Share

Dua

Dua.

Hari berikutnya, kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe hits di kotaku karena hari ini aku sudah tidak ada lagi mata pelajaran yang harus diremedial. Jadi, aku memutuskan menggunakan waktu kosong ini untuk membuat naskah pidato.

Tadi pagi, aku sempat mengirim LINE kepada Sae. Aku bilang, jika dia tidak sibuk, sempatkan diri untuk mampir dan membantuku mencari ide untuk pidatonya. Tak lama, dia membalas pesanku dan bilang akan datang jika waktunya memungkinkan. Makanya, setelah dirasa tak ada lagi mata pelajaran yang akan aku remedial, bergegaslah aku ke tempat ini dengan motor scoopy Doraemon-ku.

Tempatnya menyejukan. Awalnya aku tidak berniat datang ke sini, hanya saja, tempat inilah yang paling dekat dengan sekolahku. Menurutku, kafe ini masih bisa dijangkau oleh anak-anak sekolah yang memiliki budget kecil untuk jajan.

Saat aku sampai, deretan kursi minimalis modern terpampang rapi menyambutku. Warna hitam mendominasi bangunan tersebut. Dari mulai meja, kusen pintu, sampai cat di dalam ruangan, semua warna hitam, hanya kursi dan kaca saja yang warnanya berbeda. Aku menunggu Sae datang sambil mencoba mencari sedikit ide untuk bahan naskah pidatoku nanti, sesekali mengamati keadaan sekitar. Tak berselang lama setelahnya,  Sae datang dengan seragam sekolah yang masih lengkap.

 “Halo, Adis,” katanya sambil melambai di atas motornya. Aku mengangguk dan membalas lambaian tangannya pelan.

Sae membuka helm hitam yang membungkus kepalanya, kemudian menaruhnya di setang motor. Dia membuka sarung tangan hitamnya, kemudian mulai melenggang ke arahku.

“Udah lama di sini?” tanyanya. Aku yang duduk di samping pintu masuk kemudian berdiri. Dia melangkah semangat ke arahku, lalu berdiri berhadapan.

“Lumayan. Di dalam aja, ya?” kataku sambil merapikan barang-barang yang berserakan. Sae mengangguk, kemudian memasukan sarung tangan hitamnya ke saku jaket.

Sae lalu membukakan pintu untukku. Aku menoleh dan tersenyum. Saat aku masuk, hal pertama yang tertangkap oleh indera penglihatanku adalah poster-poster background hitam yang dipasang di dinding. Banyak tulisan-tulisan dengan font menarik di dalamnya, berisi kata-kata motivasi.

Tak jauh dari pintu masuk, ada sekitar empat sampai lima meja warna hitam dengan kursi kayu krem yang tersusun apik dari ujung kasir sampai ke batas sebuah pilar yang menyangga lantai dua. Lampu-lampu gantung, dikaitkan pada plafon dengan indah, sehingga menambah kesan modern serta kekinian kafe ini. Keramik sewarna putih menjadi alas meja dan kursi yang diduduki pengunjung kafe.

 “Itu di pojokan aja,” kata Sae sambil menunjuk satu meja yang isinya hanya ada dua kursi. Aku mengangguk, kemudian melenggang lebih dulu.

Kuletakkan barang-barangku bersamaan dengan Sae duduk di seberang meja. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu menaruhnya di meja, dan menatap ke arahku dengan tatapan ramah.

 “Bagaimana kabar Ibu?” tanyanya.

“Sejauh ini baik. Ibu juga sempat tanya kabar kamu. Katanya, kenapa kamu sudah jarang ke rumah. Ibu sekarang sibuk mengurusi semacam arisan. Aku enggak tahu acara apa. Tapi, katanya beliau sibuk.”

Sae mengangguk paham, kemudian meraih ponselnya saat benda itu berkedip. “Ibu tahu kamu mau lomba?”

“Enggak. Aku enggak pernah cerita. Lagian kalau aku bilang pun, enggak yakin juga Ibu bisa datang. Apalagi Ayah. Ah, sudahlah enggak usah dibahas.”

“Coba aja dulu kasih tahu mereka.” Sae menaruh ponselnya lagi, melipat dua tangan di depan dada, kemudian memiringkan kepala sedikit sambil tersenyum. “mereka akan senang kalau tahu kamu ikut lomba. Bagaimanapun, mereka orangtuamu, Dis.”

“Aku lebih senang kalau kamu yang datang,” kataku seadanya.

Tangan-tanganku lihai mengeluarkan kertas yang sempat kucoret-coret untuk menuangkan ide yang keluar di dalam otak tadi. Dua manikku apik memindai aksara yang tadi kutorehkan. Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan jadi bahan pidato nanti.

Tak lama setelah perkataan tadi, aku fokus pada kertas-kertas di tanganku sampai membuat Sae berdeham pelan. Mataku mengerjap beberapa kali, menoleh pada pemuda di hadapanku, lantas tersenyum.

“Aku pasti datang. Akan kuusahakan,” ucapnya.

“Ya, semoga saja.”

“Jadi, apa yang mau kamu angkat jadi bahan pidato? Kelihatannya kamu sudah punya beberapa idenya.”

Sae belum mau memesan. Sejak tadi kami masih sibuk dengan urusan masing-masing. Aku contohnya, yang sibuk dengan kertas-kertas dan pensil di tangan.

“Enggak tahu, deh, ya. Otakku macet banget kayaknya. Kamu ada ide?”

Dia menggeleng pelan.

Wajah Sae yang putih makin bersinar ketika rambatan cahaya matahari menyinari pipi-pipinya. Aku yang melihat kejadian itu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dari sudut ruangan seperti ini, aku bisa melihat beberapa orang yang berlalu-lalang di bawah terik matahari, memancarkan sinar yang membuat Arsenio Saelandra Bahari menjadi lebih memesona.

Sudah begitu lama aku mengenalnya, dan sudah lama pula aku menjadi bagian dari kehidupannya yang sempurna. Sae itu bisa menjadi sosok yang misterius. Aku bisa dengan mudah memahaminya, dan terkadang juga begitu sulit untuk tahu apa yang sedang dia pikirkan.

Dia, pemuda itu, kini duduk di hadapanku, maniknya teduh menatap kertas di tanganku. Entah apa yang berputar di ingatannya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Hanya satu hal yang aku harapkan, semoga saja dia tak pernah berpikiran untuk berpisah denganku.

Aku tidak akan pernah tahu bagaimana hidupku jika sosok Saelandra pergi dan hilang dari kehidupanku. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Perpisahan. Sesuatu yang tak pernah kuinginkan. Berpisah. Perpisahan ....

Ya, itu dia!

“Ah, gimana kalau soal perpisahan?” kataku tiba-tiba. Aku menggerling ke arahnya. Sae tampak menaikan alis mata, kemudian menimbang sejenak. Tak berselang lama setelah aku makin melebarkan senyum, dia pun mengangguk.

 “Perpisahan, ya?” gumam Sae pelan.

“Iya. Hal yang paling berat dan menyakitkan, kan?” tanyaku sambil tersenyum sinis.

Kami akhirnya memutuskan untuk mengangkat tema tentang perpisahan. Awalnya tidak terpikirkan untuk mengangkat tema itu, tapi saat otakku berputar  membicarakan tentang perpisahanku dengan Sae, tiba-tiba saja mulutku meluncurkan ide itu. Tampaknya Sae juga tidak terlalu keberatan.

Aku menatap kedua maniknya yang mengilap. Sae memiliki tatapan yang teduh, seolah semua hal yang dia jalani berlalu baik-baik saja tanpa ada masalah. Sae bisa bersikap sangat tenang menghadapi masalah. Dia dewasa dan lebih tahu apa yang harus dilakukan.

“Boleh, perpisahan. Tapi, enggak bisa dibilang paling berat dan menyakitkan juga karena seperti itulah siklusnya. Hidup dan mati. Gelap dan terang. Siang dan malam. Juga, ada pertemuan dan perpisahan. Kamu enggak bisa sepenuhnya menyalahkan dirimu sendiri karena pernah bertemu seseorang dan akhirnya harus berpisah, kan? Karena semua itu sudah memang seharusnya seperti itu.”

Sae tersenyum, kemudian kembali melanjutkan, “Berat memang untuk berpisah, tapi kalau memang sudah waktunya, kita bisa apa?”

“Pengalaman banget kayaknya,” gumamku pelan, lalu bersiul, membuat dia tersadar dari dunianya sendiri. Sae menoleh lalu tersenyum.

“Itu bagus, Adis,” katanya. “Dan, itu bikin aku jadi bijak. Kamu ini,” tambahnya sambil terkekeh-kekeh.

“Aku minta kamu ke sini buat bantuin bikin naskah, loh bukan buat curhat dan baper-baper ria.”

“Aku tahu, dan karena itu, aku jadi haus. Mau pesankan aku minum?”

Dia makin melebarkan senyum kudanya, seolah tidak berdosa. Namun, anehnya, dengan perasaan ikhlas dan tak banyak memprotes, aku mau saja memesakan minuman untuknya.

“Ice choco cheese cream crunch?” tawarku. Itu minuman kesukaannya.

“Ya, dan jangan lupa pisang cokelat taburan susu dan gulanya. Tapi, memang ada, ya?”

“Enggak tahu, deh, ya. Aku cek dulu aja.”

Dia melakukan tegap hormat padaku sambil membusungkan dadanya yang bidang. Kepalaku kontan menggeleng, kemudian mulai membalikkan badan. Kulihat Sae tersenyum di bangkunya. Aku menggeleng pelan lagi sambil mulai melenggang menuju kasir untuk memesan apa yang tadi Sae inginkan.

Pertemanan selama dua tahun membuatku cukup untuk mengenali diri Sae sepenuhnya. Selama itu pula aku tahu apa yang dia suka dan tidak suka. Beberapa makanan, dan minuman favorit, juga soal barang-barang apa saja yang selalu ingin dia koleksi.

Mungkin aku sudah terlalu jauh melangkah di kehidupannya. Aku sudah lebih dari mengetuk pintu hatinya dan bertamu di sana. Saat ini, ruangan kosong itu sudah kutempati, mendekornya dengan semua hal yang kuketahui tentangnya.

Aku kembali dengan minuman lain. Pesanan yang Sae inginkan ternyata tidak ada di kafe ini. Terpaksa, aku hanya bisa membawakannya  pisang cokelat, dan untuk minumannya, aku memesan cappucino.

Dia terlihat anteng dengan kertas dan bolpoin. Aku menatapi tiap inci wajahnya yang putih dan juga mulus. Dia itu seperti bayi, wajahnya mulus sekali. Oh, ya, dan aroma tubuh Sae juga seperti aroma bayi.

Cahaya dari matahari yang menerobos lurus melewati kaca jendela membuat wajah Sae semakin bersinar. Tangannya yang besar dan juga jari-jarinya yang panjang lihai menuliskan kata demi kata untuk naskah pidatoku.

Meski di ruangan ini ada begitu banyak orang dengan berbagai macam pesona, tapi mataku dengan anteng tertuju pada satu titik. Satu titik yang hanya bisa dilihat keindahannya olehku saja. Jaket baseball biru dongker yang dikenakannya, membuat Sae semakin menarik di antara yang lain.

Ketika mata ini masih betah menatapnya dalam sebuah jarak, dia mulai menoleh padaku, memergokiku yang sedang senyum-senyum tidak keruan. Aku mengerjap, lantas mulai melangkah mendekatinya.

“Memangnya kamu ada waktu buat hafalin ini semua?”

“Enggak usah panjang-panjang, deh. Aku juga enggak yakin bisa menang. Aku naik panggung cuma buat bungkam mulut-mulut kejam di kelas aja,” kataku enteng sambil menaikkan kedua bahuku.

“Kamu, kok begitu, sih? Aku udah relain bantu, masa enggak menang? Kamu harus menang!”

“Dua hari, Sae. Aku enggak yakin bisa.”

“Kamu bisa. Aku bakal bantu kamu.”

“Enggak tahu, deh, ya. Ini pidato Bahasa Inggris. Bukan bahasa yang bisa aku kuasai dan aku pakai sehari-hari,” kataku sambil menatapnya dengan sendu. Sae terdiam, wajahnya tampak serius membalas tatapanku.

Aku menyerahkan pesanan kepadanya. Dia menaruh bolpoin, lalu meraihnya.

“Aku mau kamu menang. Titik. Aku enggak mau tahu. Kamu harus menang!”

“Apa yang bakal aku dapat kalau menang lomba?” tanyaku tersenyum hiperbolis.

Sae mengaduk cappucino-nya dengan sendok. Beberapa detik dia terlihat berpikir, mencari tahu apa yang akan dia berikan padaku jika nanti aku memenangkan lombanya.

“Aku akan kasih sesuatu, deh pokoknya.”

“Iya, apa? Kamu harus tanggung jawab kalau begitu,” kataku sambil terkekeh geli.

“Siap. Aku enggak keberatan. Tapi, kamu harus janji menang dan aku juga berjani buat ngasih kamu hadiah. Deal?”

Dia mengulurkan tangan kanan yang sebelumnya digunakan untuk menggam sendok kecil. Aku diam sejenak sebelum membalas jabat tangan Sae. Otakku memikirkan beberapa kemungkinan kecil lainnya.

Memenangkan lomba? Bisa saja aku mengabaikannya. Lagipula, aku memang tidak berniat untuk ikut. Jika bukan karena desakan Arrani dan temannya yang menyebalkan itu, aku pasti sudah mengundurkan diri. Selain itu, teman sekelas mengancamku agar aku menang lomba.

Baik! Aku akan memenangkan lomba ini. Tapi, bukan demi mereka, semua ini demi Sae. Demi dia yang sudah rela mengorbankan waktunya hanya untuk membantuku membuat naskah pidato.

“Baik.” Aku membalas jabat tangannya, kemudian mengangguk.

Aku juga harus memberinya sesuatu yang spesial, kan? Lagipula, Sae sudah berjanji akan memberiku hadiah. Aku harus menang. Kami sudah saling janji.

“Pikirkan apa yang paling menyakitkan dari perpisahan?” tanya Sae sambil memulai kembali menulis.

“Kemungkinan bertemu yang sangat kecil? Atau bahkan enggak akan pernah bertemu lagi?” tanyaku.

Sae mengangguk, sambil mengetukkan bolpoin di dagunya beberapa kali. Dua sampai tiga kali matanya terpejam, mencoba mencerna apa yang kukatakan tadi.

“Tapi, ini perpisahan untuk siswa kelas tiga, Adis. Masih ada masa reuni nanti. Biasanya dilakukan dalam tiga tahun setelah kelulusan, kan? Jadi, pasti masih bisa bertemu. Itu enggak menyakitkan sama sekali.”

“Begini saja, kamu buat hal yang menyedihkan saja. Maksudku, buat seolah-olah berpisah dengan teman satu perjuangan itu menyedihkan dan, ya, sedih pokoknya,” saranku seolah-olah semuanya mudah.

Aku meminum pesanan yang sama dengan Sae. Dia masih berpikir. Sekiranya, Sae sedang mencari hal apa yang lebih sedih dari kemungkinan tidak bisa bertemu lagi setelah berpisah.

“Semua orang meninggal ketika acara perpisahan terjadi?” tanya Sae. Aku mengernyitkan dahi, lalu menggeleng tidak setuju.

“Sebuah meteor lepas dari jalur lintasan dan mendarat di sekolah? Menghancurkan seluruh gedung dan siswanya tewas semua?” tanyanya lagi dengan wajah polos tidak berdosa.

Aku mengernyit makin kuat. Dia masih berpikir. Bolpoin yang dia pegang diposisikan di bawah bibir tebalnya.

“Atau …,” katanya menimbang.

Aku yang sudah tidak ingin mendengar hal aneh lagi darinya, kemudian mulai mencoba menolak. Aku pikir, dia hanya akan mencari alasan-alasan yang lebih brutal lagi jika tak segera dihentikan.

“Ini kamu nyumpahin, deh kayaknya,” kataku sambil menaikan alis mata. Dia berhenti berpikir, lalu menoleh dengan tatapan tanpa dosanya itu. Bibirnya kembali merekah, tersenyum.

“Begini saja, kamu tulis semua kenangan yang pernah mereka lewati selama tiga tahun. Itu bisa membangkitkan lagi kenangan di otak mereka. Mungkin bisa juga bikin mereka nangis,” saranku sambil memegangi sendok. Sae di hadapanku menaruh bolpoinnya, mengangkat cangkir, dan menyeruput isi di dalamnya perlahan.

“Sebenarnya, kamu bisa bikin naskah sendiri.” Dia meraih kertas dan bolpoin lalu memberikannya padaku. “Tulis aja dulu. Tulis apa saja yang menurut kamu menyedihkan. Berpisah dengan aku mungkin, atau kamu enggak bisa ketemu aku lagi?”

“Kok, harus itu, sih contohnya?”

“Ya kalau apa yang dialami sendiri oleh penulisnya, biasanya akan lebih dapet feel­-nya. Tapi, kan itu hanya perumpamaan. Lagian, aku juga enggak mau berpisah sama kamu,” tuturnya sambil kembali menghisap cappucino.

Setelah ucapan itu, seakan ada aliran hangat yang menjalar di dada, membuat aku merespons dengan senyum-senyum sendiri. Ketika Sae mengucapkan jika dia tidak ingin berpisah denganku, aku merasa senang dan, kuyakin pipiku sudah merah sekarang.

Buru-buru kualihkan pandangan yang awalnya saling bertatapan untuk kembali menatap kertas yang Sae berikan padaku. Aku tidak mau dia menyadari diriku yang tersipu karena perkataanya.

“Ya, udah, aku tunggu di sini sampai selesai. Kamu tulis aja versi Indonesia-nya. Aku bakal ubah ke versi Inggris.” Dia menyarankan. Aku yang setuju, lalu mengangguk.

Karena merasa yakin jika apa yang akan kutulis itu cukup sebagai bahan pidato nanti, akhirnya aku setuju untuk menulis naskahku sendiri. Sae hanya diam sambil sesekali mengoreksi kata yang salah.

Tak sampai sore, kami berhasil membuat satu naskah dalam bahasa Indonesia, dan sisanya, kuserahkan naskah itu pada Sae untuk diubah ke-dalam-BAHASA-INGGRIS.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status