih terkaget-kaget itu untuk turun."Aku mau pulang ke apartemen," pinta Nadine.
"Nanti malam kuantar, sekarang di sini dulu. Aku mau istirahat, capek," balas Theo sambil membuka pintu bagian belakang dan mengangkat dua tas travel mereka.
Pria bertubuh tinggi itu melangkah menaiki teras rumah bercat biru gelap tersebut, merogoh saku dan mengeluarkan beberapa kunci. Memasukkan salah satunya dan membuka pintu.
"Ayo," ajaknya pada Nadine yang masih mematung.
Theo melangkah masuk dan menyalakan kipas angin besar di langit-langit ruangan. Nadine menyusul dengan ragu-ragu dan duduk di kursi sederhana. Memindai sekeliling ruangan dengan perasaan campur aduk.
Pria berambut cepak itu berbelok ke kiri dan memasuki kamar utama. Menyalakan pendingin udara setelah sebelumnya meletakkan kedua tas travel di lantai.
"Theo, aku haus," ujar Nadine dari ruang tamu.
"Masuk aja, cek kulkasnya," jawab Theo sambil merebahkan tubuh di kasur.
Nadine berdiri dan jalan memasuki dapur mungil di belakang rumah. Membuka kulkas satu pintu dan mengecek isinya. Menarik sebotol sirup hijau dan teko berisi air dingin. Meletakkan kedua benda itu di atas meja dapur dan celingukan mencari gelas.
"Theo, gelasnya disimpan di mana?" tanyanya dengan suara meninggi.
"Di lemari sebelah kulkas," jawab Theo sambil jalan ke luar.
"Kulkasmu nyaris kosong." Nadine melirik sekilas pada pria bertubuh tegap itu, sebelum membuka pintu lemari dan mengambil dua buah gelas tinggi.
"Aku 'kan jarang di rumah. Nggak pernah nyetok apa pun di kulkas kecuali sirup dan air," sahut pria itu sambil mengambil sapu.
Theo dengan cekatan membersihkan rumah, sementara Nadine memandanginya dengan tatapan kagum. Dia tahu bahwa Theo itu pria pembersih, tetapi baru kali ini dia melihat sendiri saat pria tersebut bekerja dengan semangat untuk membersihkan rumahnya.
Nadine kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Rumah sederhana ini tampak cukup rapi untuk ukuran seorang pria bujangan. Sambil mengipasi diri dengan tangan, Nadine membuka pintu dapur dan mengecek bagian belakang rumah, yang merupakan tempat cuci jemur.
Tampak sebuah mesin cuci dua tabung dalam kondisi bersih, dan susunan beberapa ember tertutup rapi di sebelah kanan. Di ujung kiri ada beberapa pot bunga kecil dengan aneka tanaman.
Nadine seketika tertegun saat menyadari bahwa tanaman itu adalah beberapa jenis cabai dan tomat yang tampaknya sudah siap untuk dipetik. Tangannya terulur mencabuti dengan semangat. Menampungnya di baskom kecil yang ditemukan di rak piring kecil di sebelah mesin cuci.
"Theo, ini boleh dibikin sambal?" tanyanya sembari jalan memasuki rumah. Terkesiap saat melihat pria itu telah bertelanjang dada dan sedikit berkeringat.
"Memangnya kamu bisa masak?" ledek Theo. Pria itu kembali melanjutkan aktivitas mengepelnya dengan senyuman dikulum.
"Ihh, bisa dong. Kamu aja yang nggak tau," balas Nadine tak mau kalah.
"Ya udah, bikin aja. Nanti kita pesan lauk mateng yang bisa dicocol ke sambalmu."
"Blendernya mana?"
Tawa Theo seketika pecah, tak peduli Nadine merengut kesal. "Aku nggak punya blender. Pake ulekan aja," sahutnya seusai tertawa.
"Apa? Tapi aku nggak bisa ngulek!" seru Nadine.
"Belajarlah, gampang kok."
"Nggak mau, nanti tanganku lecet."
Tawa Theo kembali menyembur, tak peduli Nadine memelototi dengan bertolak pinggang.
***
Dua jam kemudian.
Nadine menyusuri setiap lorong di pusat perbelanjaan ini dengan semangat. Memilih barang-barang elektronik berkualitas tinggi dengan hati berbunga. Sementara Theo hanya mengusap dada melihat tingkah calon istrinya itu, yang seolah-olah sedang kalap untuk berbelanja."Apa semua ini perlu?" tanya Theo sambil menunjuk trolley penuh berisi barang pecah belah yang berharga mahal.
"Jelas perlu, bila ingin aku tinggal di rumahmu, biarin aku membeli barang-barang ini untuk menyenangkan diri," jawab Nadine.
"Tapi kan nggak perlu beli pendingin udara lagi. Kamar kita sudah cukup dingin," balas Theo.
"Ini buat ruang tengah dan kamar belakang. Jangan sampai orang tuamu kegerahan nanti saat mereka berkunjung."
Theo tertegun, tidak menyangka bila Nadine berpikiran jauh seperti itu. Rasa hangat dalam hatinya semakin menguat. Merasa bahagia bahwa Nadine sepertinya bisa menerima keadaan keluarganya yang sangat sederhana.
"Kamu punya berapa sprei?" tanya Nadine sambil memilih aneka motif bed cover set di hadapan.
"Ehm, kayaknya cuma ada tiga," sahut Theo yang membuat mata Nadine membeliak.
"Apa? Cuma tiga?"
"Iya, aku kan tinggal sendiri, jarang ada tamu. Cukuplah itu."
Nadine menggeleng pelan sambil berdecak. Menarik tiga set bed cover motif bunga-bunga, bola-bola dan garis-garis yang membuat Theo menatapnya dengan heran.
"Nggak usah beli banyak-banyak, kan bisa pakai punyamu nanti," timpal Theo.
"Berisik! Diam dan dorong trolleynya!" titah Nadine sambil jalan melenggang menjauh.
Theo mengekor sambil menggerutu dalam hati. Memutar bola mata saat perempuan itu kembali memasukkan barang-barang unik yang dia tidak tahu namanya.
Setelah puas memilih berbagai perabotan, Nadine berpindah ke bagian buah-buahan dan sayuran segar. Tak lupa membeli beberapa kilogram daging sapi dan ayam yang membuat Theo terperangah.
"Bumbu-bumbunya kenapa yang instan semua? Bukannya lebih sehat bikin sendiri?" protes Theo saat Nadine memasukkan aneka bumbu dan saus yang membuatnya penasaran.
"Udah dibilangin diam dan nurut, susah bener sih!" hardik Nadine dengan tatapan tajam.
Theo akhirnya mengalah dan membiarkan calon ratunya itu memuaskan diri untuk berbelanja. Mendorong trolley penuh barang yang sangat berat di belakang Nadine yang juga mendorong trolley penuh menuju meja kasir.
Mata Theo membeliak saat melihat jumlah belanjaan calon istrinya itu yang setara dengan gajinya beberapa bulan. Walaupun sudah sering menemani Nadine berbelanja, tetapi baru kali ini jumlah total belanjaan itu sangat fantastis.
"Kita makan dulu, yuk, aku lapar," rengek Nadine saat mereka memasukkan barang-barang ke mobil.
"Tadi kan kamu beli roti, makan itu dulu," sahut Theo.
"Itu buat sarapan. Sekarang aku pengen itu," tunjuk Nadine ke restoran cepat saji di dekat tempat parkir.
"Junk food, nggak sehat."
"Biarin, sekali-sekali ini!"
"Ya udah, ayo."
"Kamu aja yang beli, aku tunggu di mobil."
Theo menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kemudian mengangguk pasrah pada keinginan sang ratu. "Oke, mau pesan apa?"
"Double cheese burger, kentang dan ice lemon tea."
***
Setibanya di rumah, Nadine bergegas memasukkan makanan beku dan aneka sayur ke kulkas. Menggerutu saat benda itu ternyata tidak mampu menampung semua belanjaannya.
"Udah kubilang jangan kemaruk belanja!" seru Theo sambil menyusun aneka barang pecah belah di dekat tempat cuci piring.
"Tau gini tadi langsung beli kulkas gede aja," sahut Nadine.
"Nggak perlu, bentar lagi kan kamu juga mau pindah ke sini. Otomatis semua perabotan juga ikut pindah."
"Aku pengen beli yang baru, Theo. Biar papi nggak nyesel nikahin kita."
"Jangan, coba nurut kali ini. Ingat, kita harus berhemat. Uangku nggak banyak, Sayang," ucap Theo dengan suara yang lembut.
Nadine seketika terdiam. Merasa senang dipanggil seperti itu dan tanpa sadar mengulum senyum. Sesaat tatapan mereka bertemu, Nadine hanya bisa terdiam saat Theo melangkah maju dan mengusap rambutnya dengan pelan.
-8-"Apa kamu mau nginap di sini?" tanya pria itu seraya mengulaskan senyuman."Ehm ... oke. Tapi, besok berarti kita harus bangun pagi-pagi banget. Karena aku ada rapat penting," jawab Nadine dengan suara pelan.Tatapan Theo seolah-olah membiusnya untuk tetap diam dan tidak memberontak saat bibir pria itu menyusuri pipi hingga telinganya. Tanpa sadar tangan Nadine terangkat dan merangkul leher Theo.Pria itu merapatkan tubuh dan mendaratkan kecupan di dahi dan bagian lain wajah ayu perempuannya. Deru napas hangat keduanya berpadu dengan isapan lembut. Nadine meremas rambut Theo dan membiarkan pria itu menguasai bibirnya.Tiba-tiba Theo mengangkat tubuh Nadine dan menggendongnya. Berjalan menuju kamar tanpa menghentikan ciuman panas mereka. Mendudukkan perempuan itu di atas meja rias dan menyusuri setiap lekuk tubuh dengan tangan terlatih.Dengan gerakan cepat semua yang menutupi tubuh pun terlepas. Theo merunduk
-9-Nadine mendengkus sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Merasa kesal dengan sosok Bagaskara yang masih saja ngotot untuk tetap tinggal di ruangan itu.Perempuan berkulit putih itu akhirnya jalan kembali ke meja kerja. Menarik tas miliknya dan melangkah ke luar. Mengabaikan sosok Bagaskara yang seketika berdiri."Na, tunggu!" seru Bagaskara sembari jalan mendekat.Nadine tidak mengindahkan panggilan tersebut dan terus melangkah cepat memasuki ruang rapat, yang berada di ujung kanan lorong.Beberapa orang yang sudah lebih dulu tiba, segera berdiri dan mengangguk sopan pada Nadine. Bagaskara yang rupanya menyusul, dijegal Santi tepat di depan pintu."Kamu nggak bisa masuk, karena ini rapat intern perusahaan," ujar Santi dengan suara tegas."Urusanku dengan Nadine belum selesai." Bagaskara masih bersikeras untuk bisa masuk, tetapi dua orang pria berseragam safari hitam langsung menahan diri
-10-"Ada ilernya," canda Theo sambil menyentuh sudut kanan bibir Nadine yang masih membeliakkan mata."Ihh! Kebiasaan jahilmu itu nggak hilang-hilang," sungut Nadine sembari menggeser tangan Theo. Kemudian menarik laci meja dan mengeluarkan cermin. Meneliti penampilannya yang memang agak kusut. Meraih sisir dan mulai merapikan rambut.Nadine tersentak saat merasakan tangan Theo yang mengambil alih sisir dan merapikan rambutnya dengan tenang. Senandung lagu khas Melayu terdengar dari bibir penuh pria tersebut, dan tak urung membuat Nadine tersenyum."Kamu ... ternyata romantis, ya," ucap Nadine."Ehm, hanya untuk orang-orang tertentu," jawab Theo. Dia meletakkan sisir ke meja dan memutar tubuh Nadine hingga sekarang mereka saling berhadapan. "Kamu sebentar lagi akan menjadi istriku. Sudah sepantasnya aku bersikap romantis padamu," lanjutnya dengan mengulum senyum.Nadine menelisik raut wajah Theo yang tampa
-11-Fenita mematung di tempat. Susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis. Pelupuk mata yang panas memaksanya untuk mundur dan menyandar ke dinding. Berusaha sedapat mungkin untuk mencoba tidak menjatuhkan nampan yang dibawa.Perempuan berambut sebahu itu mengusap mata dengan kasar. Menekan ujung hidung dengan lengan baju. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan beberapa kali sebelum akhirnya kembali melangkah memasuki ruangan fitting tersebut."Permisi," ucapnya dengan suara nyaris tidak terdengar.Ketiga pasang mata sontak menoleh. Rina tersenyum dan meminta Fenita untuk meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh chamomile di atas meja di dekat sofa."Makasih," ucap Nadine seraya menyunggingkan senyuman.Fenita mengangguk pelan dan segera berbalik. Tidak berani menatap pada sepasang mata beriris hitam yang memandanginya dengan tatapan sedih.Perempuan itu jalan ke luar dan k
-12-Pagi-pagi sekali Fenita sudah bangun. Dia bergegas membersihkan diri dan terpaksa harus mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, karena waktu diculik Theo tadi malam, Fenita tidak membawa pakaian ganti.Saat ke luar dari kamar mandi, tatapan gadis itu bersirobok dengan Theo yang tengah menggaruk-garuk kepalanya di kursi ruang tamu. Pria bertubuh tinggi itu menyunggingkan senyuman dan membuat Fenita sedikit malu."Mau dibuatin sarapan?" tanya gadis tersebut sembari merapikan rambut."Ehm, boleh. Kopi hitam, gulanya dua sendok. Ada roti di atas kulkas. Bisa tolong buatkan telur ceplok?" Theo balas bertanya sambil berdiri dan jalan mendekat."Bisa, mau berapa?""Dua, aku pengen makan itu dan disiram dengan saus sambal."Fenita mengangguk mengiakan, kemudian membalikkan tubuh dan hendak beranjak dari tempat itu. Namun, gerakannya tertahan karena tangan Theo telah melingkari pinggangnya.&nbs
-13-Theo menghentikan gerakan membuka kaitan celana panjang saat menyadari tengah diperhatikan oleh Nadine. Pria berhidung mancung itu mengulaskan senyuman tipis, kemudian beranjak mendekat dan duduk di ujung kaki Nadine."Kenapa? Aku seksi, ya?" canda Theo yang dibalas Nadine dengan dengkusan."Kamu bisa sesantai itu, nggak malu sama aku?" Nadine balas bertanya."Buat apa malu? Kamu udah lihat dan merasakan dalamnya." Tawa Theo bergema di ruangan itu saat melihat Nadine mendelik ke arahnya."Udah, ahh, jangan ngajak debat. Apa kamu punya makanan? Aku lapar." Nadine memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke bantal, tidak menyadari bila lehernya terekspos sempurna dan membuat Theo menelan ludah.Pria itu merutuki diri yang selalu tidak sanggup menahan gairah bila melihat Nadine. Entah disadari atau tidak, perempuan itu membuatnya selalu ... horny."Ehh, bukannya kita punya daging di freez
-14-Mood Nadine yang belum membaik membuatnya sangat sensitif. Tatapan tajam diarahkannya pada orang-orang yang membuat dia senewen. Tidak terkecuali dengan Theo.Pria bertubuh tinggi itu hanya bisa mengelus dada saat menghadapi sikap judes Nadine. Beberapa kali dia mengajak bicara, tetapi jawaban Nadine yang pendek dengan suara yang terdengar ketus, membuat Theo akhirnya memilih untuk diam."Aku mau ke klub," ujar Nadine saat mereka baru saja tiba di apartemen. Dengan santainya dia melucuti pakaian sembari jalan memasuki kamar mandi.Theo tidak menjawab dan memilih untuk menuruti permintaan perempuan itu. Sembari menunggu Nadine membersihkan diri, Theo menyalakan televisi dan duduk di sofa dengan santai.Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Nadine ke luar dengan mengenakan jubah mandi. Rambut basahnya tergerai di belakang punggung. Melangkah menuju kamar sembari menggosok-gosok rambut dengan handuk.&nbs
-15-Mobil yang dikemudikan Theo berhenti di tempat parkir Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setelah mengunci mobil Theo jalan cepat menuju pintu terminal kedatangan.Berhenti sesaat di depan layar besar yang menginformasikan jadwal kedatangan pesawat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bibirnya melengkung ke atas menciptakan sebuah senyuman, saat melihat nomor penerbangan yang membawa kedua orang tuanya telah dinyatakan mendarat.Theo bergegas menuju pintu kedatangan dan berdiri menunggu di belakang pagar besi bersama penjemput lainnya. Sesekali dia mengedarkan pandangan ke arah pintu, untuk memastikan sosok-sosok yang keluar itu kemungkinan adalah orang yang ditunggu."Pak!" seru Theo saat melihat sosok pria paruh baya yang tengah mendorong trolley yang dipenuhi koper.Pria tersebut menoleh dan langsung mengajak perempuan dewasa di sebelahnya untuk menuju tempat Theo berdiri. Setibanya mereka di luar antrean