-9-
Nadine mendengkus sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Merasa kesal dengan sosok Bagaskara yang masih saja ngotot untuk tetap tinggal di ruangan itu.
Perempuan berkulit putih itu akhirnya jalan kembali ke meja kerja. Menarik tas miliknya dan melangkah ke luar. Mengabaikan sosok Bagaskara yang seketika berdiri.
"Na, tunggu!" seru Bagaskara sembari jalan mendekat.
Nadine tidak mengindahkan panggilan tersebut dan terus melangkah cepat memasuki ruang rapat, yang berada di ujung kanan lorong.
Beberapa orang yang sudah lebih dulu tiba, segera berdiri dan mengangguk sopan pada Nadine. Bagaskara yang rupanya menyusul, dijegal Santi tepat di depan pintu.
"Kamu nggak bisa masuk, karena ini rapat intern perusahaan," ujar Santi dengan suara tegas.
"Urusanku dengan Nadine belum selesai." Bagaskara masih bersikeras untuk bisa masuk, tetapi dua orang pria berseragam safari hitam langsung menahan diri
-10-"Ada ilernya," canda Theo sambil menyentuh sudut kanan bibir Nadine yang masih membeliakkan mata."Ihh! Kebiasaan jahilmu itu nggak hilang-hilang," sungut Nadine sembari menggeser tangan Theo. Kemudian menarik laci meja dan mengeluarkan cermin. Meneliti penampilannya yang memang agak kusut. Meraih sisir dan mulai merapikan rambut.Nadine tersentak saat merasakan tangan Theo yang mengambil alih sisir dan merapikan rambutnya dengan tenang. Senandung lagu khas Melayu terdengar dari bibir penuh pria tersebut, dan tak urung membuat Nadine tersenyum."Kamu ... ternyata romantis, ya," ucap Nadine."Ehm, hanya untuk orang-orang tertentu," jawab Theo. Dia meletakkan sisir ke meja dan memutar tubuh Nadine hingga sekarang mereka saling berhadapan. "Kamu sebentar lagi akan menjadi istriku. Sudah sepantasnya aku bersikap romantis padamu," lanjutnya dengan mengulum senyum.Nadine menelisik raut wajah Theo yang tampa
-11-Fenita mematung di tempat. Susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis. Pelupuk mata yang panas memaksanya untuk mundur dan menyandar ke dinding. Berusaha sedapat mungkin untuk mencoba tidak menjatuhkan nampan yang dibawa.Perempuan berambut sebahu itu mengusap mata dengan kasar. Menekan ujung hidung dengan lengan baju. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan beberapa kali sebelum akhirnya kembali melangkah memasuki ruangan fitting tersebut."Permisi," ucapnya dengan suara nyaris tidak terdengar.Ketiga pasang mata sontak menoleh. Rina tersenyum dan meminta Fenita untuk meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh chamomile di atas meja di dekat sofa."Makasih," ucap Nadine seraya menyunggingkan senyuman.Fenita mengangguk pelan dan segera berbalik. Tidak berani menatap pada sepasang mata beriris hitam yang memandanginya dengan tatapan sedih.Perempuan itu jalan ke luar dan k
-12-Pagi-pagi sekali Fenita sudah bangun. Dia bergegas membersihkan diri dan terpaksa harus mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, karena waktu diculik Theo tadi malam, Fenita tidak membawa pakaian ganti.Saat ke luar dari kamar mandi, tatapan gadis itu bersirobok dengan Theo yang tengah menggaruk-garuk kepalanya di kursi ruang tamu. Pria bertubuh tinggi itu menyunggingkan senyuman dan membuat Fenita sedikit malu."Mau dibuatin sarapan?" tanya gadis tersebut sembari merapikan rambut."Ehm, boleh. Kopi hitam, gulanya dua sendok. Ada roti di atas kulkas. Bisa tolong buatkan telur ceplok?" Theo balas bertanya sambil berdiri dan jalan mendekat."Bisa, mau berapa?""Dua, aku pengen makan itu dan disiram dengan saus sambal."Fenita mengangguk mengiakan, kemudian membalikkan tubuh dan hendak beranjak dari tempat itu. Namun, gerakannya tertahan karena tangan Theo telah melingkari pinggangnya.&nbs
-13-Theo menghentikan gerakan membuka kaitan celana panjang saat menyadari tengah diperhatikan oleh Nadine. Pria berhidung mancung itu mengulaskan senyuman tipis, kemudian beranjak mendekat dan duduk di ujung kaki Nadine."Kenapa? Aku seksi, ya?" canda Theo yang dibalas Nadine dengan dengkusan."Kamu bisa sesantai itu, nggak malu sama aku?" Nadine balas bertanya."Buat apa malu? Kamu udah lihat dan merasakan dalamnya." Tawa Theo bergema di ruangan itu saat melihat Nadine mendelik ke arahnya."Udah, ahh, jangan ngajak debat. Apa kamu punya makanan? Aku lapar." Nadine memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke bantal, tidak menyadari bila lehernya terekspos sempurna dan membuat Theo menelan ludah.Pria itu merutuki diri yang selalu tidak sanggup menahan gairah bila melihat Nadine. Entah disadari atau tidak, perempuan itu membuatnya selalu ... horny."Ehh, bukannya kita punya daging di freez
-14-Mood Nadine yang belum membaik membuatnya sangat sensitif. Tatapan tajam diarahkannya pada orang-orang yang membuat dia senewen. Tidak terkecuali dengan Theo.Pria bertubuh tinggi itu hanya bisa mengelus dada saat menghadapi sikap judes Nadine. Beberapa kali dia mengajak bicara, tetapi jawaban Nadine yang pendek dengan suara yang terdengar ketus, membuat Theo akhirnya memilih untuk diam."Aku mau ke klub," ujar Nadine saat mereka baru saja tiba di apartemen. Dengan santainya dia melucuti pakaian sembari jalan memasuki kamar mandi.Theo tidak menjawab dan memilih untuk menuruti permintaan perempuan itu. Sembari menunggu Nadine membersihkan diri, Theo menyalakan televisi dan duduk di sofa dengan santai.Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Nadine ke luar dengan mengenakan jubah mandi. Rambut basahnya tergerai di belakang punggung. Melangkah menuju kamar sembari menggosok-gosok rambut dengan handuk.&nbs
-15-Mobil yang dikemudikan Theo berhenti di tempat parkir Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setelah mengunci mobil Theo jalan cepat menuju pintu terminal kedatangan.Berhenti sesaat di depan layar besar yang menginformasikan jadwal kedatangan pesawat dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bibirnya melengkung ke atas menciptakan sebuah senyuman, saat melihat nomor penerbangan yang membawa kedua orang tuanya telah dinyatakan mendarat.Theo bergegas menuju pintu kedatangan dan berdiri menunggu di belakang pagar besi bersama penjemput lainnya. Sesekali dia mengedarkan pandangan ke arah pintu, untuk memastikan sosok-sosok yang keluar itu kemungkinan adalah orang yang ditunggu."Pak!" seru Theo saat melihat sosok pria paruh baya yang tengah mendorong trolley yang dipenuhi koper.Pria tersebut menoleh dan langsung mengajak perempuan dewasa di sebelahnya untuk menuju tempat Theo berdiri. Setibanya mereka di luar antrean
-16-Perjalanan menuju rumah Theo ditempuh dalam keheningan. Nadine lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandangi luar kaca mobil, sedangkan Theo fokus menyetir.Ucapan pria di sebelahnya tadi membuat Nadine bingung. Dia sama sekali belum pernah berpikir untuk meneruskan rencana pernikahan dengan perjanjian itu menjadi pernikahan yang sesungguhnya.Sesekali Theo memperhatikan Nadine yang tampak termenung. Dia pun sebenarnya masih terkejut dengan ucapan spontannya tadi. Sedikit kecewa dengan reaksi Nadine yang sampai sekarang masih belum menjawab pertanyaannya.Setibanya di tempat tujuan, ibunya Theo langsung ke luar dan menyambut kedatangan calon menantunya dengan wajah berseri-seri. Bu Ida menyalami Nadine sambil mengusap lengan perempuan muda itu dengan penuh kekaguman."Cantiknya kamu, Nak. Nggak salah nih, mau sama Koko?" tanya Bu Ida sembari melirik anaknya yang memutar bola mata dengan gemas.
-17-"Pacar?" Nadine mengerutkan dahi. Dia hendak memprotes tetapi terjeda karena Bagaskara telah melambaikan tangan dan memanggil pelayan yang segera mendekat."Saya pesan dua orange juice dan ... ini," ujar Bagaskara sambil menunjuk ke daftar menu.Pelayan tersebut mengangguk dan segera berlalu dari tempat itu. Pria berpenampilan rapi itu kembali memusatkan perhatian pada Nadine yang menatapnya dengan tajam."Apa maksudmu dengan pacar? Hubungan kita sudah putus, Bagas. Aku juga akan segera menikah dengan Theo," ujar Nadine dengan ketus."Yakin mau menikah dengan sopir?" Bagaskara tertawa mengejek."Kenapa memangnya dengan sopir?""Apa dia sanggup menghidupi kamu?""Oh, tentu saja. Menurutmu, kenapa aku bersedia menikah dengannya kalau dia tidak sanggup menghidupiku?"Bagaskara terdiam sesaat, mencoba mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Nadine. "Apa kamu dipel